Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.
“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.
“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.
“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.
Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.
“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.
“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.
“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
“Lepaskan mama dan papaku!” Suara anak laki-laki meminta penuh permohonan. Dia berusaha untuk menahan diri demi kedua orang tua.“Mereka akan menjadi sandera yang bagus untuk saat ini.” Suara tawa pun menggelegar memenuhi ruangan.“Untuk apa? Kamu sudah mengambilku! Cepat lepaskan mereka!” Kali ini dia tak bisa menahannya, dengan menunjukkan gigi dan mata yang menatap tajam, amarahnya mulai menguar.“Baiklah, aku akan melepaskan mereka. Tapi, kamu harus tanda tangan kontrak ini.” Pria itu melakukan penawaran.“Kontrak? Kontrak apa maksudmu?” tanya si anak laki-laki heran.“Kontrak hidupmu dan orang tuamu. Jika sekali saja kamu melanggar, membunuh mereka bukanlah menjadi hal yang sulit untukku.” Dengan arogan kalimat terucap bukan untuk mengancam, tetapi, menunjukkan kekuasaan.“Kena
Liana melihat semuanya, pria itu berjalan menyeret sebuah tongkat. Tongkat itu, terlihat persis seperti yang ia lihat di mimpinya, saat usianya masih 10 tahun. Tapi, kenapa ia selalu datang dan menebar ketakutan.Sebelum ia menusuk leher Liana, tiba-tiba waktu berhenti. Ia berdiri tepat di hadapan Liana, mematung dan tidak bergerak. Bahkan, detik jarum jam dinding, juga ikut berhenti, tanpa ia ketahui sebabnya.Suasana begitu sunyi, namun masih sangat mencekam. Liana yang berusaha untuk berdiri, namun ternyata ia juga mematung, sama seperti pria itu. “Kenapa, bahkan aku, tidak bisa membuka mulut?” tanya Liana dalam hati, berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan tubuhnya. Dari balik pintu, terlihat sebuah kilatan cahaya, yang sangat terang. Cahaya itu, perlahan mendekati Liana, dan membuatnya menutup mata, karena terlalu silau.***“Dimana aku? Kenapa, aku bisa ber
Semua terlihat begitu asing, ketika Liana membuka mata. “Ini seperti kiamat,” gumamnya kemudian menggigit bibir. Liana terus berjalan, menghindari cairan panas itu. Ia merasa kebingungan, karena tidak melihat siapapun yang melintas. Liana terus mengikuti jalan setapak, yang sudah diberi tanda, sehingga aman untuk dilewati.Ketika sampai di persimpangan jalan setapak, ia melihat beberapa balok batu besar, seperti sebuah nisan. Karena penasaran, ia pun mencoba melihat batu apa itu sebenarnya.“Semoga tenang dalam damai.” Kalimat itu, terukir di atas setiap batu besar. Beberapa nama pun terukir disetiap batu yang Liana lihat. Karena merasa kebingungan, ia pun berusaha mencari orang untuk bertanya.“Permisi, batu ini, untuk apa ya?” tanya Liana kepada sepasang kekasih, yang mampir ke tempat itu.“Ini, tugu peringatan. Setelah alat pemusnah itu, merenggut buah hat
“Liana, bangun nak. Ini hari pertamamu masuk sekolah. Masa kamu telat,” ucap Mama mencoba membangunkan.“Tidak …,” teriak Liana kemudian terbangun.Dengan tubuh gemetar, Liana mencoba memastikan apakah tubuhnya baik-baik saja. Ia merabah leher dan memperhatikan sekelilingnya, kemudian menghela napas.“Liana, bangun. Apa kamu ingin terlambat di hari pertamamu?” tanya mama dengan nada keras.“Iya Ma, Liana akan bersiap, 10 menit lagi,” jawabnya kemudian meloncat dari ranjang dan bergegas mandi.Liana bergegas turun untuk membantu pekerjaan mama yang ada di dapur. Mama pun terkejut.“Eh, Anak Mama. Tumben tidurnya pulas banget,” ucap mama merapikan meja makan untuk sarapan.“Maaf, Ma. Oh iya Ma, hari ini Papa nganterin Liana, kan?” tanya Liana mengelak, segera mel
“Kenapa kita baru bertemu sekarang?” tanya aji berbisik kepada Liana.“Aish … Liana, sadar. Kamu tidak boleh terbuai dengan rayuan sampah ini. Pasti, dia bukan laki-laki baik,” gumam Liana di dalam hati, kemudian menatapnya.Brug …Liana menjatuhkan buku yang ia bawa dan mengenai kaki Aji. Sontak, Aji berteriak karena terkejut dan kesakitan. Buku yang Liana bawa cukup berat, tentunya cukup untuk mengalihkan si berengsek itu dari hadapannya.“Kamu kenapa, sih? Serius sekali. Aku, hanya bercanda,” tanya Aji terus memegangi kakinya dengan raut wajah kesakitan.“Kamu, kamu yang mendorongku, kan. Kamu, pasti punya niat yang tidak baik. Astaga, apa kamu mau meminta uang sakuku? Atau kamu, ingin aku mengerjakan PR mu?” tanya Liana kesal, kemudian meninggalkannya.***Sepulang sekolah
“Liana, kamu kenapa?” tanya Reno melihat Liana terjatuh dan segera membopongnya.“Aku, aku baik-baik saja,” jawab Liana dengan tubuh gemetar.“Tunggu di sini, aku akan ke apotek untuk membeli obat penenang,” seru Reno kemudian bergegas pergi.Liana berusaha untuk menenangkan diri dengan menengguk segelas air, kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Namun, tiba-tiba ia merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur pulas di sofa ruang tengah.Mama, Papa. Jangan tinggalkan Liana sendirian! Tidak, aku tidak mau sendirian. Kalian sudah berjanji akan bersamaku selamanya. Mama, Papa, jangan pergi, kumohon! Lagi-lagi Liana bermimpi buruk. Hanya karena tertidur sejenak menunggu Reno, ia mengalami mimpi itu lagi.“Liana,” panggil Reno ketika memasuki rumah Liana.“Tidak,” ucap Liana keras, kemudian terb