Udara di musim gugur terasa sejuk meski sedikit dingin. Suasana terlihat lebih gelap daripada saat musim panas, mentari tidak memancarkan cahayanya dengan maksimal. Meski sinar mentari terlihat redup, semangat dan keceriaan Carla untuk bermain dengan anak-anak di rumah sakit tertap membara.
Pada suatu pagi di musim gugur yang cukup dingin, Carla kembali pergi ke rumah sakit. Senyum manis tak lepas dari wajahnya. Gadis bermata abu-abu itu membawa bunga aster ungu di tangannya yang ditanam di pot berwarna putih. Ia bermaksud memberikan bunga itu kepada Suster Jane sebagai hadiah untuk kelahiran cucu perempuannya.
Pada pagi hari seperti itu, biasanya Suster Jane berada di taman mengawasi pasien-pasien yang sedang berjemur dan menghirup udara segar alam bebas. Oleh karena itu, Carla pun dengan riang menuju ke taman rumah sakit St Thomas’.
Ketika tiba di taman yang pepohonannya mulai layu dengan daun-daun yang hampir tak tersisa di tubuhnya, ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang dicarinya. Suster Jane ternyata sedang menuntun seorang kakek tua untuk berjalan-jalan di atas batu refleksi.
Carla pun langsung saja menghampiri suster kenalannya itu. Ia sudah tidak sabar untuk memberikan bunga yang dibawanya itu kepada Suster Jane.
“Suster Jane selamat pagi,” sapa Carla dengan riang.
Suster berumur empat puluh lima tahun itu mengangkat kepalanya yang tertunduk karena memperhatikan jalan yang dilalui si kakek tua, “Carla, kau datang pagi sekali, ini juga bukan hari Minggu,” Suster Jane nampak terkejut.
“Anak nakal ini pasti bolos kerja,” tuduh si kakek tua.
Carla merasa tak asing dengan suara kakek tua itu. Buru-buru gadis bermata abu-abu itu berjalan ke depan si kakek agar bisa melihat wajahnya.
Setelah berhasil melihat wajah kakek tua itu, raut terkejut nampak jelas di wajah Carla, “Kakek Tom? Kenapa Kakek berada di sini lagi?”
Kakek tua yang rambutnya telah sepenuhnya memutih itu berdecak kesal, “Aku rindu dengan rumah sakit ini, puas dengan jawabanku?” ucap Kakek Tom dengan nada kesal.
Carla memberikan lirik mengejek, “Bilang saja Kakek sakit lagi.”
“Kalau memang aku sakit kenapa? Lagi pula aku sudah tua,” ucap Kakek Tom dengan kesal.
“Kakek bulan lalu saat keluar dari rumah sakit ini bilang bahwa tidak akan lagi masuk rumah sakit, tapi sekarang buktinya apa? Pasti Kakek bandel,” tuduh Carla.
“Gula darah Tuan Tom naik,” Suster Jane memberikan jawaban.
Carla memberikan tatapan kesal pada kakek tua itu, “Kakek pasti diam-diam memakan ice cream lagi, iya kan?”
“Kalau iya memang kenapa?” ucap Kakek Tom acuh.
“Berapa kali dokter melarangnya, tetap saja Kakek bandel, apa aku harus menjadi perawat pribadi Kakek agar Kakek tidak lagi bisa memakan ice cream dengan diam-diam?” tantang Carla.
Kakek Tom memberikan tatapan sinis, “Kau saja belum benar mengurus dirimu sendiri, sudah mau mengurus orang lain!” Kakek Tom menjewer daun telinga sebelah kiri Carla, membuat gadis dua puluh dua tahun itu mengaduh kesakitan. Ia meminta agar Kakek Tom melepaskan jewerannya yang cukup terasa sakit.
Suster Jane hanya tertawa geli melihat adegan itu. Mereka berdua memang seperti cucu dan kakek yang tidak pernah akur. Sejak pertama kali mereka bertemu satu tahun lalu, mereka selalu bertengkar. Tetapi tentu saja pertengkaran lucu. Keduanya saling menyayangi dan saling memberikan perhatian meski dengan cara melalui pertengkaran.
“Sudah lepaskan Carla, Tuan. Kasihan kupingnya sampai merah,” Suster Jane mencoba untuk melerai. Kakek Tom menurut. Ia melepaskan jewerannya. Carla menggosok-gosok kupingnya yang terasa panas.
“Hei bocah nakal, kau belum menjawab pertanyaan Jane, kenapa kau sepagi ini berada di sini? Ini bukan hari Minggu?” selidik Kakek Tom.
“Aku ingin memberikan bunga ini pada Suster Jane,” Carla menunjukkan bunga aster ungu yang dibawanya.
Senyum bahagia terukir di wajah Suster Jane, “Kau membawakannya untukku?” tanya Suster Jane sambil menatap tanaman bunga aster yang masih ada di tangan Carla. Si gadis bermata abu-abu itu menganggukan kepalanya. Lalu, ia menyerahkan bunga aster ungu itu pada Suster Jane.
Setelah bunga aster itu berpindah tangan, Suster Jane tak melepaskan pandangannya dari tanaman itu untuk beberapa saat, “Terima kasih sayang, ini indah sekali. Kau sangat baik,” ucap Suster jane dengan mata berbinar.
“Itu sebagai hadiah atas kelahiran cucu perempuan suster,” ucap Carla dengan riang.
“Kau benar-benar perhatian, aster ungu ini sangat cantik. Aster ungu lambang keanggunan?” ucap Suster Jane sambil menatap Carla dengan tatapan penuh kebahagiaan. Gadis berambut panjang itu menganggukkan kepalanya diiringi senyuman manis.
“Tolong rawat bunga ini dengan baik ya Suster, ini adalah salah satu tanaman favoritku,” pinta Carla.
Suster Jane meraih tanga Carla, menggenggamnya erat, “Tentu sayang, aku pasti akan merawatnya dengan sangat baik,” Suster Jane menatap Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.
Setelah itu terjadi keheningan selama beberapa saat sebelum akhirnya suasana kembali ricum ketika Kakek Tom berdehem, mengingatkan kedua perempuan yang ada di dekatnya bahwa mereka tidak hanya berdua tetapi sedang bertiga. Tatapan kesal terlihat di wajah keriput Kakek Tom.
“Aku orang hidup, jangan abaikan aku!” sindir Kakek Tom. Carla dan Suster Jane tertawa riang mendengar sindiran yang dilayang si kakek tua yang berusia tujuh puluh tahun lebih itu.
“Baiklah maafkan kami, ini masalah perempuan, jadi kami sampai lupa ada Kakek di sini,” ucap Carla dengan niatan menggoda si kakek tua.
Kakek Tom berdecit kesal, “Aku masih hidup saja sudah dilupakan, apalagi jika aku sudah meninggal.”
“Jangan membicarakan tentang kematian di pagi hari seperti ini. Sepanjang hari Kakek bisa mengalami kesialan jika terus membicarakan tentang kematian di pagi hari,” Carla mencoba untuk menakut-nakut Kakek Tom.
“Jangan coba-coba membodohiku gadis nakal!” Kakek Tom nampaknya tak percaya dengan ucapan gadis dua puluh dua tahun itu.
Carla mengibaskan rambut panjangnya dengan tangan, “Ya sudah, terserah Kakek mau percaya atau tidak yang penting aku sudah mengingatkan,” ujar Carla dengan nada acuh.
Kakek Tom mengibaskan tangan di depan wajah Carla, “Sudahlah berhenti bicara! Kembali saja kau ke tokomu, sudah selesai kan tujuanmu ke sini?” usir Kakek Tom.
Carla bersidekap, “Kalau aku tidak mau bagaimana?”
“Aku akan mengusirmu,” ucap Kakek Tom dengan penuh keyakinan.
“Aku tidak yakin Kakek bisa mengusirku,” Carla meremehkan.
“Kenapa memangnya? Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau, termasuk mengusirmu dari sini,” ucap Kakek Tom tanpa keraguan.
Carla memutar bola matanya malas, “Ah, terserah Kakek saja lah, lagi pula aku datang ke sini juga bukan untuk menemui Kakek.”
Kakek Tom kembali mejewer gadis bermata abu-abu itu. Suster Jane menggeleng-gelengkan kepalanya merasa pusing dengan kelakuan kedua orang di hadapannya itu. Meski sikap kedua orang itu terlihat begitu kekanak-kanakan, tetapi itu benar-benar menghibur Suster Jane. Kedua orang di hadapannya selalu bisa membawa tawa di hari-hari lelahnya.
