Share

16. Luka dan Pelampiasan

Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.

Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.

Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran dari bagasi, melirik jam di ponsel, masih belum jam 4 sore seperti waktu janjian mereka. Namun dari luar bangunan pun Danish sudah bisa melihat gadisnya duduk di dalam sana.

“Hai, Say...” sapanya sembari menyimpan tas di kursi kosong dan duduk di hadapan gadis itu. “Gue boleh pesen minum duluan, nggak?”

Sayna mendongak tanpa suara, tidak menjawabnya tapi menyodorkan sebotol air mineral baru yang belum dibuka. Dan Danish seperti musafir di padang pasir yang mendambakan air langsung menghabiskan isi botol itu dalam beberapa detik. Membuat Sayna di hadapannya tercengang.

“Habis nguli?” tanyanya sarkas.

“Maaf, Say.” Danish terengah untuk sesaat, sebotol air belum cukup untuk menuntaskan dahaganya. “Gue bilang harus melakukan hal terakhir sebelum benar-benar keluar dari sana.”

Sayna menatapnya lalu mengerjap, dia mengangguk samar dengan senyuman miris penuh paksaan di bibirnya. “Sejujurnya gue muak banget,” ujar gadis itu pelan. “Gue udah siasati dengan bikin janji hari ini, tapi lo tetap aja bisa lolos dan pergi sama orang-orang itu.”

Ah, ternyata ajakan belajar bersama hari ini hanya siasatnya? Agar Danish tidak pergi ke mana-mana? “Ini yang terakhir, Say. Gue janji.” Danish meyakinkan gadis itu. “Gue butuh waktu buat berhenti dari semua hal yang lo larang, dan gue berani sumpah kalau ini benar-benar yang terakhir.”

Sayna melotot, tapi tangan gadis itu bergerak pelan memegang tangannya, mengusap luka yang terukir di sana—yang untungnya sudah Danish bersihkan, meski saat ini tidak berbalut plester atau perban.

“Apa pun alasan yang gue bilang saat ngelarang lo ngelakuin hal-hal itu, sebenarnya yang paling kuat cuma karena gue takut.” Gadis itu menarik tangan Danish dan memperhatikan lukanya dengan seksama. “Gue khawatir, Nish. Gue takut lo luka, kayak gini,” ujarnya sambil mengelus luka di punggung tangan Danish dengan ibu jari.

Itu bahkan hanya luka kecil, mungkin Sayna lupa bagaimana ngilunya tulang-tulang Danish saat mereka berduel di tempat latihan taekwondo.

“Pesen makan sama minum dulu, nanti gue obati.” Sayna melepas tangannya dan menyodorkan buku menu.

Danish tidak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata gadis itu, dia memindai menu makanan dan memilih spaghetti Carbonara sebagai asupan tambahan setelah kehilangan banyak energi di arena tawuran. Di hadapannya, Sayna merapikan buku-buku yang terbuka lalu menyingkirkannya ke samping, dan menarik tangan Danish untuk kali kedua.

Mengambil sebuah pouch dari dalam tas yang ternyata wadah P3K. Danish membiarkan gadis itu melakukan apa saja pada luka-luka yang terbentuk akibat bergesekan dengan gigi Agung barusan, matanya menatap Sayna, tapi gadis itu memelototinya segera.

“Nggak usah lihat-lihat gue, lihat ke tempat lain,” katanya galak.

Dan dengan begitu pula mata Danish menyapu tempat yang mereka datangi sore itu. Dia baru sadar kalau Crematology benar-benar tempat yang keren, spacious, ada kursi berkayu di sudut lain sementara saat ini Danish dan Sayna menempati area sofa di ujung yang strategis, tidak terlalu ramai serta dekat dengan colokan. Colokan, wifi kencang, dan tempat yang nyaman adalah surga.

“Lo suka kopi?” tanya Sayna yang masih sibuk mengoleskan sesuatu di atas luka Danish dan meniup-niupnya pelan, membuat Danish merinding sekujur badan.

“Kopi, ya? Nggak terlalu sih, tapi berhubung gue anak kekini—”

“Di sini kopinya enak,” potong Sayna cepat, dia mengoles salep luka di tangan Danish menggunakan cotton buds, tatapannya hanya terfokus pada luka-luka itu. Seolah jika dia beralih sebentar saja, maka luka di tangan Danish akan kabur. “Atau lo suka cokelat? Cokelat di sini juga enak,” terangnya lagi.

“Gue sukanya elo, Say.” Danish menarik sudut bibir kala gadis pujaannya mengangkat wajah dan menghempaskan peralatan P3K yang tengah dia pegang.

“Ambyar gue,” ujarnya sebal. “Lo tahu nggak sih? Gue nih pengen jadi dokter, barusan gue lagi memberi pertolongan pertama ke pasien yang luka, dan berhubung kena salep di luka luar itu perih, gue ngasih lo peralihan. Tapi lo jawabnya gitu, ambyar gue! Gagal gue jadi dokter hari ini.”

Danish meledakkan tawa yang disambut Sayna dengan senyum di bibir walau gadis itu membuat pose tak acuh dengan tangan terlipat di dada. Sayna sudah tidak marah, Danish bisa mencium bau perdamaian di udara.

“Lo tahu, nggak? Kalau gue meneruskan karier gue di Konoha sebagai Hokage dan panglima perang, lo bisa banget gue rekrut buat jadi tim medis kita. Biar real tuh main dokter-dokterannya.” Danish terkekeh iseng. “Banyak anak yang luka habis tawuran, apalagi hari ini.”

Danish kira, Sayna akan marah atau mengomelinya karena membuat lelucon seperti itu, tapi ternyata tidak, dia justru menatap Danish serius. “Sekarang mereka di mana?” tanya Sayna pelan.

Obrolan mereka tertahan saat pesanan makanan datang ke meja. Seporsi Carbonara, es cokelat, waffle dan dua botol air mineral terhidang. “Tambah latte sama capuccino ya, Mas.” Sayna menginformasikan pesanan tambahan pada waitress yang mampir ke meja mereka.

“Say,” panggil Danish saat mereka kembali berduaan. “Lo nggak serius kan nanyain hal barusan?”

Gadis itu tertawa sumbang. “Serius lah, biar gimana juga yang luka temen-temen sekolah gue,” ujarnya. “Tapi gue nggak bilang bakal ke sana dan ngobatin mereka, ya.”

Danish mendecih, benar dugaannya bahwa Sayna tidak akan sebaik dan sesimpati itu pada anak-anak badung yang terluka karena habis tawuran seperti mereka. Paling dia berkata, siapa suruh ngelakuin hal nggak guna? Tahu rasa! Dan berlalu setelahnya.

“Ya, lagian mereka luka juga dibuat sendiri kok, ngapain diobatin, kan?”

“Barusan lo gue obatin,” jawabnya santai sambil menyuap sepotong kecil waffle ke mulutnya. “Bagi medis, nggak penting itu orang lukanya disebabkan sama apa, entah sengaja atau enggak, tugasnya cuma mengobati, tanpa menghakimi.”

“Kalau gitu lo mau ngobatin anak-anak lain?”

“Nggak.” Sayna menggeleng. “Gue belum jadi tim medis, bahkan masuk PMR aja enggak,” gelaknya dengan mimik senang. Senang sekali berhasil menggodai Danish.

“Yang gue masih nggak habis pikir itu, buat apa tawuran? Gue yakin kok, Nish, sekolah lawan itu nggak ada yang benar-benar bermasalah langsung sama lo. Gue lihat lo mulus-mulus aja, jadi kenapa? Lo suka disebut jagoan? Semua orang tahu lo jago, Nish. Berapa kali tawaran jadi atlit taekwondo yang lo tolak? Berapa kali lo diminta buat mewakili sekolah dan klub kita? Lo nggak perlu jadi hebat di jalanan kayak gitu buat dapat pujian dan disegani, Nish. Semua orang udah tahu.”

Sayna bicara panjang lebar. Rasanya baru kali ini Sayna bicara sepanjang itu. Dan dia mengatakannya dengan tenang, enteng, sambil memotong waffle dan memasukkan kudapan manis itu ke mulutnya. Sesekali menatap Danish dengan garpu mengacung di depan wajah.

“Lo punya dendam apa sampai segitunya mukulin orang yang nggak lo kenal? Yang bahkan mungkin nggak pernah nyakitin lo sebenarnya.”

Danish termenung setelah ucapan itu. Apa motivasinya ikut tawuran? Tidak ada. Semuanya berawal dari perekrutan geng sekolah sejak dia masuk ke Nusantara Satu. Daripada jadi tim yang dirisak, Danish memilih berada di kubu yang kuat. Dan risikonya adalah, dia juga harus siap menjadi alat serta senjata untuk berperang.

Motivasinya?

Apa motivasinya?

Mana ada motivasi sesederhana itu saat dia dengan perasaan lepas dan bahagia setelah memukul orang-orang tanpa ampun? Menghabisi mereka dengan pukulan tanpa aturan?

“Gue yakin, nyokap lo pasti nggak tahu kelakuan lo di luar sekolah kayak gitu.” Sayna kembali bicara setelah menjilat sirup vanila di ujung garpunya. “Atau malah nyokap lo juga nggak tahu soal lo yang berkali-kali ditawari jadi atlit sekolah?”

Danish menggeleng. Mana mungkin ibunya tahu soal itu, kalau beliau sampai tahu, maka kabar anaknya yang didapuk jadi atlit akan bergaung dari ujung komplek perumahaan sampai ke gerbang. Bahkan mungkin ibunya akan membuat penghargaan pribadi dan memajangnya di dinding rumah. Karena sejak kecil, Danish tidak pernah mendapat pencapaian apa-apa.

Bodoh tidak, kalau alasan dia melakukan semua kenakalan ini karena ibu... dan kakaknya?

“Gue nggak kenal banget sih sama Angga, Anggun, Aryan sama siapa itu temen geng lo yang lain. Gue suka baca thread buatan anak kelas 1, anak-anak media, mereka tahu banyak soal kalian.” Sayna menambahkan. “Tapi gue rasa, Angga sama Aryan nggak bener-bener baik buat lo. Oke, mereka sama kayak lo yang jago berantem dan suka tawuran. But, mereka pinter, Nish. Angga sama Aryan ikut olimpiade sekolah. Sementara lo? Lo terjerumus sendirian.”

Itu tidak benar. Sayna salah soal teman-teman dekatnya. Bukan salah Angga dan Aryan kenapa Danish tidak pintar, tidak pandai dalam pelajaran apa pun, itu murni kesalahannya. Mereka tidak ikut andil untuk itu, Angga juga sering mengajarinya, Sayna hanya belum tahu.

Kalau tidak berlebihan, Danish menyebut dua orang itu sebagai penyelamatnya. Dari TK mereka masuk ke sekolah di yayasan yang sama, dan ketiganya adalah anak-anak yang tumbuh tanpa banyak didampingi orangtua.

“Kalau gue cerita soal ini, apa lo bisa dipercaya?” Danish buka suara setelah diam yang lama. Perut laparnya tadi mendadak sirna, spaghetti di hadapannya mulai dingin dan kering. Danish mendorong makanan itu menjauh dari mejanya dan duduk menyandar dengan kedua tangan terlipat, menunggu reaksi Sayna.

“Nish,” panggil gadis itu heran, mendapati dirinya tiba-tiba bisa serius dan tidak cengengesan. “Lo nggak harus cerita hal yang nggak pengen lo ceritain.”

“Tapi gue mau lo tahu.”

