Share

Into The Cave

"Baju kita basah kuyup." Joy dan Rey setelah mandi, baru sadar kalau baju pasangan penjelajah mereka yang mirip seragam pramuka itu tadi bekas terendam lumpur hutan cokelat tebal. Mereka sudah mencucinya di danau, tapi kini tak punya gantinya. Menunggu kering, masih sangat lama. Mungkin besok baru bisa dipakai kembali!

Syukurlah, di pulau Cinta ini mereka seperti Adam dan Hawa, hanya sepasang manusia berdua saja bersama hewan-hewan hutan atau pantai, dan sesekali juga masih ada hewan pengganggu. Hanya saja, nggak mungkin juga terus tak berbaju, 'bahaya' juga dong, walau mereka sudah halal jadi pasangan.

"Di tas ranselku ada handuk kecil dan handuk besar. Ambillah yang besar, Joy. Aku cukup yang kecil saja." Rey membuka ransel petualang anti airnya.

Dikenakannya sehelai handuk putih yang cukup untuk melingkari pinggangnya, sementara Joy buru-buru membentuk handuknya menjadi kemben yang pas menutup dada hingga setengah paha. Uh, syukurlah, cowok yang ada di sini sudah jadi suaminya, kalau tidak, walau imut tapi berbahaya banget.

"Eh, jangan lihatin aku terus, Sayang.." Joy merasa mata Rey yang sipit menggemaskan itu diam-diam masih iseng menjelajahi tubuhnya seolah mencari 'celah'.

"Ha ha ha, maaf.. Kamu pas berhanduk begitu menggoda banget. Susah betul bagiku yang walau sudah jadi suamimu, untuk gak melirikmu." aku Rey dengan suara rendahnya yang selalu membuat Joy merinding.

"Idihh.. yuk, kita cari jalan pulang dari sini ke pondok."

Mereka baru hendak berkemas melipat baju basah, saat menyadari, hari sudah hampir malam dan hutan-danau pulau Cinta mulai terselubung kabut putih tipis, yang semakin lama semakin tebal.

"Joy, sepertinya kita gak bisa kembali ke pondok." Rey berdeham.

"I, i, iya, nanti nyasar di hutan, kemalaman lagi.. Walau di pulau ini hanya ada kita berdua, gawat juga,..."

"Takut aku apa-apain yaaa..." Rey lagi-lagi menggoda Joy.

"Uhh, bukan itu ah !! Tapi kalau kita terjerumus dalam bahaya. Untung tadi cuma rawa-rawa berlumpur, kalau lumpur hisap, gimana ??"

"Iya ya. Ya udah, yuk kita cari tempat bermalam. Di dekat sini ada gua batu. Aku bawa korek api, untung tidak basah. Ada perlengkapan masak darurat juga. Untung ranselku hampir seperti kantong Emodoran si kucing robot masa depan . ^_^" Rey membimbing istrinya ke tempat yang ia sebutkan.

"Aku cuma bawa cokelat batangan, bisa untuk kita ngemil." Joy yang dulu pernah ikut jadi kandidat anggota klub pecinta alam SMU walau tak sampai lulus sudah keluar gegara malas melanjutkan pelatihan, selalu membawa cokelat di ranselnya.

"Cokelat yang paling enak itu yang dioles, bukan yang digigit." Rey sepertinya tak bosan-bosannya menggoda Joy yang memang sangat menggoda.

"Iya, ada nih. Chiko-chiko, jajanan anak SD." Joy mengeluarkan dua pak cokelat oles berbentuk stik itu.

"Nanti malam saja buat dessert." Rey tersenyum agak mencurigakan. " Ide yang menarik kalau makannya dengan cara yang tak biasa."

Tiba di gua itu, mereka disambut hujan deras tak lama setelah masuk ke dalamnya. "Syukurlah sudah sampai." Joy yang malas basah-basahan lagi buru-buru duduk di dasar gua yang kering.

Gua batu itu tidak begitu luas dan besar, cuma seluas kamar tidur di rumah pada umumnya, dan bagian dalamnya cukup bersih. Jadi lumayan untuk tempat persinggahan.

"Aku bawa matras. Jadi kita bisa duduk-duduk." Rey menggelar matrasnya di dasar gua. "Duduk berdempetan saja biar kau tak kedinginan."

"Uhh, berdempetan denganmu pakai handuk begini membuatku teringat kelas seni lukis anatomi manusia di FSRD dulu."

"Haaah ??" Rey gantian jengah mendengar kata-kata Joy itu. "Kau pernah jadi model di kelas seni lukis kuliahmu?"

"Bu, bu, bukan aku dan kuliahku. Di universitas lain yang lebih berani, konon ada model wanita yang siap 'buka-bukaan' saat kelas seni. Yah, kau bisa bayangkan, duduk atau tiduran di atas meja di depan kelas, buka semua yang perlu, sementara mahasiswa-mahasiswi seni di bangku dan meja kuliah atau kanvas mereka, dengan kuas atau pensil menggambar sketsa tubuhmu. Dibayar lumayan juga, konon sejam begitu, sama dengan gaji kantoran sehari penuh, lho. Mahasiswa sering patungan membayar si model."

"Hmm. Kalau aku tahu ada jurusan seni begitu, dulu aku tak jadi ah, ambil kuliah jurusan IT." canda Rey. "Tapi, jadi fotografer ada juga sebenarnya model yang berani tampil all-out kok. Hanya saja.." Rey pura-pura pasang wajah alim, "akunya yang gak mau, padahal banyak gadis mau aku foto begitu."

"Uhh, seram. Menahan nafsu." Joy sedikit banyak membayangkan Rey juga sedang berusaha mengarahkan kamera tanpa gemetaran agar hasil jepretannya tidak blur.

Tentunya susah bagi seorang pria sejati, ibarat makanan lezat siap santap tersaji minta dinikmati, alangkah susahnya untuk menahan diri agar tidak nyomot.

"Kami 'profesional'. Itu kata mereka. Tapi siapa berani jamin kalau model dan fotografer takkan pernah tergoda untuk berbuat." Rey memutar-mutar bola matanya yang selalu membentuk smize itu.

"Kalau kau bisa saja tak tergoda, tapi bisa saja mereka terus menggodamu?" Joy tiba-tiba kumat cemburunya.

"Seperti kau tanpa berkata apa-apa saja sudah menggodaku dari tadi?" Rey mulai bersuara rendah yang selalu berhasil membangkitkan gemas Joy.

"Uhhh, ayo Rey, kita makan dulu. Lapar sekali. Nyalakan lampu daruratmu, kita panaskan makanan bekal kita dan buat air panas untuk menyeduh teh dengan api unggun."

"Ide baik! Ini ada kayu-kayu kering, kita susun di depan gua dan buat api unggun kecil setelah hujan berhenti."

Mereka selama satu dua jam menikmati hidup seperti Mr. dan Ms. Flint Stonez dan berdua menikmati momen manusia jaman batu itu, saling bercerita tentang segala kenakalan jaman kuliah mereka

"Dosen cewekku ada yang masih muda, kalau mengajar suka pakai blazer plus tanktop pamer belahan ke mana-mana." kisah Joy dengan seru.

"Uhh, aku pasti akan duduk paling depan. ^_^"

"Dasar Rey."

"Omong-omong, di mana Chiko-chikonya? Aku mau kasih tahu Joy cara makan paling enak. Uhh, oleskan di ..." Rey mengedipkan matanya. "Kau tahu, gak perlu kuucapkan."

"Wahh.." Joy terperangah. "Kau serius?"

"Dan untukku juga, nanti gantian, kau tinggal buka saja untukku.." Rey tertawa nakal sekali.

"Eh, tunggu.. aku.." mereka bergumul berebut bungkusan cokelat cair berisi empat stik panjang itu. Tanpa peduli lagi pada apapun termasuk penulis dan pembaca kisah ini, Rey dan Joy sibuk ingin tahu sensasi cara makan cokelat cair itu. Hingga akhirnya, mereka berakhir lengket dan manis dimana-mana seperti bunga yang habis madunya dihisap lebah. Bungkus cokelat kosong, wajah-wajah cemong dan tubuh belepotan. Tapi sungguh, sangat menyenangkan.

"Aduh Rey nakal, kita butuh mandi lagi."

"Besok sajalah pagi-pagi, moga baju sudah kering dan kita bisa pulang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status