"Makasih ya, Bang," ucap Giovano setelah Mark—temannya—membayar pemuda itu atas kerjanya.
"Yo, gue juga makasih banyak."
Giovano pamit dan beranjak pulang. Untungnya, hujan deras tadi sudah reda, hanya menyisakan genangan-genangan sendu. Ia memasukan uang dari Mark ke dalam dompetnya. Kosong melompong. Benar-benar tidak ada selembar uang pun selain uang yamg baru saja didapat. Jelas begitu, setiap mendapat bayaran, ia langsung menyerahkannya untuk kedua adik perempuannya.
Giovano mengulet.
Andai saja jika ia memiliki pekerjaan tetap, walaupun gajinya kecil, setidaknya bisa mencukupi satu Minggu."Gio!" Teriakan dari belakang membuat Giovano berbalik badan.
Mark mengejarnya dengan membawa kantung plastik hitam di tangannya.
"Eh, kenapa, Bang?"
"Ini, Nayla sama Kayla pasti belum makan, kan? Nih, lo makan bareng mereka."
"Wih, makasih, Bang."
"Udah, ya, gue balik. Hati-hati lo," ucap Mark menutup perbincangan, lalu be
"Cieeee! Yang makin hari makin deket!"Drea merangkul Geovani dari belakang. Hampir saja Geovani dibuat jantungan, pasalnya ia berjalan seorang diri sebelumnya."Drea! Saya kaget tahu!""Cie, Geo, ciee," ledek Drea seraya mencubit pelan pipi Geovani."Apaan, sih?""Kayaknya sebentar lagi ada yang bakal jadian, nih." Geovani bergidik ngeri menanggapi ucapan Drea. Namun, sahabatnya itu terus saja meledeknya."Sok tahu banget, sih. Siapa juga yang dekat?!""Ituloh, kemarin tiba-tiba jadi pasangan pesta. Udah gitu di tengah acara malah meninggalkan aula lagi berduaan. Ke mana lo kemarin?""Loh, kok kamu tahu?""Ya, jelas dong. Gue sama Gumelar merhatiin kalian. Mau negur dan nanya, tapi enggak jadi, ah. Males, lagian gue sama dia lagi seru kemarin. Hahahaha." Drea tertawa seraya menepuk-nepuk pahanya sendiri. Ia tahu bahwa Geovani memiliki luka di punggungnya, makanya ia menepuk pahanya sendiri, padahal biasanya pundak Geovani
Giovano menutup pintunya. Perasaan dan pikirannya menjadi lebih lega setelah memberi saran kepada Babeh Seno tadi. Namun, ketika mengingat-ingat ucapan Babeh Seno, jantungnya berdegup kencang lantaran menyadari bahwa ia menyukai Geovani, gadis yang sudah menyatakan perasaannya lebih dulu.Ia belum pernah menyukai seseorang yang bukan bagian dari keluarga ataupun sahabatnya. Geovani, kali pertamanya."Kalau gue ajakin dia, pasti ditolak karena udah janjian sama Dave Dave itu duluan," gumam Giovano memikirkan cara agar dirinya bisa menghadiri pesta ulang tahun Drea sebagai pasangan Geovani."Aduh! Gue juga belum nyiapin baju! Anjir, mana punya gue baju-baju bagus. Gimana, ya?"Giovano mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Gumelar. Ia menelepon sahabatnya."Halo, Van?" tanya dari seberang."Lo udah di sini? (Daerah Giovano)""Udah, Van, baru aja sampe. Lagi istirahat heula. Kunaon, Van?""Hm ... gue kayaknya gak ikut pesta Dre
Kericuhan di halaman depan rumah—istana—Drea dapat disalah artikan menjadi acara pembukaan bagi Giovano. Pasalnya, laki-laki itu secara tiba-tiba mengatakan bahwa Geovani adalah pasangannya di pesta malam ini. Sedangkan, Geovani sendiri datang bersama Dave.Teman-teman yang sudah lengkap dengan pasangannya menghiraukan dan langsung masuk, tetapi ada beberapa yang malah mengambil video cam di antara tiga orang itu. Selain itu, selebihnya ada yang sengaja berdiam di depan karena menunggu Geovani masuk."Pak! Saya tidak bohong, dia pasangan saya. Iya, kan, Van?" tanya Dave dengan nada tinggi.Geovani mendadak kikuk di tengah keramaian itu. Entah karena apa, ia merasa tidak enak jika mengatakan bukan pasangan Giovano. Apakah karena dress code mereka mirip?"Vani, jawab! Lo pasangan gue kan?" Ia mengulang kembali."Udahlah ... jelas-jelas dia cuma mau bareng lo aja. Minggir!" cetus Giovano seraya berjalan mendekat.Dengan sigap, Dave
