Janu membuang pandangan saat Nadine membuka kancing baju. Wajahnya merona menahan malu. Biasanya di bagian penyakit dalam pasien yang ditemui setiap hari adalah para lansia. Rezeki katanya kalau pas lagi kerja dapat yang cantik begini.
Nadine tersenyum senang. Entah kenapa dia ingin menggoda pak dokter tampan itu. Biasanya juga dia kalem, tidak ganjen pada laki-laki. Padahal nasabahnya banyak. Rata-rata pengusaha, pejabat atau orang-orang pemegang posisi penting di pemerintahan maupun perusahaan.
Mereka juga berwajah tampan. Beberapa berstatus single. Ada juga yang sudah menduda. Juga suami orang yang suka menggoda. Untungnya Nadine kuat iman dan tidak mau terjerumus. Harga diri sebagai seorang wanita tetap dijaga.
"Cukup. Biar saya periksa dulu."
Nadine menghentikan aksinya. Gadis itu mengulum senyum. Tadi Janu yang membuatnya nervous, sekarang gilirannya. Adil, kan?
Janu memasang steteskop di telinga dan meletakkannya di bagian perut Nadine sembari bertanya beberapa hal mengenai keluhannya.
Nadine terbaring pasrah. Saat diperiksa, matanya tak lepas menatap wajah tampan hadapannya. Tubuhnya yang jangkung membuat Janu terpaksa harus menundukkan wajah agar bisa lebih dekat ke arah gadis itu.
'Konsentrasi dokter. Temukan penyakitnya. Segera diagnosis dan berikan resep. Selesai.'
Bagaimana dia bisa konsentrasi kalau posisinya begini? Nadine tampak gugup. Napasnya terdengar seperti desahan di telinga Janu. Tangan lelaki itu sampai gemetaran dibuatnya. Ingin melakukan yang lain, bukan hanya memeriksa.
"Cukup. Silahkan rapikan pakaiannya. Saya berikan resep, ya." Janu menarik napas lega karena terbebas dari godaan setan yang terkutuk.
Nadine segera merapikan baju, lalu turun dari ranjang. Dia duduk berhadapan dengan Janu, yang sedang menuliskan sesuatu di kertas resep.
"Ini obatnya. Diminum dua kali satu tablet. Bawa saja resepnya ke apotik. Nanti dijelaskan lebih detail sama apotekernya."
Janu menjelaskan sedikit tentang penyakit yang diderita Nadine. Pasien zaman sekarang memang begitu. Mereka kritis dan suka bertanya.
Untunglah Nadine tidak bawel. Gadis itu lebih banyak mengiyakan, walaupun Janu hanya memberikan penjelasan secara umum.
"Iya, Dokter," jawab Nadine singkat.
"Mulai besok, bawa snack atau biskuit saat jam kerja sebagai cemilan sambil menunggu istirahat makan siang. Jadi, lambungnya gak perih. Jangan telat makan. Nanti maag-nya bisa kambuh lagi."
"Tapi saya nggak apa-apa kan, Dokter? Kalau parah, dirawat inap juga boleh."
Nadine tersenyum menggoda sembari mengerling manja. Kalau dia sampai menginap di rumah sakit, itu berarti bisa bertemu dengan dokter ini setiap hari.
"Nggak apa-apa. Rawat jalan aja cukup. Apa mau saya rujuk ke rawat inap? Nanti bisa disuntik sama diinfus," kata Janu menakut-nakuti.
"Kalau diinfus, jarumnya gede ya, Dokter?"
"Yah, tergantung stok yang ada di rumah sakit. Kalau yang kecil habis, kita pakai yang besar." Raut wajah Janu dibuat serius, padahal sedari tadi menahan tawa.
Nadine bergidik ngeri saat membayangkan jarum itu menusuk kulitnya. Sementara Janu tersenyum geli melihat ekpresinya. Benar seperti dugaan, gadis itu takut dengan jarum. Itu terlihat dari sikapnya.
"Kalau begitu saya dirawat jalan aja."
Kali ini si perawat yang tertawa. Dalam hatinya bergumam, lucu sekali pasien yang satu ini. Tadi marah-marah dan minta masuk duluan. Sekarang nyalinya ciut mendengar jarum.
"Suster!"
Janu menegur perawatnya dengan memberikan kode. Bagaimanapun juga, rasanya kurang sopan menertawakan pasien yang sedang sakit, sekalipun perangainya buruk.
"Maaf, Dokter." Si perawat mengulum senyum, lalu kembali bersikap serius.
"Jadi gimana, apa mau saya rujuk biar dirawat?" Janu bertanya ulang.
"Nggak usah. Saya minum obat aja," jawab Nadine cepat.
"Nah begitu aja."
Janu tersenyum menatap Nadine. Senyum seorang dokter yang ramah kepada pasien. Namun, Nadine mengartikannya lain. Lalu, mereka berpandangan lama. Seperti ada chemistry di antara keduanya.
"Ehem!"
Suara batuk seseorang mengagetkan mereka. Saat Nadine menoleh, ternyata si perawat tadi pelakunya. Untung saja sewaktu diperiksa dia tidak ikut. Bisa gagal niatnya untuk mendekati si dokter tampan itu.
Janu tersadar. Sungguh memalukan rasanya di hari pertama bekerja, dia menyukai pasien sendiri. Apalagi perawatnya tersenyum geli sewaktu melihat kelakuan mereka berdua.
"Suster. Tolong dibantu," ucap Janu sembari menyerahkan resep.
Perawat itu mengambil kertasnya, lalu berkata, "Mari, ikut saya."
Saat pintu terbuka, Nadine mengekori perawat itu. Dia mendengarkan setiap penjelasan lalu mengangguk karena sudah mengerti.
"Silahkan resepnya diambil di apotik ya, Bu. Sudah tau tempatnya?"
"Sudah tau, Suster. Di depan sana, 'kan? Dekat poli umum sama IGD."
"Iya benar. Ibu langsung ke sana saja. Silahkan antre dan menunggu obatnya disiapkan."
Nadine meninggalkan ruangan. Hatinya riang gembira. Belum minum obat saja rasanya sudah sembuh. Senyum dokter tampan tadi meluluhkan hatinya.
Sebelum keluar, Nadine sempat melirik ke arah name tag dokter itu. Janu Banyuaji namanya.
* * *
Seseorang memanggil namanya. Janu menoleh dan mendapati sesosok lelaki yang sama jangkung sedang berjalan ke arahnya.
"Hai Jack. Udah lunch?" sapa Abraham.
Mereka berjalan beriringan menuju lantai atas. Saat ini Janu sedang menuju kantin rumah sakit yang disediakan khusus untuk para karyawan.
Mereka bisa akrab karena berasal dari satu almamater saat mengambil sekolah spesialis. Jadi cocok sekali saat ditempatkan di rumah sakit ini. Janu dipanggil Jack karena itu adalah nickname-nya saat mereka Coass dulu.
"Ini baru selesai poli. Mau makan dulu. Lu mau ke mana?" Janu balik bertanya.
Mereka berjalan beriringan sembari berbincang. Beberapa karyawan rumah sakit menyapa kedua lelaki itu saat berpapasan. Ada juga yang sengaja berhenti untuk melihat ketampanan mereka.
"OK. Mau operasi. Ada yang sectio siang ini. Bayinya kembar."
Arah cafetaria dan kamar operasi memang berada pada satu lantai. Hanya saja, kamar operasi berada di bagian ujung dan agak tersembunyi dari ruangan yang lain.
"Wow, amazing, dong. Cowok apa cewek?" tanya Janu karena penasaran juga.
"Cowok cewek. Pinter mereka bikinnya. Sekali keluar jadi sepasang," jawab Abraham dengan wajah jahilnya.
Mereka berdua tergelak. Ada banyak kejadian di rumah sakit yang cukup menghibur selain kasus kecelakaan atau kematian.
"Gimana pasien hari ini? Aman?" tanya Abraham.
Ini hari pertama mereka bekerja, tentunya ingin saling berbagi cerita.
"Aman. Ada sedikit trouble, sih. Tapi bisa ke-handle." Janu menjawabnya dengan santai.
"Kenapa? Ada pasien resek?"
"Biasalah nyerobot antrean. Nggak sabaran."
Janu menjelaskan apa yang terjadi tadi pagi di polinya. Hanya saja dia tak menyebutkan bahwa pelakunya adalah seorang gadis cantik bernama Nadine.
"Emang susah kalau soal antrean, sih. Makanya negara kita susah maju. Masyarakatnya begitu. Adab dan etika masih minim," keluh Abraham.
Mereka tiba di persimpangan lalu berhenti. Janu melambaikan tangan dan menuju kantin, sedangkan Abraham berjalan menuju ruangan yang letaknya paling ujung. Mereka berpisah sampai di sini.
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab