31"Aira, dipanggil Pak Boss ke ruangannya." Hasna yang masuk ke ruang bermain langsung membawa kabar yang membuat kening Aira berkerut dalam. Dipanggil Pak Boss? Ke ruangannya? Ah, itu artinya mereka akan berada di satu ruangan, dan tidak mungkin Aira terus membisu di sana. "Ada apa, ya, Bu?" tanya Aira heran. Hasna hanya mengangkat bahu. "Akun tidak tahu, Pak Boss hanya memberi perintah agar kau segera ke sana," jawab Hasna seraya ingin berlalu. Namun, segera berbalik saat menyadari Aira masih diam di tempatnya. "Apa yang kau tunggu? Jangan tunggu dia marah!" Hasna mengangkat kedua alisnya. Aira mengembus napas kasar sebelum menyerahkan Baby Al yang tengah duduk bersandar ke tubuhnya, ke pangkuan Nina. Aira memang sudah mengajarkan Alister untuk duduk. "Oh, ya. Baby Al bawa saja ke sana," lanjut Hasna sebelum meninggalkan ruang khusus bermain. Aira, Nina, dan Dita saling pandang. Sebelum kedua babysitter itu tersenyum geli melihat wajah Aira yang tegang. "Sudah cepetan, nant
32Aira masih berdiri di tempatnya. Menatap heran lelaki yang seenak jidatnya menambahkan poin yang menurut Aira … ah, entahlah. Kedengarannya lucu, tetapi Aira tidak ingin tertawa. "Silakan tandatangani lagi kontrak kerja ini!" Alexander meletakkan kembali kertas yang ia baca ke atas meja kemudian sebuah bolpoin diletakkan juga di atas kertas itu. Setelah sekian lama mematung, Aira menggeleng keras. Ia tentu keberatan dengan dua poin baru yang ditambahkan Alexander tanpa membicarakan dulu dengannya. "Maaf, Tuan. Tapi saya tidak bisa menyetujui dua poin tambahan itu!" ujar Aira tegas. Membuat kening Alexander berkerut. "Kenapa?""Karena dua poin itu terlalu mengada-ada. Tidak masuk akal. Tidak seharusnya hal seperti itu dimasukkan kontrak!" Aira mulai lagi mendebat Alexander. Ia lupa kalau sedang menjalankan aksi tutup mulut. Alexander tersenyum senang. Senyum yang akhir-akhir ini sering sekali terlihat di wajahnya. Tidak seperti saat awal-awal Aira bekerja di sini. Alexander te
33"Apa kamu siap menghadapi kemarahan Tuan Alex?" Hasna bertanya balik saat melihat Aira seolah menantang. "Mendingan kamu turutin saja, toh hanya mengantar minuman. Alister juga baru tidur, kan? Ada Nina juga yang jaga." Hasna mengalihkan pandangan ke arah pintu, saat Nina masuk membawa baju-baju Alister yang sudah digosok rapi. Aira berpikir beberapa lama. Terlihat dari alis matanya yang beradu. Kemudian wanita itu menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, Bu. Aku akan antar, sekalian mau nanyain kenapa harus aku. Tapi aku tidak tahu di mana ruang olahraga," ucap Aira akhirnya. "Ayo, aku tunjukkan," jawab Hasna datar seraya berjalan lebih dulu. Akhirnya, walau dengan hati dongkol, Aira mengantar minuman yang entah terbuat dari apa. Yang Aira tahu wangi lemon menguar dari gelas besar yang ia bawa, disertai biji-biji selasih mengambang di permukaan airnya. Ditemani Hasna, Aira menyusuri lorong di lantai bawah di mana dulu ia tersesat saat ingin kabur dari sana
34"Mi-minumannya, Tuan," ucap Aira gugup. Pandangannya ia lempar jauh ke hamparan air kolam renang di luar sana yang ternyata juga terlihat dari sini. Ruang olahraga pribadi Alexander sisi depannya terbuat dari dinding kaca semua. Bahkan ada pintu akses yang menghubungkan langsung ke halaman belakang. Udara segar dari luar langsung masuk saat pintunya dibuka seperti ini. Cocok untuk berolahraga. "Kau menumpahkan minumannya, Aira!" balas Alexander dengan suara yang sangat dekat. Dengan napas yang tiba-tiba tersengal, Aira melirik gelas minuman yang bergetar. Isinya hanya sisa setengah. Sebagian sudah tumpah dan menggenang di atas nampan yang sama bergetar. "Ma-af, Tuan. Biar saya ba-wakan lagi," ucapnya seraya ingin berbalik dan menghindar agar mereka tidak terlalu dekat. Sungguh, jantung Aira mendadak bermasalah. Bagaimana tidak? Alexander berdiri sangat dekat dengan tanpa memakai baju. Hanya celana pendek yang membalut tubuh bagian bawahnya. Tubuhnya bermandi keringat karena ia
