Pertarungan hari ini adalah gagal—dalam kacamata Danish. Karena dia dapat oleh-oleh goresan halus di pipi yang membuatnya jengkel sendiri. Ketika plester dibuka, Danish bisa melihat lukanya memenjang, untung tipis jadi tidak perlu operasi plastik. Karena ya... kalau sampai lukanya lebih dalam daripada ini, Danish pasti akan segera melakukan tindakan yang lebih serius dari sekedar menutupinya dengan plester bergambar hati.
“Bagaimana perasaan Anda, nyet? Perlu kita antar ke Thailand buat operasi?”
“Operasi apaan?” Danish keheranan.
“Operasi kelamin.”
“Tai!” Danish mengumpat Angga yang bertingkah seolah-olah tengah menjadi reporter dengan menyodorkan botol air mineral sebagai mikrofon ke hadapannya. Lalu dia tertawa keras, Angga dan Aryan mungkin tidak mengerti apa yang Danish rasakan saat ini. Mereka tidak tahu, karena... mereka nyaris memiliki segalanya.
Aryan yang kaya dan pintar, begitu juga Angga, ditambah mereka pun jago beladiri seperti dirinya. Dua orang itu tidak akan mati dengan mudah meski dikucilkan di pulau kosong selama berbulan-bulan, mereka pintar, mereka jago, mereka... panutan.
Danish hanya seonggok sampah yang mereka pungut jadi teman. Jadi, kalau kemampuan beladirinya biasa-biasa saja, apa sumbangsihya untuk Konoha? Jika Danish tidak menjaga penampilannya, apa yang membuat orang-orang bisa menyukai dirinya? Danish sangat payah, sangat tidak bisa diandalkan. Dia tidak punya tujuan, hidup asal-asalan.
Bahkan mengikuti seni beladiri sejak kecil pun, tidak pernah menjadi goals yang jelas. Danish hanya menyukainya, dia merasa bersemangat, merasa hidup, itu saja. Dan menolak berkali-kali tawaran untuk menjadi atlit profesional karate, taekwondo maupun muay thai. Tempat bertarungnya bukan di arena bergaris yang ditonton ratusan orang dan terlihat seperti pertandingan adu ayam, Danish suka mengerahkan kemampuannya di lapangan terbuka. Memukul ke segala arah tanpa peraturan, bertarung yang sesungguhnya. Dan hanya Konoha yang bisa memberikan kesenangan seperti itu. `
“Kita beli buah dulu buat Oliv,” kata Aryan—si irit bicara, sambil menghentikan mobilnya di sebuah toko buah-buahan pinggir jalan. Di sebelahnya, pedagang kaki lima berjejer panjang, ada batagor, bakso, cilok hingga gorengan.
“Beli gorengan juga,” sahut Danish kemudian, merasa perutnya perlu diisi sesuatu setelah pertarungan sialan barusan.
“Oke,” jawab Angga.
“Gue mau ubi goreng.” Danish kembali angkat suara.
“Nanti kentut lo bau.” Angga menyahutinya.
“Nggak apa-apa, yang penting muka gue ganteng.”
Di spion tengah, Danish bisa melihat Aryan menatapnya dengan mata segaris seolah mendengar hal yang membuatnya iritasi telinga.
“Ini nggak ada yang mau turun?” tanyanya kemudian, melihat dua manusia lain masih duduk tenang di kursi mereka.
“Harus gue banget, Nish?” tanya Angga, memojokkannya.
“Eh, panglima nih cedera nih cedera!” Danish menunjuk-nunjuk luka gores di pipinya. “Orang cedera nggak boleh disuruh-suruh.”
“Dih, anak monyet!”
Angga keluar lebih dulu sambil membanting pintu dan Aryan dengan senang hati tidak akan menyusulnya, karena lebih dari Danish, anak itu sangat takut pada matahari. Aryan mungkin tidak mengenal ada produk bernama sunblock dan sunscreen di dunia ini. Danish pernah merekomendasikannya produk terbaik yang dia miliki agar Aryan tidak terlalu takut pada matahari, tapi itu sia-sia.
Danish mengambil cermin dan melihat luka di pipinya lagi, dia harus mulai mengarang alasan jika ibunya bertanya nanti dari mana asal luka ini. Dan kemungkinan Danish harus terus menutupinya sampai besok, setelah darahnya mengering dan menjadi guratan hitam di pipi, barulah dia memakai foundation untuk menutupinya saat ke sekolah. Orang-orang jangan sampai tahu luka cacat di wajahnya ini, atau rasa suka mereka pada Danish jadi berkurang.
Dia amat takut dikucilkan. Dipandang buruk karena suka tawuran dan dijauhi karena bodoh, juga jelek. Maka satu-satunya yang bisa Danish perjuangkan memang penampilannya, wajahnya. Karena selain itu dia tidak memiliki apa-apa.
Danish: Mbak, coba rekomendasiin foundation yang cocok buat ke sekolah biar nggak kelihatan medok.
Danish mengirimkan pesan pada sang kakak. Dinara namanya, berusia 28 dan sekarang bekerja di Qatar sebagai seorang SQ Analyst, berpenghasilan besar, dan sedang menabung untuk pernikahannya kelak dengan Haikal—tunangannya. Dinara perempuan cerdas, dia seorang sarjana pendidikan jurusan Bahasa Inggris yang terdampar di negara kerajaan terkaya timur tengah, mengabdi di perusahaan ternama yang pasti tidak akan bisa capai levelnya. Otak Danish terlalu anjay untuk pekerjaan Dinara yang Masha Allah.
Kalau dipikir-pikir, apa pekerjaan yang cocok untuknya di masa depan? Danish tidak tahu. Apakah meneruskan usaha laundry ibunya adalah satu-satunya pilihan?
Apa Danish jualan gorengan saja, ya? Ide itu terlintas saat Angga kembali mendekat ke arah mobil dengan sekantong gorengan panas di tangan. Benar juga, idenya cukup brilian. Danish akan diliput dan viral di sosial media sebagai tukang gorengan paling ganteng se-Jakarta Selatan. Lalu masuk I*******m, diliput oleh stasiun TV dan diundang ke acara talkshow Dedi Corbuzier, pagi-pagi happy hingga mata Najwa.
Usaha gorengannya akan laris manis, sukses besar, lalu Danish dinobatkan sebagai orang kaya pertama di Indonesia yang menjadi pelopor berjualan gorengan menggunakan ketampanan wajahnya sebagai strategi marketing dan penarik minat pasar.
Wajah ganteng memang segalanya.
“Mau nunggu sampai lebaran monyet?” tanya Angga ketika Aryan menghentikan mobilnya di depan rumah Oliv dan tidak ada satu pun yang bergerak dari kursi, karena terlalu malas. Terlalu lelah, juga terlalu marah.
Tiga anak laki-laki itu berdiri berjejer di depan pintu.
“Oliv! Samlekum!” Suara Angga dan Danish terdengar kompak memanggil teman mereka yang jadi korban kekerasan hari ini.
“Oliv...” panggil Danish sekali lagi, dengan irama yang familier sekali. Membuat Angga dan Aryan tertawa kecil, mungkin teringat masa lalu mereka dulu.
“Waalaikumsalam.” Seorang anak perempuan menyambut kedatangan ketiganya dengan senyum mengembang di wajah.
Setelah dipersilakan masuk, Danish mendengar suara pekikan Oliv yang melengking disertai rengekan kesakitan yang bergaung. Ketiganya saling berpandangan, memikirkan banyak sekali kemungkinan, seperti apakah luka yang Oliv terima hingga tangisannya menyayat seperti itu?
“Hai, Liv.”
Anak laki-laki dengan perawakan tinggi putih dan gagah berotot itu buru-buru bangun dari pangkuan ibunya dan, ya... tampak menyeka genangan air yang mengalir di pipi kiri dan kanan. “Gue nggak nangis.” Dia memberi pengumuman.
“Kita tahu kok, kelilipan doang, kan?” Angga buru-buru menyahutinya sebagai ketua geng yang pandai mengayomi anggota.
Danish mengangguk dan mengacungkan ibu jari, padahal tadi dia ingin menyahut kalau Oliv kelilipan jengkol hingga air matanya banjir seperti itu. Namun melihat kondisi yang cukup serius, dia urung. Aryan tersenyum tipis sambil meletakkan buah dan gorengan bawaan mereka, sedangkan Angga sudah lebih dulu mendekati Oliv.
Kalau dilihat-lihat, wajah Oliv cukup bonyok, jika Danish jadi dia pasti Danish juga akan menangis, meraung-raung malah. Lalu minta diantar untuk operasi plastik ke Thailand... eh, atau Korea Selatan, ya? Yang kualitasnya bagus, dan wajahnya direkonstruksi ulang agar mirip dengan Jungkook BTS.
“Gue udah hajar tuh si Agung.” Danish maju mendekati Oliv dan Angga, berniat mengambil sesuatu di keranjang yang tadi mereka bawa sebagai buah tangan. “Kok nggak ada nanas, sih?” gerutunya sambil mengubek-ubek keranjang.
“Nanas mulu, jangan kebanyakan ntar lo keguguran,” ujar Angga sembari mencomot buah apel dan langsung menggigitnya.
“Keguguran pala lo kotak!” balas Danish dan mengambil apel yang lainnya dan duduk di sebelah Oliv. “Gue tonjokin si kampret sampai dia nggak bisa bangun,” ujarnya memberi penghiburan.
“Copot nggak giginya?” tanya Oliv.
“Woah, nggak sampe copot sih tapi dia udah nggak bisa berdiri, pingsan.”
“Payah!” Angga menimpali. “Giginya Agung itu jimat, lo harusnya copotin biar dia nggak belagak lagi di depan kita.”
“Gue nggak papa kok, Guys. Besok udah masuk sekolah,” kata Oliv. Danish menggeser sedikit kala ibunya Oliv masuk dan membawakan minuman.
“Makasih, Tante.” Angga mewakili semuanya.
“Sama-sama.” Wanita paruh baya yang melahirkan Oliv itu tersenyum pada mereka semua. “Makasih udah mau jengukin Oliv, ya.”
“Kami kehilangan, Tan, kalau Oliv sehari aja nggak sekolah. Nggak ada Oliv nggak rame.” Danish menimpali, sedangkan Aryan kembali beralih fungsi. Setelah jadi sopir—eh, pembalap, sekarang dia sudah seperti Aryan yang biasanya. Manekin pajangan di pasar Tanah Abang. Kemudian, ibunya Oliv kembali meninggalkan ruangan setelah cukup berbasa-basi.
“Nish, lo kok nggak masuk daftar hitam Bu Hen, sih? Biasanya juga kita remedial bareng.” Oliv berbisik saat ibunya sudah benar-benar pergi.
“Oh, jadi lo besok mau sekolah cuma gara-gara harus ikut remedial?” Angga menertawakan, dan Oliv mengangguk begitu saja. “Dan si Danish nggak ikutan?”
“Nggak,” jawab Oliv polos. “Tadi gue dikirimin jadwalnya, remedial Biologi bareng sama kelas lain, eh gue kaget nggak nemu nama Danish, cuma ada Hamam perwakilan kelas dia.”
Angga tertawa lebar, Aryan tersenyum tipis dan Danish menepuk dada. Merasa bangga.
“Udah pinter gue sekarang,” sombongnya.
“Bukan sih.” Aryan menimpali, tumben-tumbenan. “Bu Hen udah jijik dan trauma liat muka lo tiap ada jadwal remedial.”
“Tai!” umpat Danish sambil makan gorengan setelah menghabiskan apelnya.
“Nih, ya kalau lo emang udah pinter gue uji dulu.” Oliv melambai-lambaikan tangan dan meminta Danish untuk duduk lebih dekat. “Ini tes Biologi harga diri,” kata anak itu.
“Hah? Emang ada?” Danish sangsi. Sebodoh-bodohnya, Danish tidak sampai bisa dibodohi sebanyak itu juga.
“Ada,” ujar Oliv. “Gue yang nyiptain. Lo siap-siap, ya.”
“Oke!” Danish maju dengan percaya diri.
“Kenapa anak babi jalannya nunduk?”
Danish mengelus-elus dagu. “Mungkin karena malu punya induk seekor babi.”
“Terus, kenapa anak kelinci kalo jalan suka lompat-lompat?”
“Soalnya dia seneng ibunya bukan babi.”
Kemudian tawa mereka meledak di udara, bahkan untuk ukuran Aryan yang biasanya diam saja seperti patung pancoran. Suasana sore itu benar-benar bagus, berkumpul di rumah Oliv, selain di basecamp selalu jadi pilihan terbaik.
Angga bersorak heboh sambil menepuk-nepuk kepala Danish. “Pinter juga nih anak babi,” ujarnya dengan senyuman bangga bertengger di bibir, sementara yang dipuji mengibas-ngibaskan kerah baju dengan cengiran yang tak kalah lebar.
“Oke, gue akui lo banyak kemajuan.” Oliv mengacungkan ibu jari ke arahnya.
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir