mohon maaf lahir dan batin para pembaca
Embun es masih menggumpal di atas rerumputan pagi itu ketika kereta kayu melintas di jalan utama Kali Bening. Di kiri-kanannya, barisan toko dan gudang mulai buka lebih awal dari biasanya. Tak hanya menjual bahan makanan dan pakaian musim dingin, tetapi kini juga ada tempat penukaran garam, pengrajin besi ringan, bahkan penjual minyak tanah dari biji nyamplung.“Kau lihat itu?” tanya Darwan, pengurus logistik desa, pada seorang pedagang baru. “Dua tahun lalu, tempat ini cuma ladang kosong dan rumah reyot.”Pedagang itu tersenyum. “Tak kusangka, aku datang hanya untuk mencari pekerjaan di pabrik arang, tapi mungkin aku tinggal selamanya di sini.”Memang tak sedikit warga dari desa-desa kecil dan wilayah utara yang datang ke Kali Bening. Sebagian mencari pekerjaan. Sebagian lagi sekadar ingin hidup lebih tenang dari pajak tinggi kota madya.Jumlah penduduk bertambah cepat. Rumah-rumah yang dibangun dua tahun lalu kini padat penghuninya. Beberapa kepala keluarga bahkan mulai tidur di kan
Surat berstempel segel emas tiba di Balai Utama Desa Kali Bening, pagi-pagi sekali, saat embun masih menggantung di atap jerami dan asap tipis mengepul dari tungku warga. Diantarkan oleh utusan istana sendiri, dikawal dua pasukan berkuda, lengkap dengan pakaian tebal dan lambang Surya Manggala di dada.Raka membaca isi surat itu dengan diam. Namun saat matanya sampai pada kalimat terakhir, ia menarik napas dalam dan mengangguk perlahan.“Apa itu kabar buruk?” tanya Kades Cakra yang berdiri di sampingnya, setengah curiga melihat wajah Raka yang tak berekspresi.Raka menoleh, dan perlahan mengangkat surat itu.“Bukan. Ini pengakuan.”Beberapa jam kemudian, seluruh tokoh penting desa dikumpulkan di balai utama. Dari penjaga gerbang, kepala kelompok tani, pengurus penggilingan, hingga tetua adat hadir duduk bersila di ruang utama, menanti penjelasan dari sang pemimpin mereka.Raka berdiri tegak di tengah ruangan, surat itu kini sudah ditaruh di meja batu. Suaranya tenang, namun terdengar
Musim dingin belum usai benar, tapi sinar matahari mulai lebih rajin menyentuh atap-atap rumah. Salju memang masih menutupi tanah, tapi setidaknya badai besar telah berlalu. Warga mulai keluar rumah lebih sering. Namun, begitu satu masalah pergi, masalah lain muncul.Sore itu, seorang ibu datang terburu-buru ke balai desa. Nafasnya terengah, pipinya memerah karena dingin.“Tuan Raka… maaf. Aku tidak tahu ke mana lagi harus mencari. Anak-anak kami belum makan sejak kemarin.”Raka menoleh, wajahnya tak berubah tapi sorot matanya langsung waspada. Ia memanggil dua pejabat desa yang ada di dalam balai.“Rupa, Togan. Segera buka gudang bagian timur. Gandum cadangan mulai dibagikan. Jangan tanya-tanya berapa jatahnya, cukup pastikan semua rumah mendapat bagian.”Rupa mengangguk, cepat dan tegas. “Akan segera kami jalankan.”“Dan satu lagi,” tambah Raka. “Jangan buat antrean panjang di depan gudang. Kita antar langsung ke rumah mereka. Gunakan kereta kuda dan bagikan diam-diam kalau bisa.”S
Kabut pagi masih menggantung di ladang ketika sebuah kabar besar menyebar dari balai utama hingga ke sudut-sudut warung dan rumah: Desa Kali Bening kini resmi diakui sebagai desa mandiri. Tak lagi sekadar wilayah kecil di ujung timur Surya Manggala, kini Kali Bening berdiri sebagai entitas utuh, memiliki hak mengatur urusan dalam negerinya sendiri.Tentu, berita itu disambut gegap gempita oleh warga. Tapi di dalam Istana Surya Manggala, keheningan justru menyelimuti ruang pertemuan.“Raka... menolak jabatan komandan?” tanya Patih Jandra dengan suara tak percaya.“Benar, Patih,” jawab utusan kerajaan yang baru kembali dari Kali Bening. “Titah sudah dibacakan, penghargaan sudah disampaikan. Tapi ia tetap menolak jabatan itu.”“Padahal jika ia setuju, ia akan menjadi komandan semua desa bawahan Surya Manggala…” gumam salah satu bangsawan, “Apa yang sebenarnya dia inginkan?”“Semu aini benar seperti yang di sampaikan mahapatih maheswara, raka akan teguh pendiriannya tetap memilik mengabdi
Udara dingin semakin menggigit. Salju tak lagi sekadar hiasan di atap rumah-rumah, melainkan telah menumpuk setinggi lutut di jalan-jalan desa. Di dalam istana Kerajaan Surya Manggala, para petinggi duduk melingkar di ruang pertemuan, wajah mereka mengeras menahan rasa kecewa.“Ia menolak lagi?” suara Patih Jandra terdengar tak percaya, kedua alisnya menyatu. “Sudah tiga utusan kita kirim, bahkan yang terakhir membawa titah langsung dari Raja Mahesa.”“Raka terlalu sibuk dengan desanya,” sahut seorang penasihat tua sambil menyesap air jahe. “Kali Bening seolah dunia kecil yang dia rawat seperti milik sendiri.”“Itulah yang membuatku resah,” ucap Patih Jandra lebih pelan. “Tak ada orang menolak tawaran kerajaan—kecuali dia menyimpan sesuatu.”Suasana mendadak hening. Kata “menyimpan sesuatu” menggantung di udara seperti kabut di pagi hari.“Kita harus mulai mengawasinya lebih dekat,” ujar seorang bangsawan muda. “Bukan menuduh, hanya… berjaga.”Tak satu pun yang menyanggah. Maka disepa
Salju turun nyaris tanpa jeda sejak dua bulan lalu, dan angin dari utara membawa hawa yang menusuk hingga tulang. Di balik kondisi ekstrem itu, roda usaha di Desa Kali Bening justru terus bergerak, dipacu oleh kecerdikan sang kepala desa, Raka.Kini, lebih dari seratus dua puluh pekerja terlibat dalam berbagai lini usaha dari pabrik arang, penangkaran rusa, hingga pengerjaan mantel kulit dan pengelolaan gudang bahan pangan.Pelabuhan baru di Teluk Penyu yang megah, berdiri anggun dengan dermaga kayu besi dan menara pengawas tinggi, belum bisa digunakan. Laut di ujung selatan itu telah membeku separuh lebih. Es setebal tiga jengkal menutupi permukaan, menjebak perahu-perahu nelayan seperti mainan anak kecil.Suatu siang, di balai desa, Raka berdiri di beranda atas sambil menatap arah selatan. Ia mengenakan mantel wol cokelat tua dan penutup kepala dari kulit rusa. Di bawah, sekelompok pemuda berlatih dengan tombak kayu dan pedang tumpul. Di tengah mereka, seorang pelatih tua bernama Ga
Istana Surya Manggala, suasana tengah memanas. Di ruang utama tempat para pejabat berkumpul, Mahapatih Maheswara berdiri tegak di hadapan Raja Mahesa Warman. Sebuah gulungan surat tergeletak di atas meja berlapis emas—surat dari Raka, Kepala Desa Kali Bening.“Jadi... ia benar-benar menolak,” gumam Raja sambil menatap langit-langit ruangan.Mahapatih mengangguk perlahan. “Seperti yang hamba duga. Jawaban Raka sangat rapi, terukur, dan sulit dibantah.”Raja menatap Mahapatih, agak kecewa. “Padahal aku harap dia bisa menjadi bagian dari inti kekuatan kita.”Mahapatih mengangkat alisnya, lalu berkata tenang, “Paduka, bukankah paduka sendiri yang menyetujui hukum bahwa para lulusan terbaik bebas memilih jalannya sendiri setelah menyelesaikan ujian kerajaan? Raka hanya menjalankan hak yang paduka berikan.”“Benar,” Raja menghela napas. “Namun tetap saja, sedikit kecewa.”Mahapatih tersenyum bijak. “Kadang, orang seperti Raka dibutuhkan untuk menjaga agar negeri ini tetap waras. Dia lebih b
Embun pagi masih menggantung di pucuk-pucuk daun pinus, menyatu dengan lapisan es tipis yang menyelimuti bahu jalan-jalan batu Desa Kali Bening. Balai desa tampak tenang, namun pagi itu berbeda dari biasanya. Di bawah langit yang kelabu, sebuah kereta ringan berhias lambang Kerajaan Surya Manggala memasuki pelataran utama desa.Tiga penunggang kuda berlapis mantel tebal turun terlebih dahulu, diikuti oleh seorang utusan berpakaian rapi, membawa gulungan surat bersegel emas. Di sisi dalam balai desa, Kades Raka sudah menunggu. Ia duduk tenang, didampingi Sakri dan dua tetua desa.Utusan itu melangkah mantap, membungkuk hormat, lalu membuka suara.“Salam dari Istana Surya Manggala. Saya, Kertanegara, ditugaskan oleh Mahapatih Maheswara membawa titah dari Raja Mahesa Warman.”Raka mengangguk ringan. “Silakan duduk, Utusan. Desa kami sederhana, tapi kami tahu tata cara menyambut tamu agung.”Kertanegara duduk, lalu membuka gulungan surat dan membacanya perlahan namun tegas.“Atas nama Raj
Musim dingin tahun ini memang lain. Salju turun lebih tebal, dan hawa membeku lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya. Namun anehnya, Desa Kali Bening seperti tidak tersentuh rasa gentar.Segalanya berjalan seolah telah dirancang jauh-jauh hari. Dari penangkaran rusa hingga pabrik arang, semua berfungsi dengan nyaris tanpa hambatan. Jalan-jalan desa memang lengang, hanya sesekali terlihat orang-orang terpilih—mereka yang dipilih langsung oleh Kades Raka—menjalankan tugas harian.Orang-orang itu tak hanya kuat secara tubuh, tapi juga tahan hati dan pikiran menghadapi musim yang menyusup ke dalam tulang.Sore itu, suara deru dari tungku besar terdengar dari arah pabrik arang yang berdiri di ujung timur desa. Asapnya naik perlahan, berwarna putih keabu-abuan, menyatu dengan kabut. Di dalam bangunan beratap rendah itu, suara pukulan kayu, bara, dan percikan api saling menyahut.Amar, kepala pabrik arang, sedang berdiri mengawasi setumpuk kayu malam yang baru datang dari Desa Anggur. Ia men