Melinda tertegun di tempatnya duduk. Ia menatap bayangan Bima yang lantas menghilang di balik pintu kamar mandi.
Ada banyak hal yang ingin dia bicarakan?
Mendadak perasaan Melinda menjadi tidak enak. Apa yang hendak Bima bicarakan? Meminta dia berhenti bekerja seperti apa yang tadi Anita minta kepadanya ketika makan malam? Tapi untuk apa? Bekerja atau tidak, nasib Melinda tetap sama! Dia kesulitan, bahkan sama sekali tidak bisa hamil.
Jadi untuk apa dia berhenti bekerja dan 24 jam berada di rumah ini? Menyerahkan diri untuk gila perlahan-lahan? Melinda hendak cari mati?
Melinda mendesah, ia meletakkan ponsel di atas nakas. Bergegas bangkit dan melangkah menuju lemari pakaian. Menyiapkan pakaian seperti yang tadi Bima perintahkan kepadanya.
Hati Melinda sama sekali tidak tenang, apa yang ingin Bima bicarakan kepadanya? Perihal apa? Apakah Bima hendak ....
"Ah tidak!" Melinda menggeleng kuat-kuat. "Tidak mun
"Mas pengen ngomong apa?" Melinda lebih dulu buka mulut setelah Bima terus bungkam sejak dia keluar dari kamar mandi dan kini sudah terbaring di atas ranjang bersamanya.Bima menoleh, menatap Melinda dengan seksama. Sebuah sorot mata yang entah mengapa membuat hati Melinda makin risau dan dia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi. Tapi apa?"Bagaimana di rumah? Mama masih sering ngomong macam-macam?"Melinda memaksakan diri tersenyum. Pertanyaan macam apa itu? Kenapa pertanyaan itu Bima tanyakan padahal Bima tahu betul apa penyebab Anita selalu membahas hal tersebut."Tentu masih, Mas. Mas tahu, kan, bagaimana cara membuat mama berhenti bertanya dan ngomong macam-macam itu apa?" Melinda balik bertanya, sekuat tenaga menahan tangis karena jujur ia sudah lelah menangis ketika membahas hal ini.Terdengar desahan panjang keluar dari mulut Bima. Sebuah suara yang membuat Melinda menoleh dan menatap Bima dengan seksama. Tampak Bima menatap l
Melinda dengan susah payah membuka mata, hendak membangunkan Bima. Namun ketika matanya terbuka, Melinda terkejut mendapati Bima bahkan sudah selesai mandi dan sudah dengan pakaian dinasnya. Setelan scrub berwarna abu-abu dengan jas putih yang masih tergantung di pintu lemari. "Mas, sudah bangun?" sebuah pertanyaan basa-basi yang spontan meluncur dari mulut Melinda. "Sudah, kamu berangkat sendiri tidak apa-apa, kan, Mel?" Bima yang nampak tengah menata rambutnya dengan pomade menoleh, menatap Melinda yang duduk di atas ranjang dengan wajah setengah mengantuk. "Oke, tidak masalah." Melinda tersenyum simpul, dia tahu ada sesuatu yang tengah suaminya itu sembunyikan. Tapi apa? Bima tidak lagi bersuara, fokus menata rapi rambutnya. Menyemprotkan parfum lantas kemudian meraih snelli miliknya. "Aku berangkat, Mel. Kamu hati-hati, jangan lupa sarapan." Bima tersenyum, meraih ponsel berserta perintilan yang lain lalu melangkah
"Kalau Dokter bilang papa Anetta masih hidup, apa yang hendak Anetta katakan?"Bima menatap mata yang menatapnya tanpa berkedip sejak tadi. Jantung Bima berdegub kencang, berharap-harap cemas dengan jawaban yang akan keluar dari mulut gadis kecilnya. Apa tanggapan dia ketika tahu Bima-lah ayah kandungnya selama ini."Saya ini papa kandung kamu, Anetta. Saya papa kamu!" kembali Bima menegaskan siapa dirinya, matanya berair, ia benar-benar menantikan kalimat pertama yang keluar dari mulut Anetta setelah tahu bahwa Bima adalah ayah kandungnya."Dokter nggak lagi bohong, kan?"ClessHati Bima seperti ditusuk sembilu. Bohong? Untuk apa Bima berbohong? Namun Bima sadar, dia paham kenapa Anetta sampai bertanya hal seperti itu kepadanya. Kemana Bima selama ini? Di saat dia sibuk bertanya pada sang mama perihal siapa ayah kandungnya, di mana keberadaannya, Bima di mana? Dan sekarang mendadak Bima muncul dan mengatakan bahwa dia adalah ayah kandu
