"Mas Darman, maafkan aku karena aku telah lalai pada Risma dan putramu, Mas. Aku terlalu fokus untuk membahagiakan anak-anakku saja. Aku terlalu fokus bekerja untuk memenuhi apa yang mereka inginkan, sehingga aku telah abai pada Risma dan putramu," lirihku sembari mengusap-usap batu nisan yang bertuliskan nama mendiang suamiku.
Setelah dari rumah Risma tadi aku langsung menuju makam Mas Darman. Aku sungguh merasa buruk karena tidak pernah mengunjungi Risma dan juga putra sambungku itu.Kesibukan membuatku lupa dengan mereka. Ya Allah ... ampunilah hamba-Mu ini. Andai aku tidak mengabaikan Risma dan putranya, tentu aku masih sempat melihat wajah Risma sebelum kematiannya. Aku menangis tersedu. Menyesal karena tidak sempat bertemu dengan Risma.Mungkin sikap kurang ajar anak-anakku adalah teguran untukku karena telah mengabaikan putra sambungku.Air mataku semakin mengalir dengan derasnya. Aku sangat merasa bersalah sekarang. Tapi aku harus bagaimana? Semua sudah terlambat, Risma telah meninggal dunia. Sementara aku juga tidak tahu caranya menemukan Dani. Andai aku bisa bertemu dengannya walau hanya satu kali saja. Aku pasti akan meminta maaf padanya atas kelalaianku selama ini.Tiba-tiba, angin berhembus dengan kencangnya. Awan mendung mulai berjajar rapi. Nampak hujan akan segera turun. Sebenarnya aku ingin berlama-lama di sini. Tapi sepertinya cuaca sedang tidak mendukung. Padahal hari belum beranjak sore, tapi sudah mendung saja. Memang cuaca sudah masuk musim penghujan. Wajar jika jam segini sudah akan turun hujan.Aku merapatkan sweater berwarna coklat yang sedang aku pakai. Udara menjadi bertambah dingin karena mendung datang. Dinginnya terasa menembus ke dalam kulitku."Mas, aku pamit dulu. Aku pasti akan menemukan Dani untukmu, Mas. Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku janji," ucapku masih mengusap-usap batu nisan Mas Darman.Sedetik kemudian aku terperanjat ketika merasakan tepukan lembut di pundakku. Seketika aku langsung menolehkan kepala demi melihat siapa yang menepuk pundakku. Padahal tidak kurasakan kedatangan sesorang sama sekali."I-bu Rat-mi ...." Sosok lelaki muda tampak mencondongkan tubuhnya di belakangku. Sepertinya dialah yang telah menepuk pundakku. Tapi aku tidak mengenalnya."Si-apa?" tanyaku terbata melihat sosoknya.Wajah pemuda tersebut mengingatkanku dengan sosok Mas Darman saat muda dulu. Garis wajahnya sama persis dengan mendiang suamiku itu. Tung-gu ... jangan-jangan dia ... dia adalah Dani? Anak sambungku."Ibu ... ini Dani, Buk," jawabnya dengan mata berkaca-kaca."Astaghfirullah ... Dani," pekikku, lalu aku langsung berdiri dari posisiku, kemudian aku memeluk putra sambungku itu sambil berderai air mata.Ya Allah, terima kasih. Engkau telah begitu baik pada hamba-Mu yang hina ini. Aku berharap bertemu dengan Dani, dan kini dia telah berada di sini bersamaku. Dia tiba-tiba muncul saat aku benar-benar sedang ingin bertemu dengannya.Aku mengurai pelukanku pada Dani, "MasyaAllah, kamu sudah besar, Nak?" Aku membelai wajah yang bagai duplikat Mas Darman dengan lembut."I-ya, Buk. Dani sudah besar." Dani memegang tanganku yang membelai wajahnya.Aku masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Dani, sekarang dia ada di depanku. Dia sudah sebesar ini? Ya Allah. Dia tumbuh menjadi lelaki yang gagah dan tampan. Risma pasti sangat bangga membesarkan Dani hingga menjelma menjadi lelaki yang rupawan.Rintik hujan mulai berjatuhan, seolah langit sedang menyambut pertemuan kami berdua dengan turunnya hujan."Hujan, Buk. Ayo ikut Dani ke mobil," tutur Dani sembari menggandeng tanganku. Menuntunku berjalan menuju mobilnya yang parkir tak jauh dari pemakaman. Aku pun hanya menurut saja padanya.Setelah tiba di samping mobil, Dani pun membukakan pintu mobil untukku. Kemudian dia memutari mobil, lalu masuk ke dalamnya setelah aku masuk ke mobil dan menutup pintu kembali. Perlakuan Dani sungguh membuat hatiku terenyuh. Putra sambungku itu memperlakukanku dengan begitu baik. Andai Damar juga bisa sepertinya. Ya Allah, rasanya miris sekali melihat perbedaan Dani dan juga Damar. Risma benar-benar telah berhasil dalam mendidik putranya itu.Dani terlihat fokus mengemudi. Sementara hujan pun mulai bertambah deras. Mobil Dani membelah jalanan di tengah guyuran hujan.Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, Dani membelokkan mobilnya ke arah rumah yang terlihat mewah dengan tiga lantainya. Aku memandang takjub rumah tersebut.Dani pun memarkirkan mobilnya setelah sampai. Kemudian dia tampak bergegas turun terlebih dahulu. Sementara aku masih takjub dengan rumah yang bercat putih itu."Buk, ayo turun," tutur Dani, membukakan pintu untukku.Aku tersentak, lalu aku pun beranjak turun dari mobil."Hati-hati, lantainya sedikit licin, Buk," ucap Dani memperingatkanku.Aku menganggukkan kepala menanggapinya. Memang lantainya sedikit licin karena tetesan air hujan yang menbasahinya.Dani menggandeng tanganku menuju ke arah pintu. Lalu dia pun membuka pintu tersebut setelah sampai."Assalamu'alaikum ...," ucapnya saat kami berada di ambang pintu."Wa'alaikumussalam. Sudah pulang, Mas?" Seorang wanita dengan balutan hijab panjang datang tergopoh-gopoh, menyambut kedatangan kami."Iya, Dek. Oh iya, tolong buatkan minuman hangat untuk ibu ya," ucap Dani padanya. Netra wanita muda itu pun beralih menatapku. Lalu kemudian dia tersenyum ke arahku."Maaf, Ibu. Saya Nada, istri Mas Dani," ucapnya memperkenalkan diri, lalu meraih tanganku dan mengecup punggung tanganku.Aku melebarkan senyumku, lalu memeluknya. Nada ... nama yang indah. Seindah sikap lembutnya. Beruntung Dani memiliki istri sepertinya.Aku pun melepaskan pelukanku. "Kamu sungguh cantik, Nak," pujiku membuat rona di pipinya memerah."Terima kasih, Buk. Mari masuk, Buk. Saya buatkan minum dulu," tuturnya sopan."Iya, Buk. Sebaiknya Ibu duduk dulu," ucap Dani menimpali ucapan sang istri.Aku menganggukkan kepala, lalu mulai melangkahkan kaki menuju sofa yang terlihat mahal. Sepertinya semua yang ada di dalam rumah ini terlihat mahal.Setelah tiba, aku pun mendaratkan tubuhku di atas sofa. Empuk. Berbeda sekali dengan sofa yang ada di rumahku. Walaupun sofa di rumahku termasuk bagus, tapi rasanya tidak seempuk sofa yang sedang aku duduki ini."Buk, Dani tinggal mandi terlebih dahulu. Jika perlu apa-apa, jangan sungkan untuk memberi tahu Dani atau Nada ya, Buk," tukas Dani.Aku pun menganggukkan kepala menanggapinya. Lalu kemudian Dani mulai beranjak pergi. Meninggalkanku sendiri yang masih merasa takjub dengan kemewahan yang ada di depan mataku.Pertemuan tak terduga antara aku dan Dani, membuatku sangat bersyukur. Aku bahagia karena kehidupan Dani terlihat sangat baik. Dia pasti sukses sekali hingga mempunyai rumah sebagus ini. Aku senang, kekhawatiranku padanya langsung hilang. Kini berganti dengan rasa bangga. Walaupun Dani bukan anak kandungku, tapi aku juga merasa bangga padanya yang sudah sukses seperti ini.Pov Dani. [Dan, bagaimana dengan nama 'Afnan Alfiansyah'? Bagus tidak? Ibu sudah berpikir panjang, tapi ibu bingung sendiri memikirkannya. Bagaimana dengan nama itu? Kalau kamu dan Nada kurang suka, kalian bisa mencari nama lain. Oh iya, nanti jangan tunggu ibu. Mulai saja acaranya tanpa ibu, mungkin ibu akan datang terlambat.]"Afnan Alfiansyah? Emm ... nama yang bagus," gumamku setelah membaca pesan dari ibu.Baru pukul tiga dini hari tapi ibu sudah mengirimkan pesan padaku. Tumben sekali. Apa beliau terjaga sepertiku? Entah kenapa putra kecilku rewel sekali malam ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu anteng dan tidak pernah rewel sama sekali. Aku pun heran dibuatnya. "Istirahatlah, Mas. Biar aku yang gantian menjaga anak kita." Suara Nada terdengar, aku pun menoleh ke arahnya. Wajah Nada terlihat pucat, dia pasti kelelahan karena menjaga putra kami sepanjang malam."Kamu saja yang istirahat, Dek. Kasihan kamu kalau tidak bisa beristirahat, tubuhmu pasti belum puli
Pov Author. "Masya Allah ... Tabarakallah, dia ganteng sekali, Dan. Dia benar-benar mirip denganmu," ucap Bu Ratmi memuji bayi mungil yang ada di dalam gendongannya. Netranya memindai wajah si bayi yang masih terlelap, tampak tidak terganggu dengan percakapan orang-orang di sekitarnya."Alhamdulillah, Buk. Dani sudah sangat bersyukur Nada dan bayi kami selamat. Dani sudah tidak tahu lagi bagaimana mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala," sahut Dani sembari menggenggam erat tangan sang istri yang masih terbaring di ranjangnya.Sementara Nada hanya bisa tersenyum melihat wajah sang suami yang terlihat sembab. Dia tahu sekali jika suaminya itu pasti sudah menangis sejak dia ditangani oleh dokter. Di dalam hati, Nada merasa sangat lega, tugasnya sebagai ibu baru saja dimulai. Putranya terlahir dengan sehat tanpa kekurangan apapun, walaupun sempat terjadi pendarahan padanya akibat terjatuh di kamar mandi. Dia merasa bersalah karena tidak berhati-hati saat ke kamar mandi. Andai t
Pov Author."Kenapa, Buk?" tanya Damar melihat sang ibu sedang memijit keningnya. Dia pun beranjak duduk di samping sang ibu."Eh ... nggak, Mar. Ibu nggak kenapa-napa," sahut Bu Ratmi. Dia hanya merasa pusing saja semenjak bangun dari tidurnya. Padahal selama ini dia jarang sekali sakit, tapi tidak tahu kenapa pagi ini setelah bangun tidur kepalanya terasa berat."Benar, Ibuk nggak apa-apa?" tanya Damar lagi memastikan jika sang ibu memang baik-baik saja.Bu Ratmi menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan, "Iya, Mar. Ibu baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir. Bukankah kamu tahu sendiri jika ibu jarang sekali sakit?""Iya, Buk. Damar hanya khawatir saja, wajah Ibu terlihat pucat, tidak seperti biasanya," sahut Damar sembari memindai wajah sang ibu yang terlihat pucat."Benarkah, Mar? Mungkin ibu masih kelelahan akibat perjalanan jauh kemarin," ucap Bu Ratmi sembari memaksakan senyumnya, berharap agar sang putra tidak perlu khawatir terhadapnya. Dia hanya merasa pusing bi
Pov Author Bu Ratmi melambaikan tangan pada anak-anaknya, dia baru saja pulang dari Tanah Suci. Setelah hampir satu setengah bulan dia menjalankan ibadah haji, kini dia telah kembali.Bu Ratmi berangkat ke Tanah Suci bersama dengan putra sambungnya. Dani menemani ibu sambungnya itu sebagai ganti Bu Risma, sang ibu kandung yang telah tiada dan belum mempunyai kesempatan untuk bertandang ke Tanah Suci. Sementara Nada berada di rumah, tidak bisa ikut dengannya, mengingat usia kandungannya yang sudah mendekati waktu lahiran. Tapi Nada tidak sendirian di rumah, Dina diminta Bu Ratmi untuk menemani menantunya itu. Dia takut jika terjadi sesuatu dengan Nada sementara sang suami tidak ada di rumah.Damar dan Dina menjemput ibu mereka dengan wajah yang semringah. Terlihat dari wajah mereka yang sangat antusias menyambut kedatangan sang ibu. Ada sorot kerinduan yang terpancar dari keduanya setelah hampir satu setengah bulan tidak melihat wajah sang ibu."Ibu ...!" seru Dina sembari berlari ke
"Ada apa, Buk? Dari tadi Ibu tidak menyentuh makanan Ibu sama sekali," tanya Dani membuatku menoleh ke arahnya.Aku menerbitkan senyum ke arahnya. "Tidak apa-apa, Dan. Hanya saja hari ini ibu bahagia sekali. Kita bisa berkumpul semua di sini dengan keadaan yang jauh lebih baik. Melihat kalian semua berkumpul dan akur seperti ini sudah membuat ibu bahagia, rasanya makanan yang tersedia sekarang ini tidak bisa menandingi rasa bahagia di hati ibu."Netraku berkaca-kaca, tidak pernah aku bayangkan hari ini akan tiba, hari di mana kami semua berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Ada Damar yang sudah sembuh dari luka-luka yang dideritanya dan ada juga Feni, Dina pun duduk manis di sampingku. Sementara kehadiran Dani dan Nada melengkapi kebahagiaan keluarga kami. Aku bahagia, bahkan sangat-sangat bahagia.Kami sedang makan malam di rumahku yang dulu, kini aku telah kembali tinggal bersama dengan Damar dan juga Dina. Damar memintaku kembali untuk tinggal bersamanya setelah dia keluar dari rum
"Berikan ibu waktu, Din. Semua yang terjadi saat ini membuat hati ibu sangat terguncang. Ibu sudah memaafkanmu dari lama, tapi untuk menyembuhkan luka di hati ibu, itu butuh waktu, Din." Aku menatap manik hitam legam milik putriku dalam.Dina menundukkan kepalanya mendengar ucapanku, air matanya pun jatuh kembali. Bahu ringkihnya tampak berguncang bersamaan dengan lolosnya isak tangisnya lagi. Dia menangis lagi, suara isak tangisnya terdengar memilukan.Allah ... rasanya aku sudah tidak kuasa lagi melihat putriku menangis seperti itu. Aku ingin memeluknya, mendekapnya agar tangisnya mereda.Tanganku perlahan terulur meraih tubuh ringkih putriku itu ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya, mendekap putri yang pernah menyakiti hatiku itu dengan erat. Setelah memeluknya, kini dia seperti kembali menjadi kecilku lagi, saat dulu dia menangis tersedu karena sang ayah telah meninggalkannya di usia yang masih belia.Hatiku terenyuh, rasanya aku telah menemukan kembali putri kecilku yang telah lam
Tanganku gemetar menyentuh wajah Damar yang lebam, mungkin karena terbentur sesuatu saat kecelakaan. Kepala Damar juga dibungkus perban. Dari keterangan dokter, luka di kepalanyalah yang paling parah, hingga membuatnya belum juga sadarkan diri.Air mataku menetes tanpa henti melihat bungsuku terbaring dengan berbagai macam alat medis di tubuhnya. Hatiku bagai diremas melihatnya.Ibu tetaplah seorang ibu. Dia akan bersedih ketika melihat anaknya dalam keadaan yang mengenaskan. Walaupun pernah disakiti sedemikian rupa, tapi seorang ibu tidak akan tega melihat kondisi anaknya seperti itu."Ya Allah ... bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak pernah berharap melihat anakku dalam keadaan yang memilukan seperti ini. Biar aku saja yang menderita, jangan anakku, Ya Allah." Aku tergugu, sudah tidak mampu lagi rasanya kakiku menopang bobot tubuhku melihat kondisi Damar.Duniaku rasanya telah runtuh karena kesedihan melihat keadaan putraku yang mengenaskan. Matanya terpejam rapat sejak aku masuk
Aku menatap langit-langit kamar, sudah sedari tadi aku mengunci diri di kamar. Bahkan aku tidak keluar untuk sekedar makan siang. Nada pasti sedang khawatir di luar sana. Tapi aku juga tidak bisa menelan makanan dalam keadaan seperti ini. Ternyata hatiku tidak baik-baik saja setelah bertemu dengan Damar. Masih terbayang bagaimana penampilannya tadi saat kami bertemu."Ibu ... Ibu, buka pintunya, Buk." Suara Dani terdengar bersamaan dengan ketukan pintu.Keningku berkerut ketika mendengar suaranya, lalu aku menoleh ke arah jam yang tergantung di dinding. Waktu masih menunjukkan pukul satu siang, tapi Dani sudah pulang? Aneh sekali."Buk, tolong buka pintunya. Dani mohon, ada hal penting yang harus Ibu ketahui," ucapnya lagi.Aku pun bangkit dari pembaringan mendengar nada khawatir dari suara Dani. Aku takut terjadi sesuatu pada Nada ataupun Dani.Aku melangkah tergesa menuju pintu, setelah sampai, aku langsung membukanya tanpa menunggu. Wajah Dani muncul dari balik pintu."Ada apa, Dan
"I-bu ...." Bibir putra bungsuku itu berbisik memanggil namaku ketika aku sedang berdiri berhadapan dengannya.Netraku memindai penampilan putra bungsuku itu dari dekat. Penampilannya sungguh-sungguh memprihatinkan. Wajahnya terlihat sangat tirus, lingkar hitam terlihat jelas menghiasi kedua matanya, rambutnya pun dibiarkan sedikit memanjang, di sekitar dagunya tumbuh jenggot yang tampak belum tercukur. Benar-benar sangat kontras dengan penampilannya yang dulu, yang selalu rapi. Dulu Damar selalu menjaga penampilannya.Satu minggu setelah mendengar kabar tentang putra putriku dari Dani, aku merenung. Batinku berperang dengan pikiranku sendiri. Jujur hatiku masih teramat sakit dengan perlakuan mereka dulu padaku.Aku telah patah hati pada putra bungsuku itu. Tapi mau bagaimanapun, tidak ada yang namanya mantan anak. Mereka tetaplah anak-anakku walau aku sakit hati pada mereka. Rasa sakit hatiku kalah dengan rasa sayangku pada mereka.Aku selalu melangitkan do'a agar Yang Kuasa membukak