Share

Risma

Author: Uci ekaputra
last update Last Updated: 2023-05-05 12:31:18

"Gimana nih, Mas. Kelihatannya ibu tidak mau memberi kita modal."

Langkahku terhenti ketika mendengar suara menantuku. Sepertinya dia sedang berbicara dengan Damar. Aku pun memutuskan untuk mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapan Damar.

"Aku juga tidak bisa memaksa ibu untuk memberikannya, Fen. Kamu tahu sendiri kalau ibu itu walaupun orangnya lembut, tapi juga cukup tegas. Sekali beliau bilang tidak, maka kita tidak akan bisa untuk mengubahnya," sahut Damar.

Terdengar dengusan kasar dari Feni. Ternyata begini sikap asli menantuku itu. Perempuan berambut panjang itu hanya bersikap baik padaku jika ada maunya. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Selama ini aku telah tertipu oleh kepura-puraannya.

"Nggak bisa gitu dong, Mas. Pokoknya Mas harus bisa membujuk ibu untuk memberikan kita modal. Mas Hendri sudah mendesakku untuk mencari modal, jika kita ingin ikut investasi di usahanya."

Hendri adalah kakak ipar Feni. Menantuku itu sama dengan Damar, dua bersaudara. Kakak perempuannya bernama Tika. Sementara Tika dan Hendri tinggal dengan Bu Marni, orangtua Feni. Aku dulu pernah meminta pada Bu Marni untuk membiarkan Feni ikut dengan Damar tinggal bersamaku. Mengingat Dina sudah ikut dengan Fajar, suaminya.

"Kamu lihat sendiri Mbak Tika punya barang-barang branded, kemana-mana selalu dipamerkannya. Itu pasti karena usaha Mas Hendri berkembang. Aku juga ingin seperti Mbak Tika, Mas. Aku juga ingin kemana-mana memakai barang-barang branded kayak Mbak Tika. Biar teman-teman arisanku pada iri," celoteh Feni.

Aku mengelus dada mendengar celotehan menantuku itu. Jadi dia ingin seperti kakak perempuannya itu? Dia ada-ada saja. Tapi sejauh yang aku lihat, selama ini memang Tika dan Hendri selalu memakai barang-barang branded. Tapi aku tidak pernah tahu Hendri memiliki usaha di bidang apa.

"Iya, Fen. Aku mengerti, tapi susah sekali membujuk ibu," ujar Damar.

"Pokoknya aku tidak mau tahu ya, Mas. Kamu harus bisa membujuk ibu! Jika kamu tidak berhasil, lebih baik pulangkan saja aku pada orangtuaku!" sentak Feni dengan suara sedikit meninggi.

Aku terkejut mendengar suara Feni meninggi. Dia berani sekali pada suaminya sendiri. Padahal aku dulu tidak pernah meninggikan suaraku pada mendiang suamiku. Tapi menantuku satu itu malah berani pada suaminya seperti itu.

"Jangan begitu dong, Sayang. Aku mana bisa hidup tanpamu. Aku ... aku pasti akan membujuk ibu lagi. Tapi kumohon jangan mengatakan seperti itu lagi," bujuk Damar, tampak mencoba menenangkan sang istri.

"Bener ya, Mas. Pokoknya kamu harus bisa membujuk ibu, kalau tidak, aku akan benar-benar pergi ninggalin kamu," sahut Feni.

"Iya-iya, Fen. Aku akan melakukan apapun untukmu," ucap Damar.

Aku menghela napas panjang mendengar ucapan mereka. Bungsuku itu benar-benar ... apa ya sebutannya untuk hal seperti itu? Ah, entahlah aku tidak tahu. Dia terlihat seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Menurut saja apa yang diperintahkan oleh istrinya.

Aku memutuskan untuk menyudahi mencuri dengar pembicaraan mereka. Aku meneruskan langkahku, hari ini aku ingin pergi sebentar. Tidak tahu kenapa aku ingin pergi ke rumah Risma. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dia adalah mantan istri mendiang suamiku. Hubungan kami terbilang sangat baik. Tidak ada perselisihan di antara kami. Tidak seperti istri dan mantan istri pada umumnya.

Mas Darman menikahiku setelah empat tahun berpisah dengan Risma. Sementara Risma tidak menikah lagi seperti Mas Darman. Dari pernikahannya, mereka mempunyai seorang putra. Dani namanya. Tapi dia ikut dengan Risma saat itu. Dan sejak meninggalnya Mas Darman. Kami tidak pernah berhubungan sama sekali.

Tapi entah kenapa aku tiba-tiba teringat pada Risma dan putranya. Rasanya aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Aku pun berjalan ke pangkalan ojek yang tidak jauh dari rumah.

"Maaf, bisa antar saya?" tanyaku pada salah satu tukang ojek.

"Mau kemana, Bu?"

"Mau ke jalan Temenggungan," jawabku.

"Baik, Bu. Mari saya antar," ucap tukang ojek yang terlihat masih muda itu sembari menyodorkan helm padaku.

"Terima kasih." Aku pun meraih helm tersebut dan langsung memakainya. Kemudian aku naik di jok belakang. Setelah aku selesai naik, motor pun mulai melaju.

Sudah hampir satu jam perjalanan, tapi kami belum juga sampai. Jarak rumah Risma memanglah sedikit jauh dari rumahku. Itulah sebabnya aku jarang berkunjung setelah Mas Darman tiada. Aku sudah terlalu sibuk bekerja, hingga tidak memiliki waktu untuk sekedar menengoknya.

"Berhenti ... berhenti dulu." Aku menepuk pundak tukang ojek untuk menyuruhnya berhenti.

"Ada apa, Bu?" tanyanya menghentikan laju motornya, lalu menepikannya di pinggir jalan.

"Sebentar," ucapku, lalu melihat ke sekeliling. Mencoba mengingat-ingat di mana rumah Risma.

Netraku menatap rumah dengan gaya minimalis, yang terkesan sederhana tapi juga mewah. Aku mengernyitkan keningku, merasa kalau rumah itu adalah rumah Risma. Aku masih mengingat pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya. Pohonnya punya bentuk yang lain dari pohon mangga lainnya. Sudah lebih dari sepuluh tahun, tapi pohon itu masih terlihat sama.

"Saya turun di sini saja," tuturku sembari turun dari motor, lalu melepas helm dari kepalaku.

"Bener di sini, Bu?" tanya tukang ojek.

"Iya," jawabku, lalu menyodorkan helm dan dia pun langsung menerimanya, kemudian aku merogoh selembar kertas seratus ribuan, lalu memberikan kepadanya. "Ini, ambil saja kembaliannya."

Wajah tukang ojek tersebut terlihat berbinar, "Ini ... ini kebanyakan, Bu," ucapnya.

"Sudah terima saja, ini rejeki. Tidak boleh ditolak."

"Terima kasih banyak, Bu," sahutnya sembari menerima uang dariku.

Lalu dia pun kembali melajukan motornya menjauh dariku. Mungkin kembali mengais rejeki. Aku tersenyum samar melihat tukang ojek tersebut mulai menjauh. Andai saja Damar mau bekerja apa saja seperti tukang ojek itu, aku pasti senang sekali. Bukan karena ingin dia memberikan uangnya padaku. Tapi aku hanya ingin agar dia tidak berpangku tangan saja di rumah.

Ah, sudahlah. Sekarang aku harus kembali ke tujuan awalku. Aku ingin bertemu Risma. Rindu sekali dengan wanita lembut itu. Risma adalah pribadi yang sangat lembut. Dia mudah sekali untuk bergaul dengan siapa saja, termasuk denganku. Dia adalah teman sekaligus kuanggap sebagai saudara.

Aku melangkahkan kaki menuju ke rumah Risma. Hatiku berdebar-debar rasanya. Setelah tiba di rumah Risma, aku mengetuk pintu bercat putih itu dengan pelan. Aku sangat berharap Risma ada di rumah.

Sekian lama mengetuk pintu, tidak ada jawaban apapun dari dalam. Padahal aku sudah mengetuknya berkali-kali. Tapi tidak ada yang membukakan pintu untukku.

Aku menunggu dengan gelisah. Hatiku tampak tidak tenang sekarang.

"Maaf, Ibu mencari siapa ya?"

Aku menoleh ketika seorang wanita muda berdiri di samping pohon mangga.

"Saya mencari Risma. Ini benar rumah Risma, kan?"

"Oh, Bu Risma." Wanita muda itu pun berjalan mendekat ke arahku. "Iya betul ini memang rumah Bu Risma, tapi maaf. Apa Ibu tidak tahu jika Bu Risma sudah meninggal bulan lalu?"

"A-pa?" tanyaku seolah tidak percaya dengan apa yang tengah aku dengar.

"Iya, Bu. Ibu Risma sudah meninggal bulan lalu."

"Innalillahi wa inna illaihi roji'un, Ya Allah ... Risma." Aku membekap mulutku mendengar meninggalnya Risma. "Lalu di mana putranya, Mbak?"

"Mas Dani pergi ke kota, Bu. Rumah Bu Risma pun tak berpenghuni sekarang," jawabnya.

"Kalau begitu terima kasih banyak, Mbak. Saya permisi," pamitku.

"Iya, Bu. Sama-sama."

Aku pun berlalu pergi dengan menahan kesedihan atas berita kematian Risma. Rasanya hatiku terasa sedih karena tidak mengetahuinya sejak awal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • IBU YANG KAU BUANG   Akhir

    Pov Dani. [Dan, bagaimana dengan nama 'Afnan Alfiansyah'? Bagus tidak? Ibu sudah berpikir panjang, tapi ibu bingung sendiri memikirkannya. Bagaimana dengan nama itu? Kalau kamu dan Nada kurang suka, kalian bisa mencari nama lain. Oh iya, nanti jangan tunggu ibu. Mulai saja acaranya tanpa ibu, mungkin ibu akan datang terlambat.]"Afnan Alfiansyah? Emm ... nama yang bagus," gumamku setelah membaca pesan dari ibu.Baru pukul tiga dini hari tapi ibu sudah mengirimkan pesan padaku. Tumben sekali. Apa beliau terjaga sepertiku? Entah kenapa putra kecilku rewel sekali malam ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu anteng dan tidak pernah rewel sama sekali. Aku pun heran dibuatnya. "Istirahatlah, Mas. Biar aku yang gantian menjaga anak kita." Suara Nada terdengar, aku pun menoleh ke arahnya. Wajah Nada terlihat pucat, dia pasti kelelahan karena menjaga putra kami sepanjang malam."Kamu saja yang istirahat, Dek. Kasihan kamu kalau tidak bisa beristirahat, tubuhmu pasti belum puli

  • IBU YANG KAU BUANG   Terlalu Cepat

    Pov Author. "Masya Allah ... Tabarakallah, dia ganteng sekali, Dan. Dia benar-benar mirip denganmu," ucap Bu Ratmi memuji bayi mungil yang ada di dalam gendongannya. Netranya memindai wajah si bayi yang masih terlelap, tampak tidak terganggu dengan percakapan orang-orang di sekitarnya."Alhamdulillah, Buk. Dani sudah sangat bersyukur Nada dan bayi kami selamat. Dani sudah tidak tahu lagi bagaimana mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala," sahut Dani sembari menggenggam erat tangan sang istri yang masih terbaring di ranjangnya.Sementara Nada hanya bisa tersenyum melihat wajah sang suami yang terlihat sembab. Dia tahu sekali jika suaminya itu pasti sudah menangis sejak dia ditangani oleh dokter. Di dalam hati, Nada merasa sangat lega, tugasnya sebagai ibu baru saja dimulai. Putranya terlahir dengan sehat tanpa kekurangan apapun, walaupun sempat terjadi pendarahan padanya akibat terjatuh di kamar mandi. Dia merasa bersalah karena tidak berhati-hati saat ke kamar mandi. Andai t

  • IBU YANG KAU BUANG   Tak Lagi Sendiri

    Pov Author."Kenapa, Buk?" tanya Damar melihat sang ibu sedang memijit keningnya. Dia pun beranjak duduk di samping sang ibu."Eh ... nggak, Mar. Ibu nggak kenapa-napa," sahut Bu Ratmi. Dia hanya merasa pusing saja semenjak bangun dari tidurnya. Padahal selama ini dia jarang sekali sakit, tapi tidak tahu kenapa pagi ini setelah bangun tidur kepalanya terasa berat."Benar, Ibuk nggak apa-apa?" tanya Damar lagi memastikan jika sang ibu memang baik-baik saja.Bu Ratmi menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan, "Iya, Mar. Ibu baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir. Bukankah kamu tahu sendiri jika ibu jarang sekali sakit?""Iya, Buk. Damar hanya khawatir saja, wajah Ibu terlihat pucat, tidak seperti biasanya," sahut Damar sembari memindai wajah sang ibu yang terlihat pucat."Benarkah, Mar? Mungkin ibu masih kelelahan akibat perjalanan jauh kemarin," ucap Bu Ratmi sembari memaksakan senyumnya, berharap agar sang putra tidak perlu khawatir terhadapnya. Dia hanya merasa pusing bi

  • IBU YANG KAU BUANG   Terwujud

    Pov Author Bu Ratmi melambaikan tangan pada anak-anaknya, dia baru saja pulang dari Tanah Suci. Setelah hampir satu setengah bulan dia menjalankan ibadah haji, kini dia telah kembali.Bu Ratmi berangkat ke Tanah Suci bersama dengan putra sambungnya. Dani menemani ibu sambungnya itu sebagai ganti Bu Risma, sang ibu kandung yang telah tiada dan belum mempunyai kesempatan untuk bertandang ke Tanah Suci. Sementara Nada berada di rumah, tidak bisa ikut dengannya, mengingat usia kandungannya yang sudah mendekati waktu lahiran. Tapi Nada tidak sendirian di rumah, Dina diminta Bu Ratmi untuk menemani menantunya itu. Dia takut jika terjadi sesuatu dengan Nada sementara sang suami tidak ada di rumah.Damar dan Dina menjemput ibu mereka dengan wajah yang semringah. Terlihat dari wajah mereka yang sangat antusias menyambut kedatangan sang ibu. Ada sorot kerinduan yang terpancar dari keduanya setelah hampir satu setengah bulan tidak melihat wajah sang ibu."Ibu ...!" seru Dina sembari berlari ke

  • IBU YANG KAU BUANG   Mimpi

    "Ada apa, Buk? Dari tadi Ibu tidak menyentuh makanan Ibu sama sekali," tanya Dani membuatku menoleh ke arahnya.Aku menerbitkan senyum ke arahnya. "Tidak apa-apa, Dan. Hanya saja hari ini ibu bahagia sekali. Kita bisa berkumpul semua di sini dengan keadaan yang jauh lebih baik. Melihat kalian semua berkumpul dan akur seperti ini sudah membuat ibu bahagia, rasanya makanan yang tersedia sekarang ini tidak bisa menandingi rasa bahagia di hati ibu."Netraku berkaca-kaca, tidak pernah aku bayangkan hari ini akan tiba, hari di mana kami semua berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Ada Damar yang sudah sembuh dari luka-luka yang dideritanya dan ada juga Feni, Dina pun duduk manis di sampingku. Sementara kehadiran Dani dan Nada melengkapi kebahagiaan keluarga kami. Aku bahagia, bahkan sangat-sangat bahagia.Kami sedang makan malam di rumahku yang dulu, kini aku telah kembali tinggal bersama dengan Damar dan juga Dina. Damar memintaku kembali untuk tinggal bersamanya setelah dia keluar dari rum

  • IBU YANG KAU BUANG   Sadarkan Diri

    "Berikan ibu waktu, Din. Semua yang terjadi saat ini membuat hati ibu sangat terguncang. Ibu sudah memaafkanmu dari lama, tapi untuk menyembuhkan luka di hati ibu, itu butuh waktu, Din." Aku menatap manik hitam legam milik putriku dalam.Dina menundukkan kepalanya mendengar ucapanku, air matanya pun jatuh kembali. Bahu ringkihnya tampak berguncang bersamaan dengan lolosnya isak tangisnya lagi. Dia menangis lagi, suara isak tangisnya terdengar memilukan.Allah ... rasanya aku sudah tidak kuasa lagi melihat putriku menangis seperti itu. Aku ingin memeluknya, mendekapnya agar tangisnya mereda.Tanganku perlahan terulur meraih tubuh ringkih putriku itu ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya, mendekap putri yang pernah menyakiti hatiku itu dengan erat. Setelah memeluknya, kini dia seperti kembali menjadi kecilku lagi, saat dulu dia menangis tersedu karena sang ayah telah meninggalkannya di usia yang masih belia.Hatiku terenyuh, rasanya aku telah menemukan kembali putri kecilku yang telah lam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status