“Apa benefit-nya kalau gue tahu?” Sayna gadis yang pintar, reaksinya yang seperti ini malah membuat Danish justru ingin menumpahkan semua itu. Dia tidak kelihatan penasaran sama sekali atau pun ingin tahu. “Apa lo pengen gue mengubah pandangan soal hobi tawuran lo itu? Atau berubah jadi memakluminya?”

Iya. Harusnya Danish jawab begitu, tapi dia terlalu tidak berani pada Sayna. Takut kalau gadis itu tiba-tiba meninggalkannya.

“Gue... mau minta saran kalau bisa.” Danish berucap pelan, pandangannya turun ke arah sepatu. Dia kenal Sayna 3 tahun yang lalu, meski baru dekat akhir-akhir ini, tapi Danish seperti atlit yang akan terjun dengan parasut dari pintu pesawat yang terbuka lebar di udara. Siap melompat dan membebaskan diri sebebas-bebasnya pada gadis itu, tidak mau lagi menahan diri atau apa. Sayna harus tahu semuanya, baik dan buruknya, jelek dan borok-boroknya.

ªªª

“Bapak bilang pulang! Kalau dengar adzan magrib itu pulang!”

“Tapi tadi itu, Pak—”

PLAK!

Bocah berusia 7 tahun itu jatuh tersungkur dengan tamparan keras di pipi kirinya, tapi dia belum kalah, justru segera bangkit dan bukannya diberi pemakluman, tamparan kembali mendarat di pipi yang lain. Dan tangisnya pun pecah. Bukan hanya pipi dan telinganya yang berdengung sakit, denyut di dadanya lebih parah.

“Dek... Adek!” Suara kakaknya melengking disusul dengan teriakan dari sang ibu yang masih mengenakan mukena berlarian mendekatinya. “Kenapa sih, Pak? Kenapa dipukul?!”

Kakaknya berteriak dan menangis lalu membawa si bocah bangkit dari tempatnya tersungkur. Setelah itu yang terdengar hanya suara adu mulut antara ayah dan ibu mereka, yang tidak terekam jelas dalam ingatannya.

“Bengkak, Ma,” kata Dinara sambil memegangi pipi sang adik yang berukuran lebih besar dari biasanya. “Sakit ya, Dek?”

Danish kecil mengangguk, rahangnya sakit dipakai bicara.

“Adek yang salah, tadi Bapak bilang, kan? Kalau magrib pulang, semua orang pulang ke rumah, kenapa Adek masih keliaran di luar?”

“Tapi itu bukan alasan buat mukul anak kecil, Ma!” teriak kakaknya murka. “Danish masih kecil, tinggal dibilangin aja, dijewer deh nggak apa-apa, aku juga suka jewer dia. Tapi jangan dipukul kayak gini!”

Melia—ibunya, mengusap pipi Danish pelan, mengganti kompres hangat dengan yang baru. “Tadi Adek sudah dipukul bapak sekali, terus katanya nantangin lagi. Iya?”

Danish mengernyit, dia bahkan tidak tahu apa itu menantang. Dia dibesarkan pria itu beberapa tahun belakangan, dan protokol yang sering keluar adalah jangan bebal, jangan cengeng, jangan nangis! Dan Danish mencoba untuk tidak menangis saat dipukul satu kali. Apakah itu definisi dari menantang?

“Anak kelas 1 SD nantangin,” decih Dinara pelan. “Danish bahkan nggak pernah ngomong kasar, gimana dia bisa nantangin bapak?”

Melia belum sempat menyanggah ketika Dinara membawa sang adik naik ke lantai dua, ke kamar mereka yang bersebelahan. Dan sampai beberapa waktu berikutnya, kompres hangat masih setia menempel di kedua pipinya dengan bantuan Dinara.

“Mbak...” Danish berusaha bicara meski rahangnya terasa kaku dan nyeri. “Tadi Aryan belajar naik sepeda,” ucapnya pelan sementara Dinara mendengarkannya. “Terus jatuh, nyangkut di selokan. Aku sama Angga nggak bisa ninggalin Aryan sendirian, dia nangis, lututnya luka.”

