Share

17. Menggebu-gebu

“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.

Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.

“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.

“Pelajaran apa ini?”

“Biologi, Danish!”

Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.

“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan terselip di antara kerutan hidung dan dahinya yang berlipat.

“Kanker pankreas!” jawabnya sambil menjentikkan jari dan tersenyum puas. “Akhirnya gue inget.”

“Kok kanker pankreas, sih?” Sayna setengah merengek, hampir ingin menyerah mengajari bocah besar di hadapannya ini. “Kejauhan banget anjir! Itu namanya sembelit, Danish! Sembelit! Ini pelajaran anak SD. Lo kalo susah boker emang langsung kepikiran kanker, hah? Lo seenggaknya nyari pepaya dulu, kan?”

Danish memiringkan kepala. “Buat apa pepaya?” tanyanya polos dan Sayna menepuk jidat untuk selanjutnya menjambak-jambak rambut sendiri. “Eh, Say... gue ini berdasarkan data yang valid kok. Kapan hari ya gue nonton film Korea sama mbak gue, terus itu anaknya susah boker dari kecil sampai jadi emak-emak, diperiksa ke dokter eh taunya kanker.”

“Ya ampun, Danish...” Sayna menelungkupkan wajahnya di atas meja, setengah geli, setengahnya lagi ingin menyerah. “Nish, itu kan film. Lagian sembelitnya dari kecil sampe gede ya pantes kalau kanker, nah ini kan gue nggak bilang gitu. Aduh, Tuhan... gue mesti gimana ngomong sama ini anak.”

“Say, tenang... rileks.”

“Tenang, tenang pala lo peyang! Gimana gue bisa tenang kalo yang gue ajarin model begini!” Sayna cepat-cepat menyedot es cokelat pesanannya tadi. Dia butuh sesuatu untuk menenangkan diri, Danish benar soal itu. “Nih, ya! Emangnya lo seumur-umur nggak pernah sembelit, hah? Kebanyakan makan duku sama biji-bijinya lo telen gitu kan pasti lo susah boker, kan?”

“Kayaknya pengalaman banget ya, Say.”

Danish tertawa, dia meletakkan pulpen yang dipegangnya sejak tadi untuk beralih memegang sedotan es cokelat Sayna dan ikut menyedot minuman itu. Danish minum sambil tersenyum dengan mata yang tidak lepas menatapnya. Membuat Sayna merinding saja. Orang bilang, minum dari sedotan yang sama artinya ciuman secara tidak langsung. Dan kalau dihitung-hitung, sudah berapa kali mereka melakukannya?

“Oke, Nish catat pertanyaan tadi sama jawabannya sekalian. Kita lanjut.” Sayna meneruskan dan Danish menurutinya dengan patuh.

Aduh, dia manis sekali, batin Sayna dalam hati. Susah memang menolak pesonanya, Danish anak yang baik sebenarnya, menggemaskan, dan rendah hati juga sangat tulus, sangat jujur. Kalau mengingat tentang hal yang diungkapkannya tadi, Sayna baru mengerti tentang betapa dalam luka yang dipendam pemuda pujaannya itu.

“Say?” panggilnya memergoki Sayna yang tengah melamun. “Kenapa?”

Sayna buru-buru menggeleng.

“Gue bakal ke psikolog seperti kata lo tadi, gue janji,” ujarnya tenang. “Gue juga mau luka batin itu sembuh, Say. Gue tahu pelampiasan gue salah, dan gue harus belajar memaafkan semuanya, termasuk diri gue sendiri. Gue memang merasa bersalah karena waktu itu nggak berdaya di depan mbak gue, gue masih kecil, belum bisa melawan. Tapi gue juga tahu kalau itu bukan salah gue, seperti kata lo tadi. Makasih udah ngebuka pikiran gue.”

Sayna mengangguk. Air matanya hampir jatuh lagi tiap mengingat potongan kisah yang Danish ceritakan tadi. Dia tidak sanggup membayangkan bocah berusia 7 tahun mendapat perlakuan seperti itu, tidak sanggup membayangkan luka sedalam apa yang dimiliki Danish menyaksikan kakak kandungnya dilecehkan oleh orang yang mereka sebut ayah.

