Share

Bab 3 Ingin Kabur

Author: Alshrye
last update Last Updated: 2023-10-23 09:20:01

Saat malam, aku tak dapat tidur. Aku keluar kamar ingin nonton televisi. Barangkali saja aku bisa mengantuk. Tanpa sadar, aku lupa sesuatu. Saat ini di rumah ada Zaky. Ketika menonton, aku malah tertidur. Televisi masih menyala. Aku tertidur pulas di sofa.

Paginya aku terbangun. Tiba-tiba posisiku sudah berubah. Aku terbaring di sofa. Padahal tadi aku duduk. Tanpa sadar, waktu menjelang subuh. Aku beranjak dari sofa. Alangkah kagetnya aku. Ketika bangkit, kulihat Zaky di sampingku.

"Aaaaaa!!!"

"Ada apa?" Tanya Zaky kaget.

Aku teriak saat melihatnya. Zaky langsung terbangun. Aku tadi setengah sadar. Kemudian aku kembali mengingat lagi.

"Zaky, apa yang kamu lakukan?"

"Tidur."

"Yah aku tahu, kenapa kamu disini?"

"Aku tadi keluar kamar. Kudengar ada suara. Rupanya kamu menonton televisi. Kulihat kamu malah tidur. Jadi kumatikan saja."

"Setelah itu, apa yang kau lakukan?"

Aku bertanya dengannya sambil emosi. Dia tidur tepat di sampingku. Jangan sampai ia sudah berlaku aneh. Aku tak mau sampai diganggunya.

"Aku lupa."

"Lupa!"

Aku langsung menarik dia. Lalu kutampar dia. Emosiku benar-benar tak terkontrol. Aku langsung mengecek area vitalku. Apalagi saat ini yang kukenakan daster. Aku sangat syok, jika ia ganggu.

"Hey, aku hanya tidur." Pungkas Zaky.

"Santai sekali jawabanmu. Kenapa sih kamu ini? Selalu saja ingin dekat aku!"

Zaky hanya diam saja. Dia lantas malah langsung merokok. Aku rasanya mau menangis. Rasa tak kuasa kubendung. Hancur rasanya kalau aku sudah...

Aku langsung berlari ke kamar. Pikiranku langsung kacau. Rasanya ingin kabur dari sini. Kemudian kukirim pesan pada Dhea. Aku ingin ke kostannya. Tanpa pikir panjang, kupersiapkan barangku. Lalu kumasukkan bajuku dalam tas. Aku berencana akan pergi. Tak tahan lagi rasanya. Aku sudah mengenakan baju dan kerudung. Setelah selesai, aku langsung keluar. Kulihat Zaky masih santai. Ia duduk mengangkat kakinya. Sambil pula ia merokok. Sangat kesal sekali aku melihat tingkahnya. Tak ada rasa bersalah sama sekali. Aku keluar turuni tangga. Sambil terisak menangis. Aku hendak pergi.

"Mau kemana?" Tanya Zaky.

"Masih sempat kamu tanya!" Bentakku.

"Sudahlah kamu ini. Aku juga tak ingat. Masa kamu paksa buat aku ingat."

Dia tidak ingat sama sekali. Masa dia mabuk.

"Kamu mabuk?"

"Mabuk apa?"

Saat itu kudengar ibu tiriku terbangun. Langsung saja aku pergi. Aku tak mau dia melihatku kabur. Mungkin terbangun karena kami. Aku memang terdengar lantang bicaranya. Lalu, aku pergi ke arah pintu. Sambil aku membawa tas. Aku akan pergi. Ketika kubuka pintu, aku terkejut. Ternyata diluar ada ayahku. Aku tak tahu ia pulang.

"Ayah, Kenapa tak bilang mau pulang?"

"Ayah sudah chat kamu. Tapi sepertinya kamu sudah tidur. "

Aku memang tidur cepat hari ini. Rasanya bahagia tahu ayah pulang. Namun aku hendak kabur. Ayah melihatku membawa tas dan koper. Tatapannya sangat heran padaku.

"Mau kemana bawa banyak barang?" Tanya Ayah padaku.

"Aku mau pergi dari sini Ayah."

Seketika tangisku pecah. Ibu tiriku dan Zaky melihat kami.

"Mas sudah pulang?" Tanya Ibu tiriku.

"Yah." Jawab Ayahku.

"Tazkiyah kenapa kamu bawa tas?" Tanya Ibu tiriku.

"Dia mau kabur." Jawab Ayahku.

"Kabur? Memang ada salah apa sampai kabur. Ibu sudah berusaha menyenangkan hatimu. Uang ibu beri. Semuanya Ibu penuhi keperluanmu." Ujar Ibu tiriku.

Inilah ibu tiriku, dia pandai sekali berbohong. Di depan ayah dia sangat licik. Jika aku membantah, ia pasti berkelit. Aku akan terlihat sangat bersalah nantinya.

"Kamu kenapa kabur, Kiah?" Tanya Ayah.

Aku langsung memandang Zaky. Rasanya tak tahan aku melihatnya. Akhirnya aku jujur pada Ayah.

"Aku tak mau disini. Tak bisa aku serumah dengan Zaky. Malam tadi saat nonton tv, aku tertidur. Dia sengaja membaringkan aku di atas sofa. Setidaknya ia bangunkan aku!"

"Jangan sembarangan kamu bicara Tazkiyah!" Ujar Zaky.

"Memang kenyataannya begitu." Pungkasku.

"Sudah. Kalian ini ribut terus. Ayahmu baru pulang, Kiah. Kamu jangan bisanya ajak ribut. Zaky itu sepupumu. Dia mau kuliah disini!" Hardik Ibu tiriku.

"Tazkiyah, sebaiknya kita bicarakan dulu. Kamu tetap disini. Jangan langsung memilih kabur dari rumah!" Perintah Ayahku.

"Yah, Ayah." Jawabku.

Kami bertiga duduk di ruang tengah. Namun Zaky dinantikan tak muncul juga. Ibu tiriku kemudian memanggilnya. Akhirnya dia muncul. Namun aku melihatnya membawa tas besar.

"Zaky kamu mau kemana?" Tanya Ibu tiriku.

Zaky langsung duduk bersama kami. Ia ternyata ingin pamit pergi.

"Om dan Tante Fika. Zaky izin mau pindah." Ujar Zaky.

"Jangan diambil hati Zaky. Tetaplah kamu disini!" Pinta Ibu tiriku.

"Saya harus tetap pergi Tante. Maaf sudah banyak menyusahkan."

***

Setahun berlalu, kini kujalani kisah baru. Tak terasa hijab ini lama kukenakan. Namun, ujian selalu datang. Aku jatuh cinta dengan seorang pemuda. Walaupun ia tak terlalu tampan. Ia bisa membuat hatiku nyaman. Kami bertemu saat satu ruang kuliah. Namun, hubungan itu justru menodai hijrahku. Hingga pertama kalinya kulakukan dosa besar. Saat hujan rimti, aku hendak pulang.

"Tazkiyah, kamu gak pulang bareng?" Tanya Dhea.

"Aku masih ada keperluan kuliah."

"Oke."

Ramdan, ialah pemudah yang mampu menaklukkanku. Aku tipikal wanita yang sulit dipacari. Namun, dekat dengannya malah membuatku terjebak. Aku menjadi manusia bodoh. Laksana aku dipebudak olehnya. Sangat menyakitkan, aku menjadi budak hawa nafsunya.

Kehormatanku ternodai, tanpa adanya ikatan.

"Kamu kenapa diam saja sayang?" Tanya Ramdan.

"Gak. Aku sedih harus melakukannya sebelum kita menikah. Padahal aku telah niat menutup aurat."

"Kamu ingin kita menikah?"

"Kamu pikir, menikah bisa mengembalikan kehormatanku? Aku tak pernah menyangka seperti ini. Aku memang bodoh."

"Kamu menyesal?"

"Yah."

"Kalau kamu mau, aku bisa melamarmu."

"Tapi aku belum selesai kuliah. Orang tuaku mau aku selesaikan kuliah dulu."

"Kalau selama itu yah sudah. Kita tunggu sampai wisuda nanti."

"Aku akan coba tanyakan lagi. Mungkin orang tuaku mau berubah pikiran."

"Oke."

Ramdan memegang tanganku. Ia menggenggamnya. Sikap inilah yang membuatku mudah tergoda. Andai aku tahu pacaran akan menjerumuskanku. Aku tak akan mau menjalaninya. Aku sangat menyesal.

"Dhea belum tahu kita pacaran yah?"

"Belum."

"Dia sahabatmu, mengapa bisa gak tahu?"

"Biar dia tahu sendiri. Kami tak satu ruangan kuliah lagi. Jadi jarang bertemu. Itulah sebabnya ia belum tahu. Aku juga jarang curhat dengannya lagi."

"Ayo pulang, aku antar yah!"

"Ya."

Ramdan mengantarkanku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, dia tak singgah. Ia pun langsung pulang.

"Hati-hati Sayang!"

"Ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Tiba-tiba ibu tiriku sudah di depan pintu. Ia memantau kami sejak tadi. Tatapannya sangat sinis. Aku tak tahu yang ada dalam benaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 60 Drop

    Masa di rumah sakit ini hanya 3 hari berselang. Aku diizinkan dokter untuk pulang hari ini. Selama di rumah sakit, ayah tak lepas menjagaku. Sementara mas Hakim masih sibuk. Ia hanya libur satu hari pasca aku sesar. Itupun waktunya digunakan untuk mengubur ari-ari anak kami. Mas Hakim masih menyempatkan waktu luangnya malam hari saja. Kadang paginya ia mengunjungi kami. "Nanti kamu pulang naik taksi saja ya." "Kemana?" "Yah, pulang!"Mas Hakim menjawab dengan lugas. Ia seperti geram mendengar jawabanku. Yah, aku menjawabnya terkesan ketus. Selama berada di rumah sakit, aku merasa lebih nyaman. Aneh memang, biasanya pasien ingin cepat pulang. Sementara aku ingin tetap disini. "Kamu mau pulang tidak? Ayahmu suruh menginap di rumah saja. Kita tunggu dia selesai salat maghrib dulu. Baru setelah itu aku akan pesankan taksi online." Menyebalkan. Aku harus kembali hidup dengan dia. Lelaki yang selama pasca persalinanku hanya ada waktu malam saja. Itupun aku yang membersihkan pop

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 59 Setelah Lahiran

    Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 58 Menjelang Persalinan

    Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 57 Keinginan Setelah Melahirkan

    Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 56 Hasrat yang Keliru

    "Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 55 Saat Bertemu Kembali dengannya

    Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status