Raka menatap nanar ketiga istrinya dengan penuh keterkejutan karena ia baru siuman dari mati surinya. dan ia tersadarkan diri di zaman kuno dan bukan di zaman saat ia kecelakaan yaitu di zaman modern. alih-alih bangun di rumah sakit. malah kini ia tersandra oleh zaman kuno dengan beban tiga istri yang cantik dengan tubuh sempurna sehingga hal ini seperti mimpi bagi raka. namun sialnya ia siuman pada keadaan yang memprihatinkan dibuang oleh ayahnya dan di coret dari daftar keluarga Wiroguno. sehingga menjadi pekerja di desa terpencil dan jauh dari kedua saudaranya. dan juga ia menjadi anak terlemah dari tiga bersaudara hingga ia sering di tindas oleh keluarganya sendiri.
View MoreSenja jatuh perlahan di pelataran Akademi Agung Surya Manggala. Angin membawa debu halus dan aroma kayu cendana dari hutan utara. Di aula batu yang luas, dua pemuda berdiri saling berhadapan. Aryo dengan jubah birunya yang menjuntai, Raka dengan pakaian cokelat sederhana tapi bersih.“Jadi kau benar-benar berani menantangku dalam adu syair, Raka?” tanya Aryo, nada suaranya campuran antara heran dan meremehkan.Raka mengangguk, matanya tenang. “Ini bukan tentang menantang, Aryo. Kita hanya diuji siapa yang bisa merangkai kata dengan jiwa, bukan sekadar hiasan indah.”Suara gendang ditabuh perlahan. Para siswa kelas S, bahkan beberapa guru, berkumpul menyaksikan duel syair ini. Di tengah lingkaran batu, Raka mulai lebih dulu:“Jika kelana tak pulang, jangan salahkan malam, Langkahnya bukan hilang, hanya mencari tenang. Bila negeri ingin terang, jangan paksa rembulan, Karena cahaya sejati lahir dari kesadaran.”Suara bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa kepala menoleh ke guru utama yang
Suara jeritan lirih terdengar dari dalam gubuk tua yang reot di tepi hutan Gunung Tekukur. Angin sore menerobos celah-celah dinding bambu yang rapuh, menggoyangkan lampu minyak yang tergantung di salah satu tiang penyangga.“Andini...! Andini!” seru Zeno panik, menendang pintu gubuk yang tak terkunci.“Aku di dalam, Paman... di dalam... perutku sakit...” suara Andini terdengar lemah, menahan nyeri akibat ikatan yang terlalu kencang di perut dan pergelangan tangannya.Zeno segera berlari masuk, diikuti Riko dan sebelas penjaga Desa Kali Bening. Di tengah gubuk, Andini tergeletak dengan tubuh terikat pada tiang kayu. Wajahnya pucat, tapi matanya berbinar saat melihat Zeno.“Syukurlah kau selamat,” ucap Zeno sambil menghunus belati kecil dari pinggangnya dan memotong tali pengikat yang kasar. “Apa mereka melukaimu?”“Hanya mengikat terlalu kuat... tapi aku tak apa-apa, Paman. Kalian datang tepat waktu. Jika tidak...” ia melirik ke meja reyot di sudut ruangan, “...surat itu mungkin sudah
Gua Tekukur, tempat sunyi yang tersembunyi di balik lembah hutan Kelewer, kini menjadi markas gelap penuh muslihat. Di dalam perut gua yang lembap itu, Andini terikat dengan kedua tangannya di atas kepala. Nafasnya berat, wajahnya pucat namun sorot matanya tetap menyala. Di sudut gua, dua pengawal yang menyertainya tergeletak babak belur, tubuh mereka luka-luka akibat pukulan dari pasukan Baurekso."Kau kira Raka akan datang menyelamatkanmu?" ejek Baron, menyeringai sembari menatap Andini.Bagong, berdiri tak jauh, mencibir, "Ia akan datang, tapi membawa 100 tael emas. Kalau tidak, jangan harap bisa melihat istrimu lagi."Baurekso, pemimpin kelompok itu, berdiri di tengah, tubuh tegapnya tampak bagaikan bayangan maut di tengah cahaya obor. Ia bicara pelan tapi jelas, "Pastikan pesan kita sampai ke Kali Bening. Tapi jangan terlalu cepat... biar mereka panik lebih dulu."Sementara itu di Desa Kali Bening, Zeno duduk termenung di pendopo rumah puri. Wajahnya keruh. Ia menyulut sebatang d
Mentari baru saja naik di ufuk timur ketika kabar itu datang seperti petir di langit cerah. Andini, salah satu istri Raka yang tengah mengandung, tidak pulang ke kediaman paviliun puri setelah berpamitan hendak pergi ke perbatasan desa untuk mengunjungi suaminya di kota madya utama. Bersama dua pengawal pribadi, ia meninggalkan rumah sejak pagi dua hari lalu. Kini, jejaknya hilang.Di dalam paviliun puri, Aini dan Aina gelisah, duduk berdampingan di serambi, mata mereka tak lepas dari jalan tanah yang biasa dilalui para pelancong dan pengantar barang.“Kau yakin ia hanya pergi menjenguk Kanda Raka?” tanya Aina, menggenggam erat tangan Aini.“Iya… Ia bilang begitu padaku. Hanya sehari saja, katanya. Tapi hingga kini, tak ada kabar…”Tak lama, Riko dan Roni, dua keponakan Raka, datang dengan langkah cepat dan wajah tegang.“Ada apa ini?” seru Aina.“Bibi Andini tak pulang,” jawab Riko. “Kami tak ingin membuat kekacauan, tapi... ini sudah hari kedua.”Roni segera menarik Riko ke samping.
Telah sebulan berlalu sejak Raka menapakkan kaki di Sekolah Kerajaan Surya Manggala. Dalam waktu yang relatif singkat, namanya mulai menggaung di antara para guru dan pelajar, bukan karena garis keturunan atau kekayaan, tapi karena ide-ide segarnya yang menyentuh akar kehidupan rakyat.Suatu pagi di Balairung Penguji, suara genderang dipukul tiga kali, menandai dimulainya pengumuman hasil evaluasi bulanan.Guru penguji, Tuan Suyatna, berdiri di tengah aula. Ia membuka gulungan perkamen besar, lalu membacakan nama-nama siswa yang naik ke kelas S, kelas unggulan yang hanya diisi oleh lima murid terbaik dari seluruh akademi.“Yang pertama, Putra Kadipaten Majenang: Raden Kalimastra.Yang kedua, Putri Kadipaten Wonoayu: Ayunda Reswari.Ketiga, Putra Kota Gading: Bagas Ratamanggala.Keempat, Putra Kadipaten Cempaka: Rangga Pralaya.Dan terakhir…” — suara Suyatna sengaja diturunkan, membuat ruangan tegang — “…Raka, Kepala Desa Kali Bening.”Ruangan hening sejenak. Lalu terdengar bisik-bisi
Desa Kali Bening disambut semerbak wangi kayu manis dan harum pandan dari dapur Sekar Kedaton. Rumah makan yang dahulu hanyalah bangunan panggung sederhana dengan dinding bambu, kini berdiri megah setelah direnovasi oleh tangan-tangan muda penuh semangat: Roni dan Riko, keponakan Raka.Di dindingnya kini tergantung syair-syair karya Raka yang disetujui sebelum ia berangkat ke Kota Madya Utama:“Lidah rakyat tak selalu bersuara, Tapi rasa mereka selalu bicara.”Di bagian serambi, ada juga yang berbunyi:“Makanlah dengan hati lapang, Sebab rezeki terbaik datang dari rasa yang tenang.”Sore itu, pengunjung datang silih berganti. Ada saudagar dari barat yang mengelus janggutnya saat membaca syair di gerbang kayu. “Tempat ini… tidak hanya memuaskan perut, tapi juga menyentuh batin,” katanya sambil terkekeh.Seorang ibu pedagang rempah dari selatan bertanya pada pelayan, “Siapa yang menulis ini semua?”“Putra desa kami, Tuan Raka,” jawab pelayan itu bangga. “Kini ia tengah menuntut il
Desa Kali Bening diselimuti awan tipis. Angin berembus lembut membawa aroma tanah basah dan bunga melati dari taman puri. Di balai paviliun utama, Raka berdiri di hadapan para tetua dan tokoh masyarakat. Hari ini, ia akan menyerahkan urusan desa untuk sementara.“Mulai hari ini, selama dua bulan ke depan, desa ini akan kuamanahkan pada dua orang yang telah lama membuktikan kesetiaannya,” ucap Raka lantang namun bersahaja.Warga yang hadir menyimak dalam diam. Di samping Raka berdiri Goro, lelaki tinggi berkulit sawo matang, dan Mirna, perempuan cekatan yang sudah sejak muda mengurus lumbung pangan desa.“Goro akan mengatur urusan pembangunan dan keamanan. Mirna akan mengurus kebutuhan rumah tangga desa, pangan, dan rakyat. Bila ada yang datang membawa kabar penting, arahkan ke mereka berdua.”Goro maju setapak. “Kami bukan pengganti, hanya pelaksana. Tapi selama Kakang Raka menuntut ilmu, desa ini takkan kehilangan arah.”Mirna menambahkan, “Kami akan menjaga, bukan hanya ladang dan p
Desa Kali Bening kini tak lagi dikenal sebagai desa yang hanya dilewati kafilah dagang dari utara ke selatan. Sekarang, orang datang khusus untuk berkunjung, berdagang, bahkan untuk menetap.Di setiap sudut, terlihat geliat kemakmuran. Pabrik tepung ikan di pinggir dermaga mengepul tiap pagi, pabrik lilin di sisi barat mengirim hasilnya ke pasar besar, dan peternakan di dataran tinggi menghasilkan susu, daging, dan bahan kulit yang dibeli banyak pedagang dari luar.Di bawah pohon asam tua dekat pasar, dua warga sedang berbincang sambil menata anyaman bambu.“Kau dengar kabar dari rumah Pak Tarjo?” tanya salah satu, bernama Bado.“Apa itu?” jawab kawan duduknya, Leman.“Anaknya yang dulunya hanya buruh angkut, sekarang jadi kepala bagian di pabrik lilin. Gajinya cukup buat beli kebun kecil di lereng bukit.”Leman mengangguk pelan. “Dulu kita hanya bermimpi bisa begini. Sekarang, hidup di Kali Bening rasanya seperti tinggal di kota kecil.”Namun, tidak semua yang mendengar kabar baik me
Desa Kali Bening dengan cahaya keemasan yang menembus celah-celah dedaunan. Di tengah kampung Puri, rumah besar milik Raka tampak lebih Tamai dari biasanya. Lantunan doa terdengar dari pendopo, diiringi aroma kemenyan dan wangi bunga kenanga.Raka berdiri di hadapan para tetua desa dengan wajah berseri-seri. Ia mengenakan pakaian adat berwarna cokelat tanah, dengan selempang tenun kuno melilit dadanya. Di sampingnya, dua istrinya, aini dan andini, duduk anggun.“Aku tak tahu harus berkata apa,” ucap Raka dengan suara parau karena haru. “Tapi hari ini, aku benar-benar diberkahi. Dua istriku mengandung bersamaan. Dua kehidupan akan segera hadir. Apakah ini bukan tanda restu para leluhur?”Orang-orang yang berkumpul bersorak kecil, diiringi tepuk tangan.“Kita adakan sukuran malam nanti!” seru Pak Tanu, tetua tertua di desa. “Kita sembelih kambing gemuk milik Karyo, yang sudah tiga bulan hanya makan daun pisang dan air kelapa!”“Wah, kambing yang itu? Dengar-dengar bisa mengobati sakit p
“Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.” “Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merug...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments