"Ibu dari mana saja hari ini? Kenapa baru pulang?" tanya Damar begitu aku masuk ke dalam rumah.
Aku terdiam tidak menjawab pertanyaan bungsuku itu. Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi. Di benakku terdapat pertanyaan. Kenapa Damar sangat berbeda dengan Dani, yang sopan padaku. Padahal dia hanya anak sambungku. Sikap dan perlakuan mereka padaku sangatlah berbeda.Apakah aku yang gagal dalam mendidik anak-anakku? Sedang Risma berhasil mendidik Dani hingga menjadi pribadi yang lembut. Hormat pada orangtuanya.Aku menghela napas panjang. Aku terlalu sibuk menyenangkan anak-anakku hingga aku lupa cara mendidik mereka untuk hormat padaku. Kini aku telah memetik sendiri apa yang telah aku tanam pada mereka."Kenapa diam saja, Buk?" tanyanya lagi.Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Kemudian aku meneruskan langkahku menuju kamar tanpa menjawab pertanyaan bungsuku itu. Hati, pikiran, dan tubuhku sedang lelah saat ini. Aku ingin segera beristirahat."Buk ... Ibu belum menjawab pertanyaanku." Damar mengikutiku di belakang."Apa yang harus ibu jawab, Mar?" tanyaku masih meneruskan langkahku."Ibu dari mana saja? Damar khawatir seharian ini Ibu tidak ada di rumah," ucapnya membuatku menghentikan langkah. Lalu menoleh ke arah bungsuku itu."Khawatir?" tanyaku memastikan pendengaranku tidak salah."Iya, Damar khawatir Ibu kenapa-napa."Aku menatap dalam wajah bungsuku itu. Mencoba mencari kesungguhan di matanya. Benarkah dia khawatir padaku atau hanya ingin sesuatu dariku hingga berpura-pura khawatir padaku?"Loh, Ibu sudah pulang? Dari mana saja, Buk? Kami khawatir, dari tadi Ibu tidak pulang-pulang." Suara Feni membuatku menoleh ke arahnya. Aku mengernyitkan kening. Suara Feni berubah lembut. Tidak seperti saat dia tahu kalau aku berhenti bekerja.Ada apa dengan mereka berdua? Bagaimana mereka bisa berubah hanya dengan satu hari. Bukankah tadi pagi mereka masih menginginkan uang dariku? Aku menjadi bingung dengan sikap mereka.Feni mendekat ke arahku, lalu meraih lenganku. "Kita makan dulu yuk, Buk. Feni sudah memasak enak untuk Ibu," ucap Feni dengan nada lembut."Iya, Buk. Ayo kita makan. Feni sudah menyiapkan makanan kesukaan Ibu," timpal Damar.Aku hanya terdiam melihat sikap manis mereka berdua. Ada yang janggal dari sikap mereka berdua. Tapi aku tidak tahu apa. Sikap mereka terasa dibuat-buat."Ayo, Buk. Nanti masakannya keburu dingin." Feni menarik lenganku untuk mengikuti langkahnya. Aku pun terpaksa ikut dengannya ke meja makan. Aku ingin mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua hingga bersikap seperti ini padaku.Setelah sampai di meja makan, Feni menuntunku untuk duduk. Aku pun mendaratkan tubuhku di kursi. Lalu aku terkejut melihat menu yang ada di meja makan. Terdapat berbagai menu di sana. Tidak biasanya Feni memasak begitu banyak menu jika tidak ada acara tertentu. Tapi kini, di meja makan sudah terhidang berbagai macam masakan."Feni masak ini spesial untuk Ibu. Jadi Ibu harus makan yang banyak," ucap Feni sembari menyendokkan nasi di atas piring. Setelah piring terisi, dia meletakkannya di depanku."Iya, Buk. Sejak tadi Feni sibuk di dapur sendirian untuk memasak ini," papar Damar. Dia sudah duduk di kursi meja makan.Feni tersenyum saat aku melihatnya. Aku mengernyitkan keningku. Masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi."Ayo, Buk. Cepat dimakan nasinya," ucapnya lembut.Aku pun mengalihkan tatapanku darinya, lalu memandang nasi di depanku. Sebenarnya aku tadi sudah makan di rumah Dani. Tapi aku ingin tahu, apa penyebab mereka berubah menjadi seperti ini padaku. Padahal kemarin mereka bersikap kurang ajar padaku. Tadi pagi pun mereka masih menginginkan uang dariku.Aku menyuapkan nasi dalam diam, padahal dari tadi Damar dan Feni selalu mengajakku berbicara. Tapi aku hanya diam saja sejak tadi. Aku hanya sesekali mengangguk dan menggelengkan kepala menanggapi ucapan mereka.Aku sedang memperhatikan mereka. Di sudut hati, aku merasa tidak yakin jika mereka berubah secepat ini padaku. Pasti ada yang sedang mereka rencanakan.Aku telah menyelesaikan makanku, lalu aku beranjak bangun dari kursi. Tanganku meraih piring bekas makanku, hendak membawanya kemudian berniat mencucinya."Ibu, biar Feni saja, Buk. Ibu istirahat saja di kamar. Pasti Ibu capek baru saja pulang," ucap Feni sembari mengambil piring kotor dari tanganku."Iya, Buk. Biar Feni saja."Aku pun menganggukkan kepala, lalu beranjak pergi meninggalkan dapur menuju ke kamarku. Tubuh tuaku terasa sedikit letih karena seharian berada di luar rumah. Menempuh perjalanan yang menurutku cukup jauh. Punggungku terasa nyeri sekali.Setelah tiba di kamar, aku segera merebahkan tubuhku. Barangkali punggungku merasa lebih baik saat aku berbaring.Rasanya nyaman sekali setelah merebahkan tubuhku. Walau tidak sepenuhnya mengurangi rasa nyeri di punggungku, tapi rasanya jauh lebih baik.Aku teringat kembali pertemuanku tadi dengan anak sambungku. Kami banyak mengobrol di rumahnya tadi. Saling bertukar cerita mengenai kisah hidup kami selama tidak bertemu. Sampai aku lupa waktu dan kembali ke rumah menjelang malam. Sebenarnya tadi Dani memintaku untuk menginap. Tapi aku menolaknya, karena aku tidak mungkin menginap tanpa memberitahu Damar.Aku menghela napas pelan. Rasanya bersyukur sekali bertemu dengan Dani. Tapi aku juga menyesalkan, kenapa aku tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan Risma.Tiba-tiba aku merasa tenggorokanku sedikit serak. Aku pun bangkit dari posisiku, lalu tanganku hendak mengambil air yang biasanya tersedia di atas nangkas. Tapi sesaat aku lupa kalau aku belum mengambil air sewaktu ke kamar tadi. Aku mendesah pelan. Aku harus keluar kamar lagi.Aku pun turun dari ranjang, lalu melangkah keluar dari kamar hendak ke dapur mengambil air. Setelah keluar dari kamar aku langsung menuju dapur. Saat hampir sampai di dapur, telingaku mendengar sayup-sayup orang yang sedang mengobrol."Mas, bagaimana ini? Ibu dari tadi diam saja. Lalu bagaimana caranya kita membujuknya untuk menyerahkan uangnya pada kita, Mas?"Aku menghentikan langkahku mendengar suara Feni."Aku juga tidak tahu, Fen. Baru kali ini aku melihat ibu hanya diam saja. Biasanya beliau tidak pernah seperti ini." Kali ini suara Damar yang terdengar."Kalau begini, gimana kita bisa mendapatkan uang itu, Mas? Bagaimana kita bisa ikut investasi Mas Hendri?" tanya Feni.Ah, aku mengerti sekarang sebab mereka berubah menjadi seperti tadi. Ternyata semua hanya sandiwara. Mereka memperlakukanku dengan baik hanya karena ingin sesuatu dariku. Aku menggelengkan kepala tidak percaya dengan apa yang aku dengar sekarang. Teganya Damar bersandiwara padaku. Jika Feni yang melakukannya aku bisa memakluminya. Tapi putraku sendiri bersandiwara untuk mengelabuhiku. Aku tidak menyangkanya sama sekali."Kamu tenang saja. Hati ibu pasti akan luluh jika kita bersikap baik padanya. Aku kenal ibu. Sebentar lagi beliau pasti akan memberikan uangnya pada kita," ucapnya kemudian.Hatiku bergemuruh mendengar ucapan bungsuku itu. Tega sekali dia bersandiwara hanya untuk mendapatkan uang yang dia inginkan."Ibu mau kemana lagi? Pagi-pagi sudah rapi sekali?" tanya Damar saat aku melintas di depannya. Dia sedang menikmati kopi di teras.Aku menghentikan langkahku, lalu menatap bungsuku itu dalam. Anak lelaki yang selalu aku sayangi, aku besarkan dengan sepenuh hatiku, yang kelak akan menjadi tumpuanku ketika aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tapi ternyata dia telah membuat sandiwara demi mendapatkan uangku."Ibu mau pergi sebentar, Mar," sahutku."Kemana, Buk?" tanyanya lagi. Dia tampak ingin tahu kemana wanita tua yang melahirkannya ini pergi."Ibu ingin mendaftar umroh," jawabku sembari tetap menatapnya. Ada perubahan di raut muka Damar. Tampak dia tidak senang dengan jawaban dariku.Aku tersenyum miris. Anak lelakiku itu tampak benar-benar tidak senang dengan jawabanku. Raut wajahnya yang tadi tampak ramah kini berganti dengan raut masam. Tapi memang itu tujuanku. Aku ingin melihat ekspresinya saat aku menjawab pertanyaannya.Damar ... Damar. Sebegitu tidak senangnya dirimu jika ibumu
"Ibu ada apa? Kenapa wajah Ibu terlihat bermuram durja?" tanya Dani saat aku hanya diam saja sedari tadi.Aku menatap Dani dengan mata berkaca-kaca. Sisi rapuhku kembali saat melihat wajah yang bak duplikat Mas Darman itu. Setiap melihat wajah Dani, aku merasa melihat Mas Darman kembali hidup lagi. Ingin sekali aku tumpahkan semua dukaku padanya. Tapi aku bingung, aku tidak bisa menceritakan aib anak-anakku sendiri pada orang lain."Ibu ... Ibu kenapa? Jangan buat Dani khawatir, Buk." Dani terlihat khawatir padaku. Hatiku semakin terenyuh dibuatnya. Raut khawatir tergambar jelas di wajahnya."Iya, Buk. Ada apa? Katakan pada kami apa yang sedang menggangu pikiran Ibu. Jika sanggup, kami pasti membantu Ibu." Kini ganti Nada yang berbicara.Aku pun menoleh ke arah wanita dengan balutan hijab berwarna abu muda di sampingku itu. Aku selalu takjub melihat perilaku dan tutur katanya yang lembut. Dia sangat berbeda sekali dengan Feni. Bukan maksudku membandingkan mereka berdua, tapi mereka be
Matahari mulai menurunkan eksistensinya, langit pun telah berubah kemerahan, pertanda senja telah mulai datang. Aku telah selesai menunaikan ibadah wajibku.Sejak sampai dari rumah Dani tadi, aku hanya berada di dalam kamar saja. Aku hanya berdiam diri di kamar. Memikirkan apa yang tadi Dani ucapkan tentang Hendri. Ada sedikit rasa was-was di hatiku, jika Damar benar-benar menginvestasikan uangnya pada suami kakak iparnya itu. Aku takut dia akan tertipu jika investasi yang dimiliki Hendri hanyalah tipuan saja. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa jika Damar tetap bersikeras untuk berinvestasi pada Hendri.Saat aku sampai di rumah tadi, tidak ada siapapun di rumah, Feni dan Damar tampaknya sedang pergi. Bahkan hingga sekarang mereka belum juga pulang. Dalam hati aku bertanya-tanya kemana mereka pergi, hingga sekarang belum juga kembali. Mobil dan juga motor Damar pun tidak ada. Apa mereka pergi dengan berkendara sendiri-sendiri? Feni naik mobil, sementara Damar naik motor?Keningku
"Ah, sudahlah, Buk. Damar capek, lebih baik Ibu pergi saja!" sentakknya, lalu langsung menutup pintu tanpa menungguku bicara lagi.Brak ....Bunyi pintu ditutup dengan kerasnya. Aku tersentak ketika pintu tertutup tepat di depan mukaku.Aku hanya bisa mengelus dada ketika Damar menutup pintu dengan begitu tidak sopan. Lalu aku memutar tubuhku, beranjak pergi dari kamar putraku itu. Kelakuan Damar semakin menjadi saja. Dia sampai membanting pintu di depan wajah ibunya sendiri.Sejenak aku lupa, jika Dani berpesan padaku untuk membiarkan Damar melakukan apapun yang diinginkannya. Harusnya tadi aku tidak langsung menanyai Damar tentang keberadaan mobilnya. Harusnya aku selalu ingat pesan Dani. Agar tidak bertambah sakit hatiku mendapat perlakuan yang kasar dari anakku sendiri.Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba untuk menetralkan rasa sakit di hatiku akibat kekurangan ajaran bungsuku itu. Lebih baik sekarang aku menelepon Dani untuk memberitahunya jika Damar
"Ada apa tadi menelepon Dani, Buk? Maaf tadi tidak tahu Ibu menelepon. Seharian Dani sibuk terus, Buk. Jadi ada apa, Buk?" tanya Dani melalui sambungan telepon.Dani baru saja menelepon, setelah satu jam yang lalu aku menghubunginya tapi tak ada jawaban darinya."Tidak, Dan. Tadi rencananya ibu mau minta bertemu denganmu besok, ada yang ingin ibu sampaikan padamu, tapi sepertinya tidak bisa," jawabku."Memangnya kenapa tidak bisa, Buk?""Besok ibu diminta Dina untuk ke rumahnya. Dia akan berlibur dengan keluarga suaminya. Lalu dia meminta ibu untuk mengawasi karyawannya di toko."Hening. Tidak ada sahutan dari Dani. Entah apa yang sedang dipikirkannya mendengar jawaban dariku, hingga dia tidak menyahutinya. Apa ada perkataanku yang salah hingga diam saja? Tapi apa? Aku pun mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan apa yang salah pada jawabanku."Ada apa, Dan? Kenapa diam saja?" tanyaku ketika Dani, saat dia tak juga membuka suaranya setelah beberapa detik berlalu."Hmm ... tidak apa
"Baiklah. Biarkan saja, Buk. Jangan melarang Damar melakukan apapun. Cukup Ibu perhatikan saja, biar Dani yang mengurus sisanya." Dani menggenggam tangan keriputku lembut, tampaknya dia sedang mencoba membuatku tenang.Aku baru saja menceritakan tentang Damar yang menjual mobilnya pada Dani. Dan kekhawatiranku kalau Damar menginvestasikan uangnya pada Hendri.Dani menepati janjinya menjemputku di toko Dina. Dia datang tepat setelah toko tutup."Baik, Dan. Ibu akan mengikuti perkataanmu," sahutku.Dani tersenyum menatapku, tapi tiba-tiba senyumnya berhenti ketika melihat punggung tanganku. "Ini kenapa, Buk?" tanyanya sembari mengangkat tanganku, memperlihatkan tanganku yang membiru.Aku langsung menarik tanganku dari genggaman Dani. "Tidak apa-apa, Dan. Tadi ibu hanya tidak hati-hati saja waktu di toko Dina."Netra Dani memicing, "Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada tangan Ibu," tegas Dani."I-bu ti-dak apa-apa, Dan. Sungguh." Aku tergagap. Tapi aku masih mencoba meyakinkan putra
"Din, hari ini ibu tidak bisa buka toko. Tolong kamu hubungi karyawanmu untuk tidak usah datang hari ini," ucapku pada Dina melalui sambungan telepon."Ibu apa-apaan sih? Kenapa tidak bisa membuka toko?" Suara Dina sedikit meninggi.Aku menghela napas panjang. Seperti dugaanku. Dina pasti akan marah jika aku tidak menuruti keinginannya. Tapi aku juga kadung janji pada Dani untuk tidak pergi ke toko Dina hari ini."Ibu lagi tidak enak badan, Din," jawabku, tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang sedang tidak enak badan. Seharian mondar mandir ikut melayani pembeli membuat kakiku sedikit nyeri. Mungkin karena efek usia, hingga tubuhku jadi seperti ini."Halah, Ibu pasti hanya alasan saja! Padahal aku meminta tolong pada Ibu juga tidak gratis, aku pasti akan membayar Ibu." Dengan entengnya Dina mengatakan hal yang menyakitkan padaku."Ya Allah ... aku tidak pernah mengharapkan uangmu, Din. Aku membantumu juga ikhlas, tidak pernah aku menuntut balasan atas semua yang telah kulakukan untuk
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan sejak Dina berlibur. Kini dia tidak pernah berkunjung ke rumahku lagi. Bahkan untuk sekedar menanyakan kabarku pun tidak pernah. Mungkin dia benar-benar marah padaku.Aku menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Ada sesak di hatiku ketika mengingat putriku itu. Hanya karena masalah sepele dia sampai marah seperti ini. Aku pun tidak pernah mencoba untuk menghubunginya, walau kadang ada rindu bersarang di hatiku.Ibu mana yang tidak rindu pada anaknya, ketika sudah satu bulan tidak bertemu, bahkan bertukar kabar. Rasanya ada yang hilang dari hidupku, ketika Dina tak juga mau menghubungi atau menemuiku."Ibu ... lagi melamunkan apa?" Dani menepuk pundakku lembut.Aku pun menoleh ke arahnya. Tampak Dani dan juga Nada telah berada di belakangku. Mereka mungkin baru saja tiba, tapi aku tidak menyadari kedatangan mereka. Mungkin aku terlalu fokus pada pikiranku tentang Dina. Aku pun langsung berdiri menyambut kedatangan merek