"Ayolah Bunda, jangan paksa Mala menerima lelaki yang sama sekali tidak Mala kenal. Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi, kan?" rengek Mala, saat dia sudah ada dirumah dan bermanja-manja dengan bundanya.Kepala gadis itu disandarkan di atas paha bundanya sambil tangannya yang halus itu memijid-mijid betis wanita saparuh baya yang masih kelihatan cantik itu. Emang begitulah Mala, dia suka sekali bermanja pada kedua orang tuanya, meskipun sekarang sudah dewasa."Kamu itu ya, masih saja manja dan suka merengek begini, nggak sadar usia. Teman-teman sebayamu sudah ada yang anaknya kelas satu es-de. Kamu masih saja seperti anak kecil." canda ibunya sambil membelai lembut rambut panjang anak gadisnya itu.Mala menampilkan senyum manis, lalu segera bangkit dan memeluk erat ibunya yang masih duduk di pinggir ranjang."Bunda pasti paham dan lebih paham dari Mala, bahwa cinta yang dipaksakan itu takkan berhasil. Apalagi kalau sebelumnya tidak saling mengenal. Jadi Mala mohon, bunda bujuk ayah. Sela
Mala menatap nanar pada bayangan wajahnya di cermin rias. Ada mata yang kelihatan sedikit sembab disana. Matanya itu tak bisa diajak bekerjasama agar tidak menangis, sehingga sekarang ia harus menerima tamu yang datang kerumah dengan mata sembab."Mala, tamunya sudah datang. Segeralah keluar, Nak!" suara ibunya memanggil dari luar."Iya, Bunda. Mala segera kesana." Setelah memastikan penampilannya tidak terlalu kacau lagi, ia mulai melangkah.Samar-samar terdengar suara orang yang sedang berbicara di ruang depan. Walau ragu-ragu, ia terus melangkah hingga suara itu semakin terdengar jelas."Nah, itu Mala. Dia sudah datang." ujar ayahnya sambil tersenyum begitu melihat putrinya sudah datang dan bergabung dengan mereka.Mala mengambil tempat duduk tepat di sebelah ibunya. Kepalanya masih tertunduk karena tak ada keinginan untuk menatap siapa tamu yang datang. Akan sangat memalukan jika mereka melihat matanya sembab."Jadi kapan rencana akad akan dilangsungkan?" terdengar suara ayahnya y
"Saya terima menikahi putri kandung Bapak, Nirmala Althafunnisa dengan maharnya seperangkat alat shalat dibayar tunai."Masih terngiang di telinganya lafaz ijab Qabul yang diucapkan Bian sore tadi. Lelaki itu tampak mengucapkannya dengan sangat hikmat, menerima lafaz penyerahan dari ayah Mala yang mengucapkan dengan mata berkaca-kaca. Mala juga mendengar dengan rasa haru yang membuncah, hingga tak sadar menimbulkan embun di sudut matanya. Rasanya masih mimpi, bahwa yang melafazkannya adalah sosok yang selama ini tak pernah bisa pergi dari hatinya. Rasa masih belum percaya bahwa sekarang dia telah menjadi istri dari Bian. Lelaki yang selama ini hanya dimiliki di dalam mimpinya. Tapi ini adalah ketentuan dari Sang Maha Pencipta, yang telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Tidak ada yang tahu, entah siapa jodoh yang disiapkan untuk kita. Tidak ada yang bisa menerka, bahwa kapan doa-doa kita terjawab dan semua keinginan terkabul dengan begitu indah.Mala masih duduk di pinggir kas
Mala kebingungan di kamar mandi, pasalnya tadi dia hanya membawa handuk, sama sekali tak membawa pakaian ganti barang selembar pun. Sekarang, saat dia selesai mandi, dan hanya handuk yang menutupi tubuhnya, dia mulai bingung bagaimana cara mengambil pakaiannya."Mala, aman kan?" Terdengar suara Bian bersamaan dengan ketukan di pintu."I...Iya Bi. Aman." jawab Mala setengah berteriak."Ada apa, Mala? Kenapa suaramu berbeda?" tanya Bian lagi."Anu...aku...aku..."Mala tak tahu harus mengatakan apa.Merasa ada yang tak beres, Bian langsung mendorong pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Dan pemandangan selanjutnya membuat Bian terpaku ditempat dengan nafas seakan tercekat di tenggorokan."Bian.....!" teriak Mala sambil menutupi tubuhnya yang hanya berbalut handuk. Wajahnya memerah. Bisa-bisanya lupa mengunci pintu, hingga Bian harus melihatnya dalam kondisi seperti ini.Bian yang tersadar segera berbalik dan berusaha menetralkan detak jantung yang memburu. Pemandangan yang dilihat bar
Mala menatap tak berkedip Bian yang sedang fokus menyetir mobil. Tak sungkan-sungkan lagi ia menunjukkan rasa kagum dan cinta yang menggila pada sosok itu. Dan lihatlah sekarang, ia tak henti-hentinya memandangi suaminya yang sedang fokus disampingnya.Setelah melaksanakan akad nikah hari Jum'at sore kemaren, maka sekarang hari Minggu pagi mereka memutuskan untuk kembali kekota B. Tempat Mala bekerja. Selama mempersiapkan resepsi pernikahan dikampung mereka memutuskan untuk tetap masuk kantor masing-masing. Walau sebenarnya tujuan Mala hanya untuk menyelesaikan tugasnya sekalian memberikan surat pengunduran diri, tetapi tetap saja ia merasa takut masuk kantor karena trauma setiap mengingat nama Raditya. Berkat dukungan dari Bian Mala membulatkan tekad untuk menghadapi semua dengan berani.Bian yang sedang menyetir tersenyum lebar lalu dengan gemas mengacak puncak kepala istrinya."Ternyata memandangi orang tampan itu sungguh menyenangkan ya?" godanya sambil menoleh sekilas lalu kembal
Mobil berwarna putih itu memasuki pekarangan rumah minimalis yang dihalamannya dipenuhi aneka ragam bunga. Didepannya juga ada sebatang pohon mangga yang saat ini sedang berbuah lebat. Dekat pohon itu tampak ada sepasang manusia setengah baya yang sedang duduk berdua, menikmati teh dari gelas masing-masing.Bian menoleh ke istrinya yang juga sedang menoleh padanya. Diangkatnya dagu sebagai isyarat menanyakan sesuatu."Mereka pemilik kontrakan. Sama-sama guru disekolah dekat sini. Si bapak merupakan seorang guru matematika di SMA dan si Ibu merupakan guru matematika di SMP. Jarang sekali mereka bisa menghabiskan waktu bersama karena biasanya selepas mengajar di sekolah, bapak lebih memilih menghabiskan waktu dimushalla dekat rumah. Namun, Jika hari libur begini, mereka memang lebih suka bercengkrama di depan rumah, menikmati udara yang sejuk, menghabiskan waktu bersama." Jelas Mala.Bian mengangguk, "lihatlah! Bahkan meski diusia senja sekalipun, cinta mereka begitu indah. Mereka punya
"Mala..."Seorang rekan kerjanya dari divisi personalia menghampiri saat Mala baru tiba di kantor dan hendak melakukan finger print.Mala menoleh sekilas. Setelah menyelesaikan pengambilan absennya baru ia menghadap ke wanita yang masih menunggunya selesai."Ada apa, Helen?"Wanita yang bernama Helen itu menatapnya sinis, lalu menilik penampilan Mala dari atas kebawah. Menerima tatapan seperti itu Mala berusaha tenang, kerena sejak masuk tadi perasaannya sudah mulai tak enak."Bagaimana rasanya menjadi wanita pak Raditya? Pasti menyenangkan sekali ya, bahkan dia bela-belain ngambil cuti demi menemanimu di luar kota.Kami tidak menyangka saja, gayamu yang sok alim ini ternyata lebih parah dari wanita murahan di luar sana. Berdalih mengikuti pelatihan, tapi malah bermain dihotel dengan atasan sendiri." ucap Helen dengan sinis, yang membuat Mala membelalakkan mata.Dari mana pula gosip ini beredar, bagaimana teman sekantornya bisa mendapatkan redaksi cerita tak berdasar seperti ini. Tak
Bian menyesap secangkir teh panas yang dihidangkan padanya oleh asisten dari lelaki yang kini sedang duduk di depannya. Lelaki yang berusia 35 tahun itu tampak sangat gagah dan tampan dengan gayanya yang kasual.Setelah melepas Mala masuk ke kantor, hatinya tetap tak tenang, sehingga diputuskan untuk menghubungi salah satu mahasiswa yang kuliah hari ini denganya, minta maaf karena tak bisa masuk dan minta ganti perkuliahan di hari lain. Awalnya, ia ragu juga ingin ikut campur, tapi saat tanpa sengaja mendengar percakapan miring tentang Mala oleh dua orang karyawan yang baru datang, dan sempat numpang berkaca dimobilnya, hati lelaki itu menjadi panas. Bayangan betapa hancur hati istrinya mendengar berita itu sungguh membuatnya tak tenang.Mungkin nasib baik memang sedang memihaknya, atau mungkin begitu cara Allah memudahkan langkahnya. Kantor tempat Mala bekerja ternyata adalah milik salah seorang seniornya saat ikut organisasi dulu. Bahkan atas tawaran dari seniornya itu, dia juga m