Janu, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang baru ditempatkan di sebuah rumah sakit swasta terkenal di ibukota. Sikapnya yang dingin dan cuek, membuat para wanita seantero rumah sakit menjadi penasaran dan mencoba merebut perhatiannya. Status yang masih lajang dengan wajah yang tampan, membuat Janu menjadi idaman para wanita untuk dijadikan suami. Pertemuan tak disengaja dengan seorang gadis cantik yang bernama Nadine, membuat Janu berubah menjadi lelaki bucin dan agresif. Sayang, cinta mereka terhalang restu orang tua karena perselisihan di masa lalu. Bagaimanakah perjuangan Janu dan Nadine untuk merebut hati kedua orang tua mereka agar mendapat restu?
View MoreJanu bangun pukul lima subuh saat langit masih gelap dan ayam jago berkokok, lalu membersihkan diri di kamar mandi. Laki-laki itu mengambil sepatu sport dan berlari pagi di sekitar komplek perumahan. Kebiasaan yang selalu dilakukannya setiap hari untuk menjaga stamina agar tetap fit. Dia seorang dokter. Apa kata dunia jika sang penyembuh malah sakit? Oh, tidak bisa!
"Sarapan dulu, Nak. Ini mama buatin makanan kesukaan kamu. Roti isi."
Sarah, mamanya Janu yang berusia lima puluh tahun tetapi masih cantik, mengambilkan sepotong roti untuk putra kesayangan. Tangannya dengan cekatan mempersiapkan menu sarapan untuk anak tunggalnya itu.
"Satu aja, Ma. Nanti Aku makan lagi. Ini masih gerah."
Janu mengipas tangan di wajah. Lari tadi cukup menguras energi dan membuat kausnya basah. Dia merasa tak nyaman sehingga berencana ingin mandi dulu baru sarapan. Namun, jika mamanya sudah bertitah, mana berani dia melawan. Lebih baik diam dan menurut biar tidak panjang cerita.
"Makan yang banyak, dong. Di rumah sakit mana sempat kamu makan. Pasien rame."
Sarah sibuk menuangkan susu dalam gelas. Sementara mulutnya berkomat-kamit tiada henti. Entah apa yang dia bicarakan. Perempuan memang suka begitu. Mungkin wanita itu sedang membaca mantra, agar putranya segera menikah dan naik pelaminan tahun ini.
"Makan juga, Ma. Kalau gak makan aku bisa pingsan," ucap Janu sembari mengunyah.
Sarah memang jago memasak. Roti isi rasanya paling juara. Ada daging dan mozarella yang lumer di mulut. Juga paprika dan bawang bombay yang membuat cita rasanya menjadi lengkap.
"Tapi telat, kan? Harusnya jam dua belas, jadi molor jam dua."
Sarah duduk di sebelah Janu, lalu mengambil tissue dan membantu membersihkan bibir sang putra. Dia juga menambahkan roti dan susu.
"Ya tergantung pasien. Kalau lagi sepi, jam dua belas aku udah makan. Kalau rame jadinya telat. Kan disediain snack juga. Mama ini kayak gak tau aja."
Kadang-kadang Janu merasa kesal dengan sikap mamanya yang terlalu berlebihan. Seperti tadi, saat membersihkan bibirnya. Dia bukan anak kecil, tetapi percuma saja bicara.
"Eh, anak Mama udah gede ternyata. Anak laki jangan suka ngambek. Nanti mama kasih istri.
Janu malas menjawab. Dia malah melahap sepotong roti isi, lalu meneguk susu dengan cepat.
"Kalau kamu udah gak suka diurusin sama Mama lagi, berarti harusnya udah diurusin sama istri."
Kuliah tujuh menit oleh Sarah pun dimulai. Janu hanya terdiam saat mendengarkan nasihat itu. Entah berapa menit durasinya. Satu hal yang pasti, setelah selesai berceramah, mamanya menjadi lebih ceria. Mungkin penyaluran dua puluh ribu kata seharinya telah tercukupi.
Sejak jaman Coass bertahun-tahun yang lalu, Sarah selalu menyinggung hal itu. Janu hanya menganggap itu seperti angin lalu, setiap kali mamanya mengungkit hal yang sama. Ibarat kata pepatah, masuk ke telinga kanan keluar dari telinga kiri.
Sejujurnya Janu bosan mendengar itu. Bukan hanya mamanya, tetapi banyak sekali suara-suara sumbang yang sering mengomentari statusnya.
"Ma, udahlah. Jangan gitu kenapa? Aku udah dewasa."
Janu menepiskan tangan sang mama saat kembali mengusap mulutnya dengan tissue.
"Itu bibir kamu kotor. Biar mama bersihin. Nanti hilang kegantengan anak mama. Batal deh dapet mantu."
"Entar juga ada masanya."
"Kapan? Udah lama Mama nunggu. Kamu jangan PHP, dong. Gak baik loh ngasih harapan palsu ke orang. Apalagi sama Mama sendiri," sungut wanita paruh baya itu sembari makan.
"Entar tahun depan," jawab Janu santai.
"Itu kata-kata kamu dari lima tahun yang lalu. Mama bosen dengernya. Paling gak, bawain satu cewek ke rumah ini. Biar kita agak legaan dikit. Jadinya gak berprasangka, kamu normal apa gak."
"Aku normal, lah. Mama ini mikir apaan, sih. Gak usah dengerin kata orang. Percaya aja sama anaknya," bantah Janu kesal.
"Kalau gitu, buktiin. Mama malu tiap arisan suka ditanyain sama ibu-ibu yang lain."
"Memangnya mereka bilang apa?"
"Janu kapan nikahnya, Jeng? Kok masih betah sendirian aja. Si ini lagi hamil. Si anu cucunya udah dua." Sarah menirukan ocehan teman-temannya.
Janu tergelak mendengar cerita mamanya. Kebiasaan ibu-ibu kalau berkumpul biasanya suka bergosip.
Berhubung Sarah hanya punya satu anak yang tampan nan mapan tetapi belum sold out juga. Jadinya wanita itu merasa resah. Apalagi selama ini Janu belum pernah mengenalkan siapa pun sebagai kekasih. Kekhawatirannya semakin bertambah.
"Gak usah dipikirin. Aku normal. Biar aja orang mau ngomong apa. Masa' Mama gak percaya sama anak sendiri," katanya mencoba menenangkan.
"Kalau memang kamu normal, bawa cewek ke sini. Paling gak, posting foto sama cewek gitu. Nanti mama bisa pamer di IGe. Calon menantu eike yang cakep dan cantik jelita."
"Buat apa?"
"Biar ada bukti. Jadi mereka gak usah ngomong macem-macem lagi," jelas Sarah panjang lebar.
"Kalau mama sebel, mereka makin seneng. Lagian ngapain mama temenan sama orang kayak gitu. Gak ada faedahnya juga," saran Janu.
"Kalau Mama gak nongkrong nanti dibilang gak gaul. Masa ibu pejabat kuper. Kasian dong suaminya pejabat terkenal. Gak cucok."
Janu menunduk dan kembali makan. Jika semua wanita setelah menikah menjadi cerewet seperti mamanya, apa dia akan sanggup menjalani rumah tangga. Mungkin lebih baik dia tidak usah menikah aja. Jadi hidup bisa lebih tenang, tanpa perlu mendengarkan ocehan yang tidak penting setiap harinya.
Eh, tapi jangan. Nanti Janu bisa dituduh macam-macam. Dia masih normal. Hanya belum bertemu dengan wanita yang cocok di hati. Laki-laki itu juga malas menjalin hubungan semu, hanya untuk membantah tuduhan orang lain.
"Ada apa, nih? Berisik pagi-pagi."
Percakapan mereka terhenti saat melihat seorang lelaki paruh baya datang dan ikut bergabung di meja makan. Anton, papanya Janu yang berusia enam puluh lima tahun, tetapi masih terlihat gagah.
"Ah gak, Pa. Biasalah obrolan mama sama anak lelakinya." Sarah mengedipkan mata. Jangan sampai Janu mengadu, nanti dia yang ditegur suaminya.
Berbeda dengan Sarah, Anton memang lebih santai. Dia tidak banyak memaksakan kehendak kepada Janu. Lagipula usianya sama seperti sang putra saat menikah dulu.
"Masak apa nih, Ma?"
"Papa mau apa? Ada mie goreng jawa, roti isi, salad buah, omelette, ayam sama nasi goreng."
Mata Anton terbelalak saat melihat sajian di meja. Sarah membuka satu per satu hidangan yang sejak subuh sudah dimasak. Ada berbagai macam makanan dan semua bebas memilih.
"Banyak amat, Ma. Entar gak habis dimakan, kan sayang."
Anton mengambil piring, lalu mengisinya dengan mie goreng, nasi goreng, omelette dan dua potong ayam. Porsinya cukup banyak, sehingga tak salah jika Sarah memasak sebanyak itu.
"Kalau gak habis kan, bisa dikasihkan ke security yang jaga di depan. Kasian banget mereka makan Indomie terus."
Anton melirik Janu yang masih makan dalam diam. Jika sudah begini, maka ceramah Sarah akan lebih panjang.
"Mama gak tega, deh. Lagian itu istri mereka pada ngapain aja di rumah. Paling gak, bawain bekal buat suaminya. Masa nasi goreng telur ceplok juga gak bisa bikin. Suami makan mie instan terus itukan gak sehat." lanjut Sarah.
Anton dan Janu saling berpandangan. Ternyata dari tadi Sarah belum puas berkicau. Mereka tertawa geli melihat kelakuan wanita itu sembari menggeleng.
Terlebih lagi Anton. Hampir tiga puluh tahun menikah dengan Sarah, membuatnya hafal dengan kebiasaan sang istri.
Kata orang-orang, wanita yang cerewet itu masakannya enak. Itu terbukti kepada Sarah. Mungkin itu sebabnya mengapa Anton begitu sayang kepada sang istri. Hobinya adalah makan. Maka, cocoklah mereka.
"Udah, Ma. Ini lagi makan juga. Berhenti dulu kenapa ngomelnya." Anton bersuara. Bisa hilang mood kalau begini terus setiap hari.
"Eh, iya. Papa mau nambah, gak?" tanya Sarah.
Isi piring Anton belum habis dan dia sudah disuruh makan lagi. Laki-laki itu kembali menahan tawa, lalu berkata, "Udah cukup. Begah nanti perut."
"Ih, tapi kan papa kurus. Mama suka yang buncit gitu. Biar jadi bukti kalau sejahtera. Istrinya pinter masak di--"
"Maaa .... " tegur Anton.
Sarah terdiam dan berhenti makan, lalu pergi ke dapur. Wajahnya seketika cemberut. Anton dan Janu yang yang melihat itu kembali tertawa geli.
"Mama ngambek?" bisik Janu.
"Biarin aja. Biasalah cewek-cewek emang suka gitu."
"Wah gawat, dong! Ntar gak dapet jatah makan malam kita."
"Makan malam sih gampang tinggal beli. Jatah malam papa ini yang gawat kalau sampai gak dapat."
Tawa Janu hampir meledak. Papanya masih saja suka bercanda. Istrinya memang cantik, makanya dia betah.
"Diemin aja, Pa. Bentar lagi juga baikan."
"Udah tau. Mama paling cuma ngomel bentar. Hatinya baik seputih salju," ucap lelaki paruh baya puitis.
Janu mengulum senyum melihat keromantisan orang taunya. Kadang ada rasa iri dalam hati laki-laki itu. Benaknya selalu bertanya akankah bisa mendapatkan istri seperti mamanya, dengan rumah tangga yang langgeng.
"Kerjaan kamu gimana? Ini kerja hari pertama, kan?"
"Iya, bentar lagi jalan."
"Gimana situasinya di sana?" tanya Anton serius.
"Aman terkendali, Pa."
"Syukurlah, Nak. Semoga kamu betah. Mana tau ada yang nyantol di hati," sindir Anto sembari menggoda.
Janu bergumam, kalau sudah begini papanya sama saja dengan mama.
"Siap. Entar Janu gebetin itu perawat yang cakep," jawabnya asal.
"Loh, kalau bisa jodohnya dokter juga. Yang masih single. Biar anak mantu Papa dokter semua."
"Iya. Ntar liat aja. Baru juga hari pertama. Pasien dulu, lah. Jodoh nyusul."
"Pasien nomor satu, Nak. Tapi, kamu juga harus memikirkan diri sendiri."
Anton mengerti tugas seorang dokter adalah mengabdi untuk pelayanan masyarakat. Hanya saja, mereka tak ingin Janu terlalu sibuk sehingga lupa dengan kebahagiaan sendiri.
"Baru juga tiga puluh dua. Masih panjang perjalanan," jawab Janu santai.
"Itu udah cukup. Papa juga kalau seandainya lebih cepat dipertemukan sama mama kamu, pasti bakalan nikah muda."
"Iya. Doakan aja aku dapat jodoh di sana. Sesuai dengan kriteria kalian. Jadi udah gak punya beban hidup lagi. Pusing."
Janu meletakkan sendok dan garpu. Makanan sebanyak itu habis dilahap mereka dalam sekejap. Jadi tidak percuma jika tadi Sarah masak banyak.
"Jam berapa kamu berangkat?" tanya Anton mengganti topik pembicaraan.
"Ini mau siap-siap dulu. Mau mandi."
"Papa pamit sekalian. Mau ke kantor pagi-pagi."
"Hati-hati di jalan. Jangan lupa pamitan sama istrinya. Entar ngambeknya lama. Bahaya bagi kesejahteraan perut kita," canda Janu.
Tawa menggema di ruangan itu. Walaupun sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mereka saling memberikan perhatian. Keluarga yang hangat dengan banyak kasih sayang di dalamnya.
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments