LOGINKadang, cinta tidak perlu berlari. Ia hanya perlu seseorang yang cukup sabar untuk tetap berdiri di tempat yang sama—sampai yang lain berani pulang. Tujuh tahun lalu, Nayara Adinata pergi diam-diam ke luar negeri, meninggalkan Indonesia dan meninggalkan Elric Mahendra, lelaki yang pernah menjadi rumah teraman dalam hidupnya. Ia tak berniat kembali — sampai sahabat kuliahnya, Keira Adiwangsa, memintanya pulang untuk membantu perusahaan farmasi keluarganya yang tengah berbenah. Kini, Nayara kembali sebagai engineer dengan reputasi gemilang. Namun di balik meja rapat dan laporan teknis, ia mendengar suara yang dulu pernah menenangkan di antara bising dunia: Elric, kini direktur operasional perusahaan yang sama. Pertemuan itu membuat waktu berbalik. Bukan untuk menagih masa lalu, tapi untuk memahami bahwa beberapa perasaan tidak pernah selesai, hanya menunggu keberanian untuk kembali.
View More"Kadang yang hilang tak benar-benar pergi; mereka tinggal di dalam cara kita belajar bertahan."
Kuliah farmasi di Jerman selama empat tahun, pengalaman kerja di perusahaan ternama lima tahun, tidak ada satupun textbook maupun protap yang bisa mengajarkannya tata cara menghadapi masa lalu ketika ia muncul lagi tanpa aba-aba. Dan hari ini, masa lalu itu sedang duduk di ruang rapat — rapi, berwibawa, dan berbahaya bagi ketenangan hati. Udara ruang meeting pabrik terasa terlalu dingin. Atau mungkin hanya degup jantungnya yang terlalu kencang. Ia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas di telinga. Keira mencondongkan tubuh, berbisik, “Psst. Kamu yakin nggak apa-apa?” tanyanya untuk kesekian kali, melihat wajah pucat sahabatnya. “I’m good,” jawab Naya pelan, mengatur napas. Keira tersenyum — mendukung, tapi matanya menangkap sesuatu yang lain di wajah sahabatnya. Awalnya, Naya masih baik-baik saja. Tenang, penuh senyum, percaya diri. Tapi, semua rasa percaya dirinya hilang ketika perkenalan resmi selesai, presentasi dimulai, dan pintu ruang rapat mendadak terbuka. “Maaf saya terlambat.” Suara itu. Bariton yang tidak berubah, meski tujuh tahun sudah lewat dan dunia mereka berubah terlalu banyak. Naya tidak langsung menoleh. Tapi tubuhnya mengerti lebih dulu daripada pikirannya — lututnya sempat melemah sepersekian detik. Ia mengangkat wajah, dan matanya bertemu dengan milik laki-laki yang seharusnya hanya tinggal dalam ingatan. Elric Mahendra Adiwangsa. Lebih dewasa, lebih tenang… lebih sulit untuk dihadapi. Dan yang pasti, untuk dilupakan. Naya menggigit bagian dalam pipinya dan menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Hari ini, ia harus profesional. Ia melanjutkan presentasi — suara stabil, slide berjalan lancar, pointer bergerak dari satu diagram ke diagram lain. Hanya saja, kini ada satu bayangan di ekor matanya yang terlalu sering menarik fokusnya. Dan ketika rapat selesai, semua orang berdiri. Naya buru-burу merapikan barang, berharap semesta memberi waktu untuk kabur. Ia harus berbaur bersama dengan persta meeting yang lain, keluar dari ruangan ini tanpa disadari, lalu mencari lubang ke dasar bumi, untuk menghilang selamanya. Naya tidak siap menyapa masa lalu. Tapi, langkah itu terlambat satu detik. “Naya.” Bisikan tercekat, seolah ia takut menyentuh nama itu dengan kasar. Naya mengutuk heels yang ia pakai. Mengutuk ide cemerlangnya pagi tadi untuk mengenakan heels agar terlihat anggun dan profesional. Seharusnya ia tetap mengenakan running shoes favoritnya. Naya berbalik dengan senyum tipis yang sangat terukur — seolah ia bertemu rekan kerja yang hanya dikenalnya lewat email. “Terima kasih atas masukannya di meeting tadi, Dokter Elric.” Hati kecilnya memberontak karena penyebutan itu. Bukan “Kak”. Bukan panggilan masa kecil yang hangat. Dokter. Formal. Jauh. Elric terpaku sesaat. “Kamu …” Ia berhenti, seperti mencari kata-kata. Naya menunggu. Menebak apa yang akan Elric katakan. “Bagaimana kabarmu?” “Baik.” Jawaban cepat. Terlalu ketus. Sedikit kecewa. “Jam sebelas saya ada inspeksi area produksi. Permisi.” “Naya, tunggu—” Kalimat itu terdengar seperti seseorang yang belum siap menghadapi kenyataan bahwa ia telah kehilangan. Tapi Naya sudah mempersiapkan garis pertahanan. “Kalau ada hal terkait pekerjaan yang perlu dibahas, silakan tanyakan saya lewat email, Dokter.” Senyum kecil itu muncul lagi — sopan, tapi dingin pada tepinya. Lalu ia melangkah pergi. Namun suara yang dulu selalu bisa menghentikan tangisnya kembali memanggil: “Naya… kenapa kamu pergi waktu itu?” Langkah Naya sempat terhenti. Ia tidak berbalik. Karena jika ia berbalik, hatinya mungkin runtuh lagi. “Karena tinggal hanya bikin aku lupa caranya berhenti berharap,” ujarnya lirih, hampir tenggelam dalam suara AC. Pintu menutup pelan. Dan inilah kali kedua ia meninggalkan laki-laki yang sama. *** Ia berdiri diam — hanya menatap pintu yang baru saja tertutup. Berhenti berharap? Apa yang seharusnya ia pahami dari kalimat itu? Berharap tentang apa? Selama ini, ia hidup dengan keyakinan sederhana: Naya pergi untuk masa depan yang lebih baik. Ia tidak marah. Ia tidak kecewa. Ia hanya menjaga jarak agar gadis itu bisa terbang setinggi apa pun yang ia mau. Lalu hari ini, perempuan yang dulu ia temukan di ruang IGD — yang menggenggam tangannya seolah itu satu-satunya jangkar hidup — kembali berdiri di depan matanya. Dengan gelang perak yang masih sama. Dan pandangan yang jauh berbeda. Bertahun-tahun Elric membayangkan pertemuan pertama mereka lagi setelah sekian lama. Ribuan skenario bermain di kepalanya. Ia membayangkan Naya akan mengembangkan senyuman khasnya yang selalu menghiasi ingatannya. Atau memanggilnya "Kak Elric" seperti dulu. Tapi, pertemuan hari ini tidak ada senyuman dalam memori ataupun panggilan yang sudah lama ia rindukan. Keira muncul dengan beberapa berkas, matanya mengikuti arah tatapan Elric. “Kakak kenal sama Naya?” Elric mengangguk pelan. “Dia…” Ia menelan sisa kata. “…adik sahabatku.” Keira mengangkat alisnya, "adik sahabat? Reaksi Kak Elric nggak kaya reaksi orang ketemu sama adik sahabatnya. Ada cerita apa yang nggak aku tahu tentang kalian?" Elric menatap adik sepupunya. Separuh kaget, separuh kesal karena Keira bisa menebak dengan mudah. Keira mengangkat tangan, "Oke, oke, nggak usah galak-galak gitu dong liatnya, aku kan cuma nanya." katanya sambil tertawa, lalu keluar membawa berkas-berkas, meninggalkan Elric sendiri. Elric kembali sibuk dengan pikirannya. Di kepalanya, kenangan itu berputar sekali lagi : genggaman tangan kecil yang takut, senyum malu-malu saat berhasil memecahkan soal sains, dan tangis yang tidak sempat ia hapus di hari kepergiannya. Sebenarnya apa alasan kepergian Naya? Kenapa ia selalu merasa seperti sedang ditinggalkan? Dan kenapa rasa sesak ini begitu mengganggu? Sama seperti dulu saat Naya memutuskan untuk pergi. Dengan kekuatan yang sama. Tanpa aba-aba.-BERSAMBUNG-Naya baru saja menutup pintu ketika suara ketukan terdengar lagi. Untuk sesaat, Naya pikir Reza lupa sesuatu. Tapi saat ia membuka pintu— “Kak Ardan?” Naya terpaku. “Kok kakak—” “Aku paham kamu merasa kalau kamu kuat setelah dokter pasang besi di tangan kamu. Aku tahu kamu merasa kamu adalah Robocop,” ia langsung masuk tanpa menunggu izin. “Tapi, merasa kuat bukan berarti kamu harus kerja sampai pingsan.” Naya berkedip cepat. “Kok Kakak bisa tahu?” Ardan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan. “Ada yang kasih tahu aku.” Jeda. Seolah-olah ia mencoba menjaga rahasia Let’s wait. “Elric telepon.” Katanya akhirnya. Sejak dulu Ardan tak pernah bisa menjaga rahasia. Naya kaget. Ternyata Elric pakai jalur Ardan untuk intervensi. “Oh.” satu-satunya kata yang keluar dari mulut Naya. “Dia bilang kamu pingsan. Pucat kaya mayat. Dan hari ini kamu bukan Cuma balik kerja seperti biasa, tapi juga maksain diri sampai pingsan.” Ardan menirukan suara Elric dengan dramatis.