∞
Kakek Tom nampaknya tidak merasa bosan untuk terus mengomeli Carla agar kembali bekerja dan berhenti mengurusi orang sakit. Gadis bermata abu-abu itu sesekali memberikan tatapan kesal, lalu mencoba menganggap gurauan Kakek Tom sebagai candaan belaka. Carla lebih nyaman menghabiskan waktu-waktunya dengan para pasien di rumah sakit karena selama ini sebagian besar di hidupnya memang banyak dihabiskan di sana. Ia senang menghibur orang-orang yang sedang tak sehat, bercanda bersama mereka, sesekali membawakan mereka bunga dari tokonya. Pagi itu yang berusaha menasihati Carla agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah sakit bukan hanya Kakek Tom tetapi juga Suster Jane. Suster yang telah Carla anggap seperti keluarganya sendiri itu menyarankan Carla untuk mencari hiburan lain selain datang ke rumah sakit. Perempuan empat puluh lima tahun itu menyarankan Carla untuk bersenang-senang dengan hidupnya, sementara waktu melupakan tentang tempat bernama rumah sakit.
Sbastian dengan terpaksa memakan cokelat pemberian Cheril meski dia sebenarnya tidak suka makan-makanan manis, ia tidak mau gadis kecil itu kembali merasa takut padanya. Carla masih berdiri di tempatnya, menatap Sbastian dengan pandangan awas, ia tidak ingin dokter itu kembali menyakiti hati sahabat kecilnya.“Kau lebih tampan saat dilihat dari dekat,” ucap Cheril sambil terus menatap Sbastian yang sedang memakan cokelat pemberiannya.“Benarkah? Aku tidak merasa tampan selama ini,” ucap Sbastian dengan wajah datar.“Sok rendah hati,” celetuk Carla yang membuat Sbastian langsung memberikan lirikan kesal.“Kau tampan tapi wajahmu juga terlihat sedikit menyeramkan, apalagi saat kau sedang marah,” ucap Cheril kembali.“Dia seperti monster saat sedang marah,” ucap Carla yang membuat Cheril dan teman-temannya tertawa. Sbastian berpura-pura tak mendengarnya. Ia sudah malas berdebat dengan Carla.
Jalanan Oxford memang tidak pernah mati, semakin sore suasana semakin ramai. Toko-toko berderet sepanjang jalan, menyediakan berbagai macam barang-barang bermerek, suvernir, kafe, dan lain-lain. Surga belanja bagi mereka yang hobi berbelanja.Sore itu ketika jalanan Oxford mulai bercahaya karena lampu-lampu jalanan dan pertokoan mulai dinyalakan, Carla masih sibuk dengan bunga-bunga di tokonya. Orchid, itulah nama tokonya. Diberi nama demikan karena ibunda Carla sangat menyukai bunga anggrek. Berbagai macam warna, jenis, bentuk, dan wangi bunga dapat ditemui di toko bunga miliknya. Terletak di salah satu sudut jalan Oxford. Bersebelahan dengan kafe dan toko buku.Di toko dengan interior bergaya Inggris modern itulah Carla menghabiskan hari-harinya jika sedang tidak menjadi relawan di rumah sakit. Toko peninggalan ibunda tercintanya itu ia rawat dengan penuh cinta. Dia sangat mencintai toko bunganya, selain karena alasan Carla begitu menyukai bunga dan tanaman, dia juga
“Hai, apa yang kau lakukan di sini?” tegur Suster Jane pada Carla yang sedang mengintip-intip di balik tembok tak jauh dari ruangan Sbastian.Gadis bermata abu-abu itu terkejut ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya, “Oh Tuhan Suster Jane,” ucap Carla sambil memegang dada kirinya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Suster Jane dengan wajah sedikit khawatir.“Ya, sedikit,” ujar Carla sambil mengerucutkan bibirnya.“Tapi, kau baik-baik saja bukan?” Suster Jane nampak khawatir.Carla tersenyum lembut, “Aku baik-baik saja Suster Jane.”“Syukurlah, tapi apa yang sedang kau lakukan di sini? Kenapa kau seperti bersembunyi?” tanya Suster Jane sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.Carla menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tindakannya memang tak masuk akal karena terlihat seperti seorang pengintai, tapi dia benar-benar merasa penasaran ddengan si dokter
Suster Jane menatap Carla dengan tajam, gadis bermata abu-abu itu menggosok-gosok telinganya yang terasa panas karena mendapatkan jeweran yang cukup lama dari sang suster. Mereka kini berada di kantin rumah sakit.Carla berpura-pura mengamati kantin rumah sakit itu, ia tidak ingin langsung menatap Suster Jane yang masih terlihat sangat kesal padanya. Suster Jane meminum jus jeruk yang dipesannya, tatapannya tetap berkonsentrasi pada Carla.“Kau meman gadis keras kepala,” ucap Suster Jane dengan sinis.“Itu sudah takdirku,” ucap Carla dengan santai.Suster Jane melipat kedua tangannya di atas meja, “Kenapa kau tidak bisa sekali saja mendengarkan nasihatku?”“Aku hanya tidak bisa melakukannya. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa berhenti sebelum rasa penasaranku terobati,” ucap Carla sambil memainkan bunga plastic yang ada di atas meja mereka.Suster Jane menghembuskan nafas berat, menatap Ca
“Aku harap setelah kau mendengarkan ceritaku, kau tidak akan lagi memiliki niat untuk mengintai Dokter Sbastian,” ucap Suster Jane ketika Carla berpamitan padanya untuk kembali ke toko bunga.“Aku memang sudah tidak berniat untuk mengintainya lagi atau sembunyi-sembunyi memperhatikannya,” ucap Carla diiringi senyum misterius.“Aku tidak menyukai senyuman itu, aku sangat tahu arti senyuman itu Carla,” ucap Suster Jane dengan tatapan kesal.Carla memainkan matanya, “Jangan terlalu khawatir, aku akan baik-baik saja,” Carla mencoba untuk menyakinkan Suster Jane.“Kau memang keras kepal.”Carla tersenyum kecil, “Ya, itulah aku. Tapi aku masih penasaran bagaimana Suster tahu tentang ancaman yang diberikan oleh Kakek Sbastian?” Carla menatap penuh selidik suster kenalan baiknya itu.“Aku tidak akan mengatakan alasannya, lagi pula bukankah kau harus kembali ke toko bunga?&
“Gaun itu sangat cocok untukmu Carla,” ucap Joy dengan raut bahagia ketika gadis bermata abu-abu itu keluar ruang ganti.Halter dress berwarna cokelat muda nampak begitu indah dipakai Carla. Membuat leher gadis berambut panjang itu terlihat jenjang. Gaun sepanjang kaki Carla itu terbuat dari bahan Barbie Crepe kualitas nomor satu hingga terasa nyaman saat dipakai dan kainnya yang jatuh akan mengikuti bentuk tubuh. Terdapat belahan di bagian samping gaun itu dari bagian paha hingga ujung gaun yang akan terbuka jika digunakan untuk berjalan. Hal itu menambah kesan seksi dan membuat kaki jenjang Carla tampak terlihat indah.“Kau membuatnya dengan sempurna Joy. Ini indah sekali,” puji Carla dengan tulus.“Aku senang jika kau menyukainya,” Joy merapikan gaun itu sambil melihat jika ada kekurangan di gaun rancangannya.“Aku sangat menyukainya, bagiamana bisa kau membuat gaun ini begitu
Jalanan London terlihat begitu berkilau di malam hari. Lampu-lampu bergaya clasik menghiasi jalanan kota yang sedang menyambut musim gugur itu. Kafe-kafe di sepanjang jalan menuju rumah sakit St Thomas’ nampak ramai pengunjung. Itu memang sudah waktunya untuk makan malam.Carla dengan wajah ceria kembali ke rumah sakit St Thomas’, ia tahu hari itu Suster Jane sedang bertugas malam dan siang sebelumnya dia juga mengecek ke bagian adiministrasi bahwa Sbastian ada jadwal untuk mengoperasi pasiennya pukul enam sore. Oleh karena itu, Carla memutuskan untuk kembali berkunjung ke rumah sakit yang hanya berjarak sekitar dua puluh menit dari toko bungannya itu.“Kau ada di sini?” Suster Jane yang sedang berada di pos jaga bagian depan terkejut dengan kedatangan Carla.Gadis bermata abu-abu itu tersenyum riang sambil memberikan pelukan hangat pada sang suster.“Carla, apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?” tanya Suster