35Aira mengikuti langkah Alexander yang ternyata menuju sebuah lift. Sesuatu yang baru ia ketahui kalau rumah itu memiliki lift, hanya saja menuju bagian belakang rumah. Akan memakai waktu lagi bila dari bagian depan rumah menuju lift yang letaknya di belakang. Ternyata masih banyak hal yang belum Aira ketahui di rumah itu. Ia memang terlalu polos dan tidak ingin tahu. Lift terbuka, mereka tiba di lantai bawah yang hanya beberapa langkah saja menuju pintu keluar. Beraneka ragam bunga indah berwarna-warni di taman belakang langsung menyambut begitu mereka tiba di sana. Mata Aira terasa ikut berwarna-warni melihatnya. Senyum mengembang dari bibirnya. Berbulan-bulan tinggal dan bekerja di sana, Aira baru tahu kalau ada tempat seindah ini di sini. "Lihat, Alister sepertinya senang di sini," ucap Alexander seraya duduk di sebuah bangku menghadap deretan bunga yang sedang bermekaran. Lalu memetik beberapa buah untuk mainan Alister. "Duduklah! Ada yang ingin kubicarakan!" perintahnya lag
36Alexander menyerahkan Alister ke pangkuan Aira. "Bawa Alister ke atas. Jangan jauhi dia. Jangan ke mana-mana. Tetap di kamar!" perintahnya dengan serius. Aira menerima tubuh mungil itu seraya mengangguk. Ia tidak banyak bertanya. Sepertinya tamu yang datang bukan tamu biasa. Mungkin orang yang bermasalah di masa lalu dengan Alexander. Hingga lelaki itu terlihat cemas. Namun, walau penasaran, Aira tidak mau kepo. Alexander mengantar mereka sampai lift, lalu menekan sebuah tombol agar benda itu terbuka. Mendorong lembut pundak Aira agar masuk. Lalu kembali memberi perintah. "Tetap di kamar temani Alister. Jangan ke mana-mana. Bila butuh sesuatu, suruh saja babysitter. Jangan keluar kalau ada yang mengetuk pintu selain orang rumah!" ucapnya lagi dengan wajah sedikit cemas. Tangannya menepuk pelan pundak Aira. Seperti seorang suami yang sedang memberi petuah kepada istrinya. "Hasna, temani Aira dulu sampai atas, nanti langsung ke ruang tamu!" Kentara sangat berbeda nada suara anta
37"Adik? Bukankah ayahku dan anakmu sudah melakukan tes DNA dan tidak ada kecocokan DNA di antara mereka?" Alexander tersenyum sinis. Sungguh tak habis pikir dengan orang-orang tidak malu ini. "Walaupun bukan anak biologis Papimu, tapi Ivan sudah seperti anaknya sendiri, Lex. Sejak lahir Ivan ikut papimu, bahkan papimu sangat menyayanginya.""Ya ya ya, sangat menyayanginya, hingga menelantarkan anaknya sendiri, yang harus hidup terlunta-lunta. Ah, sudahlah, Tante! Sebaiknya kalian tinggalkan rumahku! Tidak ada tempat untuk kalian di sini!" Alexander benar-benar jengah. Setelah mengatakan itu, ia berlalu dengan tanpa melirik lagi dua orang yang baginya tidak penting. Namun, siapa sangka wanita yang sejak tadi memohon itu, mengejarnya dan langsung bersimpuh di kakinya dengan air mata berurai. "Alex, Tante mohon, jangan begini, Nak. Kami sudah tidak punya apa-apa. Rumah pemberian dari Papimu sudah tergadai untuk biaya hidup kami sehari-hari. Kami tidak punya apa-apa dan siapa pun di s
38Terlena. Itulah yang dirasakan Aira saat ini. Ia membiarkan Alexander menciumnya. Ia menikmatinya. Ia bahkan membalas ciuman lelaki itu. Entah sampai berapa lama. Hingga saat kesadarannya terkumpul, wanita itu membuka matanya dengan paksa. Ini salah! Ini tidak boleh! Tangan yang semula berpegangan kuat dengan meremas kemeja Alexander di dada, kini mendorong dada itu dengan kuat, hingga tautan bibir mereka terlepas.Dengan napas tersengal dan dada turun naik cepat, Aira menatap tajam lelaki yang baru saja merampas hak bernapasnya itu, sebelum melayangkan sebuah tamparan, dan mendarat di pipi Alexander lumayan keras. Setelahnya, wanita itu berlari masuk ke dalam kamar Alister, dan mengunci diri di kamar mandi. Mencuci bibirnya berkali-kali untuk menghilangkan jejak ciuman lelaki itu. Aira terus merutuki dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa terbuai oleh lelaki itu? Bagaimana bisa membiarkan lelaki itu melakukan padanya? Bodoh! Ia seperti wanita murahan yang dengan mudah memberikan