Sayna tidak bisa membendung air matanya lebih lama, walau pembicaraan itu sudah berlalu dan mereka mengalihkannya pada hal-hal lain, terutama belajar.

“Say, gue udah nggak apa-apa,” ucap Danish sambil menenangkannya. Pindah dan duduk di sebelahnya, memegangi bahu Sayna, membantu menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.

“Andai... gue ada di sana... waktu itu...” Sayna terisak. “Gue pasti gebukin bapak sialan lo itu, Nish. Pasti. Nggak akan gue kasih ampun.”

Danish terkekeh dengan sebelah tangan menopang tubuh dan sebelahnya lagi menepuk-nepuk lengan Sayna. “Waktu itu juga umur lo masih 7 tahun kali.”

“Gue belajar beladiri dari kecil banget, Danish.” Sayna mengangkat wajahnya dan menyeka air mata segera. “Waktu itu gue pasti lebih jago dari lo.”

“Oh, ya?” Danish memiringkan kepala dan memasang ekspresi tidak percaya. “Terus kenapa lo nggak mau jadi atlit? Gabung klub taekwondo sekolah aja ogah, padahal lo jago banget sekarang.”

“Gue belajar beladiri disuruh ayah.”

“Karena ayah lo tentara? Jadi anak tentara harus bisa beladiri, ya?” Danish bertanya sambil mengusap-usap dagunya. “Padahal seharusnya sih nggak usah.”

“Kenapa?”

“Kan ada gue yang lindungin lo.”

Sayna tersenyum mendengar jawaban receh dan gombal yang dilontarkan oleh calon pacarnya itu. Kedengaran enteng sekali memang, tapi justru hal-hal sederhana seperti itu membuatnya melayang. Danish tidak menganggapnya laki-laki saja sudah bagus, mengingat bagaimana Sayna sering menghajarnya di arena taekwondo.

“Ayah gue bilang, gue harus bisa melindungi diri gue sendiri, karena orang yang paling gue andalkan sekalipun nggak bisa setiap saat ada di samping gue, atau selamanya bareng sama gue.” Danish diam dan mengerjap mendengar Sayna bicara. Masih dengan posisi miring menghadapnya dan sebelah tangan bertumpu di atas meja.

“Bilang makasih ke ayah lo karena udah mempersiapkan anak ceweknya jadi setangguh ini pas ketemu gue.” Dia tersenyum. “Semoga gue layak buat lo kelak.”

Sayna bersemu, ada rasa panas menjalar dari pipi ke telinganya, bahkan mungkin dia bisa merebus telur di area itu. Danish memang suka menggombal, tapi tidak dengan kalimat seperti ini.

“Layak juga kalau nggak jodoh susah sih, Nish. Balik lagi ke takdir.” Sayna mengalihkan topik.

“Oh, gampang!” Danish menjentikkan jari. “Gue tinggal berdoa sama Tuhan, kayak gini nih, ehem...” Dia berdeham dan menengadahkan dua tangan di udara lalu memejamkan mata. “Ya Tuhan, kalau dia bukan jodohku, maka hapuskanlah kata bukan dari dunia ini. Aamiin!”

Sayna tergelak, Danish meliriknya dengan mata terpicing sebelah masih dengan posisi berdoa dan Sayna harus bekerja keras menurunkan tangan pemuda itu agar berhenti menarik perhatian pengunjung lain. Ingat saja kalau mereka masih di kafe hingga saat ini.

“Nih, gue punya pisang.” Danish menjulurkan tangan untuk mengambil tasnya dan mengeluarkan 2 buah pisang Cavendish dari dalam sana. “Kata nyokap gue, pas mood kita jelek, selain cokelat sama es krim, pisang juga bisa bantu lho. Biar lo nggak sedih lagi.”

“Lo bawa pisang ke sekolah?” Sayna terperangah sambil menerima dua buah pisang itu dengan tangannya. “Eh, maksudnya... lo suka pisang?”

“Gue lebih suka nanas, sih. Tapi kata Angga jangan makan nanas banyak-banyak, ntar gue keguguran.”

Sayna terkikik geli. “Dan lo percaya ke Angga?”

Danish mengangguk meski tampak ragu pada awalnya. “Angga kan pinter, pasti pengetahuan dia lebih luas.”

“Sumpah, ya.” Sayna tertawa lepas, rasanya baru kali ini dia bisa tertawa sampai kulit perutnya nyeri dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Sejak pertama kali bertemu Danish di tempat ini, tidak terhitung berapa kali jantungnya berganti irama, berdoa saja semoga tidak ada gangguan kesehatan jantung di masa depan.

Danish membuatnya kesal, sedih, lalu terkesan dan melayang kemudian membuat Sayna tertawa kencang. Apa sih rahasianya? Apa yang membuat Danish jadi orang se-menarik ini? Ngidam apa ibunya dulu saat Danish dalam kandungan?

“Nish, ini isi kepala lo kalau bukan slime pasti pepes tahu,” ucap Sayna sambil mengetuk-ngetuk kepala, mengelus-elus rambut pemuda itu dan merapikan helaiannya yang agak berantakan.

“Duh, itu rahang enteng amat.” Danish memegangi tangan Sayna dan membuatnya berhenti memainkan rambut. Tawa mereka meledak dengan Sayna yang mencubit hidung pemuda di hadapannya itu sampai merah. Hidungnya bagus sekali ya, Tuhan... demi apa pun itu. Mancung dan ramping, proporsional, bahkan lubang hidungnya saja indah. Sayna rela jadi upil demi bisa mendiami hidung Danish yang sempurna.

“Udah nih makan pisangnya, nanti kita belajar lagi.”

“Iya.” Sayna mengangguk patuh dan mulai memakan buah yang dibawa calon pacarnya itu. “Nish, kalau gue pesen makan lagi boleh?”

“Boleh.” Danish mengangguk. “Gue juga jadi lapar lagi, mungkin karena belajar terlalu keras jadi energi gue terkuras.”

“Bacot.” Sayna tertawa seraya melempar cangkang pisang ke arahnya dan Danish terbiasa sigap, menangkap itu dengan mudah. “Makasih pisangnya, tapi gue belum kenyang.” Gadis itu memanyunkan bibir sambil memegangi dagunya. “Kata nyokap gue pisang yang enak itu bukan yang mulus gini, Nish. Justru yang ada warna cokelat-cokelatnya.”

“Beneran?” tanyanya tak langsung percaya.

“Iya, beneran. Lebih manis.” 

“Masa sih? Kok lo nggak ada cokelat-cokelatnya tapi tetep manis? Manis banget malah.”

ªªª

ªªª

Seporsi nasi goreng spesial Crematology, satu piring daging bertabur tomat yang mereka sebut Podomoro, serta tambahan es cokelat terhidang di sisi dua cangkir kopi menggantikan piring waffle dan spaghetti carbonara yang sudah kosong. Ini untuk kali kedua Danish dan Sayna memesan menu makanan di tempat tersebut. Dan setelah menghabiskan makanan yang sebelumnya, mereka kembali kelaparan akibat belajar dan mengajar terlalu keras.

“Jadi habis ini kita pulang. Nanti gue atur hari apa lagi kita belajar. Yang jelas H-1 ulangan sih wajib ya, Nish. Kita kuasai materi yang mau diuji dan ngulas soal-soal kayak tadi.”

Danish mengangguk-angguk saja berhubung mulutnya penuh daging, dia juga berhenti memotong daging di piring saat Sayna mencicipi menu itu dengan garpunya sendiri lalu menyuap potongan daging itu dengan santai.

“Hm... enak, gue mau lagi,” ujarnya dan Danish dengan senang hati berbagi. Mereka makan sepiring berdua, duduk bersebelahan, seperti sejoli dalam lagu dangdut tahun 90-an. “Gue ke toilet sebentar.”

“Iya.” Danish mengangguk. “Boleh pinjem hape lo, nggak?”

“Buat apa?” Sayna mengernyitkan hidung.

“Buat buka kalkulator.”

“Dih, gue bayar sendiri kali, Nish!”

Danish terkekeh iseng saat gadis itu meninggalkannya dengan ponsel bergambar kelinci pink dibalut case warna senada. Dan diam-diam Danish membuka ponselnya, mencari keberadaan kontaknya sendiri lalu merengut saat mendapati namanya ditulis sangat formal.

Danish Adiswara 2 IPA 3

Gila. Memang ada Danish mana lagi di dunia ini? Apa perlu menulis kontaknya dengan nama sepanjang itu? Selengkap itu? Bahkan di SMA Nyusu saja tidak ada dua Danish, buat apa repot-repot menuliskan identitas kelasnya, kan?

Dengan penuh tekad, Danish mengganti kontaknya sendiri di ponsel Sayna menjadi Calon Pacar aka Danish ganteng. Lalu tertawa cekikian sendirian.

“Eh, ini nama juga nggak kalah panjang,” gumamnya sendiri dan tertawa lagi.

Dengan rasa percaya diri yang tidak terprediksi, Danish berniat memotret dirinya sendiri di ponsel Sayna tepat di hari pertama mereka kencan alias hari ini, karena di ponselnya sendiri sudah ada beberapa foto Sayna yang dia ambil diam-diam sejak tadi.

“Gue mau bikin folder deh, Danish ganteng,” ucapnya lagi setelah berhasil mengabadikan wajah gantengnya dengan kamera ponsel Sayna.

Namun saat dia menulis nama folder itu, entah kenapa terjadi sesuatu yang aneh. Ponsel Sayna malah membawanya untuk membuka folder lain dengan nama yang mirip, lalu hanya seperempat detik setelahnya, Danish melihat banyak sekali foto-foto hasil screenshot berterbaran di sana. Dan semua yang ada di sana adalah Danish sendiri.

Sayna memiliki banyak sekali foto Danish di ponselnya.

“Wah...” Danish sampai gemetar sambil menurunkan layar ke bawah dan masih mendapati foto-fotonya sendiri hingga akhir. Dan dilihat dari tanggal pertama kali Sayna mendapatkannya, itu sudah sangat lama. Sayna... memiliki foto Danish sejak lama.

Sesuatu di dalam dadanya berdesir hangat. Tapi mengingat bagaimana Sayna bersikap selama ini, rasanya hampir mustahil dia melakukan itu semua. Sayna seperti orang yang tidak Danish kenal, Sayna selalu galak, tidak ramah, dan kadang terlihat membencinya.

“Lo buka gallery hape gue!” serobot gadis itu tiba-tiba. Ponsel di tangan Danish berpindah tangan, dan gadis di hadapannya berdiri menjulang dengan wajah merah serta napas terengah. “Nggak sopan, Danish!”

“Sori,” jawab Danish buru-buru sambil menahan tangan gadis itu. Memasang ekspresi memelas ala anak anjing andalannya. “Gue nggak sengaja, kebuka gitu aja.”

“Katanya mau minjem kalkulator doang, mana bisa nyasar ke gallery!” Sayna tampak murka dan... malu.

“Gue bercanda kali, Say. Sori, ya? Yuk, pulang sekarang. Gue anggap tadi nggak ngeliat apa-apa kok.”

“Hah?” Sayna menghempaskan tangannya. “Gimana bisa lo memutuskan buat pura-pura nggak liat apa-apa? Kan lo udah lihat semua!” Sayna terengah. “Lo nyepelein perasaan gue, iya? Karena lo tahu banyak cewek yang bertingkah kayak gitu dan ngebucinin lo diam-diam. Iya, kan?”

Danish melongo dan matanya mengerjap memandangi Sayna. Ya Tuhan... Danish tidak minta apa-apa sekarang, hanya berikan saja dia akal sehat agar bisa berpikir panjang sebelum menjawab pertanyaan Sayna.

“Gu...gue takut lo malu,” jawab Danish pelan dan bingung. Dia benar-benar bingung, jelas hatinya senang tapi kalau Sayna tidak nyaman, mana mungkin Danish merasa senang di atas ketidaknyamanan gadis itu, kan?

Dan jujur saja separuh dari dirinya masih tidak percaya Sayna melakukan itu. Menyukainya sejak dulu, sebanyak itu.

