“Liana, bangun nak. Ini hari pertamamu masuk sekolah. Masa kamu telat,” ucap Mama mencoba membangunkan.
“Tidak …,” teriak Liana kemudian terbangun.
Dengan tubuh gemetar, Liana mencoba memastikan apakah tubuhnya baik-baik saja. Ia merabah leher dan memperhatikan sekelilingnya, kemudian menghela napas.
“Liana, bangun. Apa kamu ingin terlambat di hari pertamamu?” tanya mama dengan nada keras.
“Iya Ma, Liana akan bersiap, 10 menit lagi,” jawabnya kemudian meloncat dari ranjang dan bergegas mandi.
Liana bergegas turun untuk membantu pekerjaan mama yang ada di dapur. Mama pun terkejut.
“Eh, Anak Mama. Tumben tidurnya pulas banget,” ucap mama merapikan meja makan untuk sarapan.
“Maaf, Ma. Oh iya Ma, hari ini Papa nganterin Liana, kan?” tanya Liana mengelak, segera melahap roti cokelat kesukaannya hingga mulut belepotan.
Pagi ini Liana, dan kedua orang tuanya sarapan seperti keluarga yang lain. Tak lupa Liana memasukkan bekalnya ke dalam tas. Kemudian berpamitan dan mencium tangan mama dan papa.
“Pa, hari ini Liana berangkat naik bajaj saja,” ucap Liana mengurungkan niat untuk diantar.
“Kenapa tidak berangkat sama Papa saja, Neng?” tanya mama.
“Tidak apa Ma, Liana ingin beradaptasi saja,” jawab Liana diiringi senyum yang mengambang dan menampilkan barisan gigi putih dan rapi.
“Baiklah, hati-hati di jalan ya. Jangan lupa, sekolah yang benar,” ucap papa mengelus rambut putri cantiknya.
“Siap, Pa. Assalamualaikum Ma, Pa,” ucap Liana tersenyum sembari mencium tangan mama dan papa.
“Waalaikum salam,” seru mama dan papa bebarengan.
Pukul 06.00 tepat Liana berangkat sekolah, di perempatan setelah bloknya, ia menjumpai bajaj dan naik sampai sekolah. Hari ini, hari pertamanya memasuki masa putih abu-abu. Masa dimana suka dan duka pendidikan serta kehidupan bermula di sini. Sesampainya di sekolah, Liana kebingungan mencari ruang kelasnya, karena sebelumnya tidak mengikuti MOS (Masa Orientasi Sekolah).
Brukkk …
Liana pun terjatuh bersamaan dengan seorang siswa yang tanpa sengaja menabraknya. Liana berusaha untuk bangkit dan membersihkan seragamnya, kemudian mengulurkan tangan kepada anak itu.
“Kenapa kamu menolongku?” tanya siswa itu.
“Tak apa, aku pun salah karena berjalan tanpa memperhatikan jalan,” jawab Liana sambil tersenyum.
“Terima kasih,” ucap anak itu.
“Sikumu memar, mungkin karena terbentur keramik. Ketika di kantin, kompres pakai es batu saja. Agar memarnya cepat hilang. Aku pergi dulu ya,” kata Liana memberikan saran.
“Terima kasih,” ucap anak itu sembari menatap Liana dengan saksama.
“Ya, kenapa aku mengulurkan tangan? Astaga di tampan sekali. Tunggu, tunggu, Liana sadarlah. Ini hari pertamamu di sekolah, jangan mudah jatuh cinta, oke,” gumam Liana berjalan menjauh dari anak itu, kemudian menggangguk beberapa kali.
X IPS 1 ruang kelas Liana. Banyak wajah baru yang ditemuinya. Ia banyak bercakap-cakap dengan teman di sekelilingnya. Semua siswa di kelas tersebut saling berjabah tangan untuk memperkenalkan diri mereka masing-masing, begitupun dengan Liana.
“Selamat pagi ….”
Tiba-tiba, suara guru mereka, Bu Hanifah datang dan memecah kegaduhan. Seluruh siswa dan siswi mengambil posisi tempat duduk yang mereka pilih. Seluruh isi kelas mengucapkan salam kepada Bu Hanifah.
“Assalamualaikum, Bu,” ucap seisi kelas.
“Waalaikum salam anak-anak. Untuk siswa dan siwi baru, ibu ucapkan selamat datang di kelas ini. Perkenalkan nama ibu Siti Hanifah, bisa dipanggil Bu Hanifah.” Bu Hanifah memulai perkenalan dan memberi salam penyambutan.
“Salam kenal, Bu Hanifah.” Seisi kelas membalas dengan memberikan salam penyambutan.
Bruakkk …
Satu suara dari tubuh seseorang yang terpeleset ketika menabrak pintu ruang kelas. Seisi ruangan pun terkejut, begitu juga dengan Liana yang mencoba mengatur napasnya. Ternyata itu adalah anak laki-laki yang tadi bertabrakan dengannya. Anak itu pun langsung berdiri dan mengelus hidungnya yang merah. Seisi kelas pun tertawa gaduh.
“Harap tenang semua. Silahkan masuk, Nak. perkenalkan dirimu,” seru Bu Hanifah.
“Selamat pagi. Perkenalkan saya Aji Bagaswara. Bisa dipanggil Aji. Saya berasal dari Bandung. Salam kenal,” ucap Aji sembari memperhatikan seisi kelas dan menatap Liana.
“Salam kenal Aji,” ucap seisi kelas membalas perkenalan.
“Nah, Aji, kamu bisa duduk di samping Liana. Silahkan.” Bu Hanifah memberi izin.
“Baik bu, terima kasih,” balas Aji dan bergegas untuk duduk.
***
“Jam istirahat,” lirih Liana sembari merapikan buku-buku. Ia tidak sengaja melihat luka di dahi Aji, kemudian mengambil plester di dalam tasnya.
“Ini untukmu,” ucap Liana memberikan plester kemudian tersenyum.
“Untuk apa? Aku tidak membutuhkannya,” sanggahnya dengan menepis tangan Liana.
“Jangan bawel, luka mu akan iritasi jika dibiarkan terbuka,” ucap Liana sambil memaksa memakaikan plester itu kemudian pergi.
Setiap jam istirahat, Liana selalu membaca buku di perpustakaan sekolah. Ia membaca buku seputar letak geologis Indonesia dan beberapa buku novel. Saat sibuk membaca, dari arah rak pojok terdengan buku yang jatuh dan mengeluarkan suara lumayan keras, sehingga memecah konsentrasi Liana.
Ia pun menghampirinya, Liana terkejut, buku tersebut bertuliskan “Teknologi yang Tak Terbatas”. Hatinya menginginkan untuk membawa buku itu pulang, tapi bagaimana jika mama dan papa mengetahuinya.
Kalau aku bawa pulang, mama dan papa pasti akan marah, kata Liana dalam hati.
Sebelumnya, Liana tak pernah berbohong dan menyembunyikan sesuatu kepada mama dan papa. Liana selalu berkata jujur, bahkan sangat terbuka. Ia pun termenung sendirian.
“Aaaaa …,” teriaknya terkejut karena ada yang menepuk-nepuk bahunya.
Dengan cepat, Aji menutup mulut Liana dengan telapak tangannya. Ketika Liana mulai membuka mata, ia melihat Aji sedang mendekapnya di ujung rak perpustakaan.
“Tidak ku sangka, kamu begitu cantik, jika dari dekat seperti ini,” bisik Aji mendekatkan bibir ke telinga Liana.
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,