Raka menatap nanar ketiga istrinya dengan penuh keterkejutan karena ia baru siuman dari mati surinya. dan ia tersadarkan diri di zaman kuno dan bukan di zaman saat ia kecelakaan yaitu di zaman modern. alih-alih bangun di rumah sakit. malah kini ia tersandra oleh zaman kuno dengan beban tiga istri yang cantik dengan tubuh sempurna sehingga hal ini seperti mimpi bagi raka. namun sialnya ia siuman pada keadaan yang memprihatinkan dibuang oleh ayahnya dan di coret dari daftar keluarga Wiroguno. sehingga menjadi pekerja di desa terpencil dan jauh dari kedua saudaranya. dan juga ia menjadi anak terlemah dari tiga bersaudara hingga ia sering di tindas oleh keluarganya sendiri.
Lihat lebih banyak“Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.”
“Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merugikan kita dan rakyat negeri ini.” “Segera laksanakan tugas ini, dan kalian menyebar keseluruh negeri yang masih bisa di kunjungi.” *** Raka Wironegoro tergeletak tak berdaya setelah di hajar oleh majikannya karena tidak bertenaga. Dengan perlahan membuka kedua matanya, kemudian memindai di sekeliling dia merasa pusing dan sangat terkejut. Mendapati tiga gadis menangis di sebelahnya. Dengan segera Raka bangun dan membuat seisi ruangan panik, sehingga ada yang lari tunggang langgang. Namun tidak dengan tiga gadis cantik di sebelahnya dan seorang laki-laki yang sedari tadi menungguinya. “Mengapa kalian seperti melihat hantu, aku dimana!” Seketika mereka berempat menyeka airmata mereka.” Kanda Raka benarkah ini kandaku yang malang?” Ia bangkit dari terbaringnya, kemudian melihat kekanan dan kekiri. Bau semerbak bunga tujuh warna. Jangan-jangan aku sudah mati. Tadi Ketika aku menyetir ada mobil tronton menabrakku dari samping hingga aku terpental kejurang semenjak itu aku seperti terbang dan masuk kedunia gelap.” Apakah ini mimpi ujar Raka. Kemudian Raka melirik didapati tiga gadis cantik nan menggoda itu menatapinya dengan kaku sambil ternganga. Sedangkan peria paruh baya itu jatuh pingsan. Raka menelan ludan dan membuat tubuhnya panas. Aiiihhhhh pikiran ini.! Dizaman modern ia tidak begitu akrab dengan Wanita karena kesibukannya sebagai anak pengusaha. Setelah menyaksikan ini ia merasa libidonya membuncah. “Dinda akan mengambil baju Kanda.” Setelah berucap demikian gadis cantik itu berlali ke bilik dan yang lainya memapah Raka dengan begitu hangat. Raka menatap jendela yang usang dan rapuh serta rumah yang begitu banyak dilubangi kumbang dan atap dari Jerami. Ia terus memindai semua ruangan yang ada namun ia tetap tidak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya dan ia merasa tempat ini seperti bukan di eranya. Sepertinya aku terlahir kezaman kuno. Seperti buku Kerajaan yang sering aku baca di perpustakaan Kakek Wironegoro. Iya tidak salah lagi aku lahir di zaman kuno. Yang mendapati dirinya telah menggunakan kain kasar dan sangat tidak layak yang penuh dengan tembelan. Negeri Surya Manggala ya ini adalah nama yang kini Raka berada, sebuah Negeri yang dapat di temukan didalam buku Sejarah kuno. “Kanda!” Gadis ini menghampiri Raka membawa baju dari bahan rami yang sudah banyak jahitan dan tambalan. Namun masih layak digunakan untuk pada zaman kuno. Kemudian ia mengenakan pakaian itu dengan lembut dan sangat Anggun walaupun tubuhnya banyak bekas luka cambukan. Raka yang masih merasakan sedikit pusing dan merasa kehausan kemudian dia memberikan isyarat kepada gadis di sebelah kirinya dengan menunjuk sebuah cerek dari tanah liat. Gadis di tangan kirinya segera bergegas mengambilkan air dan memberikan kepadanya. Seperti dinginnya salju yang turun di musim dingin. Yang memberi nuansa syahdu bagi sepasang kekasih yang memadu cinta. Setelah ketiganya mendekat Raka terkejut. Dan buru-buru menutupi tubuhnya dengan menyilangkan tangan didada. Dan Raka segera meraih tangan gadis yang di sebelahkanannya. Wanita ini sungguh cantik namun pakaiannya sangat transparan karena dari bahan rami namun masih menutupi tubuhnya dengan baik. Sehingga menghalangi pria hidung belang untuk menatapnya lebih lama. Kemudian gadis didepannya memangku tangan sambil menatap Raka dengan air mata yang mengalir di pipinya. Sentuhan lembut begitu Anggun mengusap air mata di pipinya sehingga membuat Raka menelan ludah sehingga jakunya bergerak begitu melihatnya. Tiba-tiba, dekapan yang begitu hangat dari kedua gadis di kanan dan kirinya membuat Raka. Kelalapan dan bangun dari duduknya. “Apa yang terjadi kalian menyentuhku tanpa ada rasa malu!” Ketiga Wanita itu berlutut dan bersimpuh di hadapan Raka. “Kanda jangan begini lagi, jika kanda terlalu lemah kami bertiga bisa di bawa Mandor Kuat untuk di Lelang di kota. “Apa-apaan ini!” Wajah Raka memerah dan dia sedikit mengingat apa yang terjadi pada pemilik tubuh sebelumnya kemudian ia mengingat sekilas bahwa tiga gadis cantik yang sangat menggoda ini adalah istri sahnya di Negeri Surya Manggala. Tiga gadis tersebut erupakan istri pemberian ayahnya. Lurah Wiroguno. Kemudian Raka baru menyadari bahwa Wanita-wanita ini adalah istrinya. “Jangan lakukan hal ini di depan banyak orang!” Jawab Raka tegas “Kalian segera berdiri rapikan bekas pemandian ini aku belum mati.” Iya kakanda siap mereka bertiga bergegas membersihkan tempat itu. “Kanda sekarang duduklah di sini sambil menunjukkan tempat duduk dari bambu yang sudah usang. Kemudian mereka bertiga menghampiri Raka dengan wajah yang berseri-seri nan begitu cantik jelita, tanpa di sadari Raka menelan ludah begitu lama. Hingga … “Kanda kamu melamun lagi ya?” “Oh tidak-tidak tadi aku memikirkan sesuatu yang terjadi disini.” Coba ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi Mereka bertiga begitu rapi duduk di bawah Raka dan tidak tersadar Raka menelan ludah lagi karena melihat pemandangan yang sempurna. “Sial sempurna sekali gadis-gadis ini.!” Kedua gadis memijati betis Raka dan yang satunya sambil menceritakan kejadian kepada Raka dengan hikmat.Kabut mulai sirna dari lereng timur kala mentari pagi menyibak langit yang pucat. Dataran luas di depan tembok Giri Amerta tampak porak poranda. Jejak-jejak pertempuran semalam masih membekas—tenda-tenda sobek, zirah besi berserakan, dan mayat-mayat tentara Kerajaan yang tak sempat dimakamkan.Di atas tembok, bendera hijau tua lambang Giri Amerta berkibar tenang, seolah mengumandangkan satu kalimat yang tak perlu diucapkan symbol kekuatan yang terorganisir baik.Kekuatan seperti ini hanya ada dimana seorang yang cerdas memimpin sebuah kota kecil dengan kekuatan yang sangat luarbiasa.Ketimpangan Medan Tempur Dataran vs BentengKi Radya, salah satu pengamat strategi, berdiri di pos menara pengawas sambil menunjuk ke arah bawah.“Mereka terlalu percaya diri. Datang dari dataran rendah, berharap bisa menaklukkan tembok yang menjulang seperti dinding langit.”Ki Sandat, pengawal senior, menyeringai sambil menggenggam busur, “Tanah di bawah itu jadi kuburan massal, Ki. Sementara kita hanya
Ketika pasukan Giri Amerta mulai melakukan penyisiran di lembah bawah tembok. Di antara mayat-mayat tentara Surya Manggala yang tergeletak kaku, tampak jelas perbedaan mencolok—mereka mati bukan karena tak berani, tapi karena tak mampu bergerak cepat.Sementara itu, di ruang dalam benteng, di hadapan perapian hangat dan secangkir teh dari akar lerak, Raka duduk bersama para pemikir dan pengrajin kota. Di meja panjang itu terbentang sebuah zirah ringan berbahan kulit sapi, lentur namun kokoh, tak berkilau namun mematikan.Zirah Ringan dari Kulit Sapi Milik Pasukan Giri AmertaNyi Larem (pengrajin kulit paling tua di Giri Amerta, menepuk zirah lembut di mejanya), “Kulit ini bukan sembarang kulit, Tuan Raka. Kami rebus dengan ramuan khusus, lalu dijemur dalam gua hangat selama tujuh hari. Hasilnya... kuat seperti tulang, namun tetap lentur seperti daun kelapa.”Ki Juba, salah satu pengawal benteng, menyeringai, “Dan yang paling kusuka tak berbunyi saat kita bergerak. Tak seperti para ser
Kabut pagi yang sebelumnya menutup wajah medan pertempuran kini perlahan menyingkap kenyataan yang mengerikan. Tanah di depan Tembok Pertama Giri Amerta kini dipenuhi jasad—berlapis baju zirah kebesaran Surya Manggala, tergeletak membeku dalam posisi terakhir sebelum ajal menjemput.Tapi di sisi dalam tembok, suasana justru tenang. Tak terdengar isak. Tak terdengar pekik luka. Hanya suara burung yang mulai berani bernyanyi di sela-sela sunyi kemenangan.Di ruang pemantau menara, Ki Ara berdiri di antara para penjaga muda yang masih belum percaya bahwa benteng berhasil melewati serangan brutal itu tanpa kehilangan satu jiwa pun.Ki Ara (datar, namun mata berbinar) “Lihat baik-baik, kalian semua… Inilah bedanya mereka yang berperang dengan nafsu, dan kita yang bertahan dengan akal.”Ki Merta (penjaga senior) “Tak satu anak panah pun terbuang sia-sia. Tiap sudut jebakan tepat sasaran. Ini bukan hanya kemenangan, ini pelajaran bagi siapa pun yang berani menyentuh tembok ini.”Para prajuri
Kabut pagi belum benar-benar terangkat ketika pasukan Surya Manggala kembali maju. Kali ini, jumlah mereka jauh lebih besar. Dari balik bukit-bukit dan semak belantara, ribuan prajurit perlahan mendekat ke tembok pertama Giri Amerta — lapisan pertahanan terluar yang terkenal sebagai kuburan sunyi para penyerbu.Namun tak satu pun dari mereka benar-benar tahu… bahwa tanah yang mereka injak telah lama dipenuhi jebakan dan mata-mata bisu yang menunggu mangsanya.Ki Pram, pengatur jebakan tanah dan salah satu tokoh tua di Giri Amerta, berdiri di balik batu besar di sisi barat tembok.Ki Pram (berbisik pada prajurit muda di sebelahnya): “Jangan takut, Ndan. Kalau kau dengar suara kayu retak, tahan napas. Kalau mereka jatuh… jangan bantu.”Prajurit muda itu hanya menelan ludah. Di sekelilingnya, ada puluhan lubang jebakan dengan tutup tipis dari daun dan tanah, diisi dengan batang bambu runcing yang dicelup racun ular merah dari Kali Onga.Ketika pasukan musuh melintas, beberapa suara terde
Fajar baru saja menyibak kabut saat pasukan utama Surya Manggala mulai bergerak. Tanpa genderang perang. Tanpa suara komando lantang. Hanya derap kaki dalam diam dan bisikan dingin antara semak dan batu.Di pucuk-pucuk bukit, para pengintai Giri Amerta masih bergelung dalam selimut wol. Mereka tak menyangka musuh akan seberani itu menyerang di tengah musim beku. Tapi pagi itu, medan perang mendidih sebelum matahari sempat menampakkan wajah.Di perbatasan timur Giri Amerta, di bawah lembah Candra, pasukan khusus Kerajaan Surya Manggala yang terdiri dari 1.500 penyerbu mulai menyusup.Ki Darga (panglima serang): "Jangan teriak. Angin pagi milik kita. Kita lenyapkan pengawal benteng sebelum ayam berkokok."Prajurit-prajurit muda di belakangnya menahan napas. Pedang-pedang ditarik perlahan. Mata mereka menyala oleh semangat. Tapi mereka tak tahu… bahwa Giri Amerta tak pernah benar-benar tidur.Saat barisan depan Surya Manggala mendekati parit luar, terdengar jerit tajam dari langit."KREE
Pagi itu di perkemahan utama Surya Manggala, suara terompet kuda tak lagi membawa semangat perang. Kabar pembelotan seribu lebih prajurit menuju Giri Amerta menyebar seperti racun. Tenda-tenda panglima yang dulu tegak gagah, kini bergetar oleh badai amarah seorang jenderal—Jenderal Niko, panglima tertinggi pasukan barat.Mengetahui pasukannya ada yang membelot masuk ke giri amerta dengan hanya mengenakan baju rami saja, mereka menyerah sebelum perang, karena mereka menyadari bahwa jika mereka tetap menyerang maka mereka akan mati.Di tengah ruang pertemuan darurat, tangan Jenderal Niko menghantam meja kayu hingga belanga air terguling.Jenderal Niko (mendesis): "Seribu lebih?! Mereka pikir mereka bisa mencampakkan kehormatan Surya Manggala begitu saja?!"Ki Ragat (penasihat militer, dengan nada hati-hati): "Ampun, Tuan Jenderal... mereka membawa kain putih dan menyerahkan diri ke Giri Amerta. Beberapa membawa keluarga mereka."Jenderal Niko (menatap tajam): "Itu bukan penyerahan, itu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen