Gadis Kesayangan Tuan Adrian

Gadis Kesayangan Tuan Adrian

last updateLast Updated : 2025-10-09
By:  NoorayaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
10Chapters
9views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Melati, gadis desa yang polos, harus menghadapi kenyataan pahit ketika ayahnya yang pemabuk tega menjualnya ke rumah bordil demi melunasi hutang judi. Takdir lantas membawanya pada Adrian Hartono, pengusaha 37 tahun yang dingin, disiplin, dan tegas. Melati diselamatkan dengan cara “dibeli” oleh Adrian. Sejak menjadi “milik Adrian” hidup Melati berubah total. Dari gadis desa miskin, kini ia tinggal di rumah mewah milik Adrian, sekaligus kembali mendapatkan kesempatan berkuliah lagi. Semua kebutuhan Melati dipenuhi oleh Adrian. Pada awalnya, Adrian sama sekali tidak memiliki ketertarikan terhadap Melati. Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan keduanya berkembang. Jarak usia yang cukup jauh, perbedaan status sosial, serta kebiasaan buruk Adrian yang suka mengoleksi selir di rumahnya, sama sekali tidak menghalangi keduanya dalam memadu kasih. Namun, sejalan dengan bertumbuhnya hubungan Melati dan Adrian, satu per satu masalah datang silih berganti. Persaiang cinta, intrik bisnis, serta dendam lama akan menjadi bumbu di dalam perjuangan cinta mereka. Hubungan keduanya akan dipenuhi tarik-ulur antara kepercayaan, kasih sayang, dan rahasia masa lalu yang perlahan terungkap. Namun, dengan tekad, kepercayaan, dan keyakinan, mereka pada akhirnya dapat melewati semua rintangan, hingga pada akhirnya keduanya berhasil berlayar dalam perahu yang sama.

View More

Chapter 1

Bocah di Rumah Sang Tuan

“Aku tidak membutuhkan bocah di rumahku.”

Itulah kata pertama yang kudengar dari mulut Adrian Hartono, pria yang katanya kaya raya, pemilik rumah megah yang kini berdiri di hadapanku. Nada suaranya begitu dingin, datar, dan tanpa sedikit pun keraguan.

Aku menunduk, menggenggam erat jemari gemetar di pangkuanku. Di sampingku, Wira, calo pekerja yang sudah lama kukenal sebagai kerabat jauh mendiang ibuku, mencoba meyakinkan pria itu.

“Tuan Adrian, dengarkan dulu. Gadis ini ... hampir dijual ayahnya yang pemabuk dan penjudi dengan harga murah ke rumah bordil. Tapi sebagai kenalan mendiang ibunya, saya tidak tega. Karena itu saya membawanya ke sini. Kalau Tuan yang membelinya, nasibnya pasti lebih baik.”

Dadaku seperti teriris mendengar kalimat Wira. Dijual ke rumah bordil oleh ayah sendiri. Itu kenyataan yang sudah kutahu, tetapi tetap terasa menyesakkan bila diucapkan.

Aku memberanikan diri mendongak. Adrian duduk tegap di sofa ruang tamu rumahnya, persis di seberangku dan Wira.

Dengan kemeja hitam yang membalut tubuh tingginya, ia tampak begitu menawan sekaligus menakutkan. Tatapannya tajam, membuatku merasa kerdil di hadapannya.

“Siapa namanya?” tanya pria bernama Adrian itu pelan, selagi menatap lurus ke arahku.

Aku kembali menunduk cepat. “Melati,” jawab Wira. “Dia mahasiswa semester empat. Anaknya pintar, tapi sayang ayahnya begitu.”

Aku sedikit mengintip, melihat ekspresi Adrian. Dia menatapku datar, sebentar, lalu mengalihkan pandangan kembali ke Wira.

“Saya pikir ...,” Wira melanjutkan, “membawanya ke sini adalah pilihan terbaik. Lagi pula, saya sendiri tidak punya waktu dan kemampuan untuk mengurusnya.”

Wira terus membujuk. “Tuan, dia tidak membutuhkan belas kasihan, hanya tempat yang aman. Anda bisa memintanya melakukan apa saja, melayani Anda ataupun membantu pekerjaan rumah. Dengan sifat dan kemampuannya, saya yakin Anda tidak akan rugi membelinya. Selain memperoleh karma baik, Anda juga mendapatkan seorang pelayan yang berguna.”

Keheningan menegang. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, begitu keras hingga kupikir semua orang di ruangan ini bisa mendengarnya.

Akhirnya, Adrian membuka suara. “Kalau dia tetap di sini, dia hanya akan mengerjakan pekerjaan rumah. Selain itu, dia harus melanjutkan kuliahnya.”

Aku tercekat, nyaris tidak percaya dengan apa yang kudengar. Namun kekagetan itu hanya sementara, sebab Wira langsung mendesakku.

“Cepat ucapkan terima kasih pada Tuan Adrian!” bisiknya.

Lekas, aku menunduk dalam dan berkata dengan mata terpejam rapat. “Terima kasih, Tuan ....”

Saat kubuka mata dan kutegapkan tubuh lagi, aku terkejut dengan matanya yang masih menatap padaku. Tatapannya dingin, namun dalam ... seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa kutebak.

Merasa sorot matanya bertahan lebih lama daripada seharusnya, aku pun menggigit bibir dan menundukkan wajah sedikit. Dengan hati-hati aku bertanya, selagi diam-diam memeriksa ekspresinya.

“A-apa ... ada masalah, Tuan?”

Namun, Adrian tidak membalas pertanyaanku. Dia hanya menghela napas dalam, kedua alisnya berkerut tipis selagi dirinya memanggil seseorang. “Asri.”

Seorang wanita paruh baya pun melangkah maju dari sisi ruangan. Gerakannya sopan, wajahnya tertunduk hormat. “Ya, Tuan?”

“Bawa dia ke rumah bunga. Shiftnya hanya di luar waktu kuliah.”

Selama sesaat, wanita bernama Asri itu tersentak. Entah apa alasannya. Namun, kemudian dia kembali menunduk hormat. “Baik, Tuan.” Lalu beralih padaku. “Mari, Nona. Ikut denganku.”

Aku berdiri pelan, meraih tas lusuhku. Namun sebelum melangkah, aku menoleh ke arah Wira. Ia mengangguk singkat, lalu berbisik di dekat telingaku, “Layani Tuan Adrian dengan baik.”

Aku hanya bisa mengangguk. Dengan tubuh sedikit gemetar, aku membungkuk hormat ke arahnya.

Setelahnya, aku mengikuti langkah Bibi Asri keluar dari ruang tengah yang megah itu. Namun sebelum benar-benar melewati ambang pintu, telingaku masih sempat menangkap suara Adrian yang rendah dan tegas.

“Uangnya akan kutransfer ke rekeningmu seperti biasa. Pastikan ayah gadis itu tidak akan sedikit pun kembali menemuinya, kecuali gadis itu sendiri yang menginginkannya.”

Aku meremas erat tali tasku. Kata-kata itu menusukku.

Ternyata, aku ini dianggap sebatas barang yang bisa dipindahtangankan dengan uang. Namun di sisi lain, tidak bohong jika aku juga merasa lega. Karena setidaknya ... untuk malam ini, aku aman.

**

“Ini kamarmu, Nona,” ujar Bibi Asri setelah membuka sebuah pintu di lantai dua.

Aku tertegun di tempat. Ruangan itu jauh lebih indah daripada yang pernah kubayangkan. Dindingnya dicat lembut menggunakan warna krem, ranjang kayu besar dengan seprai putih bersih terhampar rapi, ada lemari kecil, meja belajar, bahkan jendela lebar dengan tirai tipis yang membiarkan cahaya lampu taman menerobos masuk.

Ini indah. Namun, tidakkah ini terlalu mewah untuk orang sepertiku?

Tanganku menyentuh tepi ranjang. “Apa aku ... sungguh boleh tinggal di sini?”

Bibi Asri menoleh padaku dan tersenyum hangat. “Tentu saja, Nona. Mulai sekarang, ini adalah tempat tinggal Anda.”

Aku kembali menatap kagum sekelilingku. Dari jendela kamarku ini, aku bisa melihat taman bunga dengan kolam kecil.

“Sebaiknya Nona mandi dulu, biar segar.” Ucapan Bibi Asri membawa perhatianku kembali padanya. “Untuk barang-barang Nona, biarkan saya yang membereskannya.”

Aku mengangguk patuh, meski hatiku sedikit canggung diperlakukan dengan begitu sopan. Namun di sisi lain, aku tidak heran kenapa Bibi Asri menyuruhku mandi. Penampilanku saat ini memang lusuh dan kotor setelah perjalanan panjang dari desa bersama Bang Wira. Aku memang butuh mandi.

Aku baru saja meraih pakaian bersih dari tas, ketika suara gemuruh terdengar jelas dari perutku.

Wajahku langsung panas, rona merah merambat ke pipi. Aku menunduk malu, berharap Bibi Asri tidak mendengarnya.

Namun, beliau tersenyum maklum. “Setelah ini, akan siapkan makan malam untuk Nona. Jadi, turunlah ke ruang makan begitu selesai mandi.”

Aku mengangkat kepala perlahan, lalu buru-buru mengangguk. “T-terima kasih, Bibi ....”

Dengan hati berdebar malu, aku berlari kecil menuju kamar mandi, berharap air mampu membilas rasa canggung.

Dan begitu tubuhku tenggelam dalam hangatnya air, lelah setelah perjalanan panjang dari desa pun perlahan luruh.

Aku bersandar pada tepi bak mandi—yang hanya dengan melihatnya saja aku tahu betapa berkelasnya ini. Perlahan, aku mulai memejamkan mata. Sulit dipercaya, kini aku benar-benar bisa berada di sini.

Bayangan ayah kembali menyesakkan. Lelaki itu begitu tega menjual darah dagingnya sendiri hanya demi melunasi hutang dan menuruti kebiasaan judinya.

Kalau bukan karena Bang Wira menghentikannya tepat waktu, aku pasti sudah diseret germo rumah bordil malam itu juga. Bang Wira menjanjikan bayaran lebih besar dengan menjualku ke kota, dan karena itulah aku akhirnya berada di sini, di bawah kekuasaan Adrian Hartono.

Bayangan tuan kaya itu seketika muncul dalam benakku. Sosok tinggi dan menawan dengan kemeja hitam yang membalut tubuh tegapnya membuatnya tampak berkelas.

Wajahnya tampat sempurna walau jarang dihiasi senyuman. Lalu sorot matanya ... tajam, tetapi ada keteduhan di baliknya. Tidak heran jika dia bisa memiliki banyak wanita hanya dengan sekali tatap.

Dan aku ... entah bagaimana, kini telah menjadi salah satu miliknya. “Eh ... apa aku juga akan menjadi wanitanya?” bisikku pada diri sendiri.

Cepat-cepat aku menepuk pipiku, mengusir pikiran memalukan itu.

Tidak, aku tidak boleh hanyut. Adrian telah menyelamatkanku dari nasib buruk. Aku hanya perlu bersyukur dan melayaninya dengan baik, memastikan ia tidak menyesal menerimaku di rumahnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status