“Kata siapa gue malu?” Sayna mendelik dan duduk lagi di tempatnya tadi sambil berdeham, mengusir keanehan yang tengah menyelimuti. “Oke, gue malu,” akunya sambil menundukkan wajah. “Tapi nggak apa-apa, lagian lo udah tahu kalau gue suka sama lo. Jadi ya udah lah. Terus lo juga habis kasih tahu rahasia besar ke gue tadi, anggap ini sebagai gantinya. Gue juga ngasih tahu lo rahasia yang sama besar dengan rahasia yang lo punya.”

Danish memerah. Kenapa sih Sayna suka membuat jantungnya repot sekali? Saking speechless dan berbunga-bunga, Danish bahkan bisa melihat perubahan rona di ujung hidungnya sendiri. Dan saat ini dadanya berdebar keras sekali, seperti ada yang menabuh bedug saat malam takbir.

“Gu...gue sebenarnya...” Danish memotong di tengah dan berdeham lalu menundukkan wajah. “Suka sama lo dari lama,” ujarnya pelan. “Dari pertama ketemu, 3 tahun lalu. Gue... sering sengaja jajanin anak-anak biar bisa ngasih lo Teh Kotak. Gue...” Danish menggaruk kepala dan mengangkat wajahnya.

Sayna tengah merona merah. Mereka berdua merasakan hal yang sama sejak lama. Tapi butuh waktu 3 tahun untuk saling bicara, saling mengaku, saling tahu bahwa keduanya sama-sama suka.

“Pulang, yuk!” ajak Sayna pada akhirnya, sebab tidak ada yang berani angkat suara setelah saling tahu rahasia keduanya.

Danish mengangguk. Dia buru-buru menyambar tas dan berjalan di belakang Sayna setelah membayar makanan. Anehnya mereka berdua menjadi canggung, apalagi saat Danish menyerahkan helm dan jaket pada Sayna. Jari mereka sempat bersentuhan, tapi kali ini ada sensasi seperti listrik yang menyengat, padahal tadi tidak apa-apa.

 “Gue ada dua kata buat lo.” Danish kembali menolehkan kepala saat sudah duduk di jok motornya.

“Apa?”

“Gue sayang lo.”

Sayna mendekatkan wajah hingga dagunya menyentuh bahu Danish dan jarak wajah mereka hanya beberapa centimeter saja. “Bukannya itu tiga?”

“Dua, kan lo sama guenya jadi satu.”

“Apa sih, Danish?”

Sayna menyentuhkan ujung hidungnya ke wajah Danish lalu tertawa sangat renyah seperti orang sedang makan keripik kentang. Dan di sisi yang lain, kaki Danish gemetar seperti agar-agar swalow empat ribuan. Dia segera memalingkan wajah dan mencoba fokus berkendara.

“Yuk, jalan!” ajak Sayna untuk kali ke sekian. “Michi anterin mama pulang, ya. Nanti dikasih ciuman hangat dari sepatu baru yang hari ini mama pakai.”

Danish mengulum senyum sementara gadisnya mengoceh sendirian, lalu dia mundur untuk keluar dari portal parkiran, tapi tiba-tiba tangan Sayna menyelip ke dalam saku jaketnya dan Danish mendadak diam.

“Nish, sori. Itu tadi refleks, gue kayak gitu kalau naik motor sama ayah.” Gadis itu buru-buru menarik tangan dari sakunya.

Danish tahu, sangat tahu akan kebiasaan itu. Danish menghafalnya di luar kepala, padahal dia anak yang pelupa. “Nggak apa-apa kali, Say. Biar anget juga, kan?”

Sayna mendekatkan kepala hingga helm di kepala mereka beradu. “Beneran nggak apa-apa?”

Danish menyengir malu. “Nggak apa-apa,” jawabnya tanpa ragu.

“Oh, ya udah kalau gitu.”

Dan di sore hari menjelang malam itu, Danish bersama Sayna berboncengan untuk kali kedua dengan perasaan yang sama sekali baru. Dengan hasrat ingin memiliki yang makin menggebu, dengan senyum Danish yang sangat lebar sampai pipinya pegal dan dia berencana akan minum jamu pegal linu, juga Sayna yang aman duduk di jok belakang dengan tangan masuk ke dalam saku.

Danish merasa, semua mimpi jangka pendeknya terwujud sore itu.

ªªª

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ini sama2 gengsi, tapi lucuk wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status