Share

4. Semakin Dekat

Akhir-akhir ini murid-murid SMA Nyusu dihebohkan dengan kabar simpang siur dari seorang gadis cupu yang baru saja menyatakan cinta pada salah satu bintang idola di sekolah. Dan kabar buruknya, si tersangka menempati kelas 2 IPA 3, kelas yang sama dengan Sayna. Gadis itu bernama Hanin, salah satu murid terpintar di sini, namanya selalu berjejer di urutan atas, tapi Hanin kurang suka bergaul dengan teman sekelas. Teman-temannya justru terdampar di kelas IPS dan orang yang disukainya malah berada di kelas sebelah, 2 IPA 1, Aryandra Yasa.

Sayna tidak tahu kenapa Hanin jauh-jauh menyukai bintang di kelas lain sementara di kelas mereka sendiri sudah ada bintang seterang Danish Adiswara. Eh, barusan dia bilang apa? Danish bintang? Duh, semoga tidak ada yang mendengar suara-suara absurd dari kepalanya ini.

Danish, hari ini ada plester yang menempel di pipinya. Plester bergambar dinosaurus, itu pasti karena kemarin. Sayna tahu kenapa Danish tidak datang latihan ke klub taekwondo dan apa yang sebenarnya dilakukan pemuda itu. Karena dia pulang sekolah naik mobilnya Aryan, sudah jadi rahasia umum di sekolah.

“Nish, lo kalau udah gede cita-citanya jadi apa?” Nana, si bendahara kelas mendekati pemuda itu yang awalnya sibuk menulis sesuatu di bagian belakang bukunya.

“Gue kan udah gede,” jawab Danish sambil mendongak dan tersenyum.

“Ih, cita-cita lo pas udah tua kalo gitu.”

Pemuda itu mengusap-usap dagu, kelihatan berpikir, kelihatan sekali kalau dia sedang tidak serius. “Mau jadi polisi deh.”

“Kenapa?” Nana tampak kaget, mungkin dia tidak tahu jawaban Danish adalah delapan puluh persen omong kosong.

“Biar bisa menjarain cewek-cewek cantik di hatiku. Eaa ...”

Jawab sendiri, ea sendiri. Apa sih Danish? Dan oh, kenapa Sayna jadi ikut senyum-senyum mendengarkan percakapan itu? Sadar, Say! Ayo-ayo, normalkan ekspresi wajah.

“Lo ada-ada aja deh, Nish.” Gadis di hadapan Danish itu tertawa. “Buruan bayar uang kas,” tagih Nana sambil menyodorkan buku catatan, niat awalnya mendekat ke meja Danish memang untuk memungut uang kas kelas.

Sayna melihat pemuda itu merogoh saku baju seragamnya yang berwarna navy, lalu berdiri dan mengambil dompetnya dari saku celana karena tidak menemukan uang pas. Danish menyunggingkan senyum sesaat sebelum Nana menjauh dari mejanya lalu kembali meneruskan kegiatan mencatat yang tertunda barusan.

Danish sangat manis, semua orang mengakuinya. Dia menyenangkan dan gampang didekati, dia ramah pada banyak orang, termasuk anak-anak kelas satu konyol yang membuat klub penggemar untuk berdedikasi memuja-mujinya setiap hari. Sebenarnya Danish tidak punya akun sosial media, tapi berhubung banyak yang suka memotretnya diam-diam, foto Danish bertebaran di explore I*******m Sayna. Dan ya... kerjaan anak-anak kelas satu itu lumayan berguna juga, Sayna jadi bisa menyimpan beberapa foto Danish hasil jepretan mereka. Apa dia baru saja membuka rahasia?

Oke, Sayna harus menegaskan satu hal bahwa Danish dan dua temannya dari IPA 1 dan IPA 2 adalah idola di sekolah mereka. Dua orang itu bernama Aryan dan Angga. Tapi untuk dirinya yang sudah sekelas dengan Danish, buat apa repot-repot melirik bintang dari kelas sebelah sementara ada satu di sini? Mungkin Danish tidak pintar, tapi percayalah, dia orang yang menyenangkan, dia orang yang mudah disukai. Eh, bukan berarti Sayna suka padanya ya.

Anak-anak dari kelas lain saja rela membodoh-bodohi diri sampai ke tulang untuk ikut kelas remedial dengan Danish. Ya, karena masuk kelas remedial lebih gampang daripada masuk kelas anak-anak pintar, kan? Jadi, posisi Sayna dan seluruh anak perempuan di kelas ini sudah lebih beruntung dari orang-orang itu. Mereka bisa melihat Danish setiap hari, dari pagi sampai siang, memandanginya berjam-jam, menghirup baunya yang beraroma kue dan biskuit susu bertabur kayu manis, atau bahkan bisa mengobrol dengannya. Semua kemudahan itu, menjadikan para warga di IPA 3 seperti masuk kelas VVIP.

“Nish, kata Nana lo beneran mau jadi polisi habis tamat dari sini?” Itu Chaca, gadis yang Danish bonceng dua hari lalu dan ditinggalkan di pom bensin. Tapi Chacha, sama sekali tidak menganggap itu sebuah kesalahan.

Seolah apa pun yang Danish lakukan itu sah-sah saja, gampang dimaklumi. Bahkan jika Danish tertangkap sebagai pembunuh berantai pun, sepertinya akan terus dimaafkan semudah ini.

“Emang kenapa?” tanya Danish, mendongak dari buku catatannya lagi.

Itu dia, sikap Danish yang tidak pernah mengabaikan orang lain, se-tidak penting apa pun obrolan dan pertanyaan yang diajukan, membuat orang-orang semakin menyukainya. Dan itu tidak baik. Danish tidak tahu berapa tingkat kebaperan yang meningkat akhir-akhir ini.

Chaca tertawa manis. “Kalau lo jadi polisi, gue mau ditilang tiap hari. Hehe.”

Dua orang itu sama-sama tertawa, dan tawa Danish sangat enak dilihat. Sial. Kenapa sih akhir-akhir ini jiwa stalker Sayna tidak bisa diatasi? Apa pun yang berhubungan dengan Danish pasti akan mengundang radarnya secepat kilat.

“Boleh gue pulang bareng lo besok?” tanya Chaca lagi dan Danish mengangguk.

Semudah itu, ya Tuhan... Dan Sayna mulai tidak tahan.

“Awas lo ditinggal lagi kayak waktu itu di pom bensin.” Sayna menyahut. Kerasukan apa sih? Kenapa harus menyahut?

“Wah...” Danish terperangah. “Jadi, lo yang ketinggalan di pom bensin?”

Chaca mengangguk sambil tertawa. “Udah, Nish nggak apa-apa. Gue tahu kalau lo pelupa. Lupa itu manusiawi.”

“Aduh, maafin gue. Beneran gue lupa, gue kira nggak bonceng siapa-siapa waktu itu.”

Jadi, Sayna di sini justru sedang mengingatkan sekaligus menyelamatkan Danish? Makin bagus dong image pemuda itu!

“Makanya lo sebelum berangkat sekolah tuh periksa dulu apa yang ketinggalan, otak kok sampai nggak kebawa.”

Chaca tertawa renyah. “Lo savage banget deh, Say.”

“Tahu nih, Sayna. Gue lupa bonceng orang bukan lupa bawa otak.”

Sayna melipat tangannya di dada sambil mencebikkan bibir. “Ya, kali aja lo putus asa, dibawa apa nggak juga itu otak nggak ada gunanya.”

“Wah... wah... wah... sembarangan! Otak gue berguna kali, Say!”

“Iya, berguna. Buat lo jual ke Uda-uda di rumah makan Padang. Dijadiin gulai otak.”

Chaca dan Danish tertawa, karena mungkin baginya sindiran plus ledekan itu hal yang lucu. Sementara Sayna kesal sendiri karena Chaca tidak terpengaruh pada provokasinya sejak tadi. Dan Danish? Dia tidak pernah marah pada hal semacam itu. Menyebalkan sekali. Susah untuk membencinya. Kenapa selain kurang pintar, Danish hampir tidak ada cela, sih?

Aduh, Sayna tolong... kendalikan diri!

***

Jam istirahat adalah surga, setelah otaknya nyaris meleleh karena pelajaran Fisika dua jam berturut, Danish menyimpan kepalanya di atas meja. Semua rumus-rumus itu memantul dari kepala seolah ada trampolin di sana. Dan pada akhirnya mereka menyerah, melanting jauh, tidak ingin menetap dalam otak Danish lebih lama.

“Mam,” panggilnya pada teman di sebelah yang memiliki kapasitas berpikir tidak jauh beda dengan otaknya. “Lo tahu kan, Mbak gue kerja di Qatar?”

“Iya, tahu.” Hamam mengangguk polos.

“Mbak gue bilang, Hamam itu bahasa Arabnya kamar mandi. Pantes ya muka lo kayak lobang WC gini.”

“Anjrit!” Hamam memekik dengan mata melotot. “Serius, Nish?”

Yang Danish sukai dari Hamam, selain karena mereka berdua sama-sama tolol, Hamam adalah anak yang polos dan gampang dibodohi—seperti sekarang ini. Hiburan sekali untuknya yang baru saja selesai menggunakan otak terlalu keras hingga hampir meleleh keluar kuping. Apa dia ikuti saja saran Sayna tadi? Menjual otaknya ke uda-uda di rumah makan Padang? Jadi gulai otak Danish. Wah, pasti viral! Pasti laris manis.

“Sumpah ya, Emak gue mikir apa deh pas ngasih nama? Mana udah bubur merah bubur putih segala, ujung-ujungnya gue didoain jadi toilet. Pantes aja kemaren gue nembak Tania terus muka gue dinajisin.”

Danish tertawa geli, kenapa keisengannya justru berbuah pengakuan Hamam yang menyedihkan begini?  “Tania najisin muka lo?”

Hamam mengangguk polos, sedangkan Danish menjulurkan sebelah tangan untuk menyentuh dagu temannya itu, memanyunkan bibir, memperhatikannya seksama, seolah dia adalah seorang ahli membaca filosofi wajah, lalu mengangguk-angguk.

“Kenapa?” tanya Hamam cepat.

“Emang sih, najis mugholadoh ngumpul semua di muka lo.”

“Setan!” umpat Hamam sambil mendorongnya untuk menjauh dan Danish tertawa girang. Punya teman seperti Hamam adalah hiburan, meskipun Hamam tidak suka diajak tawuran seperti dua yang lainnya, tapi Hamam setia. Setia menemaninya remedial dalam mata pelajaran apa saja.

“Kantin yuk, laper gue.”

Hamam mengangguk dan mereka berdua keluar kelas, saat Danish menoleh ke belakang, Sayna menyelip di antara teman-teman yang lainnya. Dia tersenyum diam-diam melihat gadis itu ada di jajaran yang sama dengannya.

“Gue pesen batagor, lo apa, Mam?” Danish menyenggol temannya. Dia melihat sekeliling khawatir bertemu Angga di saat seperti ini lalu diseret ke basecamp semena-mena, padahal jatah untuk kumpul di basecamp adalah jam istirahat kedua. Istirahat pertama? Ya, harusnya sih makan. sambil—

“Kak Danish!”

“Hai ...” Danish melambaikan tangan sambil tersenyum pada sekelompok anak perempuan yang memanggilnya.

“Gue mie ayam,” kata Hamam. Hamam bisa berpura-pura tidak mendengar apa pun di sekitarnya termasuk kebisingan luar biasa yang hampir selalu terjadi saat mereka berjalan melewati kerumunan, melewati koridor, berlarian di lapangan saat jam olahraga, dan... duduk di kantin seperti sekarang. Dia hanya teman biasa, tidak melihat Danish sebagai orang yang populer atau anak nakal tukang baku hantam di luar sekolah.

“Gue juga pesen mie ayam satu, ya. Tapi nggak pake mie.” Sayna menimpali Hamam yang justru celingukan diajak bicara. “Pesenin gue sekalian, Hamam.”

“Oh, gitu. Baik, Princess.” Hamam bangkit dengan gugup dari kursinya karena ada Tania—tepat di sebelah Sayna, di hadapan mereka. Tania menatapnya dengan tatapan segaris seolah menatap Hamam sama hinanya dengan kotoran hewan.

“Eh, tapi bentar deh, Say...” Hamam berbalik dan Sayna mendongak. “Lo pesen mie ayam tapi nggak pake mie?”

“Iya. Jadi ayamnya doang sama sayur.”

“Ayam sayur dong?”

“Ih, udah pesenin aja mie ayam tapi nggak pake mie.” Sayna bersikeras dan Hamam menggaruk kepalanya sedangkan Danish menertawakan mereka berdua.

“Ngapa lo tawa-tawa? Sok kegantengan,” ujar Sayna kepadanya.

“Lha, emang gue ganteng,” balas Danish yang tentu saja langsung disambut dengan delikan sinis dan gestur jijik gadis itu. “Lo ngapain duduk di depan gue sekarang kalau bukan buat makan sambil menatap pemandangan yang indah ini, kan?” Danish menopang dagunya dengan tangan sambil menaik turunkan alis, dan Sayna di depannya seolah ingin muntah.

Nah, kan? Dia selalu galak dan judes jika mereka tidak sedang berduaan seperti kemarin pagi.

“Lo pesen apa, Nish?” tanya Tania kepadanya.

“Batagor. Lo mau sekalian gue pesenin?”

“Nggak usah, biar gue aja. Bentar, ya.”

“Ih, Tan... lo mau-maunya de—”

Namun Tania sudah pergi, Sayna tidak meneruskan ucapannya lagi. Dan meskipun kantin ramai sekali saat jam istirahat pertama, tapi Danish merasa dia dengan Sayna hanya sedang duduk berdua—dalam imajinasi.

“Gue nggak bakal duduk di sini kalau ada meja lain yang kosong. Dan gue nggak minta izin lo dulu sebelumnya karena kita teman sekelas.” Sayna angkat bicara.

Danish mengangguk-angguk. “Mau minum apa?” tanyanya. “Biar gue yang ambil.”

“Teh Kotak,” jawab gadis itu—seperti biasa. Minuman kegemarannya. Entah sejak kapan Danish tahu dan hafal soal Teh Kotak.

“Oke, sebe—”

“Nish, gue pulang bareng lo, ya?” Chaca, teman sekelas mereka tiba-tiba saja muncul saat Danish hampir bangkit untuk membeli Teh Kotak.

“Ngajak pulang jam segini? Kan masih jam istirahat pertama.”

“Ih, ya ntar pulang sekolah. Kan kalo gue nggak booking dari sekarang, motor lo pasti udah ada yang ngisi terus tuh jok belakangnya.”

“Njir, emang gue apaan bisa di-booking?” Danish tertawa geli. “Jok belakang gue emang wajib ada yang ngisi tiap pulang sekolah.”

“Kenapa?” tanya Chaca.

“Karena sekarang yang jomblo suka ditilang sama Pak Polisi, kan gue atut.”

Danish dan Chaca tertawa, sementara Sayna bergidik geli melihat ke arah mereka berdua. Mungkin iri ya karena tidak diajak bercanda.

“Bisa aja nih ngelesnya.” Chaca menepuk bahu Danish pelan. “Jadi, boleh kan, ya?”

“Iya, boleh.” Danish menyetujuinya begitu saja, kalau dia tidak lupa. “Tunggu aja di parkiran, gue mau ke basecamp dulu sebentar.”

“Oke, makasih, Danish.”

“Sama-sama, Chaca.” Danish tersenyum lebar sambil melambai-lambai.

“Namanya Lianka,” ujar Sayna kemudian, setelah gadis bernama Chaca tadi hilang dari pandangan.

“Hah?” Danish terperangah bingung.

“Nama cewek tadi Lianka, bukan Chaca.”

Wah, kenapa Danish baru tahu? Padahal mereka teman sekelas selama ini.

“Chaca itu yang dua hari lalu lo ajak pulang bareng dan lo tinggalin di pom bensin, Danish.”

“Oh... yang itu.” Danish mengangguk-angguk. “Si Chaca sama Lianka mirip sih,” kilahnya. Padahal Danish justru lupa Chaca sesungguhnya yang mana, yang dua hari lalu dia ajak pulang dan ketinggalan di pom bensin waktu dia mengisi bahan bakar?

“Yang tadi, Nish! Yang di kelas ngajakin lo pulang bareng besok. Itu namanya Chaca!” Sayna di hadapannya menggelengkan kepala. “Ini yang beli mie ayam sama batagor pada ke mana deh? Ke Baghdad kali, ya.”

Danish tidak menyangka jika Sayna juga jago membaca pikiran. “Say,” panggil Danish sekali lagi dan gadis itu mendongak dari tatapannya yang terus mengarah ke tempat lain. “Sekarang gue cuma manggil lo Say, nanti gue pasti lo izinin buat manggil Sayang. Lihat aja.”

ªªª

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
karakter Danish supelnya kelewat. red flag. gak ramah buat ceweknya nanti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status