Astaga, aku ketiduran. Untung Arsen tidak jatuh dari tempat tidur. "Em, anak soleh Bunda. Baik budi sekali. Tau Bunda capek ya? Arsen jadi nggak nakal ya." Aku mengajak Arsen berceloteh sambil mencubit gemas pipinya, dia malah tertawa lebar. Kulihat jam yang ada di dinding kamarku, sudah sore. Aku belum sholat Ashar. Cepat aku bangkit, lalu mencepol asal rambutku. Kugendong Arsen. Untuk kumandikan terlebih dahulu. Ada banyak kertas koyak di bawah badan Arsen. Astaga, aku baru teringat dengan surat dari Satria. Kini bentuknya sudah tak karuan. Aku tadi hanya meletakkannya di atas kepala Arsen. Sebelum akhirnya aku ketiduran. Kuambil dan kuperhatikan setiap robekan kertas. Bagaimana cara membacanya kalau sudah begini? Huft.Nanti sajalah kupikirkan. Kukumpulkan setiap bagian kertas yang robek itu, pasti ulah Arsen ini. Aku menilik bagian dalam mulut Arsen, takutnya dia memasukkan bagian kertas yang robek ke dalam mulutnya. Bersih, tak ada kertas di mulutnya. Uh, cerobohnya aku. Kenap
Ya Allah. Jangan biarkan dia bisa masuk ke kamarku. Adrenalinku terpacu dengan sangat kencang. Jantung rasanya berdebaran tak karuan, tanganku mulai berkeringat dingin. Cepat kuambil Arsen ke dalam gendonganku. Jangan sampai Arsen takut mendengar suara pintu yang berusaha dibuka paksa itu."Divya! Kamu di dalam?" Suara Bapak. Fiuh, berangsur aku bisa bernafas lega. Ternyata bukan Mas Bima yang datang."I–iya Pak," sahutku. Kuatur nafasku perlahan, agar irama jantungku kembali beraturan. Baru aku bangkit, untuk membuka pintu."Kenapa tak bilang, kalau mau pulang? Kan, bisa Bapak jemput," kata Bapak begitu aku menampakkan wajah di hadapannya. Masih seperti dulu, tetap perhatian padaku."Divya tadi langsung ke pengadilan agama, Pak," kataku. Bapak mengambil Arsen dari gendonganku. Kelihatan sekali dia kangen pada cucu semata wayangnya."Apa tak bisa lagi diubah keputusanmu?" tanya Bapak sembari duduk di sofa. Aku juga duduk di sofa yang lain. "Divya nggak bisa memaksakan hati Divya lagi
"Pak, Divya tadi bertemu pengacara yang akan membantu proses cerai Divya." Aku memberitahu Bapak mengenai Bang Dion. "Terus, apa katanya?" tanya Bapak."Ya dia bisa bantu, kalau Divya sudah menyelesaikan administrasi. Bisa aja sih, gratis tanpa biaya, paling hanya biaya baterai dan fotocopy aja. Tapi harus mengurus surat keterangan tidak mampu," jelasku. "Berapa biayanya?" tanya Bapak lagi. Jelas saja Bapak lebih milih membayar, daripada harus aku mengurus surat keterangan tidak mampu. Bisa hilang muka Bapak, di hadapan staff desa nanti."Um, tunggu ya Pak." Aku segera ke kamarku. Mengambil hape yang kuletakkan di atas bantal. Aku membuka pesan dari Bang Dion tadi, lalu menunjukkan pada Bapak. "Ini Pak," kataku.Bapak berdiri, sambil menggendong Arsen. Bapak melihat nilai yang tertera di pesan Bang Dion, juga semua rinciannya. "Ya sudah, nanti ke rumah. Bapak nggak bawa uang," kata Bapak.Aku termangu, duduk kembali di sofa. Bapak masih berdiri, sambil menimang Arsen. Ke rumah Bap
"Sana gih, cepat. Kalau terlalu malam melewati kebun sawit, kasihan Arsen," kata Bapak usai dia sholat. Bapak cepat sekali sholatnya. Apakah Bapak tak bisa khusyuk? Atau … ah sudahlah, lebih baik aku cepat berwudhu. Entah kenapa, sejak peristiwa yang menimpa Satria, aku selalu saja paranoid dengan hal-hal yang begituan. Apalagi aku ingat, waktu itu Bapak sempat muntah. Namun Bapak tak mau datang lagi untuk di ruqyah.Bapak benar, untuk keluar menuju ke jalan raya, butuh waktu sekitar dua puluh menit. Takutnya Arsen akan takut nanti, melihat pohon-pohon sawit di kegelapan malam. Pasti akan tampak menyeramkan di mata anak kecil seusia Arsen. Jangankan Arsen, aku sendiri terkadang takut kalau memandang pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di malam hari. Berasa horor kalau diliatin lama-lama. Bapak menunggu di ruang tamu, seperti aku tadi. Usai sholat aku bermunajat pada yang Maha Kuasa, berharap keputusanku untuk berpisah dari Mas Bima adalah keputusan yang tepat. Memohon kelancaran, j
Usai menunaikan sholat Isya, aku rebahan di sebelah Arsen. Kuambil gawaiku dari dalam tas. Kucari nama Bang Dion. Aku mau mengabari dia kalau aku besok akan ke Pengadilan Agama untuk mengantar berkas yang diperlukan lagi, juga uang untuk biaya mengajukan perkara gugatan ceraiku.Telponku tersambung, tapi belum diangkat. Mungkin dia sedang sholat atau ada hal lain. Sampai nada sambung berakhir, tak juga diangkat. Kucoba lagi, dengan sabar aku menunggu panggilanku diangkat olehnya. "Halo. Assalamualaikum." Akhirnya diangkat juga panggilanku."Waalaikum salam. Ini saya Divya Bang. Yang pagi tadi kita ketemu di kantor Pengadilan Agama," jelasku. "Divya yang senyumnya manis itu kan, yang ada gingsulnya." Dia malah menggodaku, dan berhasil membuat pipi ku jadi panas. Kalau aku bercermin, pasti ada semburat merah di pipiku."Malah gombal. Serius nih, besok kita ketemu di pengadilan lagi ya," kataku untuk menutup rasa kikuk yang tiba-tiba hadir."Wah, baru tadi pagi ketemu, udah kangen aja.
Sampai di kamar, adrenalinku benar-benar terpacu. Dadaku berdebaran Sanca kencang, mana haus lagi. Belum sempat ambil minum tadi. Apa aku tak salah dengar tadi? Berarti, Bapak tak pernah mencintai Ibu selama ini? Berarti, semua kemesraan dan keharmonisan yang dipertontonkan, hanya drama saja. Gila! Pantas saja Bapak tak begitu peduli dengan kelakuan buruk Ibu. Dia hanya mementingkan nama baik saja, hingga hatinya sekeras batu, atau … ada hal lain yang membuat Bapak seperti itu? Mataku tak bisa terpejam lagi, masih terngiang kata-kata Ibu tadi. Ah, lebih baik aku sholat tahajud saja, biar adem hati ini. ★★★KARTIKA DEKA★★★"Bapak jadi ikut sama Divya?" tanyaku pada Bapak saat kami sedang menikmati sarapan di meja makan. Hanya ada aku, Bapak dan Arsen di gendonganku. Ibu? Aku tak tau dia dimana, dan aku tak peduli tentang itu. Aku tak mengizinkan Bik Sum menggendong Arsen, aku sengaja pura-pura ngambek sama dia. Biar dia tau, kalau dia bersekongkol sama Ibu, itu adalah sebuah kesalah
"Kamu yakin, kamu tak salah lihat." Astaga nih orang. Masih nggak percaya juga. Disodorkannya padaku satu gelas air mineral. Kuterima, kumasukkan sedotannya dan langsung menyedotnya sampai habis. Pengen marah sama nih orang, tapi kok alasannya nggak jelas.Huuuhhhh haaaahhh. Kutarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Baiklah, tak ada malu-malu lagi. Biar Bang Dion tau dan jelas dengan ceritaku. "Saya nggak salah lihat Bang. Saya melihat dengan mata saya sendiri. Saya juga dalam keadaan sadar, tidak sedang bermimpi atau baru bangun dari tidur. Apa perlu saya peragakan caranya biar Abang percaya?" tantangku. Berusaha menutupi rasa kesalku."Boleh, saya bersedia jadi pemeran suami kamu. Dimana? Disini? Ayo." Mataku melotot mendengarnya. Tak menyangka dia malah menantangku balik. Kuambil sendiri air mineral yang ada di tengah meja, kali ini nggak pake sedotan, tapi langsung kukoyak segelnya dan langsung kutenggak sampai habis. Haduh, hilang kalemku di hadapannya. Kok ngeselin ya
"Percuma kesana, Rafika tak di sana lagi. Sudah sangat lama dia pergi," kata Bapak.Aku melihat ke jalanan. Menerawang jauh, menghayal seandainya aku bisa bertemu dengan ibu kandungku. Ibu yang sudah melahirkanku di tengah kedukaannya saat Ayah kandungku meninggal. Membayangkannya membuat mataku panas. "Ssruut srruut." Aku menyedot ingus yang ikut timbang rasa dengan air mata yang perlahan tapi pasti mengalir dari kelopak mataku."Kamu nangis?" tanya Bapak. Pengen rasanya aku jawab, nggak Pak, Divya ketawa. Tapi urung kulakukan, diam saja lebih baik. Hatiku sedang melow sekarang. Toh Bapak bisa lihat kalau aku menangis. Kuambil tisu yang ada di atas dashboard. Kuusap air mata dulu baru hidungku yang berair. "Divya ingin sekali bertemu Ibu kandung Divya, Pak," kataku. Bapak menghembuskan nafasnya yang berat. "Nanti Bapak coba cari nomor sahabat Bapak itu. Sudah belasan tahun kami tak saling berhubungan. Nomornya hilang entah kemana. Dulu bukan seperti sekarang, pake hape. Dulu hany