Share

Bab 145

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-03 12:36:40

Salju mulai menipis, meninggalkan jejak beku di tanah berbatu. Ia mengenakan mantel kulit domba tebal berwarna gelap, dan tongkat kayu ukiran tua tergantung di pinggangnya. Di hadapannya berdiri Anugra dan Inuke, ayah dan ibu dari istri-istrinya, dengan wajah yang sulit ditebak—antara lega dan berat hati.

Raka menundukkan kepala memberi hormat. “Ayah, Ibu... izinkan aku pamit. Desa Kali Bening telah lama menanti. Banyak hal yang harus kurampungkan di sana.”

Inuke menggenggam tangan Raka, suaranya pelan tapi menusuk hati. “Kau benar-benar akan membawa tiga anakku kembali ke tempat itu?”

“Bukan tempat itu, Bu,” sahut Raka lembut. “Tapi rumah kami. Di sanalah akar masa depan kami akan tumbuh.”

Anugra memandang langit sejenak, lalu menghela napas berat.

“Kau memang kepala keluarga sekarang, Raka. Tapi ingat, Kali Bening itu hutan yang baru disulap jadi dusun. Belum layak untuk anak-anakku yang besar di desa kelewer.”

“Dan karena itu, aku ingin membawa Ayah dan Ibu melihatnya sendiri. Lih
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 146

    Malam semakin larut di Pos Cemara. Badai salju telah datang seperti yang diperkirakan, menyapu pelataran perkemahan dengan desir angin yang menusuk hingga ke tulang. Di dalam tenda utama, api unggun kecil terus menyala. Bayang-bayang nyalanya menari-nari di dinding kain, seperti siluet para penari dari masa lampau.Raka belum tidur. Ia duduk bersila di dekat api, menyelimuti tubuhnya dengan mantel wol, dan di pangkuannya tergeletak sebuah kitab tua. Kitab itu ia temukan tak sengaja saat para pengawal sedang membangun tenda—terselip di balik peti kayu bekas milik rombongan dari utara yang konon pernah terjebak badai bertahun lalu dan tak pernah kembali.Ia membuka halaman demi halaman kitab itu dengan hati-hati. Aroma lembaran kulit tua dan debu masa lalu menyeruak. Di salah satu halaman, ia tertegun. Ada gambar bangunan megah, dengan pilar-pilar marmer putih menjulang, atap melengkung yang disangga batu besar berukir, dan taman-taman batu yang dikelilingi parit kecil. Ukiran burung da

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-03
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 147

    Matahari sudah merunduk di balik pegunungan, menyisakan cahaya kemerahan yang menyapu puncak-puncak pohon bersalju. Di kejauhan, rombongan Raka mulai mendekati pintu gerbang Desa Kali Bening. Roda-roda kereta kuda berderak pelan di jalan berbatu yang licin oleh es, sementara para pengawal tetap menjaga barisan dengan sigap.Di depan gerbang kayu tinggi yang dilapisi logam dan ukiran lambang desa, pasukan penjaga desa telah bersiap. Begitu melihat kereta utama mendekat, pemimpin jaga mengangkat tangan tinggi.“Itu Tuan Raka! Bukakan pintu! Hormat, semua!”Serempak, belasan penjaga berdiri tegap, memberi penghormatan. Gerbang dibuka perlahan, mengeluarkan bunyi berat yang menggema.Anugra yang duduk di sebelah Inuke di dalam kereta, sontak menegakkan punggungnya. “Itu... penjaga desa?”“Dan... mereka memberi hormat... pada Raka?” Inuke mengerutkan kening.Begitu kereta melintasi gerbang, pandangan mereka langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuat mulut mereka ternganga.Benteng batu

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-03
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 148

    Mentari pagi menyibak salju yang menggantung rendah di atas Kali Bening. Angin berhembus pelan membawa aroma salju basah dan daun cemara. Dari jauh, suara ketukan pintu kayu terdengar berat dan mantap.“Tuan Raka, ada tamu,” ucap salah satu penjaga rumah sambil membuka pintu depan perlahan.Raka tengah bersiap ke balai desa, namun belum sempat melangkah, dari arah pelataran muncul seorang lelaki tua berjanggut putih dengan jubah wol coklat—Zeno, sang kepala dusun lama merupakan paman sendiri bagi Raka.Namun bukan Raka yang menyambut lebih dahulu. Dari dalam rumah, Anugra keluar lebih dulu, dan begitu matanya menangkap wajah Zeno, ia langsung berlari kecil, lalu memeluknya erat.“Zeno! Wahai Zeno! Lama tak kulihat wajah tuamu!”“Dan aku juga, Tuan Anugra. Kita sama-sama menua rupanya... Tapi lihatlah, berkat anak muda satu ini,” Zeno menepuk bahu Raka yang baru mendekat, “kita tak perlu hidup dari nasi karak dan upah mandor lagi.”Anugra tertawa keras, menepuk pundak sahabat lamanya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-04
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 149

    Pagi itu, Balai Desa Kali Bening penuh sesak. Ruangan utama dipenuhi para kepala dusun, perwakilan pedagang lokal, dan belasan pedagang dari luar desa yang duduk dengan gelisah. Suara hujan salju di atap beradu dengan ketegangan yang menggantung di udara.Di hadapan mereka, Raka berdiri tegak, mengenakan jubah tebal warna hitam tua dengan lambang daun cemara bersulam benang emas di dadanya. Di sampingnya, Mirna membawa gulungan laporan pelanggaran dari dua pasar desa."Tak satu pun dari kalian dapat berdagang di desa ini jika menipu rakyat kami," ucap Raka lantang, suaranya tegas namun tenang. "Mengurangi takaran, menjual barang palsu, memalsukan segel pasar, semuanya sudah cukup."Salah satu pedagang dari luar, lelaki setengah baya bernama Kalen, mencoba membela diri.“Kami hanya mencari untung, Tuan Raka. Kalau barang dari luar mahal, tentu kami harus menyesuaikan harga.”Raka meliriknya tajam, kemudian melangkah mendekat. “Untung tak boleh lahir dari dusta. Kalau semua rakyat dibod

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-04
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 150

    Pagi itu, salju masih mengguyur Desa Kali Bening. Seluruh atap rumah memutih, jalan-jalan tetap hangat oleh uap bawah tanah, namun hawa di udara terasa berbeda. Tidak hanya dingin karena musim, tapi dingin karena berita yang perlahan menyusup seperti angin menusuk tulang.Di balai utama desa, Raka duduk di ruang rapat bersama Goro dan Mirna. Kertas-kertas laporan masih tersusun di depannya saat Tomi, kepala penjaga gerbang desa, masuk dengan langkah cepat namun tetap sopan.“Ampun, Tuan Raka…” ucapnya sambil menunduk. Napasnya masih terlihat membeku di udara.Raka menoleh. “Ada apa pagi-pagi begini, Tomi?”Tomi mendekat dan berbisik pelan: “Ada kabar dari pos luar. Beberapa pedagang menyebar bisik-bisik aneh. Dan… satu hal yang lebih berat: Aryo Wiroguno dari pusat menyampaikan ke para pejabat, bahwa Tuan… ingin mendirikan kerajaan baru.”Sunyi mendadak menyelimuti ruangan. Goro dan Mirna saling berpandangan, wajah mereka menegang.Raka mendongak perlahan. “Apa katanya persis?”Tomi m

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-04
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 151

    Kerajaan Surya Manggala dipenuhi awan kelabu saat langkah-langkah Raka bergema di lorong panjang istana. Suasana ruang sidang agung telah dipenuhi para pejabat tinggi, beberapa mengenakan jubah ungu lambang penguasa daerah, sebagian lagi berselubung kain gelap pertanda penasihat senior kerajaan. Di tengah ruangan, berdiri Mahapatih Maheswara, matanya tajam menatap Raka yang melangkah mantap ke hadapan mereka.Mahapatih Maheswara menyapa dengan suara berat,“Raka kau sebagai kades Kali Bening, kau telah kami panggil untuk menjelaskan desas-desus yang mencemaskan, kau merupakan lulusan terbaik Kerajaan saat ini. Benarkah kau hendak membangun kekuatan tandingan dan berniat menggoyahkan Surya Manggala?”Beberapa pejabat bergumam pelan. Tatapan-tatapan tajam menyelidik tiap gerak Raka. Namun pemuda itu berdiri tegak, tidak gentar.Raka menatap lurus ke arah Mahapatih, lalu menjawab dengan tenang, “Tuanku Mahapatih, sungguh hamba tak pernah berniat demikian. Hamba hanya seorang kepala desa

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-05
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 152

    Butiran salju menabrak jendela istal latihan para kesatria muda. Di sudut ruangan yang mulai lembap dan gelap, Aryo Wiroguno duduk menyandar pada dinding batu, tangannya menggenggam cangkir tanah liat berisi arak hangat yang sudah tak lagi mengepul.Di atas meja kayu, beberapa gulungan naskah laporan latihan masih terbuka, tapi sejak tadi Aryo tak membaca sepatah huruf pun. Pikirannya penuh. Bukan oleh strategi tempur, bukan oleh rencana pelatihan... tapi oleh satu nama yang kini kian menggema di seluruh penjuru kerajaan.Raka.Ia menggeram pelan, membanting pelan cangkir ke atas meja. Di seberangnya, seorang sahabat lamanya, Prajurit Utama Lodra, hanya mengangkat alis.Lodra berkata sambil mengangkat bahu, “Jangan katakan kau masih kesal soal pemanggilan itu.”Aryo mendengus, menatap Lodra dengan mata merah oleh amarah yang ditahan,“Kesal? Kau kira bagaimana perasaanku saat mendengar si anak desa itu lolos dari tuduhan kudeta? Dia bisa berbicara seperti pendeta tua—tenang, licin, da

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-05
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 153

    Lima hari yang melelahkan akhirnya berujung pada panorama yang tak disangka.Kuda-kuda yang menggigil digiring perlahan menembus gerbang besar Desa Kali Bening. Benteng batu yang kokoh berdiri menjulang, dihiasi ukiran-ukiran halus yang menceritakan sejarah desa dan simbol-simbol kearifan lokal. Dari balik kabut tipis musim dingin, tampak atap-atap rumah warga yang rapi dan megah, mengepulkan asap hangat dari perapian mereka.Tuan Damar menarik kendali kudanya, menatap sekeliling dengan mata membelalak takjub."Ini... benar-benar desa?" gumamnya lirih. "Atau aku telah sampai ke kota kecil yang tersembunyi dari mata dunia?"Raka, yang menunggang kuda di sampingnya, tersenyum tipis. "Ini Kali Bening, tuan. Hanya desa yang dipelihara dengan sungguh-sungguh oleh orang-orang yang mencintainya."Damar menoleh padanya, masih tak percaya. "Tak pernah kulihat rumah warga desa dengan dua lantai... atau jalan desa tanpa genangan es di musim begini. Tak masuk di akal."Raka mengangkat tangan, mem

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-05

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 162

    Langit kelabu telah menggantung selama berminggu-minggu di atas wilayah Kerajaan Surya Manggala. Angin menggila, hujan salju turun nyaris tak mengenal jeda. Pepohonan tumbang, sungai membeku, atap-atap runtuh, dan jalan-jalan menjadi ladang salju tebal yang sulit dilalui. Di balai kerajaan, para pejabat mencatat laporan kerusakan dari seluruh penjuru negeri.Raja Mahesa Warman berdiri tegak di depan peta besar yang terbentang di ruang pertemuan utama. Sorot matanya tajam namun wajahnya menyimpan kelelahan.“Berapa jumlah kerugian yang harus kita tanggung, Patih Darsa?” tanyanya pelan namun tegas.Patih Darsa membuka gulungan laporan dari para bupati dan panglima wilayah.“Hamba telah menghitung, Paduka. Kerajaan setidaknya harus mengeluarkan seratus ribu tael emas untuk memperbaiki jembatan, bendungan, gudang logistik, dan rumah warga,” ucapnya hati-hati.Mahesa Warman mengangguk perlahan, lalu menghela napas berat.“Kita tak bisa menghindar dari murka alam, tapi rakyat harus tetap ki

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 161

    Musim dingin kali ini datang lebih panjang dan menggigit. Langit tak henti-hentinya menurunkan salju, mengubur ladang-ladang, menutup jalan-jalan, dan menghalangi sinar matahari dari menyentuh tanah. Angin dari utara menderu seperti suara serigala lapar, menghantam atap rumah dan menerbangkan debu salju ke segala arah.Di ujung desa Kali Bening, Raka berdiri di menara penjaga benteng, memandang luas ke arah lembah yang perlahan menghilang dalam rintikan salju.“Ini badai paling buruk yang pernah kita alami,” gumamnya.Di sampingnya, Tomi, kepala penjaga desa, mengangguk sambil menarik jubah bulunya lebih erat.“Pohon-pohon besar di sisi barat tumbang semalam, Tuanku. Tiga atap rumah hampir terangkat kalau gentingnya tak seberat itu,” lapor Tomi.Raka menarik napas panjang. Ia telah mempersiapkan musim dingin sejak dua bulan lalu. Gudang makanan penuh. Kayu bakar ditumpuk di setiap sudut desa. Rumah-rumah warga telah dibangun ulang setahun terakhir menggunakan bata merah dan genting ta

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 160

    Angin musim dingin menyapu lereng Kali Bening dengan suara lirih, seolah membawa kabar yang tak ingin didengar siapa pun. Hari itu, Raka baru saja selesai memeriksa kemajuan pembangunan kapal di pelabuhan, ketika seorang pemuda berlari mendekat sambil terengah-engah.“Tuan Raka... Riko... Riko jatuh sakit parah,” katanya terbata, wajahnya pucat karena lelah dan cemas.Langkah Raka terhenti. Ia menoleh cepat. “Riko?”Pemuda itu mengangguk cepat. “Ia tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Katanya sudah lama ia sembunyikan, tapi sekarang tubuhnya seperti tak mau bergerak.”Tanpa banyak tanya lagi, Raka langsung bergegas menunggangi kudanya dan memacu dengan cepat. Langkahnya cepat menyusuri jalan batu yang hangat di bawah kaki kuda putih raka, menuruni bukit kecil menuju rumah kayu besar nan megah di pinggir desa, tak jauh dari aliran sungai kecil yang hampir membeku.Begitu sampai, tiga wanita keluar dari rumah itu. Wajah mereka terlihat lelah dan khawatir. Salah satunya, istri tertua Ri

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 159

    Hawa beku menusuk bahkan hingga ke tulang. Tapi di dermaga sungai Kali Bening, suara palu tak berhenti. Asap tipis mengepul dari dapur kayu tempat para tukang menghangatkan tangan dan mengeringkan perkakas. Di tengah semuanya, kerangka besar kapal dagang berdiri megah—bagaikan tulang naga yang belum ditumbuhi kulit.Para tukang bekerja dengan mantel wol ringan yang dijahit ibu-ibu Kali Bening, hangat dan tahan lembab. Kades Raka berjalan di antara mereka, menepuk bahu satu per satu.“Kerja kalian luar biasa. Tanpa semangat seperti ini, kapal ini hanya akan jadi mimpi,” katanya sambil tersenyum.“Kalau Tuan mengutus seseorang untuk terus bawa kami teh hangat dan pisang goreng seperti tadi pagi, kami bisa selesaikan kapal ini sebelum salju merata,” jawab Kerta si tukang utama, disambut tawa kecil para pekerja.Tapi senyum Raka cepat memudar saat ia masuk ke ruang kecil yang dijadikan tempat menyimpan dokumen dan catatan perjalanan para pedagang. Di atas meja kayu, puluhan gulungan bambu

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 158

    Raka berdiri di atas batu besar dekat pasar baru yang menghadap ke dermaga kecil. Wajahnya tenang, tapi tatapannya menyimpan tekad.“Waktu kita sudah dekat,” ucap Raka lantang kepada para warga yang berkumpul. “Hasil bumi kita melimpah, rempah-rempah kita harum, rotan dan kain dari para pengrajin sudah siap. Tapi kita tidak bisa terus menunggu pedagang dari luar datang ke desa ini.”Seorang lelaki tua, Darsa, mengangkat tangan, “Kamu ingin kami berdagang ke luar desa, Raka?”Raka mengangguk. “Ya. Kita yang membawa barang kita sendiri ke luar. Jika kitab awa Ke kota madya, ke pasar Kemusuk seperti yang kalian ketahui pajak tidak masuk akal di berikan kepada para pedagang kita. Dan biar mereka tahu bahwa Kali Bening tidak cuma tahu menanam dan menenun, tapi juga tahu cara berniaga.”Sorak kecil muncul, tapi wajah-wajah ragu masih terlihat.Seorang pemuda, Tawi, bersuara, “Kalau kita lewat Kemusuk dan kota madya, mereka pasti minta pajak. Kadang semaunya. Kadang bayar, kadang cuma dimint

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 157

    Di tengah musim dingin yang membuat sebagian wilayah Kerajaan Surya Manggala lumpuh, satu peristiwa bersejarah terjadi di ujung Selatan Pelabuhan Teluk Penyu resmi berdiri.Di bibir teluk yang kini membeku sebagian, berdirilah bangunan pelabuhan kokoh dengan dermaga dari kayu besi dan batu kapur. Meski angin laut membawa dingin yang menggigit, semangat para pekerja dan warga desa menghangatkan suasana.“Lihatlah, Tuan! Bahkan es tak sanggup menghentikan kerja tangan rakyatmu,” ujar Janta sambil tertawa lepas.Raka berdiri tegak di depan Gudang Pelabuhan, mengenakan mantel tebal berwarna coklat tua. Ia mengangguk pelan, matanya menyapu seluruh sudut pelabuhan yang dibangun hanya dalam beberapa bulan yang lalu kini sudah dapat berdiri kokoh.“Tak ada yang bisa menghentikan niat baik, Janta. Apalagi jika dikerjakan bersama,” jawabnya.Raka melangkah ke pemanggangan rusa dan mengeluarkan serbuk bumbu khas rumah makan sekar kedaton kemudian mengaduknya di Loyang tanah, mencampurnya dengan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 156

    Pagi itu salju tebal menutupi atap-atap genting merah desa kali bening, angin dari utara membawa kabar buruk ke Kali Bening. Sebuah surat resmi dari pejabat kecamatan Kemusuk dan kota madya utama tiba di balai desa.Raka membuka gulungan surat itu dengan tenang, dikelilingi para pengawal dan beberapa pemuka warga. Matanya menelusuri tulisan yang tercetak rapi, tapi isinya menyesakkan dada.“Mulai bulan ini, setiap usaha yang berjalan di wilayah Kali Bening dikenai sanksi administratif karena dianggap tidak sesuai jalur hukum wilayah kota madya, dan wajib membayar pajak tambahan sebesar tiga kali lipat dari ketentuan biasa.”Pandu mengumpat pelan. “Ini... ini tidak masuk akal, Tuan! Kita ini cuma desa!”Raka tetap tenang. Ia menggulung kembali surat itu dan meletakkannya di meja.“Kalau mereka ingin menjatuhkan kita dengan beban, maka kita tak perlu melawan beban itu… kita tinggal membuangnya.”Warga yang hadir saling berpandangan. Mereka berbicara dan mengeluarkan asap dari mulut mere

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 155

    Musim dingin menyelimuti tanah Surya Manggala. Salju tipis turun perlahan, menyelimuti atap rumah dan ranting-ranting pohon. Desa Kali Bening yang dahulu sunyi, kini menjadi bahan pembicaraan para pejabat di kota madya dan kecamatan Kemusuk.Di dalam sebuah pendopo bertiang kayu jati, Pejabat Kota Madya Utama, Tumenggung Wira Atmaka, menatap peta wilayah dengan wajah masam.“Kau tahu, sejak anak muda dari Kali Bening itu muncul... pendapatan dari kawasan selatan menyusut drastis,” gumamnya sambil menunjuk daerah yang dimaksud.Pejabat Kecamatan Kemusuk, Jagabaya Lodra, menyeringai sinis. “Bandit-bandit kita tak bisa lagi leluasa meminta ‘upeti jaga jalan’. Semua jalan dibersihkan oleh pasukan jaga desa.”Wira Atmaka mengangguk pelan. “Laporan terakhir menyebutkan, Kali Bening bahkan memiliki penjaga desa yang terlatih. Lengkap dengan aturan ronda dan pengawasan hasil bumi.”Lodra mencibir. “Apa yang bisa dilakukan pemuda kampung itu? Cuma karena ia bisa bela diri dan punya sedikit pas

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 154

    Sejak kembali dari kematian, Raka tak lagi sama.Ia bukan sekadar pemuda desa dari Kali Bening—namanya perlahan menjadi bisik-bisik di antara bangsawan dan prajurit. Banyak yang tak tahu persis apa yang terjadi selama ia "tidak bernyawa" itu. Namun setelah ia terbangun dari mati suri di pertapaan Gunung Kendalisada, mata Raka berubah. Tatapannya tajam, menyimpan ribuan rahasia dan seolah mampu menembus isi hati siapa pun yang berani menantangnya."Pemuda itu bukan Raka yang dulu," bisik Mahapatih Maheswara kepada Raja Mahesa Warman di balairung istana.“Sejak ia memgikuti ujian Kerajaan dan menjadi siswa terbaik dan memecahkan rekor 100 tahun milik raja angung raja manggala, aku sudah mendapat wirasat bahwa ia akan menjadi pemuda yang kuat.”Sang raja yang tengah menatap peta wilayah kerajaan hanya mengangguk pelan. "Aku tahu."Mahapatih menoleh, menatap mata pemimpinnya. "Tapi paduka belum tahu sepenuhnya seberapa jauh perbedaan itu."“Ia berkembang sangat cepat, bahkan desa kali beni

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status