Pintu lift basement terbuka dengan bunyi ding yang terdengar terlalu nyaring.Udara pengap dari parkiran bawah tanah menyambut: bau aspal, suara samar mesin mobil, lampu kuning remang-remang. Naya melangkah pelan keluar, sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai semen.“Pelan-pelan aja,” ujar Reza, berjalan setengah langkah di depan, seolah tubuhnya otomatis mengambil posisi penghalang kalau-kalau ia jatuh lagi.“Aku nggak serapuh itu,” Naya mencoba bercanda.Reza menoleh, tersenyum. “Aku nggak bilang kamu rapuh. Tapi tangan kamu cuma satu yang bisa dipakai, Nay. Sistem support-nya lagi reduced capacity gitu.”Naya nyaris tertawa. “Kamu baru aja nyamain aku sama mesin?”“Mesin itu hal yang paling aku ngerti,” jawab Reza enteng. “Sekarang aku lagi belajar ngerti hal lain.”Tatapannya sempat jatuh ke arah wajah Naya. Sekilas. Hangat. Bukan tatapan orang yang baru kenal beberapa jam.Naya buru-buru mengalihkan pandang ke deretan mobil. “Mobil Pak Reza yang mana?”Reza mengerjap pelan. “
Laptop terasa lebih berat dari biasanya. Gips di tangan kirinya menggosok kulit, membuatnya tidak nyaman. Seminggu memakai gips mulai memberikan masalah bagi Naya. Ia sudah mulai merasakan gatal di tangannya dan jarinya tidak cukup panjang untuk menyusup masuk ke dalam gips dan menggaruk bagian yang gatal. Namun, saat ini hal yang paling mengganggu bukan tangannya yang gatal, tapi napasnya sendiri yang mulai terdengar… tidak stabil. Semenjak jatuh, asmanya kambuh setiap hari membuatnya sangat bergantung pada inhaler. Naya mulai frustasi. Jangan tumbang. Jangan sekarang. Jangan di kantor. Naya bangkit, berniat kembali ke meja Keira. Tapi baru dua langkah, lututnya goyah. Penglihatannya berbayang. Dan sebelum ia sempat mencari pegangan— “Whoa, hati-hati!” Seseorang menangkap siku dan pinggangnya bersamaan. Naya terhenti dalam posisi setengah jatuh—sangat tidak elegan. Nafasnya tercekat. Reza. “Kamu baik-baik aja?” suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang tulus. Naya ingin bil
Gips di lengan kirinya terasa berat, membatasi semua gerakannya. Setiap kali ia berusaha mengambil file, rasa nyeri yang menusuk menyentaknya dan mengingatkan bahwa ia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja, ia kembali duduk di kursinya pagi ini.Seminggu pasca operasi bukanlah waktu ideal untuk bekerja. Setiap dokter yang ia temui sepakat soal itu.Termasuk seseorang yang berdiri di balik kaca koridor saat ini.“Naya!” Keira melambai sambil berjalan cepat menghampirinya. “Kamu udah balik kerja? Kamu yakin kamu kuat?”“Ada banyak yang harus diberesin,” jawab Naya, seolah itu alasan paling tepat. “Dan, ya. Aku baik-baik aja.”Keira menatap gips di tangan Naya. “Gips kamu bicara sebaliknya.”“Aku bisa. Cuma buat laporan, apa sulitnya.” Katanya sambil mengangkat bahu meremehkan.Keira menghela napas panjang. “Kalau kamu tumbang lagi, kakak sepupu aku bakal nyalahin aku sampai akhir hayat.”Jantung Naya mencelos. “Dia… marah?”“Marah sama siapa pun yang kontak mata dengannya semalam.” K
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.