Giri Amerta mulai mendung kala utusan istana kembali datang. Ki Gilar, seorang pejabat istana berpakaian resmi, menaiki pendopo Balai Kota Giri Amerta dengan wajah penuh keseriusan. Ia membawa gulungan perintah kerajaan yang disegel merah.Raka menyambutnya di ruang utama, ditemani oleh Ki Cakra, Nyi Anila, dan beberapa penasihat utama.“Selamat datang, Ki Gilar,” ucap Raka dengan nada tenang. “Silakan duduk. Apakah membawa kabar baik dari pusat?”Ki Gilar menyembah. “Maafkan hamba, Gusti Raka. Hamba hanya menjalankan perintah.”Ia membuka gulungan perintah itu dengan hati-hati dan membacakan isinya:“Atas nama Mahkota Kerajaan Surya Manggala, Giri Amerta diminta memberikan lima peti emas sebagai bentuk penghormatan dan penguatan hubungan kepada kerajaan pusat, sebagaimana dilakukan wilayah-wilayah taklukan lain.”Suasana mendadak senyap.Ki Cakra yang duduk di sisi kanan Raka tampak memutar bola matanya perlahan. Nyi Anila tersenyum tipis, tapi tidak berkata apa-apa. Raka tetap tenan
Angin membawa kabar jauh ke barat, menembus jendela Balairung Agung Giri Amerta. Di dalam ruang pertemuan rahasia, Raka duduk bersila di atas tikar rotan tebal, diapit para penasihatnya. Di depannya berdiri Ki Cakra, bersiap menjalankan tugas penting yang dapat menentukan arah hubungan dengan Kerajaan Surya Manggala.“Bawalah pesan ini dengan kepala tegak, Ki Cakra,” ucap Raka perlahan, suaranya dalam tapi tegas. “Katakan bahwa kami bukan hendak memberontak. Tapi kala mereka membangun kanal pemisah tanpa musyawarah, maka itu pertanda keangkuhan.”Ki Cakra menunduk. “Apa yang harus hamba sampaikan pada Sang Mahapatih, Raka?”Raka menatap matanya lekat-lekat. “Tanyakan tujuan kanal di Desa Petir. Katakan pula bahwa sejak awal, Desa Kali Bening, Anggur, dan Giri Amerta tak pernah punya riwayat kejahatan. Kami setia, tapi bukan berarti kami diam saat dibentengi seperti hewan ternak.”Beberapa hari kemudian, kuda putih yang ditunggangi Ki Cakra melaju kencang melewati gerbang istana Surya
Pagi masih kelabu, namun benteng-benteng di perbatasan Desa Kali Bening telah bersiaga penuh. Bendera Giri Amerta berkibar gagah di setiap menara pengintai. Di balik tembok batu yang tinggi dan tebal, para pemanah menyiapkan anak panah, sementara para prajurit meriam memeriksa bubuk mesiu dan posisi laras yang kini diarahkan ke arah Desa Petir tanah yang kini mulai bermusuhan.Di puncak benteng utama Kali Bening, Raka berdiri tegak. Ia mengenakan jubah perang berwarna gelap dengan lambang Giri Amerta di dada. Pandangannya tajam menelusuri garis perbatasan. Angin berembus kencang, namun wajahnya tetap tenang.“Bagaimana dengan persiapan di Pos Timur?” tanya Raka kepada Ki Bayu, komandan pengawas di kawasan itu.Ki Bayu membungkuk hormat. “Sudah lengkap, Tuan. Panah, tombak, dan pelontar batu siap digunakan. Bahkan getek pun kami tambatkan agar sewaktu-waktu bisa dipindah cepat ke pos selatan.”Raka mengangguk pelan. “Jangan serang terlebih dahulu. Tapi pastikan, satu langkah pun dari P
Mentari pagi belum tinggi, namun deru alat gali dan palu besi sudah terdengar di perbatasan Desa Petir dan Kali Bening. Tanah dibelah, air dialirkan, dan kanal baru terbentuk makin lebar setiap harinya. Di tepi kanal yang berlumpur, berdiri dua sosok berpakaian pejabat kerajaan: Ki Aro dan Ki Anom, utusan Kerajaan Surya Manggala.“Percepat penggalian!” teriak Ki Anom sambil menunjuk ke arah para pekerja yang mulai letih. “Kita harus pisahkan Kali Bening dari daratan induk. Tak boleh lagi mereka mudah keluar masuk ke wilayah Petir!”Ki Aro mengangguk puas. “Dengan begini, siapa pun dari Giri Amerta harus menggunakan perahu jika ingin menyebrangi batas ini. Mereka akan tahu siapa yang berkuasa di sini!”Namun, jauh dari sana, di atas menara kayu pengawas milik Giri Amerta, Ki Warna, salah satu teliksandi, mengamati aktivitas itu dengan seksama. Ia mengirim burung pos yang berisi laporan singkat ke Kota Giri Amerta:“Kanal diperluas. Anom dan Aro memisahkan Kali Bening dari Petir. Darata
Mentari baru saja menyembul dari balik cakrawala ketika layar kapal cepat milik Giri Amerta menepi di dermaga Teluk Penyu. Seorang pemuda bertubuh tegap, dengan rambut ikal dan sorot mata tajam, melangkah turun dari kapal. Ia membawa bendera kecil berwarna biru laut dengan lambang kerang emas di tengahnya.“Namaku Ki Gowo,” ucapnya lantang kepada penjaga dermaga. “Kami dari Pulau Kerrang datang membawa kabar dan niat baik kepada Tuan Raka.”Ki Wira, penjaga dermaga yang telah lama bertugas di pelabuhan itu, mengerutkan kening. “Pulau Kerrang... yang letaknya tak lebih dari setengah hari pelayaran dari sini?”“Benar, Ki. Kami ingin mengikat tali persaudaraan secara resmi. Sudah terlalu lama kami berdagang diam-diam, saling kenal namun belum pernah benar-benar bersatu.”Ki Wira segera mengirim utusan ke Balai Pusat.Beberapa jam kemudian, Ki Gowo berdiri di hadapan Raka, di ruang pertemuan Balai Utama Giri Amerta. Para pembesar dan tetua duduk mengelilingi mereka. Udara terasa hangat ol
Giri Amerta pagi itu diselimuti asap tipis dari cerobong-cerobong tinggi. Suara palu dan roda kayu berdentang dari segala penjuru. Pembangunan sedang berada pada puncaknya, dan hampir setiap lorong dusun dipenuhi para pekerja, pengrajin, dan pedagang.Ki Wanta datang tergesa ke ruang pertemuan, wajahnya diliputi peluh dan mata berbinar.“Tuan Raka, mohon ampun, hamba membawa kabar dari Balai Pandai Besi,” ucapnya sambil menunduk.Raka meletakkan naskah laporan di hadapannya. “Apa gerangan?”“Pabrik peleburan bijih timah kini mampu mencetak tiga ratus bilah besi dalam sehari. Bahkan para pandai sudah mulai merancang roda air untuk menggerakkan palu besar, agar tak perlu lagi tenaga banyak orang.”Raka mengangguk perlahan. “Ki Wanta, beritahu para pandai itu, mereka bukan hanya mengubah besi... mereka sedang mengubah masa depan.”Di tempat lain, di bawah pohon besar di halaman Istana Surya Manggala, Patih Maheswara sedang berbicara dengan para tetua kadipaten.“Ki Patih,” tanya salah sa