Share

5. Sayna atau Sayang?

“Kak Danish!”

“Hai ...” Danish menyapa kerumunan anak kelas satu yang... kalau tidak terlalu pede sih, memang setiap pagi berjaga di sana demi menantikan kedatangannya, juga Aryan dan Angga. Mereka bilang, tiga anak Konoha adalah sumber asupan vitamin dan gizi di pagi hari agar semangat ke sekolah. Danish bangga karena pamornya mengalahkan Energen maupun Coco Crunch.

“Kak Danish, mukanya bening banget kayak ubin masjid yang udah disemprot disinfektan. Suci, bersih, steril ...”

Tawa anak-anak itu menggema, sementara Danish hanya menyunggingkan senyum dan terus berjalan menuju kelas. Dia datang agak terlalu siang karena sudah banyak orang di sekolah hari ini, tidak bisa bertemu dengan Sayna pagi-pagi.

Danish berdiri di depan cermin kelas yang seukuran dengan tubuhnya, merapikan rambut, mencoba mengabaikan jerit-jerit kecil tertahan dari anak perempuan di kelas. Yang Danish tidak paham, sampai kapan mereka tidak terbiasa dengan ketampanannya ini, kan? Sudah hampir satu tahun mereka belajar di kelas yang sama.

Lalu Danish maju lebih dekat, memperhatikan bekas luka tertutup concealer itu, sangat samar, hampir tidak terlihat kalau tidak diperhatikan lekat-lekat. Dan sebenarnya, sedikit informasi saja ya, tidak ada yang tahu bahwa Danish adalah tipe pemuda doyan perawatan. Selain Angga dan Aryan tentu saja.

Sebenarnya dia juga tidak peduli kalau orang-orang tahu, karena yang selalu Danish pakai adalah pembersih wajah dan pelindung matahari, sunscreen dan sunblock, untuk proteksi. Bukan makeup untuk berhias seperti banci. Tapi stigma orang-orang terhadap pemuda metroseksual cenderung miring. Padahal Danish hanya merawat diri, karena tubuh dan kulitnya ini adalah aset seumur hidup.

Menurut Danish, merugilah kalian kaum-kaum yang malas perawatan. Tuhan susah payah menciptakan kita sesempurna mungkin sebelum dilahirkan, bahkan sebelum itu terjadi orangtua kita lebih dulu susah-susah keringatan di atas ranjang untuk meracik adonan, terus setelah dilahirkan anaknya malah kufur. Tidak merawat pemberian Tuhan. Danish can’t relate.

Baginya penghargaan terhadap diri sendiri itu penting. Kalau ingin dihargai, maka kita harus memperlakukan diri dengan sama berharganya.

 “Say,” panggilnya pada seorang gadis di bangku depan. Hari ini mereka ulangan mendadak, tempat duduk di-rolling. Dan Sayna sedang berjodoh dengannya. “Say,” panggil Danish sekali lagi. “Say!” Danish agak mengeraskan suara. “Eh, buset nggak nengok-nengok juga. Hei, Sayna! Say! Aduh, Say! Bantuin gue!” Danish mulai resah karena tidak digubris. Biasanya dia bisa dapat contekan dengan mudah.

“Sayna,” ulangnya dengan nada lebih rendah. “Lo mau dipanggil sayang baru nengok, ya?”

“Apaan sih?” Gadis itu berbalik dengan tampang kesal dan Danish tertawa geli.

“Lha, bener. Dipanggil sayang dia nengok.”

Seisi kelas menertawakan mereka berdua.

ªªª

 “Nyusahin!”

Danish menyengir penuh kemenangan saat Aryan buru-buru bangkit dan berjalan menduluinya ke luar kelas. Dia susah sekali diajak main bersama sejak SMA, beda dengan dulu saat mereka masih TK.

“Yan, kita ke kopsis dulu. Gue mau beli minum sama beliin Angga jajanan.” Danish tidak meminta izin, dia hanya memberi tahu karena setelahnya—meskipun Aryan diam saja seperti manekin berjalan, temannya itu mengekor masuk ke koperasi sekolah. Berdiri menjulang di antara rak-rak makanan.

“Lo mau?” tawar Danish kepadanya. Dia sedang memilih beberapa jenis camilan favorit mereka, terutama Nabati SIP keju kesukaan Angga. “Sekalian nih,” ujar Danish.

