"Gimana nih, Mas. Kelihatannya ibu tidak mau memberi kita modal."
Langkahku terhenti ketika mendengar suara menantuku. Sepertinya dia sedang berbicara dengan Damar. Aku pun memutuskan untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapan Damar."Aku juga tidak bisa memaksa ibu untuk memberikannya, Fen. Kamu tahu sendiri kalau ibu itu walaupun orangnya lembut, tapi juga cukup tegas. Sekali beliau bilang tidak, maka kita tidak akan bisa untuk mengubahnya," sahut Damar.Terdengar dengusan kasar dari Feni. Ternyata begini sikap asli menantuku itu. Perempuan berambut panjang itu hanya bersikap baik padaku jika ada maunya. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Selama ini aku telah tertipu oleh kepura-puraannya."Nggak bisa gitu dong, Mas. Pokoknya Mas harus bisa membujuk ibu untuk memberikan kita modal. Mas Hendri sudah mendesakku untuk mencari modal, jika kita ingin ikut investasi di usahanya."Hendri adalah kakak ipar Feni. Menantuku itu sama dengan Damar, dua bersaudara. Kakak perempuannya bernama Tika. Sementara Tika dan Hendri tinggal dengan Bu Marni, orangtua Feni. Aku dulu pernah meminta pada Bu Marni untuk membiarkan Feni ikut dengan Damar tinggal bersamaku. Mengingat Dina sudah ikut dengan Fajar, suaminya."Kamu lihat sendiri Mbak Tika punya barang-barang branded, kemana-mana selalu dipamerkannya. Itu pasti karena usaha Mas Hendri berkembang. Aku juga ingin seperti Mbak Tika, Mas. Aku juga ingin kemana-mana memakai barang-barang branded kayak Mbak Tika. Biar teman-teman arisanku pada iri," celoteh Feni.Aku mengelus dada mendengar celotehan menantuku itu. Jadi dia ingin seperti kakak perempuannya itu? Dia ada-ada saja. Tapi sejauh yang aku lihat, selama ini memang Tika dan Hendri selalu memakai barang-barang branded. Tapi aku tidak pernah tahu Hendri memiliki usaha di bidang apa."Iya, Fen. Aku mengerti, tapi susah sekali membujuk ibu," ujar Damar."Pokoknya aku tidak mau tahu ya, Mas. Kamu harus bisa membujuk ibu! Jika kamu tidak berhasil, lebih baik pulangkan saja aku pada orangtuaku!" sentak Feni dengan suara sedikit meninggi.Aku terkejut mendengar suara Feni meninggi. Dia berani sekali pada suaminya sendiri. Padahal aku dulu tidak pernah meninggikan suaraku pada mendiang suamiku. Tapi menantuku satu itu malah berani pada suaminya seperti itu."Jangan begitu dong, Sayang. Aku mana bisa hidup tanpamu. Aku ... aku pasti akan membujuk ibu lagi. Tapi kumohon jangan mengatakan seperti itu lagi," bujuk Damar, tampak mencoba menenangkan sang istri."Bener ya, Mas. Pokoknya kamu harus bisa membujuk ibu, kalau tidak, aku akan benar-benar pergi ninggalin kamu," sahut Feni."Iya-iya, Fen. Aku akan melakukan apapun untukmu," ucap Damar.Aku menghela napas panjang mendengar ucapan mereka. Bungsuku itu benar-benar ... apa ya sebutannya untuk hal seperti itu? Ah, entahlah aku tidak tahu. Dia terlihat seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Menurut saja apa yang diperintahkan oleh istrinya.Aku memutuskan untuk menyudahi mencuri dengar pembicaraan mereka. Aku meneruskan langkahku, hari ini aku ingin pergi sebentar. Tidak tahu kenapa aku ingin pergi ke rumah Risma. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia adalah mantan istri mendiang suamiku. Hubungan kami terbilang sangat baik. Tidak ada perselisihan di antara kami. Tidak seperti istri dan mantan istri pada umumnya.Mas Darman menikahiku setelah empat tahun berpisah dengan Risma. Sementara Risma tidak menikah lagi seperti Mas Darman. Dari pernikahannya, mereka mempunyai seorang putra. Dani namanya. Tapi dia ikut dengan Risma saat itu. Dan sejak meninggalnya Mas Darman. Kami tidak pernah berhubungan sama sekali.Tapi entah kenapa aku tiba-tiba teringat pada Risma dan putranya. Rasanya aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Aku pun berjalan ke pangkalan ojek yang tidak jauh dari rumah."Maaf, bisa antar saya?" tanyaku pada salah satu tukang ojek."Mau kemana, Bu?""Mau ke jalan Temenggungan," jawabku."Baik, Bu. Mari saya antar," ucap tukang ojek yang terlihat masih muda itu sembari menyodorkan helm padaku."Terima kasih." Aku pun meraih helm tersebut dan langsung memakainya. Kemudian aku naik di jok belakang. Setelah aku selesai naik, motor pun mulai melaju.Sudah hampir satu jam perjalanan, tapi kami belum juga sampai. Jarak rumah Risma memanglah sedikit jauh dari rumahku. Itulah sebabnya aku jarang berkunjung setelah Mas Darman tiada. Aku sudah terlalu sibuk bekerja, hingga tidak memiliki waktu untuk sekedar menengoknya."Berhenti ... berhenti dulu." Aku menepuk pundak tukang ojek untuk menyuruhnya berhenti."Ada apa, Bu?" tanyanya menghentikan laju motornya, lalu menepikannya di pinggir jalan."Sebentar," ucapku, lalu melihat ke sekeliling. Mencoba mengingat-ingat di mana rumah Risma.Netraku menatap rumah dengan gaya minimalis, yang terkesan sederhana tapi juga mewah. Aku mengernyitkan keningku, merasa kalau rumah itu adalah rumah Risma. Aku masih mengingat pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya. Pohonnya punya bentuk yang lain dari pohon mangga lainnya. Sudah lebih dari sepuluh tahun, tapi pohon itu masih terlihat sama."Saya turun di sini saja," tuturku sembari turun dari motor, lalu melepas helm dari kepalaku."Bener di sini, Bu?" tanya tukang ojek."Iya," jawabku, lalu menyodorkan helm dan dia pun langsung menerimanya, kemudian aku merogoh selembar kertas seratus ribuan, lalu memberikan kepadanya. "Ini, ambil saja kembaliannya."Wajah tukang ojek tersebut terlihat berbinar, "Ini ... ini kebanyakan, Bu," ucapnya."Sudah terima saja, ini rejeki. Tidak boleh ditolak.""Terima kasih banyak, Bu," sahutnya sembari menerima uang dariku.Lalu dia pun kembali melajukan motornya menjauh dariku. Mungkin kembali mengais rejeki. Aku tersenyum samar melihat tukang ojek tersebut mulai menjauh. Andai saja Damar mau bekerja apa saja seperti tukang ojek itu, aku pasti senang sekali. Bukan karena ingin dia memberikan uangnya padaku. Tapi aku hanya ingin agar dia tidak berpangku tangan saja di rumah.Ah, sudahlah. Sekarang aku harus kembali ke tujuan awalku. Aku ingin bertemu Risma. Rindu sekali dengan wanita lembut itu. Risma adalah pribadi yang sangat lembut. Dia mudah sekali untuk bergaul dengan siapa saja, termasuk denganku. Dia adalah teman sekaligus kuanggap sebagai saudara.Aku melangkahkan kaki menuju ke rumah Risma. Hatiku berdebar-debar rasanya. Setelah tiba di rumah Risma, aku mengetuk pintu bercat putih itu dengan pelan. Aku sangat berharap Risma ada di rumah.Sekian lama mengetuk pintu, tidak ada jawaban apapun dari dalam. Padahal aku sudah mengetuknya berkali-kali. Tapi tidak ada yang membukakan pintu untukku.Aku menunggu dengan gelisah. Hatiku tampak tidak tenang sekarang."Maaf, Ibu mencari siapa ya?"Aku menoleh ketika seorang wanita muda berdiri di samping pohon mangga."Saya mencari Risma. Ini benar rumah Risma, kan?""Oh, Bu Risma." Wanita muda itu pun berjalan mendekat ke arahku. "Iya betul ini memang rumah Bu Risma, tapi maaf. Apa Ibu tidak tahu jika Bu Risma sudah meninggal bulan lalu?""A-pa?" tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang tengah aku dengar."Iya, Bu. Ibu Risma sudah meninggal bulan lalu.""Innalillahi wa inna illaihi roji'un, Ya Allah ... Risma." Aku membekap mulutku mendengar meninggalnya Risma. "Lalu di mana putranya, Mbak?""Mas Dani pergi ke kota, Bu. Rumah Bu Risma pun tak berpenghuni sekarang," jawabnya."Kalau begitu terima kasih banyak, Mbak. Saya permisi," pamitku."Iya, Bu. Sama-sama."Aku pun berlalu pergi dengan menahan kesedihan atas berita kematian Risma. Rasanya hatiku terasa sedih karena tidak mengetahuinya sejak awal."Mas Darman, maafkan aku karena aku telah lalai pada Risma dan putramu, Mas. Aku terlalu fokus untuk membahagiakan anak-anakku saja. Aku terlalu fokus bekerja untuk memenuhi apa yang mereka inginkan, sehingga aku telah abai pada Risma dan putramu," lirihku sembari mengusap-usap batu nisan yang bertuliskan nama mendiang suamiku.Setelah dari rumah Risma tadi aku langsung menuju makam Mas Darman. Aku sungguh merasa buruk karena tidak pernah mengunjungi Risma dan juga putra sambungku itu.Kesibukan membuatku lupa dengan mereka. Ya Allah ... ampunilah hamba-Mu ini. Andai aku tidak mengabaikan Risma dan putranya, tentu aku masih sempat melihat wajah Risma sebelum kematiannya. Aku menangis tersedu. Menyesal karena tidak sempat bertemu dengan Risma.Mungkin sikap kurang ajar anak-anakku adalah teguran untukku karena telah mengabaikan putra sambungku.Air mataku semakin mengalir dengan derasnya. Aku sangat merasa bersalah sekarang. Tapi aku harus bagaimana? Semua sudah terlambat, Risma telah
"Ibu dari mana saja hari ini? Kenapa baru pulang?" tanya Damar begitu aku masuk ke dalam rumah.Aku terdiam tidak menjawab pertanyaan bungsuku itu. Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi. Di benakku terdapat pertanyaan. Kenapa Damar sangat berbeda dengan Dani, yang sopan padaku. Padahal dia hanya anak sambungku. Sikap dan perlakuan mereka padaku sangatlah berbeda.Apakah aku yang gagal dalam mendidik anak-anakku? Sedang Risma berhasil mendidik Dani hingga menjadi pribadi yang lembut. Hormat pada orangtuanya.Aku menghela napas panjang. Aku terlalu sibuk menyenangkan anak-anakku hingga aku lupa cara mendidik mereka untuk hormat padaku. Kini aku telah memetik sendiri apa yang telah aku tanam pada mereka."Kenapa diam saja, Buk?" tanyanya lagi.Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Kemudian aku meneruskan langkahku menuju kamar tanpa menjawab pertanyaan bungsuku itu. Hati, pikiran, dan tubuhku sedang lelah saat ini. Aku ingin segera beristirahat."Buk ... Ibu belum menjawab pertanyaanku
"Ibu mau kemana lagi? Pagi-pagi sudah rapi sekali?" tanya Damar saat aku melintas di depannya. Dia sedang menikmati kopi di teras.Aku menghentikan langkahku, lalu menatap bungsuku itu dalam. Anak lelaki yang selalu aku sayangi, aku besarkan dengan sepenuh hatiku, yang kelak akan menjadi tumpuanku ketika aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tapi ternyata dia telah membuat sandiwara demi mendapatkan uangku."Ibu mau pergi sebentar, Mar," sahutku."Kemana, Buk?" tanyanya lagi. Dia tampak ingin tahu kemana wanita tua yang melahirkannya ini pergi."Ibu ingin mendaftar umroh," jawabku sembari tetap menatapnya. Ada perubahan di raut muka Damar. Tampak dia tidak senang dengan jawaban dariku.Aku tersenyum miris. Anak lelakiku itu tampak benar-benar tidak senang dengan jawabanku. Raut wajahnya yang tadi tampak ramah kini berganti dengan raut masam. Tapi memang itu tujuanku. Aku ingin melihat ekspresinya saat aku menjawab pertanyaannya.Damar ... Damar. Sebegitu tidak senangnya dirimu jika ibumu
"Ibu ada apa? Kenapa wajah Ibu terlihat bermuram durja?" tanya Dani saat aku hanya diam saja sedari tadi.Aku menatap Dani dengan mata berkaca-kaca. Sisi rapuhku kembali saat melihat wajah yang bak duplikat Mas Darman itu. Setiap melihat wajah Dani, aku merasa melihat Mas Darman kembali hidup lagi. Ingin sekali aku tumpahkan semua dukaku padanya. Tapi aku bingung, aku tidak bisa menceritakan aib anak-anakku sendiri pada orang lain."Ibu ... Ibu kenapa? Jangan buat Dani khawatir, Buk." Dani terlihat khawatir padaku. Hatiku semakin terenyuh dibuatnya. Raut khawatir tergambar jelas di wajahnya."Iya, Buk. Ada apa? Katakan pada kami apa yang sedang menggangu pikiran Ibu. Jika sanggup, kami pasti membantu Ibu." Kini ganti Nada yang berbicara.Aku pun menoleh ke arah wanita dengan balutan hijab berwarna abu muda di sampingku itu. Aku selalu takjub melihat perilaku dan tutur katanya yang lembut. Dia sangat berbeda sekali dengan Feni. Bukan maksudku membandingkan mereka berdua, tapi mereka be
Matahari mulai menurunkan eksistensinya, langit pun telah berubah kemerahan, pertanda senja telah mulai datang. Aku telah selesai menunaikan ibadah wajibku.Sejak sampai dari rumah Dani tadi, aku hanya berada di dalam kamar saja. Aku hanya berdiam diri di kamar. Memikirkan apa yang tadi Dani ucapkan tentang Hendri. Ada sedikit rasa was-was di hatiku, jika Damar benar-benar menginvestasikan uangnya pada suami kakak iparnya itu. Aku takut dia akan tertipu jika investasi yang dimiliki Hendri hanyalah tipuan saja. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa jika Damar tetap bersikeras untuk berinvestasi pada Hendri.Saat aku sampai di rumah tadi, tidak ada siapapun di rumah, Feni dan Damar tampaknya sedang pergi. Bahkan hingga sekarang mereka belum juga pulang. Dalam hati aku bertanya-tanya kemana mereka pergi, hingga sekarang belum juga kembali. Mobil dan juga motor Damar pun tidak ada. Apa mereka pergi dengan berkendara sendiri-sendiri? Feni naik mobil, sementara Damar naik motor?Keningku
"Ah, sudahlah, Buk. Damar capek, lebih baik Ibu pergi saja!" sentakknya, lalu langsung menutup pintu tanpa menungguku bicara lagi.Brak ....Bunyi pintu ditutup dengan kerasnya. Aku tersentak ketika pintu tertutup tepat di depan mukaku.Aku hanya bisa mengelus dada ketika Damar menutup pintu dengan begitu tidak sopan. Lalu aku memutar tubuhku, beranjak pergi dari kamar putraku itu. Kelakuan Damar semakin menjadi saja. Dia sampai membanting pintu di depan wajah ibunya sendiri.Sejenak aku lupa, jika Dani berpesan padaku untuk membiarkan Damar melakukan apapun yang diinginkannya. Harusnya tadi aku tidak langsung menanyai Damar tentang keberadaan mobilnya. Harusnya aku selalu ingat pesan Dani. Agar tidak bertambah sakit hatiku mendapat perlakuan yang kasar dari anakku sendiri.Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba untuk menetralkan rasa sakit di hatiku akibat kekurangan ajaran bungsuku itu. Lebih baik sekarang aku menelepon Dani untuk memberitahunya jika Damar
"Ada apa tadi menelepon Dani, Buk? Maaf tadi tidak tahu Ibu menelepon. Seharian Dani sibuk terus, Buk. Jadi ada apa, Buk?" tanya Dani melalui sambungan telepon.Dani baru saja menelepon, setelah satu jam yang lalu aku menghubunginya tapi tak ada jawaban darinya."Tidak, Dan. Tadi rencananya ibu mau minta bertemu denganmu besok, ada yang ingin ibu sampaikan padamu, tapi sepertinya tidak bisa," jawabku."Memangnya kenapa tidak bisa, Buk?""Besok ibu diminta Dina untuk ke rumahnya. Dia akan berlibur dengan keluarga suaminya. Lalu dia meminta ibu untuk mengawasi karyawannya di toko."Hening. Tidak ada sahutan dari Dani. Entah apa yang sedang dipikirkannya mendengar jawaban dariku, hingga dia tidak menyahutinya. Apa ada perkataanku yang salah hingga diam saja? Tapi apa? Aku pun mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan apa yang salah pada jawabanku."Ada apa, Dan? Kenapa diam saja?" tanyaku ketika Dani, saat dia tak juga membuka suaranya setelah beberapa detik berlalu."Hmm ... tidak apa
"Baiklah. Biarkan saja, Buk. Jangan melarang Damar melakukan apapun. Cukup Ibu perhatikan saja, biar Dani yang mengurus sisanya." Dani menggenggam tangan keriputku lembut, tampaknya dia sedang mencoba membuatku tenang.Aku baru saja menceritakan tentang Damar yang menjual mobilnya pada Dani. Dan kekhawatiranku kalau Damar menginvestasikan uangnya pada Hendri.Dani menepati janjinya menjemputku di toko Dina. Dia datang tepat setelah toko tutup."Baik, Dan. Ibu akan mengikuti perkataanmu," sahutku.Dani tersenyum menatapku, tapi tiba-tiba senyumnya berhenti ketika melihat punggung tanganku. "Ini kenapa, Buk?" tanyanya sembari mengangkat tanganku, memperlihatkan tanganku yang membiru.Aku langsung menarik tanganku dari genggaman Dani. "Tidak apa-apa, Dan. Tadi ibu hanya tidak hati-hati saja waktu di toko Dina."Netra Dani memicing, "Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada tangan Ibu," tegas Dani."I-bu ti-dak apa-apa, Dan. Sungguh." Aku tergagap. Tapi aku masih mencoba meyakinkan putra