Dinara mencebikkan bibir dengan mata berkaca. “Iya.” Dia mengangguk-angguk. “Adek nggak nakal, mungkin bapak lagi capek aja. Maafin bapak, ya? Nanti mbak antar ke bapak dan minta maaf sama-sama.”

“Iya.” Danish mengangguk polos.

Bagi bocah berusia 7 tahun, rumah dan sekolah adalah dunia dan dia tidak tahu apa-apa selain menurut kalau ingin aman tanpa kena pukulan. Dan seperti anak pada umumnya, Danish juga sangat patuh pada orang dipanggilnya bapak. Bapak di rumah mengawasinya sehari-hari karena ibu Danish harus bekerja di laundry.

Bapak tidak seperti ayah pada umumnya, yang pergi pagi pulang sore untuk bekerja. Bapak banyak di rumah, menghabiskan berbungkus-bungkus rokok, diperlakukan dengan sangat baik oleh Melia dan Dinara, karena salah sedikit saja akan ada piring terbang di rumah itu, meski tidak ada invansi dari alien sekalipun.

Orang yang Danish panggil bapak agak temperamental, entah kenapa. Salah sedikit, Danish kena pukulan. Entah di tangan, di kaki, di punggung. Ditendang, didorong, dihajar sampai sesak napas, Danish sudah pernah. Yang baru dia ketahui setelah dewasa adalah, pria yang tidak bekerja cenderung insecure, kehilangan harga diri dan kepercayaan, mulai tidak waras dan cari pelampiasan.

“Wah, si Danish bonyok lagi,” ucap Angga pagi itu di sekolah. Luka di bibir Danish masih basah, pipinya juga bengkak.

“Kata Pak Sulaeman,” imbuh Aryan sambil menimbrung dengan lolipop pendekar biru di tangan dan memberikannya pada Danish. “Mulai kelas 2 kita bakal diajarin berantem.”

“Belajar silat,” ralat Angga segera. “Ada kelas pencak silat, Nish. Biar kita jago berantem, nanti kalau lo dipukulin lagi kan lo bisa bales.”

Mata Danish berbinar, dia suka dengan ide itu. Bocah kecil itu mengangguk-angguk. “Gue mau ikutan,” ucapnya buru-buru. “Gue bilang sama mama dulu.”

“Iya, kita bertiga ikutan.” Angga mengeluarkan permen kaki berwarna merah dari mulutnya. “Biar kita jadi jagoan dan nggak ada yang berani ganggu.”

“Iya.” Danish tersenyum riang sebelum meringis sebab melebarkan bibir membuat pipinya berdenyut. “Yan, kenapa gue dikasih pendekar biru tapi si Angga permen kaki hot pop? Nggak adil,” dumelnya kesal karena merasa Aryan pilih kasih.

“Harganya sama kok,” kata Aryan santai. “Sama-sama lima ratusan, kalau punya gue nih baru, dua ribu satu,” imbuhnya sambil mengacungkan permen cuppa cup rasa stroberi ke udara.

Waktu SD dulu, Aryan tidak sependiam sekarang. Entah apa yang terjadi, setelah tahun berganti banyak hal berubah, kecuali kebodohan Danish yang sudah merasuk hingga ke DNA. Mau dia ikut les di mana saja hasilnya tetap sama, Danish tetap langganan kelas remedial.

Dan hari itu dia pulang ke rumah dengan hati riang. Sebelum ibunya, Dinara adalah orang pertama yang pasti akan Danish beritahu perihal pencak silat di sekolah. Danish akan jadi jagoan, agar bapak tidak semena-mena memukulinya lagi atau menjambak rambut kakaknya saat Dinara berani melawan. Danish bertekad untuk mengubah dunia.

“Mbak... Mbak Dinar...” panggilnya sambil bersiul ringan. Berlari menapaki anak tangga tanpa melepas kaus kaki yang Dinara pesan agar diganti tiap dua hari sekali, lalu membuka pintu kamar kakaknya dengan sekali dorongan.

