“Kenapa kita baru bertemu sekarang?” tanya aji berbisik kepada Liana.
“Aish … Liana, sadar. Kamu tidak boleh terbuai dengan rayuan sampah ini. Pasti, dia bukan laki-laki baik,” gumam Liana di dalam hati, kemudian menatapnya.
Brug …
Liana menjatuhkan buku yang ia bawa dan mengenai kaki Aji. Sontak, Aji berteriak karena terkejut dan kesakitan. Buku yang Liana bawa cukup berat, tentunya cukup untuk mengalihkan si berengsek itu dari hadapannya.
“Kamu kenapa, sih? Serius sekali. Aku, hanya bercanda,” tanya Aji terus memegangi kakinya dengan raut wajah kesakitan.
“Kamu, kamu yang mendorongku, kan. Kamu, pasti punya niat yang tidak baik. Astaga, apa kamu mau meminta uang sakuku? Atau kamu, ingin aku mengerjakan PR mu?” tanya Liana kesal, kemudian meninggalkannya.
***
Sepulang sekolah Liana menunggu angkot kuning yang biasanya ia tunggu sambil menatap jalan. Ada sebuah mobil putih mendekat. Ia pun bersikap acu tak acuh dengan mobil putih itu, mungkin hanya sekedar lewat, pikir Liana.
“Hai Liana, ayo pulang bersama kami. Kita kan satu kompleks,” ajak Salma menawarkan tumpangan.
“Apakah tidak merepotkan, Sal?” tanya Liana memegangi tasnya.
“Tentu tidak Li, bagaimana?” bujuk Salma membuka pintu mobil.
“Baiklah,” balas Liana menyetujui kemudian masuk ke dalam mobil.
Dari kejauhan, terlihat Aji sedang memperhatikan Liana, berharap bisa pulang bersamanya hari ini walaupun baru mengenalnya. Tanpa disadari rasa itupun membuat Aji merasa tidak tenang.
Sesampainya di rumah, Liana bergegas pergi ke halaman belakang rumah untuk menyiram tanaman dan memberi makan Molly, kucing kesayangannya.
Kring ... kring ... kring ...
Suara dering telepon rumah Liana. Ia bergegas mengangkat telepon itu.
“Halo, selamat sore. Dengan siapa ya ini?” tanya Liana menjawab panggilan telepon.
“Halo, ini pasti Liana, ya. Ini tante Amirah. Mama dan Papa mu apakah ada di rumah?” tanya tante Amirah.
“Eh, tante Amirah. Lama Liana tidak mendengar suara tante, nih. Tidak tante, mama ada di Yayasan, dan papa sedang bekerja di perusahaan,” jawab Liana.
“Oh, ya, sudah. Liana bisa tolong tante, tidak?” tanya tante Amirah.
“Soal apa, Te?” tanya Liana bingung.
“Hari ini, Reno anak tante sedang ulang tahun. Tante akan suruh Reno menemani kamu ke salon, alasannya kamu mau rekaman bareng sama tante dan sekalian ngambil pesenan tante. Bagaimana Li?” tanya tante Amirah.
“Baiklah, Tante, siap. Liana akan bersiap-siap,” ucap Liana tersenyum.
“Makasih ya, cantiknya tante,” ucap Tante Amirah.
“Asiap Tante, tenang aja,” jawab Liana.
Liana bergegas mandi dan sholat, kemudian bersiap-siap menunggu kedatangan Reno, anak tante Amirah. Karena Liana akan berakting untuk membantu tante Amirah memberikan surprise untuk ulang tahun Reno.
Namun, karena terlalu bersemangat. Liana tertidur di sofa ruang tengah setelah meminum segelas susu.
“Ini kakakmu, aku sudah tidak membutuhkannya. Aku akan segera menemuimu, tunggu saja.” Mimpi itu kembali terulang. Seseorang menyodorkan sebuah foto pria mengenakan jas labolatorium kepada Liana.
Liana terbangun dengan napas yang tidak beraturan. Ia mencoba menenangkan diri dengan minum seteguk air. Kemudian mendapati di hadapannya ada sebuah foto. Ketika di balik, ya, itu adalah foto Panji, kakak kandung Liana.
Tingtong … tingtong … suara bel rumahnya.
Ia bergegas menyembunyikan foto itu, kemudian membuka pintu rumah. Ia pun terkejut karena Reno terlihat sangat tampan dan rapi. Liana mempersilahkannya untuk masuk.
Setidaknya, Reno membuatnya tenang untuk saat ini.
Seusai bersiap-siap, Liana menghampiri Reno yang sedang berjalan memandangi foto Liana di rak sambil tersenyum sedu. Ketika Liana hendak memanggil Reno, pandangannya teralihkan karena melihat sesuatu yang janggal.
Sekilas ia melihat bayangan seorang laki-laki. Bayangan itu, terasa sangan familier. Semakin lama bayangan itu semakin mendekat. Liana hanya memandanginya dengan tajam.
Bayangan itu, terus mendekat bahkan saat Liana mulai menjauh dari Reno. Ya, bayangan itu bisa menembus Reno, kemudian berlari menuju Liana. Sontak Liana terkejut, dan terjatuh.
“Aaaa ….”
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,