"Hei! Kenapa kamu balik lagi?" tanya kepala bagian waiter itu setelah melihat Giovano yang kembali ke ruangan persajian dengan nampan yang masih penuh.Ditambah lagi, wajah Giovano yang kebingungan mengundang emosi kepala waiter."Saya salah meja, Pak. Pesanan ini untuk nomor berapa, ya?"Kepala waiter menatap tajam Giovano itu. Bahkan, ada aura menerkam yang ia pancarkan. Terlihat sekali bahwa kepala waiter geregetan."Kamu ini!! Sudah tiga kali seperti ini. Kalau kamu sedang sakit, tidak perlu memaksakan masuk!" Yup, benar sekali. Ini sudah yang ketiga kalinya Giovano seperti ini dalam satu hari.Laki-laki itu mengusap tengkuknya merasa semakin kurang profesional tingkahnya di hadapan waiter lainnya. Apa lagi, perihal ia yang menjadi bagian dari waiter tanpa interview dan segalanya sudah menyebar sejak kemarin. Bahkan, di sana pun Giovano tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol. Terkadang ada yang mengajaknya bicara, hanya bertanya ten
03:00 a.m.Giovano terbangun dari tidurnya. Walau matanya terasa berat, tetapi ia merasa ada yang janggal. Atap. Benar sekali, ia yakin yang ia lihat itu bukanlah atap rumahnya. Lalu? Sedang di mana ia?Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya membulat sempurna melihat Geovani terbaring nyenyak di sebelahnya dengan mata yang membengkak. Giovano langsung teringat tentang semalam, di mana Geovani menceritakan sedikit kisah hidupnya.Ia tidak menyangka, di hidupnya yang ia rasa paling suram, rupanya ada yang lebih kelam lagi. Selain itu, Geovani seorang perempuan, Giovano kagum dengan ketangguhan gadis itu. Ia mengelus puncak kepala Geovani."Kalau lo aja masih bisa semangat jalani hidup, kenapa gue enggak? Makasih, ya, Geo."Tiba-tiba, Geovani membuka matanya. Membuat Giovano sigap menarik tangannya dari kepala Geovani."Lo kok bangun?"Geovani menguap."Jam berapa sekarang? Saya terlambat, ya?" tanyanya masih dengan mata
Redup lampu malam menemani Papa berceramah panjang lebar kepada dua remaja itu di ruang tamu. Tidak, dari pada menceramahi, Papa lebih menyindir Geovani dan mengaitkan kelakuannya dengan kehidupan mamanya, sebelum sempat Geovani menjelaskan detail kejadiannya."Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya murahan, sudah pasti anaknya murahan," gumam Papa dengan nada sinisme.Geovani yang sudah berkeringat dingin hanya bisa menunduk, menyembunyikan lukanya serta terlalu malu dengan Giovano di sebelahnya."Geovani, kalau sampai ada rumor tentangmu yang menjatuhkan harga diri saya, benar-benar tidak akan saya maafkan. Sudah cukup ibumu saja yang hampir menghancurkan hidup saya." Papa berganti menatap Giovano yang sama sekali tidak memasang raut wajah takut. Lalu, kembali berceloteh, "Kamu juga, apa orang tuamu tidak mendidikmu? Ini sudah malam, tidak bagus seorang lelaki mengunjungi rumah perempuan. Coba dengari kata-kata ibu ayahmu, jika mereka orang bai