Share

Risma

"Gimana nih, Mas. Kelihatannya ibu tidak mau memberi kita modal."

Langkahku terhenti ketika mendengar suara menantuku. Sepertinya dia sedang berbicara dengan Damar. Aku pun memutuskan untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapan Damar.

"Aku juga tidak bisa memaksa ibu untuk memberikannya, Fen. Kamu tahu sendiri kalau ibu itu walaupun orangnya lembut, tapi juga cukup tegas. Sekali beliau bilang tidak, maka kita tidak akan bisa untuk mengubahnya," sahut Damar.

Terdengar dengusan kasar dari Feni. Ternyata begini sikap asli menantuku itu. Perempuan berambut panjang itu hanya bersikap baik padaku jika ada maunya. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Selama ini aku telah tertipu oleh kepura-puraannya.

"Nggak bisa gitu dong, Mas. Pokoknya Mas harus bisa membujuk ibu untuk memberikan kita modal. Mas Hendri sudah mendesakku untuk mencari modal, jika kita ingin ikut investasi di usahanya."

Hendri adalah kakak ipar Feni. Menantuku itu sama dengan Damar, dua bersaudara. Kakak perempuannya bernama Tika. Sementara Tika dan Hendri tinggal dengan Bu Marni, orangtua Feni. Aku dulu pernah meminta pada Bu Marni untuk membiarkan Feni ikut dengan Damar tinggal bersamaku. Mengingat Dina sudah ikut dengan Fajar, suaminya.

"Kamu lihat sendiri Mbak Tika punya barang-barang branded, kemana-mana selalu dipamerkannya. Itu pasti karena usaha Mas Hendri berkembang. Aku juga ingin seperti Mbak Tika, Mas. Aku juga ingin kemana-mana memakai barang-barang branded kayak Mbak Tika. Biar teman-teman arisanku pada iri," celoteh Feni.

Aku mengelus dada mendengar celotehan menantuku itu. Jadi dia ingin seperti kakak perempuannya itu? Dia ada-ada saja. Tapi sejauh yang aku lihat, selama ini memang Tika dan Hendri selalu memakai barang-barang branded. Tapi aku tidak pernah tahu Hendri memiliki usaha di bidang apa.

"Iya, Fen. Aku mengerti, tapi susah sekali membujuk ibu," ujar Damar.

"Pokoknya aku tidak mau tahu ya, Mas. Kamu harus bisa membujuk ibu! Jika kamu tidak berhasil, lebih baik pulangkan saja aku pada orangtuaku!" sentak Feni dengan suara sedikit meninggi.

Aku terkejut mendengar suara Feni meninggi. Dia berani sekali pada suaminya sendiri. Padahal aku dulu tidak pernah meninggikan suaraku pada mendiang suamiku. Tapi menantuku satu itu malah berani pada suaminya seperti itu.

"Jangan begitu dong, Sayang. Aku mana bisa hidup tanpamu. Aku ... aku pasti akan membujuk ibu lagi. Tapi kumohon jangan mengatakan seperti itu lagi," bujuk Damar, tampak mencoba menenangkan sang istri.

"Bener ya, Mas. Pokoknya kamu harus bisa membujuk ibu, kalau tidak, aku akan benar-benar pergi ninggalin kamu," sahut Feni.

"Iya-iya, Fen. Aku akan melakukan apapun untukmu," ucap Damar.

Aku menghela napas panjang mendengar ucapan mereka. Bungsuku itu benar-benar ... apa ya sebutannya untuk hal seperti itu? Ah, entahlah aku tidak tahu. Dia terlihat seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Menurut saja apa yang diperintahkan oleh istrinya.

Aku memutuskan untuk menyudahi mencuri dengar pembicaraan mereka. Aku meneruskan langkahku, hari ini aku ingin pergi sebentar. Tidak tahu kenapa aku ingin pergi ke rumah Risma. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia adalah mantan istri mendiang suamiku. Hubungan kami terbilang sangat baik. Tidak ada perselisihan di antara kami. Tidak seperti istri dan mantan istri pada umumnya.

Mas Darman menikahiku setelah empat tahun berpisah dengan Risma. Sementara Risma tidak menikah lagi seperti Mas Darman. Dari pernikahannya, mereka mempunyai seorang putra. Dani namanya. Tapi dia ikut dengan Risma saat itu. Dan sejak meninggalnya Mas Darman. Kami tidak pernah berhubungan sama sekali.

Tapi entah kenapa aku tiba-tiba teringat pada Risma dan putranya. Rasanya aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Aku pun berjalan ke pangkalan ojek yang tidak jauh dari rumah.

"Maaf, bisa antar saya?" tanyaku pada salah satu tukang ojek.

"Mau kemana, Bu?"

"Mau ke jalan Temenggungan," jawabku.

"Baik, Bu. Mari saya antar," ucap tukang ojek yang terlihat masih muda itu sembari menyodorkan helm padaku.

"Terima kasih." Aku pun meraih helm tersebut dan langsung memakainya. Kemudian aku naik di jok belakang. Setelah aku selesai naik, motor pun mulai melaju.

Sudah hampir satu jam perjalanan, tapi kami belum juga sampai. Jarak rumah Risma memanglah sedikit jauh dari rumahku. Itulah sebabnya aku jarang berkunjung setelah Mas Darman tiada. Aku sudah terlalu sibuk bekerja, hingga tidak memiliki waktu untuk sekedar menengoknya.

"Berhenti ... berhenti dulu." Aku menepuk pundak tukang ojek untuk menyuruhnya berhenti.

"Ada apa, Bu?" tanyanya menghentikan laju motornya, lalu menepikannya di pinggir jalan.

"Sebentar," ucapku, lalu melihat ke sekeliling. Mencoba mengingat-ingat di mana rumah Risma.

Netraku menatap rumah dengan gaya minimalis, yang terkesan sederhana tapi juga mewah. Aku mengernyitkan keningku, merasa kalau rumah itu adalah rumah Risma. Aku masih mengingat pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya. Pohonnya punya bentuk yang lain dari pohon mangga lainnya. Sudah lebih dari sepuluh tahun, tapi pohon itu masih terlihat sama.

"Saya turun di sini saja," tuturku sembari turun dari motor, lalu melepas helm dari kepalaku.

"Bener di sini, Bu?" tanya tukang ojek.

"Iya," jawabku, lalu menyodorkan helm dan dia pun langsung menerimanya, kemudian aku merogoh selembar kertas seratus ribuan, lalu memberikan kepadanya. "Ini, ambil saja kembaliannya."

Wajah tukang ojek tersebut terlihat berbinar, "Ini ... ini kebanyakan, Bu," ucapnya.

"Sudah terima saja, ini rejeki. Tidak boleh ditolak."

"Terima kasih banyak, Bu," sahutnya sembari menerima uang dariku.

Lalu dia pun kembali melajukan motornya menjauh dariku. Mungkin kembali mengais rejeki. Aku tersenyum samar melihat tukang ojek tersebut mulai menjauh. Andai saja Damar mau bekerja apa saja seperti tukang ojek itu, aku pasti senang sekali. Bukan karena ingin dia memberikan uangnya padaku. Tapi aku hanya ingin agar dia tidak berpangku tangan saja di rumah.

Ah, sudahlah. Sekarang aku harus kembali ke tujuan awalku. Aku ingin bertemu Risma. Rindu sekali dengan wanita lembut itu. Risma adalah pribadi yang sangat lembut. Dia mudah sekali untuk bergaul dengan siapa saja, termasuk denganku. Dia adalah teman sekaligus kuanggap sebagai saudara.

Aku melangkahkan kaki menuju ke rumah Risma. Hatiku berdebar-debar rasanya. Setelah tiba di rumah Risma, aku mengetuk pintu bercat putih itu dengan pelan. Aku sangat berharap Risma ada di rumah.

Sekian lama mengetuk pintu, tidak ada jawaban apapun dari dalam. Padahal aku sudah mengetuknya berkali-kali. Tapi tidak ada yang membukakan pintu untukku.

Aku menunggu dengan gelisah. Hatiku tampak tidak tenang sekarang.

"Maaf, Ibu mencari siapa ya?"

Aku menoleh ketika seorang wanita muda berdiri di samping pohon mangga.

"Saya mencari Risma. Ini benar rumah Risma, kan?"

"Oh, Bu Risma." Wanita muda itu pun berjalan mendekat ke arahku. "Iya betul ini memang rumah Bu Risma, tapi maaf. Apa Ibu tidak tahu jika Bu Risma sudah meninggal bulan lalu?"

"A-pa?" tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang tengah aku dengar.

"Iya, Bu. Ibu Risma sudah meninggal bulan lalu."

"Innalillahi wa inna illaihi roji'un, Ya Allah ... Risma." Aku membekap mulutku mendengar meninggalnya Risma. "Lalu di mana putranya, Mbak?"

"Mas Dani pergi ke kota, Bu. Rumah Bu Risma pun tak berpenghuni sekarang," jawabnya.

"Kalau begitu terima kasih banyak, Mbak. Saya permisi," pamitku.

"Iya, Bu. Sama-sama."

Aku pun berlalu pergi dengan menahan kesedihan atas berita kematian Risma. Rasanya hatiku terasa sedih karena tidak mengetahuinya sejak awal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status