"Gak disuruh masuk pacarmu yang kucel itu?"
"Ibu apaan sih? Tolong jangan hina dia!"Aku tak sangka ayahku telah pulang. Aku langsung menghampiri dan menyalaminya."Assalamu'alaikum, Ayah." Salamku sambil menciumi tangannya."Wa'alaikumsalam. Siapa yang antar tadi?" Tanya Ayah."Itu loh, pacar kesayangannya Tazkiyah. Salamnya cuma Ayah saja. Ibu tirimu ini gak disalamin?" Singgung Ibu tiriku."Assalamu'alaikum, Bu." Ucapku sambil menyalami tangannya."Wa'alaikumsalam. Nah gitu dong! Itu baru anak Soleha. Sudah pakai jilbab. Akhlaknya harus baik dong. Ingat pacarannya hati-hati yah. Jangan berlebihan. Apalagi sering pulang malam." Kata Ibu tiriku.Aku sangat dongkol mendengarnya. Tak habis-habisnya dia menyindirku terus. Sengaja agar aku semakin tersudut. Dia ingin aku diperingatkan ayah."Benar kata Ibumu, Tazkiyah?""Aku pulang malam karena ada tugas kuliah.""Kamu pernah loh gak pulang sama sekali! Besoknya baru pulang.""Tazkiyah, jawab dengan jujur! Ayah sudah titipkan kamu sama Ibumu. Biar dia bisa menjaga dan mendidikmu. Tapi kamu malah bertindak bebas!""Aku benar Ayah. Kalau kalian curiga terus, nikahkan saja aku!""Hahaha. Sudah minta nikah." Hardik Ibu tiriku."Kamu kira gampang menjalani rumah tangga? Perlu didikan dan nasihat lagi. Kamu harus tahu, tak semudah itu. Belum lagi selesai kuliah. Kalau kau menikah, kuliahmu akan terbengkalai!" Ungkap Ayahku kesal."Jadi Ayah belum mengizinkanku menikah?""Bukan tak mengizinkan. Pacarmu itu belum ada pekerjaan tetap. Kata Ibumu, dia masih kuliah. Kerja sama sekali tidak. Bagaimana bisa membiayai hidupmu! Mau menikah saja mungkin belum ada maharnya.""Memang ayah minta mahar berapa?""Kamu harus tahu, paling kecil 30 juta. Tapi karena pendidikanmu tinggi, bisa 50 juta. Itupun paling kecil!""Kenapa besar sekali ayah?""Hey. Biaya menikah memang mahal. Kamu gak pikir, harga pada naik. Sewa pelaminan pasti mahal. Belum lagi biaya kateringnya. Kalaupun aku yang buat, masih pakai uang!" Balas Ibu tiriku.Aku menangis sejadi-jadinya. Tak menyangka sesulit itu untuk halal. Kemudian kutelepon Ramdan. Aku ingin menyampaikan kata ayah."Ada apa sayang?" Tanya Ramdan."Ayahku minta mahar yang banyak.""Maksudnya?""Iya boleh menikah. Asal ada mahar yang besar. Aku takut kita tidak jadi menikah.""Tenanglah, jangan menangis begitu. Ayahmu minta mahar berapa?""Lima puluh juta paling kecil."Ramdan terdiam mendengarnya. Sudah kuduga, ia pasti berat. Ramdan bukanlah orang kaya. Ia dari keluarga sederhana. Tak mungkin sebanyak itu mendapatkan uang."Ramdan, mengapa kamu diam saja?""Ya sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti akan kuusahakan.""Kamu memang punya uang segitu?""Bisa pinjam. Keluargaku banyak, mereka bisa menolongku. Sudahlah jangan nangis terus. Aku akan berusaha!""Oke. Aku tutup teleponnya yah.""Ya."***Akhirnya jelang wisuda. Ramdan masih belum menepati janjinya. Saat skripsi, jadwal kuliah memang tak banyak. Aku menyelesaikan skripsiku. Ramdan sudah lebih dulu menyelesaikannya. Setiap kutelepon dan ajak bicara, ia beralasan sibuk. Bahkan, ketika aku sidang, ia tak hadir. Sampai aku dinyatakan lulus. Ia jarang meneleponku. Apalagi di kampungnya tak ada sinyal telepon. Aku jadi sulit menghubunginya. Sangat galau sekali yang kurasakan. Aku menanti teleponnya aktif. Kuberulang kali telepon. Masih tak digubrisnya.Setelah berulang kali, baru diangkatnya."Besok saat wisuda kita bertemu." Ujar Ramdan."Ya."Itulah terakhir kali aku komunikasi dengannya. Setelah wisuda, ia masih terus menghindar. Aku tak sangka ia secepat ini berubah. Sehingga aku sangat marah. Lalu kuputuskan ia dengan tidak baik."Tazkiyah, kamu pacaran sama Ramdan?"Saat kumelamun sendiri, ternyata ada Dhea. Dia menghampiriku."Kamu tahu darimana aku pacaran dengannya? Tanyaku."Aku pernah lihat kalian berdua. Teman yang lain juga bilang begitu.""Iya benar. Tapi itu dulu, lupakan saja.""Loh kenapa, ada masalah kalian?""Setiap hubungan memang begitu.""Ramdan itu play boy katanya."Aku sungguh kaget. Dhea langsung bicara begitu."Kok bisa kamu bilang dia play boy?""Kamu gak tahu? Sudah banyak cewek kampus digombalin dia.""Yah, aku sudah tahu sebelum pacaran. Namun kukira itu hanya candaannya saja.""Semua bilang dia play boy. Mengapa kamu mau pacaran dengannya?""Entahlah. Hubungan kami sudah di ujung tanduk.""Kalian sudah putus ya?"Tanganku bergetar, aku tampak salah tingkah. Dhea seolah curiga dengan gelagatku."Sudahlah. Aku tak apa-apa Dhea!""Oke."***Aku masih saja terus menghubunginya. Namun tak ada respon. Hingga aku bosan sendiri. Rasanya tak sanggup kehormatanku sudah dirusak. Aku merasa diriku sangat kotor dan hancur. Bagaimana nanti nasib suamiku. Ia menikah dengan wanita tak suci lagi. Hingga aku tak selera makan. Namun, aku tak sempat hamil. Selama berhubungan, kami selalu pakai pengaman. Aku sangat menyesal. Hijrahku ternodai dengan rayuan pria. Ternyata selama ini aku sudah dipermainkan."Mana pacarmu? Janji mau nikah, malah gak pernah datang? Hardik Ibu tiriku."Ia tak akan mau menikahiku. Dia orang sederhana. Takkan sanggup dengan beban biaya itu.""Dasar anak sekarang. Tahunya pacaran, nempel terus. Eh, malah gak jadi.""Cukup Ibu. Hatiku sudah sakit, kemarin ia mau melamar. Tapi terlalu berat kalian menentukan mahar.""Yah itu urusanmu, bukan urusanku!"Semua sudah terjadi. Aku sangat menyesal. Penyesalan selalu datang di akhir. Aku harus membuang jauh-jauh tentangnya. Tak mau lagi aku menjadi manusia bodoh.Tak berapa lama, aku melihat ia memposting foto. Foto itu ada di akun sosmednya. Ia tampak sudah menikahi perempuan lain. Teramat sangat sakit hatiku dan hancur. Setelah itu, aku bertekad akan berubah. Aku menangis tatkala telah melupakan Tuhan. Aku telah mengingkari hijrahku. Selama ini aku terbuai dosa. Tuhan, ampuni aku. Mulai sekarang aku akan sepenuhnya berubah. Semoga kelak, aku bisa Istiqomah.Aku membuang semua pakaian biasaku. Aku hendak hijrah kedua kalinya. Kuperbaiki lebih baik lagi. Kuputuskan untuk kenakan syar'i. Aku juga mengikuti setiap ada jadwal kajian di mesjid."Wah tambah besar saja jilbabmu. Semoga bukan casing aja yah!" Hardik Ibu tiriku."Ibu seharusnya bersyukur. Aku sudah mantap mengenakan ini. Alhamdulillah, meski tak harus laporan. Kujalankan ibadah salat, mengaji dan puasa.""Gak usah pamer deh.""Aku hanya cerita pada Ibu. Selama ini aku diam. Namun Ibu masih saja tak berubah.""Anak kurang ajar. Omonganku kau lawan terus!"Aku pergi meninggalkan ibu tiriku. Rasanya tak sanggup. Sebab dialah aku mencari pelindung lain. Hingga aku terjebak dengan pria. Kukira dia bisa jadi pelindung. Nyatanya petaka untukku.Hasratku sudah bulat. Tekadku untuk berubah sepenuhnya. Aku ingin bertaubat nasuha. Aku harap Allah mengampuni dosaku. Aku berharap menemukan calon suami. Itulah sebab aku ikut kajian. Menuntut ilmu agama, sekalian mendapatkan jodoh. Aku tak ingin salah pilih lagi. Berharap jodohku bisa seaqidah nantinya.Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma."Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah." "Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu.""Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf.""Kapan bisa bertemu?""Terserah kapan bisa. Kam
Ketika waktu senggang, aku berencana mengutarakannya. Sengaja kuutarakan saat mas Hakim tenang. Kulihat ia sedang tidak ada beban. Jika pikirannya tenang, aku bisa bicara. Mas Hakim tampak sangat bahagia. Aku tak tahu apa yang membuat ia senang. Ia sedang bermain ponsel. Tampak serius sekali dan kadang tersenyum. Kutunggu ia selesai mengetik ponselnya. Lalu kudekati ia. Bismillah, coba kuutarakan hasrat ini."Mas Hakim." Sapaku."Yah?""Aku mau bicara sama Mas." Kucoba berkata dengan nada lembut. Supaya ia tidak marah. Aku perlahan ingin melunakkan hatinya. Maka kubuat ia sedikit nyaman denganku. Sebelumnya kusuguhkan ia kopi jahe kesukaannya."Ini aku buatkan kopi. Mas minum dulu!" Ujarku seraya tersenyum. "Yah, terima kasih."Mas Hakim usai juga minum kopi. Aku langsung mengatakannya. Keinginanku yang ingin bercadar. "Mas. Aku boleh tidak menutup diriku lagi?" Tanyaku."Menutup apa?""Ada hubungannya dengan penampilan."Aku berkata sangat ragu. Perasaan ini sangat takut. Tak ingi
Hampir sering aku bercadar. Sangat nyaman memakainya. Aku sampai tak ingin berhenti. Hasrat ini ingin terus tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, aku terlena. Tanpa kusadari, mas Hakim mengetahuinya. Lambat laun sesuatu yang ditutupi akan terbuka."Kau pakai cadar?"Aku saat di rumah terkaget. Ketika ia pulang, tiba-tiba bicara demikian. "Apa Mas?""Aku melihatmu dengan Rumaisya tadi siang.""Mas tahu darimana itu kami?""Jelas-jelas dia bawa anaknya.""Mas lihat kami. Benar yang dilihat itu Fatih?""Iya. Fatih dan Rumaisya. Juga termasuk kamu. Kau pakai cadar juga?""Aku tak pernah minta uang buat beli cadar. Mas tahu pengeluaranku kan? Uang yang Mas beri juga..""Hey, aku tanya kau pakai cadar gak?""Iya, Mas. Itu aku."Rasa menyesalku tak jujur pada mas Hakim. Ia sangat marah padaku. Aku pun menangis."Kamu harus tahu. Aku tak suka kamu tanpa seizinku. Seenaknya pakai cadar!""Maaf, Mas."Aku memegang tangan mas Hakim. Ia langsung menangkisnya."Sudahlah! Capek aku dengar alasanmu
Aku berencana untuk ikut pengajian. Kebetulan di grup sedang ada jadwal kajian. Aku mengirim chat pada mbak Rumaisya. Jadi nanti bisa ketemu di mesjid. Setelah mempersiapkan diri, aku telah siap untuk pergi. Terpaksa sebelum pergi, kukenakan jaket. Ini kulakukan untuk menutupi jilbab besarku. Aku juga sudah mengirim chat pada mas Hakim. Sebelum pergi, aku menanti balasan darinya. Aku memutuskan meneleponnya karena terlalu lama. Mas Hakim tak mengangkatnya. Tak lama, ia mengirimkanku chat. Ia mengizinkanku pergi. Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku.Aku naik angkot saat pergi.Ketika pulang, mbak Rumaisya mengantarku. Ia sekalian ingin tahu rumah mertuaku. "Mampir dulu, Mbak Rum!" Ajakku."Kapan-kapan aja.""Ya.""Mbak pulang dulu yah.""Ya, hati-hati, Mbak. Makasih sudah anter!""Yah, sama-sama. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku masuk ke dalam rumah. Hari sudah hampir maghrib. Mas Hakim juga sudah pulang. Kukenakan kembali jaket untuk menutupi. "Sudah pulang kamu?" "Yah,
Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi
Aku tak ingin berhenti. Namun perjalananku selalu dihalaunya. Mas Hakim tak ingin aku melanjutkan hijrahku. Keinginanku pun harus pupus. Aku terpaksa menurutinya. Ia tak memberikanku izin. Jika aku memohon, ia akan terus memarahiku. Aku tak mau ribut terus dengannya. Ia akan terus marah. Aku tak enak bila kedengaran keluarganya. Apalagi kalau ibunya sampai tahu. Jika mereka bertanya, pasti aku yang salah. Sudah pasti keluarganya akan membela dia. Aku heran melihat sikap mas Hakim. Ia semakin berubah. Tambah lagi ia selalu sibuk. Sedikit sekali waktunya untukku. Setiap di rumah dia hanya bermain ponsel. Sedangkan waktu untukku saat tidur saja. Sekali pun bersamaku, dia hanya sebentar. Entah pikiran buruk apa yang terlintas. Aku malah ingin memeriksa ponsel mas Hakim. Saat kuperiksa, aku melihat foto mas Hakim bersama wanita. Aku tak tahu itu siapa. Saat itu muncul mas Hakim. Aku langsung menanyakannya."Mas, ini foto siapa?" Tanyaku sambil memperlihatkan ponsel."Itu muridku. Memang ke
Di rumah aku menjadi sasaran mbak Namira. Selalu ada yang diributkannya. Ia selalu mencari masalah denganku. Itu hanya masalah sepele."Bu. Ada lihat ayam gorengku?""Memang ada apa?""Lauk makan siangku hilang, Bu. Siapa yang makan?""Mungkin tikus. Banyak tikus disini ngambil makanan.""Heran kok bisa? Siang gini ada tikus!""Jangan taruh sembarangan makanannya.""Biasanya gak hilang kok. Baru kali ini lauk makan bisa hilang. Siapa sih yah ngambil?""Jangan marah gitu. Mungkin memang dimakan tikus.""Aneh."Orang di rumah diam saja. Tak ada yang berani melawan iparku. Dia terus menggerutu. Mengeluh dan menyalahkan orang sekitar. "Sudah, Namira. makan saja yang ada.""Anakku, mana mau makan itu, Bu. Aku sudah belikan ayam goreng malah hilang!"Aku di rumah merasa tak enak hati. Ingin pergi saja rasanya. Seolah aku juga bersalah dengan ini. Padahal aku tidak tahu apa-apa."Kamu masih saja pakai kerudung di dalam rumah." Ucap Mbak Namira."Aku nyaman kayak gini, Mbak.""Panas-panas gi
Lama kelamaan disini aku makin tak nyaman. Seolah akan diusir oleh mereka. Bukan di rumah saja. Tetangga dan orang sekitar sini juga demikian. Sebaiknya apa yang harus kulakukan?Aku coba menenangkan hatiku yang kacau. Kuambil air wudhu saat sepertiga malam. Aku ingin salat tahajud. Mudah-mudahan Allah memberiku petunjuk. Andai ada tempat yang nyaman buatku. Tapi tak ada. Aku masih belum menemukannya sekarang. Aku masih nyaman di tempat kemarin. Ada mbak Rumaisya disana. Pindah kesini malah membuatku tak tenang. Aku ingin pindah. Namun mas Hakim tak ingin mencari tempat lain. Aku pasrah tinggal disini. Sakitnya hati membuatku menangis."Kenapa kamu?"Mas Hakim muncul di hadapanku. Ia melihat aku yang menangis sesenggukan."Ada masalah apa?""Aku tak bisa lagi disini, Mas.""Kamu ini seharusnya jadi istri itu harus bersyukur. Tinggal di rumah ibuku malah tak betah.""Bagaimana bisa betah, Mas? Orang banyak menaruh curiga padaku. Padahal aku tak pernah sedikitpun melukainya.""Mangkany