(21+) Bijak dalam memilih bacaan yang bestie.. “Aku ingin kau membuat keluarga Wijaya rugi besar dan datang merangkak ke hadapanku." Perintahnya pada Max. "Ada apa, tuan? Memangnya apa lagi kesalahan yang dibuat oleh keluarga Wijaya?" tanya Max bingung secara menghilangnya Maria sudah digantikan oleh Gilea. Sejak saat itu, keluarga Wijaya sangat berhati-hati dalam bertindak. Bahkan untuk bertanya bagaimana kabar putri mereka - Gilea, mereka tidak pernah karena takut menyinggung perasaan Bumi. Gilea benar-benar dilemparkan begitu saja, tanpa pernah ditanya apakah pernikahannya dan Bumi berjalan baik. "Kau lakukan saja. Pastikan dalam tiga hari ini keluarga Wijaya jatuh. Karena aku butuh desakan dari ayah mertua ku untuk mendorong istriku menandatangi sesuatu." Ujar dengan senyum licik yang terpampang jelas di wajahnya. Namun satu hal yang Bumi tak sadari, dia telah mengakui hubungan pernikahannya dengan Gilea secara tidak langsung di depan Max. *** Gilea tak pernah menyangka bahwa hidupnya yang tenang berubah menjadi neraka saat ia dipaksa menikahi Nathan Aldian Bumi Wicaksono, presdir muda yang terkenal dingin, kejam, dan memiliki reputasi sebagai pria yang tak mengenal cinta. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan sebagai pengganti kakaknya yang kabur di hari pernikahan. Di mata Bumi, Gilea hanyalah wanita murahan yang bersedia naik ke atas ranjangnya demi uang. Gilea ingin lari. Ingin melepaskan diri dari jerat ini. Tapi setiap langkah mundur justru menyeretnya lebih dalam. Ia bahkan menyadari sesuatu yang tersembunyi di balik topeng dingin dan kesombongan sang presdir. Dan ketika emosi, hasrat, serta kepingan-kepingan luka yang ia coba abaikan mulai menjerat hatinya, Gilea tersadar bahwa dia mulai terjatuh dalam pesona Bumi.
View More“Paksa dia masuk ke kamar! Apa pun yang terjadi, Gilea yang akan menikah hari ini!” Suara tajam Maghdalena-Ibu Gilea meledak di ruangan itu, menyambar telinga Gilea bagaikan petir.
Tubuh Gilea membeku di tengah-tengah ruang keluarga yang dipenuhi ketegangan. Gaun pengantin putih yang belum selesai dijahit sempurna menggantung longgar di tubuhnya, seolah menggambarkan bagaimana hatinya yang hancur tak mampu menopang dirinya lagi.
“Mi, Gilea mohon! Jangan lakukan ini pada Gilea!” isak Gilea, memegang tangan ibunya dengan erat.
“Gilea tidak mengenalnya, Mi! Gilea bahkan tidak tahu siapa dia! Kenapa Gilea harus menikah dengan pria asing itu?” derai air mata berjatuhan mengiringi suaranya yang gemetar.
Maghdalena menepis tangan Gilea dengan kasar, tatapannya tajam, menusuk hingga ke tulang.
"Maria kabur, Gilea!" Suaranya bergetar, penuh amarah. "Apa salahnya kalau kali ini kamu yang berkorban?! Jangan cuma jadi beban keluarga!"
Gilea mundur setengah langkah, napasnya tercekat.
"Asal kamu tahu Gilea! Mami dan Papi juga tidak punya pilihan lain! Kalau pernikahan ini sampai batal, kita hancur!" cecar Maghdalena mendekat, semakin menyudutkan Gilea. "Apa kamu tega melihat Mami dan Papi dihina?! Dimaki?! Apa kamu tega, Gilea?!"
Kata-kata itu menghujam tanpa belas kasih ke dalam hati Gilea, menggiringnya menuju sebuah kesimpulan sepihak—kehancuran keluarga Wijaya adalah mutlak kesalahannya.
Gilea mengalihkan pandangannya menutupi pilu hati yang terus menghujam yang membuat air mata tak henti mengalir di pipinya. Semua dorongan untuk membantah perkataan sang ibu, hanya bisa tertahan di dalam ujung lidah Gilea yang terasa kelu.
"Kamu jangan lupa Gilea! Kalau bukan karena putriku Maria, kamu sudah lama mati! Maria sudah menyumbangkan satu ginjalnya untukmu.” Ujarnya lagi, dengan tatapan penuh tuntutan.
"Mi, Gilea sangat berterima kasih dengan kak Maria. Gilea sangat menghargai apa yang kak Maria lakukan. Tapi menikah? Ini bukan hal kecil, Mi.. Gilea mohon, tolong jangan paksa Gilea." Mohon Gilea dengan sangat.
"Ooh, jadi hidup dengan satu ginjal adalah hal kecil? Iya?! Begitu maksudmu? Dasar anak tidak tahu diuntung!! Kamu tidak ada bedanya dengan mendiang ibumu yang pelacur itu, Gilea!" Cecar Maghdalena, yang dengan gongnya membawa-bawa mendiang ibu Gilea dalam pembicaraan ini.
Tangan Gilea mengepal. Bergetar kuat menahan emosi yang tiba-tiba tersulut karena satu kalimat celaan yang dilontarkan oleh Maghdalena.
"Mami boleh maki Gilea, tapi jangan bawa mendiang ibu Gilea." ucap Gilea dengan suara yang bergetar hebat. “Dia-“ ucap Gilea terputus karena auman sang ayah yang menyela perkataannya.
"Gilea cukup!!" Adi yang sedari tadi duduk diam dengan wajah keras dan ekspresi dingin, akhirnya angkat bicara.
“Berapa kali papi katakan padamu! Kamu tidak boleh membantah kata-kata Mami mu!! Sekarang papi tidak ingin mendengar perdebatan lagi! Entah kamu suka ataupun tidak, pernikahan ini tetap akan terjadi. Bumi sudah menunggu di altar dan kita tidak akan membiarkan keluarga kita dipermalukan hanya karena perasaan mu yang tidak penting itu.” Ujar sang ayah tanpa melihat sedikitpun ke arah Gilea.
Seketika itu juga, Gilea merasa lututnya melemas. Nafasnya terasa berat. Seolah saat ini dadanya dihimpit beban berat yang tak terlihat.
Gilea memandang kedua orang tuanya dengan tatapan yang penuh luka.
“Pi, Gilea ini anak Papi. Teganya papi menjual Gilea hari ini." Ucap Gilea lirih, suaranya nyaris tidak terdengar.
Maghdalena yang sedari awal memang tidak peduli dengan apa yang Gilea rasakan, sama sekali tidak terenyuh dengan kata-kata azimat yang Gilea lontarkan. Dengan wajah cuek, dia memilih tidak menjawab, dan hanya menatap Gilea dengan tatapan dingin.
Sedangkan Adi Wijaya- ayah Gilea, tidak ada bedanya dengan sang istri. Seolah semua permasalahan telah selesai, dengan tanpa beban dia menepuk bahu istrinya sebelum melontarkan kata-kata terakhirnya. “Persiapkan Gilea, sayang. Dia akan menikah dalam satu jam. Kamu juga jangan lupa untuk bersiap-siap."
***
Dunia berputar terlalu cepat. Dalam sekejap, Gilea sudah berdiri di altar dengan jantung berdegup kencang, seolah siap untuk meledak kapan saja.
Ingin lari? Mustahil. Kaki Gilea bagai tertanam di lantai marmer yang beku. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya adalah bertahan—menghadapi pria di hadapannya yang memandangnya dengan tatapan dingin penuh kebencian.
Jemari Gilea yang dingin menggenggam erat buket bunga di tangannya, tetapi sayangnya hal tersebut tidak mampu mengurangi rasa takut yang mencengkram hatinya.
Di depan Gilea saat ini, Nathan Aldian Bumi Wicaksono, pria asing yang akan menjadi suaminya, berdiri dengan wajah gelap dan mata yang menatapnya tajam.
“Ini istrimu, Bumi,” pendeta itu berkata, suaranya penuh formalitas.
Bumi diam, membuat udara semakin menusuk. Bahkan kebisuan Bumi membuat Gilea bisa merasakan kebencian yang memancar darinya, begitu jelas, begitu nyata.
Gilea hanya bisa menelan perlahan salivanya. Sungguh! Ketegangan di udara terasa begitu tebal baginya, hingga membuatnya hampir tidak bisa bernapas rasanya.
“Jadi ini rencana keluargamu?” Bumi akhirnya bersuara, suaranya serendah salju yang jatuh, tapi setiap kata terasa seperti pisau.
Gilea menunduk, bibirnya tergigit kuat hingga nyaris berdarah. “M-maaf… Kami tidak menyangka semuanya akan begini,” bisiknya, suaranya hampir hilang tertiup angin dingin.
“Tidak menyangka?” Ucap Bumi menggantung, kemudian menyeringai, napasnya mengembun di udara yang beku. “Jangan berpura-pura bodoh. Kau tahu persis apa yang terjadi.”
Gilea tersentak dan hendak membela dirinya. Namun sebelum ia bisa memberikan pembelaan, pendeta kembali mendekat, melanjutkan ritual yang tak diinginkan keduanya.
“Gilea Wijaya, apakah kau menerima Nathan Aldian Bumi Wicaksono sebagai suamimu yang sah?”
Gilea menutup mata, udara yang ia hirup terasa membeku di paru-parunya. Suara ibunya bergema dalam benak: "Kalau kau menolak, keluarga kita hancur. Berkorbanlah!"
“Ya… saya terima,” jawabnya, dengan hati yang hancur.
Bumi mengernyit, lalu mengucapkan sumpah pernikahan dengan nada datar—setiap kata bagaikan paku yang menancap di peti mati yang dipersiapkan bagi Gilea. Bahkan saat cincin bertahta berlian itu melingkar di jarinya, Gilea tahu: ini bukan akhir, tapi awal neraka di hidupnya.
“Jangan pernah menyesali pernikahan ini, Gilea Wijaya.” Bisik Bumi kemudian mencium Gilea di hadapan pendeta.
Semua berjalan seperti biasanya di keesokan harinya. Saat Gilea akan pulang, .Klik. Klak. Klik.Suara heels Gilea berdetak tak beraturan di atas karpet tebal, sebuah irama nervous yang memecah kesunyian ruang kerjanya yang nyaris kosong. Senja mulai merayap, melukis dinding dengan warna jingga dan ungu yang seharusnya menenangkan, tapi hari ini hanya terasa seperti pertanda akan datangnya kegelapan.Lalu, sebuah suara mengiris keheningan itu. Ding.Sebuah email.Subjeknya menyala seperti neon sign di kegelapan: "URGENT: Revisi Anggaran Final - Perubahan Parameter Vendor".Kata "URGENT" itu terasa seperti pukulan ke ulu hatinya. Jantung yang baru saja tenang langsung berdebar kencang, memompa adrenalin yang membuat ujung jarinya terasa dingin.Dia membukanya. Setiap kata dalam email itu terasa seperti jarum es, menusuk-nusuk kelegaan yang baru saja dia rasakan. Itu datang dari Procurement. Tersalin untuk Natasha. Semuanya terlihat sah, sempurna. Tidak mungkin ini sebuah perangkap. Kar
Ruangan Natasha adalah sebuah benteng. Dindingnya yang kedap suara menelan setiap getaran suara, dan tirai-tirai tebal menutupi jendela, menyembunyikan aktivitas di dalamnya dari dunia luar. Di dalamnya, udara terasa pengap, berbau parfum mahal yang bercampur dengan aroma kopi pahit dan ambisi yang tak terucapkan."Jadi, bagaimana permainan kita berjalan?" Natasha tidak perlu menyebut nama. Suaranya rendah, halus seperti sutra yang diiris, ditujukan kepada sosok yang duduk di hadapannya—seseorang dengan wajah yang sengaja dibuat biasa, mudah terlupakan di antara kerumunan karyawan."Tidak begitu baik, nona," jawab orang itu, jari-jarinya tak henti memutar-mutar gelas kertas di tangannya. "Rani mulai kehilangan duri. Dan ada juga orang yang tadinya suka pada si ratu, kini mulai mendengarkan karena merasa diberikan apresiasi olehnya. Tapi proyek itu sendiri... sebenarnya macet di sana-sini. Prosedur procurement sengaja aku perpanjang, persetujuan sengaja aku buat sulit dengan jalan yang
Ketenangan yang menyelimuti mereka terasa seperti sebuah dunia baru. Di bawah selimut lembut, dengan tubuh masih terjerat, Gilea merasakan sebuah kelegaan dan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sejak memimpin tim baru itu. Bumi membelai punggungnya dengan gerakan lambat dan menenangkan.“Aku tadi melihat semuanya,” bisik Bumi akhirnya, memecahkan keheningan yang nyaman. “Apa yang kau lakukan tadi sungguh mengesankan. Kau luar biasa.”Gilea mendekatkan kepalanya ke dada Bumi, mendengarkan detak jantungnya yang masih berdebar pelan. “Aku tidak bisa membiarkannya. Aku tahu bagaimana rasanya.”"Mungkin ingatan ku saat bersamamu telah hilang, tapi semua ingatan saat aku masih tinggal bersama keluarga ayahku, aku masih ingat semuanya. Hm,- kecuali ingatan saat aku usia enam atau tujuh tahun. Aku mengalami sebuah kecelakaan. Kata ibu tiriku, ginjal ku rusak akibat kecelakaan itu dan kak Maria memberikan ginjalnya untukku. Sejak itu aku selalu dibayangi oleh rasa beban 1 ginjal yang diber
Dunia menyempit hingga hanya ada ruang yang mereka bagi di atas sofa kulit yang lembut itu. Desahan dan napas yang berat adalah satu-satunya suara yang mengisi keheningan rumah kaca, diselingi gemerisik daun yang seolah berbisik menikmati pemandangan mesra ini.Bumi menahannya, tubuhnya menindih dengan sempurna namun tidak menindas. Seluruh beratnya ditopang oleh lengan dan lututnya, memberikan Gilea ruang untuk bernapas, untuk merasakan. Dia adalah sebuah kuil dan Bumi adalah penyembahnya yang paling setia."Aku mencintaimu," bisiknya lagi, seolah kata-kata pertama tadi belum cukup. Kali ini, diucapkan dengan keyakinan penuh, sebuah fakta yang tak terbantahkan yang menggema di antara mereka.Bibir mereka bertemu kembali, tetapi ini bukan lagi tentang nafsu yang membara. Ini tentang pengakuan. Setiap sentuhan lidah adalah sebuah sumpah, setiap hisapan lembut pada bibir bawah adalah sebuah janji. Bumi mencintainya, dan dia menunjukkan itu dengan setiap fiber keberadaannya.Tangannya, y
Gilea berdiri sendirian di koridor yang sepi, masih merasakan debaran jantungnya yang kencang usai membela Rani. Kelegaan dan kekuatan baru itu bercampur dengan sisa-sisa emosi yang belum sepenuhnya mereda. Dia butuh satu menit untuk sendiri, menarik napas dalam-dalam sebelum kembali menghadapi kenyataan ruang kerjanya yang penuh tekanan halus.Dia berjalan menuju pantry untuk mengambil air, pikirannya masih diselimuti oleh kejadian tadi. Saat sedang asyik terbenam dalam pikirannya, tiba-tiba sepasang lengan kuat menyergapnya dari belakang, menariknya dengan lembut namun pasti ke sebuah relung tersembunyi di antara rak arsip.Gilea nyaris berteriak, jantungnya nyaris melompat keluar dari dadanya. Namun, sebelum panic-nya memuncak, sebuah aroma familiar menyergap indranya—wangian kayu yang hangat dan maskulin, campuran parfum mahal dan esensi yang sangat melekat pada satu orang saja."Bee," desisnya, tubuhnya yang sempat tegang langsung melemas, bersandar pada dada di belakangnya. "Kau
Minggu berlalu, dan tekanan justru semakin menjadi. Perlawanan pasif timnya berubah menjadi lebih nyata, lebih personal. Setiap permintaan Gilea dijawab dengan sikap masam atau olok-olok terselubung.Suatu siang, Gilea meminta update progress kepada Danar untuk kesekian kalinya. Alih-alih menjawab, Danar malah melirik ke Rani dan berkata dengan suara cukup keras agar Gilea mendengar, "Waduh, dikira kita ini robot ya? Cuma dia yang punya kerjaan."Dan Rani meresponnya dengan dengus kecil, tanda setuju.Lain Danar, lain Rani - lain lagi Anton. Anton bahkan berani membantah langsung di depan semua orang dalam sebuah rapat kecil."Ide anda sangat tidak realistis. Di lapangan, hal seperti ini tidak akan jalan," ujarnya dengan pedas, tanpa memberikan solusi alternatif.Tapi jangan pikir hanya tiga orang ini saja yang berulah. Nina, si pemberi senyuman yang paling manis, justru yang paling jahat. Dia "lupa" menginformasikan perubahan jadwal meeting penting kepada Gilea, membuatnya telat dan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments