Pagi ini, aku bersiap untuk ke kampus. Hari ini tak seperti biasanya. Aku memilih pakaian yang akan kukenakan. Aku berencana untuk mengenakan hijab. Bismillah, akan kukenakan hijab ini. Semoga nanti menjadi jalanku membuka hidayah. Saat kukenakan, sangat terasa nyaman. Aku merasa jauh lebih baik.
Setelah selesai, aku bergegas turun. Ketika hendak sarapan, aku terkejut. Ada seorang lelaki yang duduk disana. Aku tak mengenalinya. Lalu kutanyakan pada bi Kusma."Bi, itu siapa yang duduk di kursi makan?""Keponakannya bu Rafika, Neng.""Kok aku baru lihat.""Dia keponakannya dari jauh. Orang dari kampung, memang belum pernah kesini.""Namanya siapa?""Namanya Zaky, Neng.""Zaky?""Iya.""Neng sudah mulai pakai hijab yah?""Iya, Bi.""Alhamdulillah. Semoga istiqomah yah, Neng.""Amin."Aku perlahan menghampiri meja makan. Lalu, lelaki itu menoleh ke arahku. Ia melihatku dengan tatapan aneh. Aku merasa takut ketika ia menatapku. Nakal sekali tatapannya. Badannya penuh dengan tato. Ia juga terus merokok. Asap rokoknya membuat nafasku sesak.Aku jadi hilang selera makan. Saat itu ibu tiriku muncul. Ia hendak sarapan juga pagi ini."Tazkiyah, tumben berhijab? Ada acara?" Tanya Ibu tiriku."Gak Bu. Aku hanya ingin pakai saja.""Oh, baguslah. Sudah sadar kamu, jadi mau tobat yah..""Aku memang mau pakai, Bu.""Yah semoga tak dibuka lagi yah!""Aku mengambil piring untuk makan. Tadinya ingin kuurungkan untuk sarapan, tapi ibu tiriku muncul. Aku tak mau ia marah nanti.""Ajak kenalan dong. Ini sepupumu dari kampung!""Saya Tazkiyah." Kataku sambil memperkenalkan diri."Zaky." Katanya sambi menyalamiku.Ia menyalamiku dengan gelagat aneh. Erat sekali menyalamiku. Aku langsung menarik tanganku dan melepaskannya."Orang ngajak salaman, kok sikapmu gitu!" Bentak Ibu tiriku."Sudah kusalami, Bu. Gak mungkin lama kan salamannya.""Zaky akan tinggal agak lama disini. Ia rencana mau kuliah.""Tinggal disini?""Ya. Kuliahnya di kampus kamu.""Kampusku?""Yah. Dia bukan asli sini, jadi kamu harus temani dia. Dia belum punya teman. Jadi Ibu minta tolong arahkan dia!"Di dekatnya saja aku sangat tidak nyaman. Apalagi harus menemaninya. Setelah kuberhijab, tak nyaman dekat lawan jenis. Melihat badannya banyak tato terkesan nakal. Aku tak mungkin bersama dia terus. Firasatku tidak baik dengan dia. Aku sangat takut sekali.Ketika hendak pergi, ibu tiriku memanggil."Tazkiyah, kamu pergi sama Zaky yah!" Perintah Ibu tiriku."Pergi pakai bis kota, Bu?""Zaky ada motor kok. Kamu boncengan sama dia. Zaky kan belum tahu alamat kampusnya."Betapa beratnya aku ketika diajak bersamanya. Apalagi aku harus satu motor dengannya. Tapi ini perintah ibu tiriku. Ia pasti akan sangat marah bila tak kuturuti."Zaky, kamu pergi sama Tazkiyah. Dia akan tunjukkan kamu jalan kesana. Kalian kan satu kampus." Ujar Ibu tiriku pada Zaky."Oke, Tante." Jawab Zaky.Aku masih tak rela pergi bersamanya. Aku sangat jarang dekat dengan lelaki. Selalu kujaga diriku dengan lawan jenis. Aku tak ingin lelaki lain menjamahku."Ayo naik!" Ajak Zaky.Kulihat ibu tiriku, ia masih berdiri melihat kami. Aku tak kuasa menolaknya. Terpaksa aku mengikuti ajakannya. Akhirnya kunaiki motor besarnya."Ayo pegangan!" Pinta Zaky."Pegang apa?" Tanyaku.Zaky langsung meraih tanganku. Ia memaksaku memeluk pinggangnya. Sontak aku langsung melepaskannya."Kenapa dilepas?" Tanya Zaky."Tidak perlu.""Kalau kamu jatuh, aku gak mau tahu yah!""Ya.."Saat di perjalanan, aku tak nyaman. Zaky sangat kencang mengendarai motornya. Ia seolah sengaja mengegas motor. Sehingga aku nyaris terbentur dengannya. Aku berusaha pegangan di bagian belakang. Rasanya ingin cepat tiba di kampus."Ini sudah di depan, berhenti!"Ia langsung mengerem motornya. Bunyi motor Zaky sangat berisik. Aku langsung turun di gerbang kampus."Kenapa gak berhenti di dalam?" Tanya Zaky."Kamu cari saja, ada parkiran disana. Tanya sama satpam. Aku berhenti disini saja.""Kamu tunggu aku di depan kampus yah. Aku parkir dulu!""Ya."Aku tak semangat menemani dia. Saat berjalan dengannya, aku menjaga jarak. Sengaja kupilih jalan yang ramai. Itu kulakukan agar dia tak mengangguku."Kita kemana?""Kamu harus masuk ke ruanganmu. Ini sedang kuantar kesana."Aku mengantarkan Zaky ke ruangan belajarnya."Disini ruanganya. Aku pergi dulu yah!" Ujarku"Eh, mau kemana?""Aku mau ke ruangan mata kuliahku.""Sebentar, aku minta nomor w******p mu yah!""Buat apa?""Buat menghubungimu. Kalau saja aku tak tahu ruangan sini.""Kamu bisa tanya orang sekitar sini. Tak perlu tanya aku segala.""Sudah, aku minta saja dulu. Mana tahu perlu!"Aku memberikan nomor ponselku padanya. Dalam benakku, kalau kau aneh-aneh takkan kugubris.Dhea sudah menantiku di kursi luar ruangan. Kira-kira sepuluh menit lagi kami masuk."Tazkiyah, ini kamu?""Yah kenapa?""Aku sampai paling. Tambah cantik!""Hehe, makasih.""Semoga istiqomah yah!""Ya.""Kamu sudah mantap sekali nampaknya.""Aku sudah ingin sekali pakai. Kamu benar, hijab ini sungguh nyaman.""Alhamdulillah."***Saat hendak pulang, Zaky mengirimkanku chat. Firasatku mulai buruk dengannya. Ia mengajakku pulang bersama. Terang saja langsung kutolak. Aku tak ingin dekat dengannya. Setelah beberapa menit tak kugubris, ia meneleponku."Hallo.""Ada apa Zaky?""Kamu ini kok gak balas chatku?""Aku lagi sibuk. Mangkanya gak sempat balas.""Belum pulang yah?""Belum."Aku terpaksa bohong, sengaja agar tak diajak pulang."Aku tunggu kamu di kantin yah!""Kamu sudah selesai kuliahnya?""Sudah.""Lebih baik kamu pulang saja!""Aku lupa jalan pulang.""Gak mungkin lupa. Kampusnya gak terlalu jauh kok.""Tapi aku benar-benar lupa."Dia sampai lupa jalan pulang. Kalau begini aku dengannya terus. Aku tidak mau!"Kamu belum punya teman?""Ada sih yang kenal.""Yah sudah. Ajak temanmu yang kenal itu. Minta tolong dia arahkan jalan ke rumah. Nanti kukirim alamatnya.""Ada. Tapi pulangnya temanku beda arah."Keterlaluan sekali, aku tak dapat menghindar."Yah sudah tunggu saja di kantin!" Perintahku."Oke.Aku sangat kesal sekali. Sampai kapan seperti ini. Sabar Tazkiyah, dia hanya butuh bantuan."Ada apa Kiah? kok kayak bete gitu." Tanya Dhea."Sepupuku Zaky, dia ajak pulang bareng.""Naik apa?""Motor.""Hati-hati, Tazkiyah! Aku jadi penasaran dia orangnya kayak apa?""Nanti kamu bisa lihat. Persis seperti preman.""Jangan bareng dia pulangnya. Bisa gawat kalau di rumah cuma sama dia.""Ada bi Kusma sih.""Bi Kusma gak bisa terlalu diandalkan!""Jadi aku harus gimana?" Tanyaku bingung."Ayo kamu pulang denganku saja! Biar dia mengiringi kita di jalan.""Oke, makasih Dhea.""Ya."Untunglah Dhea mau membantuku. Aku dan Dhea pergi ke kantin. Kami menghampiri Zaky yang duduk sendirian. Ia sedang merokok sambil duduk."Zaky!" Sapaku."Tazkiyah, ayo pulang!" Jawab Zaky."Aku pulang bareng temanku. Oh ya kenalkan ini Dhea.""Dhea." Ujar Dhea sambil memperkenalkan dirinya"Zaky." Jawab Zaky memperkenalkan diri juga.Dhea tampak tak ingin bersalaman. Ia segan, mungkin karena penampilannya."Aku pulang sama temanku yah!" Ujarku."Loh, jadi aku pulang sama siapa?" Tanya Zaky."Kamu ikuti saja kami dari belakang. Dhea juga bawa motor.""Oke."Zaky tampak kecewa sekali. Ia seperti tak semangat dan terpaksa. Akhirnya ia mengikuti motor Dhea. Tak hanya mengantarku, Dhea juga mampir.Masa di rumah sakit ini hanya 3 hari berselang. Aku diizinkan dokter untuk pulang hari ini. Selama di rumah sakit, ayah tak lepas menjagaku. Sementara mas Hakim masih sibuk. Ia hanya libur satu hari pasca aku sesar. Itupun waktunya digunakan untuk mengubur ari-ari anak kami. Mas Hakim masih menyempatkan waktu luangnya malam hari saja. Kadang paginya ia mengunjungi kami. "Nanti kamu pulang naik taksi saja ya." "Kemana?" "Yah, pulang!"Mas Hakim menjawab dengan lugas. Ia seperti geram mendengar jawabanku. Yah, aku menjawabnya terkesan ketus. Selama berada di rumah sakit, aku merasa lebih nyaman. Aneh memang, biasanya pasien ingin cepat pulang. Sementara aku ingin tetap disini. "Kamu mau pulang tidak? Ayahmu suruh menginap di rumah saja. Kita tunggu dia selesai salat maghrib dulu. Baru setelah itu aku akan pesankan taksi online." Menyebalkan. Aku harus kembali hidup dengan dia. Lelaki yang selama pasca persalinanku hanya ada waktu malam saja. Itupun aku yang membersihkan pop
Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini
Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta
Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah
"Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala
Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik