Share

2. Sayna Lalisa

“Teh, kata Ibu cepet turun. Ayah mau berangkat!”

“Iya, sebentar.”

Sayna menyemprot hair spray sekali lagi ke poninya yang masih setengah kering, penempatan waktu yang pas adalah koentji, agar poninya nanti tetap kokoh dan tidak goyah walau ada badai melanda sekalipun. Kemudian setelah memastikan semuanya siap, sunscreen, moisturaizer, pelembab bibir dan setting spray terpasang sempurna di wajah, dia segera menyambar tasnya dan berlari menuruni anak tangga.

“Tuh nya, udah dibilangin kalau bangun tidur teh langsung bangun! Jangan mantengin Hp dulu, giliran udah mepet gini buru-buru semua.”

Perkenalkan, beliau adalah ibu kandung Sayna. Linda Widya Monalisa, seorang kepala sekolah di salah satu SMP terakreditasi A daerah Jakarta Selatan. Sangat disiplin, menghargai waktu dan menyayangi sekolah juga murid-murid didiknya sepenuh hati.

“Iya, Ibunda, maaf. Teteh berangkat dulu, ya. Assalamualaikum!”

Ibunda adalah panggilan sayang darinya saat sang ibu dalam mode mengomel seperti itu, sebenarnya bukan ibunda seperti dalam serial kolosal sih. Ibunda di sini hanya singkatan dari Ibu Linda.

“Bu, si Teteh tuh punya pacar. Jadi tidurnya malem, bangun kesiangan. Aku denger semalem teleponan.”

“Pitnah, Bu. Pitnah tuh si Adek!” Sayna memekik sambil mengenakan sepatu, karena seorang Letnan Satu bergeragam hijau-hijau sudah menunggunya di luar pagar.

“Ibu tuh ya, teu nanaon sok kalau mau bobogohan. Tapi tetap prioritaskan sekolah, belajar, kan mau SNMPTN sebentar lagi, Teh.”

“Ih, nggak ada yang punya pacar!” teriak Sayna tak terima sambil memelototi adiknya yang ember itu. Ikrar Mahardika, namanya bagus, Ikrar atau janji, padahal dia ingkar!

“Ih, udah sok berangkat atuh! Itu Ayah kasian udah nungguin. Ibu juga mau berangkat sama Adek.”

Sayna menyalami ibunya dan menendang bokong adiknya hingga anak itu terjengkang dan berteriak kencang, lalu dia lari sampai mendarat sempurna di belakang jok motor sang ayah, memakai jaket yang sudah disiapkan pria itu dan Sayna memasukkan dua tangannya ke saku jaket ayah alih-alih memeluknya.

Kehidupan keluarga mereka selalu dimulai lebih awal daripada kebanyakan warga Jakarta lainnya. Atau mungkin sebenarnya sama, namun Sayna dan ayahnya selalu berangkat lebih awal dari rumah, tak jarang dia sampai di sekolah saat gerbangnya belum dibuka dan menjadi langganan siswa yang datang di urutan pertama.

“Teh, kalau punya pacar kenalin sama Ayah.”

Pria yang ada di depannya itu membuka obrolan. Chandraka namanya, seorang pria Jawa tulen yang berasal dari Temanggung dan menikahi ibunya—Linda, berasal dari Sumedang – Jawa Barat, jadilah Sayna Lalisa seorang anak blasteran jawa sunda yang justru terdampar dan besar di Jakarta.

“Nggak punya pacar, Ayah. Itu si Adek fitnah aja, seneng nyari masalah.” Dia berkilah.

“Iya, ini kalau punya. Kenalin sama Ayah, kan Teteh sudah besar. Pacaran di rumah lebih aman, kalau mau jalan-jalan siang, kalau malam di rumah. Nanti biar diawasi sama Ibu dan Ayah.”

Bukan diawasi sih kalau begitu, mungkin malah ayahnya yang akan memonopoli pacar Sayna di rumah. Mengajaknya ngobrol, membuatnya sibuk, bertanya ini dan itu, hingga mereka tidak akan sempat pacaran sama sekali.

Lima belas menit berlalu sejak jalanan yang ramai mereka tembus dengan sepeda motor ayahnya yang berwarna hijau tua itu—fasilitas kantor, dan Sayna turun di depan gerbang sekolah SMA Nusantara Satu alias SMA Nyusu, sedangkan sang ayah meneruskan perjalanannya untuk ke Kodim 0501 yang masih jauh dari sini.

Sayna tidak datang terlalu pagi, di hadapannya seorang anak laki-laki dengan kostum seperti astronot segera memarkirkan sepeda motor dan menyimpan helm yang dia kenakan. Danish, teman sekelasnya di IPA 3 sejak setahun belakangan. Tapi walaupun baru satu tahun berada di kelas yang sama, sebenarnya Sayna sudah kenal Danish sejak lama sekali.

Mereka bertemu waktu masih kelas 3 SMP, di klub taekwondo ternama dan menjadi anggota senior di sana—sampai sekarang. Sisanya, mereka bisa berpapasan di mana saja, malah kadang Sayna berpikir kenapa ada Danish di mana-mana? Berotasi di sekitar hidupnya dan dia selalu menyenangkan untuk dilihat. Meskipun Sayna tidak mengakuinya.

“Hai, Say!” Danish menyapanya sambil melambaikan tangan. “Aduh, Sayna, kalo pagi gini cerah amat mukanya, secerah masa depan kita.”

“Bacot lo, Nish,” umpat Sayna tapi bibirnya berbohong, membentuk senyuman lebar dan membiarkan Danish berjalan di sebelahnya.

Danish selalu bicara hal-hal yang menyenangkan. Semua orang tahu kalau dia pentolan sekolah, dia adalah anggota geng Konoha yang terkenal itu, dan mereka mengenalnya sebagai seorang panglima. Tapi apa bagusnya sih panglima tawuran? Danish juga tidak pandai di kelas, tapi karena dia ganteng—Sayna terpaksa mengatakan ini, dan juga supel sekali, Danish hampir tidak pernah dianggap bodoh. Semua anak dan guru menyukainya.

“Lo datang latihan nanti sore?” tanyanya memulai, saat langkah mereka bersisian menapaki koridor sekolah yang belum seberapa ramai untuk berjalan ke kelas.

“Datang lah, apa alasan gue nggak datang coba? Gue kan pengen nendangin muka lo.”

Danish tertawa. Di klub taekwondo mereka, kadang-kadang anggota senior melakukan duel lawan jenis dan Danish selalu memilihnya sebagai rekan untuk dibuat kalah dengan mudah. Memang dasar sok jagoan sekali, ingin dipuji gentleman mungkin.

“Kalau gue nggak datang, lo pilih Harry aja sebagai lawan, ya? Dia nggak seberapa hebat tuh, sabuk aja Geumgang, tapi gue yakin lo gampang numbangin dia,” ujarnya sambil terus berjalan.

“Emangnya lo mau ke mana? Kok nggak latihan?”

Danish tersenyum, senyum yang mencurigakan. “Ada urusan,” ungkapnya lalu berlari meninggalkan Sayna karena dia melihat Hamam di depan sana.

Sayna tahu Danish akan pergi ke mana dan melakukan apa, itu adalah hal yang biasa baginya. Tapi tetap saja, Sayna menyayangkan hal tersebut. Danish dan bakatnya itu berakhir sia-sia tiap pulang sekolah dengan teriakan brutal di jalanan juga kejaran aparat kepolisian. Kenakalan Danish yang tidak bisa disangkal, bagaimana pun dia bersikap baik, karena hal itu, citra Danish tetap tidak bisa baik di matanya. Tapi omong-omong kenapa dia membahas Danish terus sejak tadi, ya?

ªªª

Mbak Dinar: Dek, udah mbak transfer, ya. Nggak usah minta Mama lagi. Udah banyak yang mbak kirim.

Bangun pagi dengan kabar sebagus ini membuat senyum Danish melebar hingga ke kuping. Cepat-cepat dia membuka layanan banking di ponsel dan mengecek mutasi terakhir dari saldo tabungan. Lagi, senyumnya semakin merekah. Anak lelaki itu langsung melompat dari tempat tidur dan siap-siap sekolah.

“Dek, kamu kemarin kelamaan di mana sih? Sampai beberapa cucian pelanggan nyampenya malem.”

Danish menyuap nasi goreng kornet telur udang dan mengunyahnya cepat. “Main di butik Kak Vio,” ujarnya sambil tersenyum. “Banyak cewek cakep.”

“Dasar!” Sang ibu tertawa pelan. “Jangan gitu lagi, ya? Manajer kita kena komplain. Masa nganternya semalam itu?”

Danish mengacungkan jempol sambil tersenyum dengan mulut penuh. Ibunya adalah seorang pengusaha laundry. Kedengaran sepele memang, tapi jangan salah, usaha laundry keluarga mereka sudah berjalan selama 13 tahun. Sementara itu Danish sebagai penerusnya kelak, mengemban tugas kecil dengan menjadi kurir tiap hari Selasa dan Sabtu sepulang sekolah.

“Mau bawa roti?” tanya ibunya sambil menenteng keranjang rotan dengan roti-roti dalam kemasan yang berjejal.

“Nggak. Aku mau makan batagor di sekolah.”

“Oh, ya udah.”

Tadinya, Danish akan menonton TV sementara menunggu waktu sampai pukul enam pagi lewat beberapa menit, ada acara kartun favoritnya—Spongebob Squarepants. Namun pergerakannya tertahan saat memeriksa ponsel dan mendapati pesan bahwa Oliv dikeroyok anak Zamrad jam lima pagi tadi. Darahnya mendidih hingga ke kepala.

Danish kembali ke kamar dan membawa perlengkapan perang. Isinya hanya beberapa jenis sunblock dengan berbagai kandungan SPF. Sunblock adalah koentji sebelum melakukan peperangan, karena bisa langsung dirasakan manfaatnya begitu diaplikasikan. Memang belum ada kepastian untuk menyerang, tapi Danish tahu kalau Angga pasti tidak akan tinggal diam mendengar Oliv dikeroyok.

“Ma, aku berangkat. Assalamualaikum!” teriaknya cepat sambil mengeluarkan motor dari carport dan melaju kencang ke arah sekolah.

Danish masih memacu kendaraannya dengan kecepatan tidak normal sampai dia berhenti di lampu merah dan melihat sosok orang yang sangat dikenalnya dari belakang. Setelah sempat emosi dan tersulut amarah karena kabar soal Oliv tadi, Danish langsung mengulum senyum karena melihat gadis itu di paginya yang cukup berantakan. Sayna Lalisa namanya, bukan yang tercantik di sekolah, bukan yang paling wah, bukan juga deretan gadis-gadis yang selalu berjejer menghadiahkan senyuman ala resepsionis kepadanya. Sayna hanya Sayna.

Gadis cantik dengan poni depan yang khas. Tinggi badan 167cm tapi memiliki kaki yang indah dan jenjang, dan dia tahu potensinya itu. Maka Sayna sejak SMP mengikuti klub taekwondo yang jadi tempat mereka pertama bertemu. Karena taekwondo adalah seni beladiri yang sangat mengandalkan kekuatan kaki. Padahal sebelumnya Danish mengikuti karate sejak SD, mencoba muay thai di kelas satu SMP dan baru menemukan kecintaannya pada taekwondo saat kelas tiga, sampai saat ini.

Entah karena taekwondo-nya, entah karena Sayna ada di sana.

ªªª

Jam pelajaran kedua dan guru mereka bilang akan sedikit terlambat masuk, begitu laporan dari ketua kelas tadi—Danish lupa namanya siapa, yang jelas dia laki-laki dan punya burung, sama sepertinya. Ada beberapa tugas yang harus mereka kerjakan sembari menunggu namun adalah keajaiban namanya jika anak-anak ini menuruti hal itu. Rebahan, gibah dan melakukan sederet kekacauan lain lebih menggiurkan daripada mengerjakan tugas itu.

“Danish,” panggil seseorang sambil menepuk bahunya dari arah belakang dan Danish mendongak. “Lo ninggalin gue di bioskop kemarin.”

“Hah?” Danish terperangah.

“Gue nggak percaya kalo lo bilang lupa nonton di bioskop bareng gue.”

Danish menggigit bibir. Oh, jadi ini dia barang yang ketinggalan itu. Kemarin dia ke bioskop, lalu Danish ke toilet sebentar dan ibunya menelepon karena Selasa adalah waktunya mengantarkan cucian. Saking ngerinya diomeli, Danish pergi begitu saja dari sana dan melupakan yang lainnya, termasuk gadis ini—mungkin. Pantas ya kemarin itu rasanya seperti ada yang tertinggal, tapi dia sama sekali tidak ingat.

“Duh, maaf.” Danish memasang tampang ala anak anjing—kalau tidak mau dikatakan anjing betulan. “Kemarin tuh gue ditelepon nyokap suruh pulang, saking takutnya gue pulang nggak inget apa-apa lagi. Bahkan abis dari toilet kan tuh, gue lupa nggak cebok dulu...” Gadis itu meringis. “Nyokap gue galak banget soalnya. Salah dikit aja gue bisa dikutuk jadi tempe, mending Malin Kundang jadi batu, jadi tempe coba apa bagusnya? Maaf, ya.”

Gadis di hadapan Danish itu tertawa, harus selalu seperti itu memang kalau penyakit lupanya sudah kumat. Dan Danish, di manapun dirinya berada selalu mendapat kemurahan hati dari semua orang, bahkan ketika dirinya melakukan kesalahan yang fatal.

“Ya udah deh, berhubung lo Danish, jadi gue maafin,” katanya enteng. Semudah itu memang, Ya Tuhan... terberkatilah Danish dan wajah maha tampannya ini.

“Makasih, lain kali gue ajak nonton lagi.”

“Ih, nggak usah.” Dia sepertinya trauma tapi berusaha menutup-nutupinya. “Kita makan aja ya, di kafe temen gue tuh di Kemang. Lo mau, kan?”  

Danish mengangguk riang sambil membentuk gesture O dengan tangan. Lalu dia mulai mengingat-ngingat siapa nama gadis itu dan di mana rumahnya. Melupakan soal itu, Danish dengan keberanian sedikit berlebih mencari-cari keberadaan Sayna yang biasanya duduk di jajaran paling ujung, bersandar ke dinding sambil membaca novelnya saat senggang.

“Say,” panggilnya saat menemukan gadis itu sampai Sayna terperanjat kaget lalu cemberut, dan menggeplak Danish dengan buku yang dia pegang.

“Apa?!” tanyanya galak. Selalu seperti itu memang, kalau di depan banyak orang.

“Dapet salam tuh dari si Will.”

“Will?” Dia mengernyit. “Will siapa deh? Nggak kenal gue.”

“Will you be my everything?”

“Huuuuu....” Teman-teman di sekitar mereka bersorak, dan Sayna kembali menggebuknya dengan novel yang masih dia pegang.

Danish tertawa senang. Mungkin di sekolah ini atau di dunia ini, hanya Sayna satu-satunya gadis yang tidak menunjukkan ketertarikan besar akan kehadirannya. Dan Danish yang terbiasa diperlakukan baik, merasa aneh dengan sikap gadis itu, padahal rasanya Danish tidak pernah jahat atau melukainya dengan sengaja. Lalu kenapa Sayna marah-marah terus padanya, ya?

“Bingung gue tuh,” kata Danish memulai saat suara riuh-riuh di kelas mulai tidak kedengaran lagi. “Perasaan bumi makin hari makin panas, neraka aja kayak lagi nyicil pindah ke sini.”

“Terus?” Sayna menaikkan sebelah alis dengan sorot mata bertanya-tanya.

“Tapi kok sikap lo masih dingin aja ke gue, Say?” Gadis itu diam, menatapnya sebentar lalu membuang pandang, menunduk dan memandang lantai di bawah kaki mereka. Seperti ada yang dia sembunyikan, dan Danish kaget akan reaksi ini. “Eh, gue denger katanya lo didapuk jadi model katalog butik gaun kemarin itu, ya?” Cepat-cepat, Danish mengalihkan pembicaraan.

“Iya.” Sayna mengangguk. “Bu Vio siapanya lo, Nish?”

“Oh, itu rekanan bisnis nyokap. Selamat, ya. Gue nggak sabar liat lo foto-foto pake baju pengantin, lo pasti siap, kan?”

“Siap apa?” Gadis itu keheranan.

“Siap buat gue halalin.”

“Sumpah ni anak gue kemplang juga lama-lama!” Danish tertawa, senang telah menemukan lagi Sayna yang biasanya.

“Gue mau ke kopsis dulu, lo mau nitip beli apa? Teh Kotak?”

“Boleh deh.” Sayna mengangguk sambil merogoh saku seragamnya untuk mengambil uang.

“Gue sih lagi pengen Mizone.”

“Nggak nanya.”

“Tanya dong, kenapa gitu?” ujar Danish kemudian.

Sayna memutar matanya malas, tapi Danish tahu dia tidak akan menolak karena Teh Kotak adalah kelemahannya. “Kenapa, Nish?”

“Karena Mizone itu kayak lo, Say.”

“Hah?”

“Mengembalikan semangatku yang hilang.”

ªªª

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Danish! garing banget lo wkwkwkkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status