"Kita bicarakan semuanya nanti, aku harus follow up beberapa pasien dan stand by IGD. Nanti makan siang aku balik." Bima sudah cukup pusing sejak tadi terus diserang Vina. Meskipun Bima tahu, Vina berhak dan pantas meluapkan semua emosinya.Vina melengos, ia melangkah menuju ranjang Anetta yang sejak tadi terus mengawasi. Membuat Bima kembali menghela napas panjang untuk mengisi stock sabarnya."Vina memang seperti itu, jadi saya har--.""Bima ngerti, Ma." potong Bima cepat. "Boleh Bima panggil mama, kan?"Bisa Bima lihat wanita paruh baya itu terkejut setengah mata dengan permintaan yang Bima ajukan. Matanya menatap Bima dengan tatapan tidak percaya, membuat Bima tersenyum dan mengangguk pelan."Ibu adalah mama Vina, ibu dari anak Bima. Jadi boleh, kan, Bima panggil mama?" kembali Bima mengajukan permintaan itu, membuat Ani lantas tersadar dari keterkejutannya."Sebelumnya boleh saya tanya, Dokter Bima?" Ani memasang wajah serius, meskipun
“Kamu bisa menolak sekarang, Vin. Tapi kalau Anetta yang minta, kamu masih mau nolak? Dia butuh aku, Vin. Ingat itu baik-baik!”Vina membelalakkan matanya, menatap Bima dengan tatapan tidak suka. Apa katanya? Anetta butuh dia? Setelah pergi dan cuci tangan, sekarang Bima mendadak muncul dan dengan enteng bilang kalau Anetta butuh dia?“Siapa bilang Anetta butuh kamu? Toh selama ini dia hidup bertiga denganku dan mama, dia baik-baik saja tanpa kamu!” tukas Vina yang tidak terima Bima dengan begitu enteng berkata demikian.“Terlepas dari kesalahan bodoh dan semua dosa yang aku lakukan, dia tetap butuh aku sebagai figur ayah, Vin. Tolong jangan egois!” Bima mengerti Vina begitu marah kepadanya, tetapi tidak lantas dia kemudian bersikap seperti ini.“Egois? Kau pikir pergi begitu saja setelah menghancurkan hidupku, itu tidak egois?”Bima terbungkam. Seperti biasa ketika kalimat dan kejadian itu yang Vina
“Anetta, ya?” tampak dokter Agus sibuk membolak-balik lembaran kertas berisi status pasien milik Anetta.Bima mengangguk, “Betul, Dok.”Jujur ia begitu cemas luar biasa. Sejak semalam dia terus memikirkan kemungkinan apa yang terjadi pada anak gadisnya dengan kondisi yang demikian. Apakah sebuah penyakit serius? Ada mutasi DNA yang menyebabkan Anetta harus menderita penyakit itu? Bima mencoba mengusir jauh-jauh semua ketakutan itu, ia menantikan dokter Agus selesai membaca lembar status yang dia bawakan ke mejanya.“Sudah kau tengok dia hari ini, Bim?” wajah dokter Agus terangkat, menatap Bima yang berharap-harap cemas sedari tadi.“Sudah, Dok. Kondisi stabil dan baik, hanya saja di kakinya terdapat beberapa memar yang muncul tiba-tiba.” Jelas Bima yang lupa menuliskan hasil follow up-nya pagi tadi.“Memar?” alis dokter Agus terangkat, ia menatap Bima dengan begitu serius.Bima meng
"Kamu siap?"Melinda tercekat. Radit menatap dirinya dengan serius. Mata mereka bertemu, dengan sorot serius. Melinda kembali menitikkan air mata. Membuat Radit memalingkan wajah karena tidak tega melihat wanita itu menangis macam itu."Siap nggak siap, aku harus siap, kan, Mas?" Melinda meraih tisu, menyeka air matanya sambil berusaha meredakan tangis."Berat loh, Mel. Kamu harus benar-benar kuat. Setahun-dua tahun, apalagi pas lihat dia nikah, dia hamil, rasanya tuh sakit banget. Sampai pernah rasanya aku pengen ngilang aja gitu dari muka bumi."Melinda menghela napas panjang, Melinda tahu betul hal itu tanpa perlu Radit jelaskan. Baru membayangkan saja hati Melinda sudah sakit sekali, bagaimana kalau dia melihat secara langsung? Ah ... hati Melinda sudah begitu pedih rasanya.Radit menghela napas panjang, Melinda tidak perlu menjawab semua pertanyaan yang tadi dia ajukan. Sorot dan ekspresi wajah Melinda sudah menjawab semua pe
"Bim, kamu kenapa?"Tentu dokter Agus panik dan terkejut melihat mahasiswanya menangis sesegukan seperti itu. Ia menatap Bima yang bahunya naik-turun efek tangisnya yang pecah. Apa yang membuat Bima syok dan menangis sesegukan macam itu?Bima belum menjawab, ia masih menangis sesegukan sambil menyeka air mata. Dokter Agus meraih tisu, menyodorkan benda itu ke depan Bima yang langsung menarik selembar tisu dan menyeka air matanya.Dokter Agus dengan sabar menanti, sampai isak tangis Bima sedikit mereda, membuat dokter Agus menghela napas panjang dan kembali mengulang pertanyaan yang sama."Kamu kenapa, Bim? Ada apa?" kalau hanya terbawa suasana dan kasihan pada pasien mereka, tentu Bima tidak akan menangis seheboh ini, bukan?"Sa-saya mohon, Dok. Saya mohon sekali, tolong selamatkan Anetta, Dok."Dokter Agus mengerutkan keningnya, sungguh berlebihan kalau Bima sampai seperti ini hanya karena prihatin dengan kondisi pasien me