Sudah dua hari hewan ternak warga kampung Kaduengang hilang secara misterius. Puluhan ayam lenyap dari kandangnya, kambing yang dipelihara bertahun-tahun juga hilang. Belum lagi kerbau, ada sepuluh ekor yang hilang secara misterius. Mereka yakin pasti ada maling di kampung mereka. Warga kampung itu sepakat untuk memperbanyak pos ronda. Setiap malam para pemuda dan bapak-bapak bergantian menjaga kampung. Mereka sangat hati-hati jika ada orang asing yang masuk ke kampung mereka.
Anehnya tidak ada tanda-tanda maling di kampung itu. Selama satu minggu berjaga, tak satu pun orang asing yang masuk ke kampung. Kasus hilangnya hewan ternak belum terpecahkan, tapi sudah muncul kasus baru. Banyak warga yang melapor ke ketua RT kalau warung mereka kemalingan. Barang dagangan mereka hilang, tapi si maling hanya mencuri barang yang bisa dimakan saja seperti kue, biskuit, kopi, dan makanan lainnya. Kejadian ini benar-benar menggemparkan seluruh warga kampung. Mereka bahkan mKiai Muntaqo beserta para santrinya berhamburan ke belakang asrama. Semua orang yang ada di sana panik melihat Ririn menggantung di dahan pohon mahoni. Kiai Muntaqo membaca kalimat-kalimat ruqiah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nurul. Saat itu juga Nurul mulai terlihat kesakitan. Lima orang santri muncul dengan menggotong sebuah spring bed besar untuk menahan tubuh Ririn.Nurul menjatuhkan Ririn dan untung saja wanita itu jatuh tepat di atas spring bed, sementara Nurul masih bertengger di atas dahan pohon mahoni. Kalimat-kalimat ruqiah terus dilantunkan oleh Kiai Muntaqo, Nurul pun terjungkal ke belakang. Dia juga jatuh tepat di atas spring bed sehingga tidak ada luka sedikit pun. Faisal memeriksa keadaan adiknya itu, dia menangis karena tak tega melihat adiknya yang sering sekali kesurupan.***Satu Minggu Kemudian.Sudah lima kali Faisal bermimpi tentang sumur tujuh yang ada di puncak gunung Karang. Dalam mimpinya itu, Faisal didatangi kakek
Tengah malam sekitar jam dua belas, seorang wanita berparas cantik bersama dua orang lelaki berbadan besar masuk ke dalam lobi hotel, langkah mereka tampak tergesa-gesa dan langsung menghampiri dua orang resepsionis yang sedang berjaga.Dari penampilan wanita yang mereka bawa, orang pasti bisa menilai kalau wanita itu adalah pelacur. Dandannya menor, ginju merah tebal menempel di bibirnya, bedak murahan melapisi wajahnya, baju yang ia pakai menampakkan pusar atau udel perut, celananya juga pendek sepaha dan hampir seselangkangan.“Kamar nomor 111,” tanpa menyapa lagi, lelaki itu menjulurkan tangan untuk meminta kunci.“Sudah booking ya, Pak?” tanya Heri, si resepsionis.“Iya jangan banyak tanya, cepat!” lelaki botak yang satu lagi malah membentak."Maaf Pak bisa tunjukkan KTP-nya," Pinta Heri.Salah satu dari mereka menyerahkan KTP dengan wajah kesal. Heri dibantu rekan kerjanya langsung memeriksa data dir
Zainal perlahan meletakkan kembali gagang telepon itu, ia menelan ludahnya sendiri lalu membalikkan badan. Lelaki yang barusan tidur di sampingnya sudah menghilang. Zainal terperanjat, dadanya turun naik. Segera ia pergi ke kamar mandi, ia mandi dengan sangat cepat seperti bebek. Kurang dari sepuluh menit, ia keluar dari kamar mandi dan langsung mengenakan pakaian tanpa mematut diri di depan cermin.Penampilan Zainal acak-acakan, dia bahkan belum sempat memasukkan baju kemejanya ke dalam celana. Di tangannya ada sebuah stopmap yang berisi bahan untuk prensentasi. Wajah Zainal terlihat panik saat ia duduk di meja makan bersama Fadil.“Lu kenapa?” Fadil heran melihat penampilan temannya yang acak-acakan itu.“Dil, di kamar gua ada setannya.”“Hah! Serius lu?” jelas saja Fadil kaget.“Tadi malam setan itu menyerupai lu. Dia tidur sama gua.”Mendengar pernyataan temannya, Fadil
Heri duduk termangu di meja resepsionis. Semenjak kematian para mahasiswa itu, pengunjung hotel jadi sepi, sekali pun ada paling hanya 2 pengunjung sehari, itu pun jarang. Heri jadi banyak menganggur, setiap hari kerjaannya hanya duduk di meja itu sambil sesekali memainkan hp-nya. Sekitar jam 2 dini hari, telepon berbunyi. Segera Heri mengangkat telepon itu.“Dengan resepsionis, ada yang dapat saya bantu?”“Pintu kamar saya susah dibuka, kayaknya pintunya rusak. Saya tidak bisa keluar,” kata lelaki diseberang telepon.“Baik, di kamar nomor berapa ya?” tanya Heri dengan ramah.“99, Pak.”“Baik, mohon ditunggu ya.”Itu suara bule dengan logat bahasa Indonesia yang khas orang asing. Sudah dua hari dia menginap di hotel itu, pasti bule itu tidak tentang kasus kematian para mahasiswa. Heri bergegas mencari kunci cadangan untuk kamar nomor 99. Dia terlihat bersemangat karena a
Angker? Bobi mengerutkan dahi.Iya, Pak. Jangan dekat-dekat dengan kamar itu!Halah... persetan dengan angker.Bobi malah menendang pintu kamar. Itu membuat Heri lari ketakutan. Bobi heran lantaran tidak ada siapa-siapa di sana. Ia pun menutup kembali pintunya. Bobi sama sekali tidak takut. Sebab, yang ia alami di Gunung Pulosari jauh lebih mengerikan.Sesaat sebelum Bobi masuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang seperti mencakar-cakar pintu. Bobi pun menoleh. Tepat dari celah pintu kamar nomor 111 ada darah mengalir perlahan membasahi lantai. Bobi menggelengkan kepala.“Sebaiknya kau tidak menggangguku. Aku sudah pernah membunuh jin seperti kau,” kata Bobi.Dengan penuh emosi, dia tendang kembali pintu kamar itu. Kali ini tampaklah seorang wanita dengan wajah penuh darah.“Kenapa kau mengganggu manusia?” tanya Bobi.Yang ditanya diam saja. Wajahnya datar menat
Bobi terkapar tak sadarkan diri di bawah pohon besar. Pakaiannya penuh dengan bercak lumpur. Topi koboinya hilang entah ke mana. Senapannya tergeletak tak jauh dari tubuhnya.Terakhir kali Bobi sadar dia dibawa oleh sosok wanita yang berpakaian layaknya ratu kerajaan. Entah apa yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba sekarang dia malah terkapar di bawah pohon besar ini.Kelopak mata Bobi bergerak. Dalam satu hentakan, kedua matanya membelalak. Bobi menarik napas dalam-dalam seperti orang yang baru saja tenggelam. Kemudian napasnya terengah-engah, telinganya berdengung hebat. Ia mengerang-erang sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.Semakin lama telinganya berdengung semakin keras. Bobi berteriak kesakitan. Dengan terburu-buru, dia merogoh botol air minum dari dalam tasnya lalu menyiram telinganya sendiri.Perlahan rasa sakit itu reda. Bobi kembali berbaring. Dia menatap dahan-dahan pohon yang rindang, tapi tatapan itu kosong.
Tanpa pikir panjang lagi, Bobi lari menghampiri Mira. Namun, saat ia akan menyentuh lengan Mira, tiba-tiba saja Mira dan sosok wanita berpakaian kerajaan itu hilang entah ke mana. Keramaian pasar juga lenyap begitu saja.Pasar itu berubah menjadi lahan kosong yang berbatu. Sedangkan Ajeng masih berdiri di kejauhan sambil terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.“Mira! Mira!” Bobi berteriak ke segala arah mencari Mira. Tapi Mira tak menampakkan wujud lagi.“Mas! Kita dipermainkan setan. Ayo pergi dari sini!” teriak Ajeng dari kejauhan.Bobi pun menyerah. Ia merasa mungkin Ajeng benar kalau yang dilihatnya tadi hanya jelmaan Mira. Ia meraih kembali senapannya yang tergeletak di tanah, lalu berjalan menghampiri Ajeng. Tanpa berkata apa pun Bobi melanjutkan perjalanan.“Kita mau ke mana lagi?” Ajeng mempercepat langkahnya, mengejar Bobi.“Sudah kubilang aku mau cari Mira,” kini Bobi j
Ajeng masih lari sekuat tenaga untuk menjauh dari genderuwo itu. Kini suara raungan itu seperti ada di atas kepala Ajeng. Wanita itu berteriak minta tolong, dia berharap ada seseorang yang muncul dan menyelamatkannya. Ketika Ajeng melewati akar pohon besar, kakinya tersandaung, dia pun jatuh dan bagian kepalanya membentur akar pohon dengan sangat keras.Masih dalam keadaan sadar, Ajeng terkapar tak berdaya di bawah pohon itu. Darah mengalir keluar dari kepalanya dan saat Ajeng berkedip, genderuwo itu sudah ada di hadapannya. Makhluk itu tidak lagi menyerupai Bobi, tubuhnya besar dan berbulu, kukunya panjang berwarna hitam pekat, taringnya menjulur hingga ke perut dan kedua matanya merah menyala.Genderuwo itu menjilati wajah Ajeng yang penuh darah. Ia ternyata suka dengan darah Ajeng. Ingin sekali Ajeng berteriak, tapi dia tidak sanggup. Suaranya seakan hilang begitu saja, Ajeng hanya bisa pasrah. Rasanya dia ingin mati saja sekarang juga.