Share

Bab 4 Permintaan Menikah

"Gak disuruh masuk pacarmu yang kucel itu?"

"Ibu apaan sih? Tolong jangan hina dia!"

Aku tak sangka ayahku telah pulang. Aku langsung menghampiri dan menyalaminya.

"Assalamu'alaikum, Ayah." Salamku sambil menciumi tangannya.

"Wa'alaikumsalam. Siapa yang antar tadi?" Tanya Ayah.

"Itu loh, pacar kesayangannya Tazkiyah. Salamnya cuma Ayah saja. Ibu tirimu ini gak disalamin?" Singgung Ibu tiriku.

"Assalamu'alaikum, Bu." Ucapku sambil menyalami tangannya.

"Wa'alaikumsalam. Nah gitu dong! Itu baru anak Soleha. Sudah pakai jilbab. Akhlaknya harus baik dong. Ingat pacarannya hati-hati yah. Jangan berlebihan. Apalagi sering pulang malam." Kata Ibu tiriku.

Aku sangat dongkol mendengarnya. Tak habis-habisnya dia menyindirku terus. Sengaja agar aku semakin tersudut. Dia ingin aku diperingatkan ayah.

"Benar kata Ibumu, Tazkiyah?"

"Aku pulang malam karena ada tugas kuliah."

"Kamu pernah loh gak pulang sama sekali! Besoknya baru pulang."

"Tazkiyah, jawab dengan jujur! Ayah sudah titipkan kamu sama Ibumu. Biar dia bisa menjaga dan mendidikmu. Tapi kamu malah bertindak bebas!"

"Aku benar Ayah. Kalau kalian curiga terus, nikahkan saja aku!"

"Hahaha. Sudah minta nikah." Hardik Ibu tiriku.

"Kamu kira gampang menjalani rumah tangga? Perlu didikan dan nasihat lagi. Kamu harus tahu, tak semudah itu. Belum lagi selesai kuliah. Kalau kau menikah, kuliahmu akan terbengkalai!" Ungkap Ayahku kesal.

"Jadi Ayah belum mengizinkanku menikah?"

"Bukan tak mengizinkan. Pacarmu itu belum ada pekerjaan tetap. Kata Ibumu, dia masih kuliah. Kerja sama sekali tidak. Bagaimana bisa membiayai hidupmu! Mau menikah saja mungkin belum ada maharnya."

"Memang ayah minta mahar berapa?"

"Kamu harus tahu, paling kecil 30 juta. Tapi karena pendidikanmu tinggi, bisa 50 juta. Itupun paling kecil!"

"Kenapa besar sekali ayah?"

"Hey. Biaya menikah memang mahal. Kamu gak pikir, harga pada naik. Sewa pelaminan pasti mahal. Belum lagi biaya kateringnya. Kalaupun aku yang buat, masih pakai uang!" Balas Ibu tiriku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Tak menyangka sesulit itu untuk halal. Kemudian kutelepon Ramdan. Aku ingin menyampaikan kata ayah.

"Ada apa sayang?" Tanya Ramdan.

"Ayahku minta mahar yang banyak."

"Maksudnya?"

"Iya boleh menikah. Asal ada mahar yang besar. Aku takut kita tidak jadi menikah."

"Tenanglah, jangan menangis begitu. Ayahmu minta mahar berapa?"

"Lima puluh juta paling kecil."

Ramdan terdiam mendengarnya. Sudah kuduga, ia pasti berat. Ramdan bukanlah orang kaya. Ia dari keluarga sederhana. Tak mungkin sebanyak itu mendapatkan uang.

"Ramdan, mengapa kamu diam saja?"

"Ya sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti akan kuusahakan."

"Kamu memang punya uang segitu?"

"Bisa pinjam. Keluargaku banyak, mereka bisa menolongku. Sudahlah jangan nangis terus. Aku akan berusaha!"

"Oke. Aku tutup teleponnya yah."

"Ya."

***

Akhirnya jelang wisuda. Ramdan masih belum menepati janjinya. Saat skripsi, jadwal kuliah memang tak banyak. Aku menyelesaikan skripsiku. Ramdan sudah lebih dulu menyelesaikannya. Setiap kutelepon dan ajak bicara, ia beralasan sibuk. Bahkan, ketika aku sidang, ia tak hadir. Sampai aku dinyatakan lulus. Ia jarang meneleponku. Apalagi di kampungnya tak ada sinyal telepon. Aku jadi sulit menghubunginya. Sangat galau sekali yang kurasakan. Aku menanti teleponnya aktif. Kuberulang kali telepon. Masih tak digubrisnya.

Setelah berulang kali, baru diangkatnya.

"Besok saat wisuda kita bertemu." Ujar Ramdan.

"Ya."

Itulah terakhir kali aku komunikasi dengannya. Setelah wisuda, ia masih terus menghindar. Aku tak sangka ia secepat ini berubah. Sehingga aku sangat marah. Lalu kuputuskan ia dengan tidak baik.

"Tazkiyah, kamu pacaran sama Ramdan?"

Saat kumelamun sendiri, ternyata ada Dhea. Dia menghampiriku.

"Kamu tahu darimana aku pacaran dengannya? Tanyaku.

"Aku pernah lihat kalian berdua. Teman yang lain juga bilang begitu."

"Iya benar. Tapi itu dulu, lupakan saja."

"Loh kenapa, ada masalah kalian?"

"Setiap hubungan memang begitu."

"Ramdan itu play boy katanya."

Aku sungguh kaget. Dhea langsung bicara begitu.

"Kok bisa kamu bilang dia play boy?"

"Kamu gak tahu? Sudah banyak cewek kampus digombalin dia."

"Yah, aku sudah tahu sebelum pacaran. Namun kukira itu hanya candaannya saja."

"Semua bilang dia play boy. Mengapa kamu mau pacaran dengannya?"

"Entahlah. Hubungan kami sudah di ujung tanduk."

"Kalian sudah putus ya?"

Tanganku bergetar, aku tampak salah tingkah. Dhea seolah curiga dengan gelagatku.

"Sudahlah. Aku tak apa-apa Dhea!"

"Oke."

***

Aku masih saja terus menghubunginya. Namun tak ada respon. Hingga aku bosan sendiri. Rasanya tak sanggup kehormatanku sudah dirusak. Aku merasa diriku sangat kotor dan hancur. Bagaimana nanti nasib suamiku. Ia menikah dengan wanita tak suci lagi. Hingga aku tak selera makan. Namun, aku tak sempat hamil. Selama berhubungan, kami selalu pakai pengaman. Aku sangat menyesal. Hijrahku ternodai dengan rayuan pria. Ternyata selama ini aku sudah dipermainkan.

"Mana pacarmu? Janji mau nikah, malah gak pernah datang? Hardik Ibu tiriku.

"Ia tak akan mau menikahiku. Dia orang sederhana. Takkan sanggup dengan beban biaya itu."

"Dasar anak sekarang. Tahunya pacaran, nempel terus. Eh, malah gak jadi."

"Cukup Ibu. Hatiku sudah sakit, kemarin ia mau melamar. Tapi terlalu berat kalian menentukan mahar."

"Yah itu urusanmu, bukan urusanku!"

Semua sudah terjadi. Aku sangat menyesal. Penyesalan selalu datang di akhir. Aku harus membuang jauh-jauh tentangnya. Tak mau lagi aku menjadi manusia bodoh.

Tak berapa lama, aku melihat ia memposting foto. Foto itu ada di akun sosmednya. Ia tampak sudah menikahi perempuan lain. Teramat sangat sakit hatiku dan hancur. Setelah itu, aku bertekad akan berubah. Aku menangis tatkala telah melupakan Tuhan. Aku telah mengingkari hijrahku. Selama ini aku terbuai dosa. Tuhan, ampuni aku. Mulai sekarang aku akan sepenuhnya berubah. Semoga kelak, aku bisa Istiqomah.

Aku membuang semua pakaian biasaku. Aku hendak hijrah kedua kalinya. Kuperbaiki lebih baik lagi. Kuputuskan untuk kenakan syar'i. Aku juga mengikuti setiap ada jadwal kajian di mesjid.

"Wah tambah besar saja jilbabmu. Semoga bukan casing aja yah!" Hardik Ibu tiriku.

"Ibu seharusnya bersyukur. Aku sudah mantap mengenakan ini. Alhamdulillah, meski tak harus laporan. Kujalankan ibadah salat, mengaji dan puasa."

"Gak usah pamer deh."

"Aku hanya cerita pada Ibu. Selama ini aku diam. Namun Ibu masih saja tak berubah."

"Anak kurang ajar. Omonganku kau lawan terus!"

Aku pergi meninggalkan ibu tiriku. Rasanya tak sanggup. Sebab dialah aku mencari pelindung lain. Hingga aku terjebak dengan pria. Kukira dia bisa jadi pelindung. Nyatanya petaka untukku.

Hasratku sudah bulat. Tekadku untuk berubah sepenuhnya. Aku ingin bertaubat nasuha. Aku harap Allah mengampuni dosaku. Aku berharap menemukan calon suami. Itulah sebab aku ikut kajian. Menuntut ilmu agama, sekalian mendapatkan jodoh. Aku tak ingin salah pilih lagi. Berharap jodohku bisa seaqidah nantinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status