“Mbak...” Danish bersuara lirih ketika yang didapatinya adalah sebuah keanehan.

Kakaknya terikat dengan mulut dibekap saputangan, rok sekolahnya tersingkap, dan bapak menindih Dinara di atasnya. Pemandangan itu membuat Danish bingung untuk sesaat, sebelum dia menyadari bahwa sang kakak tengah menangis dan berusaha menjerit sekuat tenaga yang berakhir sia-sia.

“Anak sial!”

Tanpa aba-aba, bapak menghampirinya dan menghadiahkan Danish pukulan di kepala, dia jatuh tersungkur untuk menerima tendangan bertubi setelahnya. Danish menangis tanpa suara, napasnya sesak, tapi dia masih bisa melihat kakaknya berusaha memberontak untuk melepaskan diri. Dan Dinara berhasil lalu menjerit sekencang yang ia bisa, baru setelah itu dia diberi hadiah tamparan keras di kiri dan kanan. Danish melihat semuanya, tapi dia tidak berdaya.

Danish ingat semuanya, sampai sekarang.

Lalu bapak hilang. Danish tidak pernah menemukannya di mana pun. Beberapa orang bilang kalau bapak dipenjara, sebagian lagi bilang kabur dan jadi buronan, dan sebagian lagi bilang kalau bapak bukan ayah kandungnya. Dia menikah dengan Melia saat Dinara berusia 13 tahun dan Danish masih 1 tahun.

Bapak bukan ayahnya.

Danish tidak pernah punya ayah seumur hidupnya.

Dia tidak tahu bagaimana rasanya punya ayah.

Ayah sungguhan, tidak mungkin bersikap seperti itu, kan?

“Aku mau belajar bertarung, biar bisa lindungin mama sama Mbak Dinar,” tekadnya waktu itu. Tekadnya untuk melindungi dua wanita yang dia sayangi, agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi.

Tekad yang masih kuat hingga tahun berganti, hingga kekuatannya terkumpul banyak dan butuh sarana untuk melampiaskan itu. Bukan lagi samsak tinju, bukan pertarungan fair di dalam ring, bukan itu. Danish ingin mengeluarkan seluruh tenaga dan amarahnya membabi buta tanpa aturan, dia ingin membalas semua pukulan yang mampir ke tubuhnya dulu, yang meninggalkan sakit tak berkesudahan meski waktu sudah berlalu.

Hanya saja, manusia bejat yang pernah dia sebut bapak bertahun-tahun lalu tidak pernah ditemukan lagi. Danish sangat berharap bahwa pria itu belum mati, dia ingin membalasnya satu kali saja, terutama untuk hari yang naas itu. Tapi bagaimana caranya?

Dia sendiri tidak tahu.

Maka memukuli lebih dari 20 orang di waktu tertentu membuat amarahnya tersalurkan. Danish suka melihat wajah kesakitan itu, dendamnya seolah terbalas satu demi satu. Dan meski keahlian beladirinya tidak usah diragukan, seorang petarung perlu mengasah kemampuan secara berkala. Tapi bukan sebagai atlit dari salah satu cabang beladiri tertentu, Danish lebih suka bertarung di arena lepas, menggabungkan semua teknik yang dia tahu, meninju banyak orang tanpa pikir panjang.

Awalnya, Danish tidak berencana untuk menghentikan semua kegilaan itu sampai semua luka batinnya tersalur, sampai dia menemukan pria bejat yang membuat jiwanya cedera dan membalas semua perlakuannya dulu. Tapi mungkin semuanya bisa berbeda, kalau ada seseorang yang memintanya untuk tidak lagi melakukan hal itu. Mungkin semuanya bisa berbeda, kalau Danish berani mengakui sesuatu.

ªªª

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
biadab. ada sebab dan akibat. beruntung Dinar gak trauma sm laki2 dan mau nikah juga.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status