Aryan menggeleng. “Nggak doyan micin,” ungkapnya.

Danish terkekeh. “Kenapa? Takut bego, ya? Takut saingan sama gue?”

Aryan menggeleng lagi. “Gue yakin lo nggak akan pernah tersaingi.”

Normalnya, orang-orang akan marah dikatai seperti itu. Tapi Danish tidak, dia tertawa. Dia tahu memang itu kelemahannya, kekurangannya, dan tidak harus malu mengakui hal tersebut. Karena manusia mana pun tidak ada yang sempurna. Danish mungkin tidak pintar, tapi itu bukan segalanya, kan? Memang dunia kiamat kalau Danish remedial?

“Gue nggak suka micin, bikin gatel.”

Tak disangka Aryan kembali bersuara yang justru membuat Danish keheranan. Lagipula, siapa yang tanya? Danish tidak menanggapinya dan hanya fokus pada camilan yang akan dibeli. Dan di ujung rak sebelah kiri, dia melihat dua bungkus Twisko rasa jagung bakar.

Danish menimbang-nimbang, melihat dua jajanan itu dari tempatnya sekarang. Dia kenal seseorang yang sangat menggemari camilan itu dan mengambilnya satu.

Selesai membayar dan membawa sekantung belanjaan, berjalan dengan Aryan yang melangkah tenang di sisinya, disambut riang gembira oleh anak-anak perempuan sepanjang koridor kelas, Danish merasa senang, entah kenapa. Karena dia membeli Twisko? Atau karena dia membeli Teh Kotak? Atau karena dua-duanya?

“Yan, gue pikir sih micin itu nggak bikin bego. Buktinya Angga suka Nabati tapi nggak remedial, terus ada temen gue di kelas suka Twisko juga anaknya pinter.” Aryan di sebelahnya diam. Sia-sia memang mengajaknya bicara, tapi Danish memang tidak suka diam-diaman. “Sebenernya gue juga nggak doyan micin sih, Yan.”

Manekin itu menoleh. “Jadi lo sukanya apa?”

Wah, ada angin apa ini? Puting beliung? Tornado? Atau apa? Kenapa Aryan balik bertanya? Biasanya dia akan menjawab, nggak nanya. Menyadari kelangkaan itu, Danish menyengir lebar lalu mengalungkan tangannya ke lengan Aryan. “Sukanya micintaimu.”

“Najis!” Aryan buru-buru mendorongnya jauh dan Danish tertawa. “Gue slepet juga lo lama-lama.”

Mereka berdua berjalan membelah kerumunan di koridor sekolah, atau memang sengaja diberi jalan oleh anak-anak itu hingga berhenti di depan lift yang akan membawa keduanya naik ke lantai lima. Tempat di mana markas Konoha berada. Lift sebelah kanan terbuka lebih dulu, beberapa anak perempuan keluar dari sana sambil melempar senyum, dan setelahnya kosong, Danish naik diikuti Aryan beberapa langkah di belakangnya.

Namun hal aneh justru terjadi setelah itu, gerombolan anak yang menunggu lift bersama mereka tadi tidak satu pun ada yang naik. Danish menyengir canggung, ada apa ini? Kenapa mereka malah membeku? Dan saat dia melirik ke samping, Danish menyadari ada saingan Elsa Frozen di sini. Menatap lurus dan dingin, seolah akan membunuh atau minimal membekukan anak-anak itu andai mereka berani masuk.

“Maaf ya, nanti lift-nya balik lagi kok. Gue suruh cepet, kalian tunggu sebentar di sini, oke?”

“Okeeeeeeeee!” Sorak sorai persetujuan berkumandang setelah Danish menyampaikan pengumuman barusan sembari menekan tombol agar lift itu segera menutup dan membawa mereka naik.

“Aaaaahhh... Kak Danish!”

“Nish, jagain Yayan, ya!”

“AHHH GILA GANTENG-GANTENG BANGET SIH GUE SAMPE PUSING!”

Danish meringis, dahsyat sekali suara teriakan itu sampai bisa menembus lift. Tapi tidak enak juga rasanya seolah-olah menjadi penguasa sekolah ini padahal dia bukan siapa-siapa. Bukan anak kandung, anak tiri, anak angkat atau pun keponakannya Kanjeng Ratu. Oh, iya Kanjeng Ratu Susu adalah sebutan untuk kepala sekolah SMA Nyusu. Nama aslinya siapa? Ya, mana Danish ingat. Dia lebih suka memanggilnya Kanjeng Ratu.

“Seneng, lo?”

Danish menoleh, menyadari Aryan baru bersuara lagi setelah beberapa detik yang panjang dengan pintu lift terbuka di depan anak-anak tadi. “Kenapa harus nggak seneng?” jawab Danish sambil menyengir lebar. “Mereka neriakin gue dengan puja-puji, kecuali kalau gue dianjing-anjingin ya, mana bisa gue cengengesan gini.”

“Serah.”

Danish menaikkan bahu lalu berjalan ke arah markas Konoha, ruangan untuk eskul boxing dan beladiri tambahan, Aryan menyusul di belakangnya sementara di markas mereka sudah tampak Angga dan Oliv yang tengah duduk dan berbincang. Dia membagikan jajanan yang dia bawa tanpa banyak bicara, hanya Nabati SIP keju dan minuman dingin untuk Angga, sisanya untuk Oliv, sementara Twisko dan Teh Kotak langsung diamankan olehnya.

“Itu buat siapa?” tanya Oliv, merujuk pada dua jajanan yang tidak boleh dimiliki oleh siapa pun di sana.

“Buat gue,” jawab Danish sambil mengedarkan pandang, berdoa keras-keras dalam hati agar tidak ada yang mencurigainya. “Udah sih lo makan yang itu aja, udah banyak juga.”

“Lama lo, telat?” tanya Angga, pada Danish lebih tepatnya.

“Noh, ngejemput anak emas.” Danish mengisyaratkan dagu pada Aryan yang duduk memojok sambil mengotak-atik ponsel barunya. “Terus ngantri di kopsis buat jajan.”

“Nish,” panggil Oliv tiba-tiba mengalihkan perhatian. “Tebak gue ketemu sama siapa.”

“Ketemu Tuhan?”

“Sembarangan anjing! Lo nyeremin banget!”

Danish tertawa mendengar reaksi sekaligus umpatan Oliv yang diberikan padanya barusan. Oliver punya perawakan paling besar di antara mereka berempat, maksudnya paling berisi, montok, bahenol, itu karena Oliv memang suka makan, terbukti dari beberapa bungkus kosong camilan berserak di dekatnya sekarang.

“Jadi lo ketemu siapa?” Angga meneruskan topik yang terpotong barusan.

“Itu, cewek yang suka live di Bigo, yang itunya gede.” Oliv menjawab itunya sambil berpura-pura meremas buah dada imajiner di depan tubuh. Dan kontan saja membuat Danish mengernyit heran.

“Yang mana sih anjir? Mana gue inget.”

“Jangan lo tanya Danish pokoknya, burung dia kalo nggak nempel pasti kelupaan juga.”

“Ga, bae-bae tuh mulut.”

Angga tertawa. Sedikit informasi, meski saat ini ada empat orang dalam satu ruangan berkumpul, tapi hanya tiga yang saling bersahutan bicara, jangan heran, ya. Tidak perlu dijelaskan apa yang dilakukan oleh satu orang yang lainnya.

“Jadi, kenapa tuh cewek?” Angga lagi-lagi membalik keadaan hingga membahas topik yang kembali tertunda.

“Nah, jadi kan tadi—”

“Yang mana woy! Jawab dulu!” pekik Danish, memotong cerita Oliv untuk ke sekian kalinya.

“Ih, anak monyet berisik banget!” Angga meradang dan berdiri dari tempat duduk sambil menyimpan cangkang Cheetos dan menjilat jari-jarinya yang kekuningan. “Itu cewek yang tetenya gede terus nawarin lo minum susu siang-siang, inget nggak lo?”

Danish melongo, sementara Oliv tertawa keras, dan di ujung sana Aryan mulai menampakkan kedutan-kedutan di ujung bibirnya. Tunggu dulu, ini yang mana sih? Cewek mana lagi? Yang itunya—tetenya, besar?

“Nish?” panggil Angga, matanya mulai membentuk garis.

Danish menggeleng, dia menyerah. Lelah membongkar ingatan dalam kepalanya yang tidak seberapa bagus itu.

“Yang malah lo bawa ke kopsis dan lo beliin susu UHT dari duit gocap gue, terus lo kasih dia dan lo bilang, ayo minum susu bareng!”

“Anak kambing cerdas banget, gue bangga!” Oliv terpingkal-pingkal, Angga menatapnya dengan sorot geli, dan Aryan membentuk sabit di matanya saat ini. Danish tercerahkan, dia mengingat kejadian itu. Angga bilang dia harus ikut dengan si cewek dan minum susu agar cepat tinggi, padahal dirinya sendiri yang punya perawakan seperti tuyul.

“Anak geng kok cupu, nggak paham dia mau diajak minum susu.” Oliv berkomentar singkat lalu melanjutkan tawanya yang terjeda. Danish menggaruk pelipis, dia malu kalau ingat kejadian itu. “Aduh, aduh, bentar... gigi gue nyut-nyutan.” Suara Oliv menginterupsi tawa karena dia segera menaruh jajanan dan meringis memegangi pipi kirinya yang kesakitan.

“Karma lo ngetawain gue,” komentar Danish.

“Mau minum obat?” tawar Angga. “Gue suruh anak-anak ke sini bawain obat dari UKS.”

Oliv mengangguk dengan kepala tertunduk. “Tapi gue cocoknya pake pornstar.”

“Hah?” Angga dan Danish serempak terperangah.

“Iya, pornstar. Obat langganan gue kalo sakit gigi.”

Angga terkikik pelan. “Si Anjeng sakit gigi malah nontonin orang ngewe.”

“Dih, pornstar, Bos. Itu obat, belinya di apotek.” Oliv masih bersikeras.

Danish tidak tahu kalau ada obat merek Pornstar, tapi bagus juga, merek itu sangat berpengaruh besar, sangat menjual. Seperti deterjen Vanish yang memiripkan namanya dengan Danish—anak pengusaha laundry paling kaya di Indonesia, mungkin Pornstar obat sakit gigi juga sedang berusaha untuk pansos agar produk mereka laku keras di pasaran.

“Ponstan,” kata sebuah suara di sudut ruangan. Orang yang sejak tadi tidak berpartisipasi apa-apa dalam obrolan absurd mereka.

“Nah, itu maksudnya. Ponstan. Hehe.” Oliv menyengir setelah membaca deretan huruf obat sakit gigi yang disodorkan Aryan melalui layar ponsel barunya.

“Gue sleding juga ni anak,” ujar Danish yang berpura-pura mengarahkan pukulan ke kepala Oliv. “Tolol sampe ke DNA,” imbuhnya.

“Dih, kayak yang pinter aja.”

Tidak ada lagi yang bicara di sana karena Oliv sedang merasakan penderitaan dari gigi berdeyutnya sementara Danish mengotak-atik aplikasi di ponsel dan memesan obat itu segera untuk Oliv. Biasanya para kurir pembeli obat cenderung lebih cepat. Dan dengan begitu pula, obrolan soal cewek dengan tete gede tadi terlupakan sudah.

“Nih, udah gue pesenin,” kata Danish dan menunjukkan layar ponselnya pada Oliv. “Nanti anak-anak kelas satu yang anter ke kelas lo kalau kita keburu masuk kelas.”

“Iya, Nish, makasih.”

“Bentar deng, belum gue bayar.” Danish cengengesan. Kembali berfokus pada layarnya dan sibuk melakukan transaksi pembayaran online. Sampai Oliv berjalan ke arahnya dan berdiri tepat di sebelah Danish.

“Gue tahu nomor PIN ATM lo,” katanya tiba-tiba. Dan Danish sangat kaget.

“Ih, anjir! Nggak boleh ngintip-ngintip woy!” Dia segera menyembunyikan layar ponsel dari Oliv. Itu adalah tempat penyimpanan yang berharga, semua uang-uang dari Dinara ada di dalamnya. Bisa bahaya kalau dibobol Oliv. “Coba lo sebutin kalo beneran tahu,” tantang Danish, mencari peruntungan. Kalau Oliv benar, dia akan langsung ganti PIN kartunya sekarang juga.

“Enam bintang, kan? Gue lihat tadi di layar HP lo.”

“Si goblo!”

Angga tertawa paling keras setelah mengumpat Oliv barusan, Danish mengelus dada lega, dan Aryan tersenyum tipis menanggapi situasi saat ini.

“Lo pasti tahu nomor PIN orang se-Indonesia, Liv.” Danish menepuk bahu anak itu. “Salut gue.”

ªªª

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status