Esoknya mbak Rumaisya telah pulang ke rumahnya. Kemarin ia menemaniku di rumah ini. Sudah dua hari mas Hakim tidak pulang. Aku telah menghubungi ponselnya. Namun tak aktif juga. Sengaja aku bilang pada mbak Rumaisya, mas Hakim pulang hari ini. Terpaksa aku berbohong, tak ingin merepotkan mbak Rumaisya. Ia sudah banyak menolongku. Anaknya juga ingin sekolah. Bila ia disini lebih lama lagi, akan kerepotan. Rasa lelah kutahan. Biarlah aku sendiri disini. Jika mas Hakim tak pulang lagi, mungkin besok aku harus periksa sendiri kandungan. Aku rencana besok akan ke puskesmas. Vitamin hamilku juga telah habis. Jadi aku tak dapat menunda lagi kesana.Ada rasa keinginanku menelepon ayah. Tapi, aku harus minta izin terlebih dahulu. Sementara mas Hakim tak kunjung pulang. Tak lama berselang, aku melihat ada suara motor. Aku yakin itu bunyi motor mas Hakim. Lalu, aku melihat keluar jendela. Benar saja, mas Hakim telah pulang. Aku sedikit sumringah. Namun, hatiku masih menyimpan kesedihan karena ia
Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i
Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"
Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k
Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik
Aku tak menyangka akan seburuk ini. Jika ada yang salah dalam langkahku. Aku mohon maafkan. Ini sudah jadi jalanku. Tak tahu apa harus diteruskan. Apa harus kuhentikan langkahku ini? "Tidak malu kamu?""Apa sih, Bu?""Tetangga mengira kamu radikal. Senang kamu dibilang teroris?""Memang salahku apa? Aku juga yang pakai. Sama sekali aku tak mencelakai orang. Aku pakai cadar untukku.""Kamu tidak lihat di berita. Ramai tentang teroris.""Itu hanya oknum. Mereka hanya sebagian aliran sesat. Tidak semuanya begitu!""Ibu malu kalau jalan sama kamu.""Kalau Ibu malu, ya sudah. Aku juga tidak ada merugikan orang.""Sebaiknya kamu pikir lagi kalau mau pakai.""Astaghfirullah."Dia ibu tiriku. Aku sudah dari kecil diasuh olehnya. Ayahku saat ini bekerja dinas ke luar kota.***Ini sekelumit kisah ku di masa lalu. Aku hidup bersama ibu tiri. Ibu tiriku yang mengatur semuanya. Uang sekolah pun, ia yang pegang. Sehingga untuk keperluanku, selalu minta padanya. Aku meminta uang kiriman ayah padan
Pagi ini, aku bersiap untuk ke kampus. Hari ini tak seperti biasanya. Aku memilih pakaian yang akan kukenakan. Aku berencana untuk mengenakan hijab. Bismillah, akan kukenakan hijab ini. Semoga nanti menjadi jalanku membuka hidayah. Saat kukenakan, sangat terasa nyaman. Aku merasa jauh lebih baik.Setelah selesai, aku bergegas turun. Ketika hendak sarapan, aku terkejut. Ada seorang lelaki yang duduk disana. Aku tak mengenalinya. Lalu kutanyakan pada bi Kusma. "Bi, itu siapa yang duduk di kursi makan?""Keponakannya bu Rafika, Neng.""Kok aku baru lihat.""Dia keponakannya dari jauh. Orang dari kampung, memang belum pernah kesini.""Namanya siapa?""Namanya Zaky, Neng.""Zaky?""Iya.""Neng sudah mulai pakai hijab yah?""Iya, Bi.""Alhamdulillah. Semoga istiqomah yah, Neng.""Amin."Aku perlahan menghampiri meja makan. Lalu, lelaki itu menoleh ke arahku. Ia melihatku dengan tatapan aneh. Aku merasa takut ketika ia menatapku. Nakal sekali tatapannya. Badannya penuh dengan tato. Ia juga
Saat malam, aku tak dapat tidur. Aku keluar kamar ingin nonton televisi. Barangkali saja aku bisa mengantuk. Tanpa sadar, aku lupa sesuatu. Saat ini di rumah ada Zaky. Ketika menonton, aku malah tertidur. Televisi masih menyala. Aku tertidur pulas di sofa. Paginya aku terbangun. Tiba-tiba posisiku sudah berubah. Aku terbaring di sofa. Padahal tadi aku duduk. Tanpa sadar, waktu menjelang subuh. Aku beranjak dari sofa. Alangkah kagetnya aku. Ketika bangkit, kulihat Zaky di sampingku. "Aaaaaa!!!""Ada apa?" Tanya Zaky kaget.Aku teriak saat melihatnya. Zaky langsung terbangun. Aku tadi setengah sadar. Kemudian aku kembali mengingat lagi. "Zaky, apa yang kamu lakukan?""Tidur.""Yah aku tahu, kenapa kamu disini?""Aku tadi keluar kamar. Kudengar ada suara. Rupanya kamu menonton televisi. Kulihat kamu malah tidur. Jadi kumatikan saja.""Setelah itu, apa yang kau lakukan?"Aku bertanya dengannya sambil emosi. Dia tidur tepat di sampingku. Jangan sampai ia sudah berlaku aneh. Aku tak mau