LOGINDijual oleh ayahnya, Melati dibeli dan diselamatkan oleh Adrian, seorang konglomerat berkuasa yang dingin. Dari gadis desa miskin, kini ia hidup dalam kemewahan. Melati sangat berterima kasih kepada Adrian. Lalu, rasa terima kasih itu perlahan berubah menjadi cinta yang dalam dan membara. Namun sayangnya, Adrian tidak melihatnya sebagai kekasih. Melati hanyalah satu dari banyak wanita yang mengisi istananya. Melati tidak mau menyerah. Ia ingin berjuang melawan para pesaing dan melawan dinginnya hati Adrian. Namun, mampukah ia membuat Adrian yakin padanya dan menyingkirkan semua wanita di kediaman itu, dan menjadikannya satu-satunya?
View More“Aku tidak membutuhkan bocah di rumahku.”
Itulah kata pertama yang kudengar dari mulut Adrian Hartono, pria yang katanya kaya raya dan disegani seisi ibu kota. Nada suaranya begitu dingin, datar, dan tanpa sedikit pun keraguan.
Aku menunduk, menggenggam erat jemari gemetar di pangkuanku. Di sampingku, Wira, calo pekerja yang sudah lama kukenal sebagai kerabat jauh mendiang ibuku, mencoba meyakinkan pria itu.
“Tuan Adrian, dengarkan dulu. Gadis ini hampir dijual ayahnya yang pemabuk dan penjudi dengan harga murah ke rumah hiburan. Tapi sebagai kenalan mendiang ibunya, saya tidak tega. Karena itu saya membawanya ke sini. Kalau Tuan yang membelinya, nasibnya pasti lebih baik.”
Dadaku seperti teriris mendengar kalimat Wira.
Dijual oleh ayah sendiri. Itu kenyataan yang sudah kutahu, tetapi tetap terasa menyesakkan bila diucapkan.
Aku memberanikan diri mendongak, melihat Adrian yang sedang duduk tegap di sofa ruang tamu rumahnya, persis di seberangku dan Wira.
Dengan kemeja hitam yang membalut tubuh tingginya, ia tampak begitu menawan sekaligus menakutkan. Tatapannya tajam, membuatku merasa kerdil di hadapannya.
“Siapa namanya?” tanya pria bernama Adrian itu pelan, selagi menatap lurus ke arahku.
Aku kembali menunduk cepat.
“Melati,” jawab Wira. “Dia mahasiswa semester empat. Anaknya pintar, tapi sayang ayahnya begitu.”
Aku sedikit mengintip, melihat ekspresi Adrian. Dia menatapku datar, sebentar, lalu mengalihkan pandangan kembali ke Wira.
“Saya pikir ...,” Wira melanjutkan, “membawanya ke sini adalah pilihan terbaik. Lagi pula, saya sendiri tidak punya waktu dan kemampuan untuk mengurusnya.”
Wira terus membujuk. “Tuan, dia tidak membutuhkan belas kasihan, hanya tempat yang aman. Anda bisa memintanya melakukan apa saja, melayani Anda ataupun membantu pekerjaan rumah. Dengan sifat dan kemampuannya, saya yakin Anda tidak akan rugi membelinya. Selain memperoleh karma baik, Anda juga mendapatkan seorang pelayan yang berguna.”
Keheningan menegang. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, begitu keras hingga kupikir semua orang di ruangan ini bisa mendengarnya.
Akhirnya, Adrian membuka suara. “Kalau dia tetap di sini, dia hanya akan mengerjakan pekerjaan rumah.”
Aku tercekat, nyaris tidak percaya dengan apa yang kudengar. Namun kekagetan itu hanya sementara, sebab Wira langsung mendesakku.
“Cepat ucapkan terima kasih pada Tuan Adrian!” bisiknya.
Lekas, aku menunduk dalam dan berkata dengan mata terpejam rapat. “Terima kasih, Tuan ....”
Saat kubuka mata dan kutegapkan tubuh lagi, aku terkejut dengan matanya yang masih menatap padaku. Tatapannya dingin, namun dalam ... seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa kutebak.
Merasa sorot matanya bertahan lebih lama daripada seharusnya, aku pun menggigit bibir dan menundukkan wajah sedikit. Dengan hati-hati aku bertanya, selagi diam-diam memeriksa ekspresinya.
“A-apa ... ada masalah, Tuan?”
Namun, Adrian tidak membalas pertanyaanku. Dia hanya menghela napas dalam, kedua alisnya berkerut tipis selagi dirinya memanggil seseorang. “Asri.”
Seorang wanita paruh baya pun melangkah maju dari sisi ruangan. Gerakannya sopan, wajahnya tertunduk hormat. “Ya, Tuan?”
“Bawa dia ke rumah bunga. Shiftnya hanya di luar waktu kuliah.”
Selama sesaat, wanita bernama Asri itu tersentak. Entah apa alasannya. Namun, kemudian dia kembali menunduk hormat.
“Baik, Tuan.” Lalu wanita itu beralih padaku. “Mari, Nona. Ikut denganku.”
Aku berdiri pelan, meraih tas lusuhku. Namun sebelum melangkah, aku menoleh ke arah Wira. Ia mengangguk singkat, lalu berbisik di dekat telingaku, “Layani Tuan Adrian dengan baik.”
Aku hanya bisa mengangguk. Dengan tubuh sedikit gemetar, aku membungkuk hormat ke arahnya.
Setelahnya, aku mengikuti langkah Bibi Asri keluar dari ruang tengah yang megah itu. Namun sebelum benar-benar melewati ambang pintu, telingaku masih sempat menangkap suara Adrian yang rendah dan tegas.
“Uangnya akan kutransfer ke rekeningmu seperti biasa. Pastikan ayah gadis itu tidak akan sedikit pun kembali menemuinya, kecuali gadis itu sendiri yang menginginkannya.”
Aku meremas erat tali tasku. Kata-kata itu menusukku.
Ternyata, aku ini dianggap sebatas barang yang bisa dipindahtangankan dengan uang.
Namun di sisi lain, tidak bohong jika aku juga merasa lega. Karena setidaknya ... untuk malam ini, aku aman.
**
“Ini kamarmu, Nona,” ujar Bibi Asri setelah membuka sebuah pintu di lantai dua. Aku tertegun di tempat. Ruangan itu jauh lebih indah daripada yang pernah kubayangkan. Dindingnya dicat lembut menggunakan warna krem, ranjang kayu besar dengan seprai putih bersih terhampar rapi, ada lemari kecil, meja belajar, bahkan jendela lebar dengan tirai tipis yang membiarkan cahaya lampu taman menerobos masuk. Ini indah. Namun, tidakkah ini terlalu mewah untuk orang sepertiku? Tanganku menyentuh tepi ranjang. “Apa aku ... sungguh boleh tinggal di sini?” Bibi Asri menoleh padaku dan tersenyum hangat. “Tentu saja, Nona. Mulai sekarang, ini adalah tempat tinggal Anda.” Aku kembali menatap kagum sekelilingku. Dari jendela kamarku ini, aku bisa melihat taman bunga dengan kolam kecil. “Sebaiknya Nona mandi dulu, biar segar.” Ucapan Bibi Asri membawa perhatianku kembali padanya. “Untuk barang-barang Nona, biarkan saya yang membereskannya.” Aku mengangguk patuh, meski hatiku sedikit canggung diperlakukan dengan begitu sopan. Namun di sisi lain, aku tidak heran kenapa Bibi Asri menyuruhku mandi. Penampilanku saat ini memang lusuh dan kotor setelah perjalanan panjang dari desa bersama Bang Wira. Aku memang butuh mandi. Aku baru saja meraih pakaian bersih dari tas, ketika suara gemuruh terdengar jelas dari perutku. Wajahku langsung panas. Aku pun menunduk malu, berharap Bibi Asri tidak mendengarnya. Namun, beliau tersenyum maklum. “Setelah ini, saya akan siapkan makan malam untuk Nona. Jadi, turunlah ke ruang makan begitu selesai mandi.” Aku mengangkat kepala perlahan, lalu buru-buru mengangguk. “T-terima kasih, Bibi ....” Dengan hati berdebar malu, aku berlari kecil menuju kamar mandi, berharap air mampu membilas rasa canggung. Dan begitu tubuhku tenggelam dalam hangatnya air, lelah setelah perjalanan panjang dari desa pun perlahan luruh. Aku bersandar pada tepi bak mandi—yang hanya dengan melihatnya saja aku tahu betapa berkelasnya ini. Perlahan, aku mulai memejamkan mata. Sulit dipercaya, kini aku benar-benar bisa berada di sini. Bayangan ayah kembali menyesakkan. Lelaki itu begitu tega menjual darah dagingnya sendiri hanya demi melunasi hutang dan menuruti kebiasaan judinya. Kalau bukan karena Bang Wira menghentikannya tepat waktu, aku pasti sudah diseret germo rumah bordil malam itu juga. Bang Wira menjanjikan bayaran lebih besar dengan menjualku ke kota, dan karena itulah aku akhirnya berada di sini, di bawah kekuasaan Adrian Hartono. Bayangan tuan kaya itu seketika muncul dalam benakku. Sosok tinggi dan menawan dengan kemeja hitam yang membalut tubuh tegapnya membuatnya tampak berkelas. Wajahnya tampan sempurna walau tanpa dihiasi senyuman. Lalu sorot matanya ... tajam, tetapi ada keteduhan di baliknya. Aku tidak akan heran jika ia punya banyak wanita. Dan aku ... bisa dibilang, telah menjadi salah satu wanitanya. “Eh ... apa yang aku pikirkan?" Cepat-cepat aku menepuk pipiku, mengusir pikiran memalukan itu. Tidak, aku tidak boleh hanyut. Tuan Adrian telah menyelamatkanku dari nasib buruk. Aku hanya perlu bersyukur dan melayaninya dengan baik, memastikan ia tidak menyesal menerimaku di rumah ini.(POV Adrian)“Jadi ... bagaimana, Tuan Adrian yang terhormat? Di mana kamar saya?”Aku terdiam untuk sesaat. Dengan heran kutatap Herman. “Anda menunjukkan semua ini dengan begitu yakin, seolah saya benar-benar mencoba melenyapkan Anda. Tapi kemudian apa? Anda ... justru ingin tinggal di tempat orang yang Anda tuduh ingin menghabisi Anda?”Herman mengangguk-angguk. “Ya ... saya tahu, Tuan pasti menganggapku sudah tidak waras. Tapi ... saya yakin Tuan Adrian tidak akan menyakiti saya setelah ini.”“Apa yang membuat Anda yakin?” tanyaku. Aku ingin tahu apa yang membuatnya bisa begitu percaya diri.Herman menjawab, “Tuan ... tentu ingin tahu siapa yang menangkap Wira dan mengirim semua bukti ini kepada saya.”Benar, aku memang penasaran akan hal itu.“Sebelum saya datang ke sini,” Herman melanjutkan, “seseorang mengirimkan pesan. Dia bilang, Anda harus bertanggung jawab atas hancurnya rumah saya. Orang itu lalu menyarankan agar saya mencari Anda untuk meminta pekerjaan kepada Anda.”Herm
Bab 50(POV Adrian)Hari ini aku sudah berencana untuk lembur, saat Danu mengatakan bahwa mobil Melati tiba-tiba mogok.“Kenapa bisa mogok?” Aku sedikit kesal mendengarnya. “Apa kalian tidak memeriksa mobilnya sebelum digunakan?”Danu sedikit menundukkan kepalanya. “Maaf, Tuan, tetapi supir Nona Melati selalu rajin memeriksa kondisi mobil. Saya sendiri selalu memantaunya.”“Lalu?” Aku tidak menerima pembenaran diri hanya dengan kata-kata.Menurutku, kenyataan yang terlihat oleh mata itu selalu menjadi bukti yang paling diterima. Jika memang Danu dan para pekerja lainnya sudah melakukan tugas dengan baik, tentu tidak akan ada kejadian seperti ini, kecuali memang ada keteledoran dan faktor lain dari luar.Danu terdiam dengan masih menundukkan kepala. “Saya mengerti, Tuan. Akan saya cari tahu penyebabnya.”“Hm.”Danu berbalik, hendak keluar dari ruanganku. Namun, ketika akan mencapai pintu, ia kembali menerima panggilan telepon. “Ada apa?” tanyanya kepada entah siapa.Cukup lama dia terd
Selama ini, meskipun aku kecewa dan sakit hati, aku tetap berusaha untuk tidak membenci ayahku. Meski dia sering memukul ibu dan aku, mendiang ibuku selalu berpesan agar aku memaafkannya.Aku sudah mencoba melakukannya. Bahkan setelah mengetahui bahwa ia ingin menjualku ke tempat hiburan, aku masih berusaha memaafkannya.Namun saat ini, ketika sosok itu berdiri tepat di hadapanku ... tubuhku seolah menolak untuk melakukannya.“Melati, sekarang kamu katakan kepada mereka, siapa aku!” Mata ayahku nyalang, menyapu semua pelayan dan penjaga yang ada di teras.Suasana mendadak hening, memberikan jeda singkat di tengah keributan ini.“Mau apa Ayah datang ke sini?” Pada akhirnya, hanya kalimat dingin dan bergetar itu yang keluar dari mulutku.Ayahku menatapku dengan sorot mata kaget. “Melati ....” Dia melangkah maju, mendekaiku.
Setelah jam kuliah terakhir selesai, aku segera menuju area parkir.Dari kejauhan, mataku langsung menangkap mobil yang setiap hari menjemput dan mengantarkanku ke kampus. Namun, kali ini ada yang berbeda. Kap mesinnya terbuka lebar, dan supir yang selalu menyupiriku berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.Aku mempercepat langkah, merasa ada yang tidak beres. “Ada apa, Pak?”Supirku itu menoleh. “Eh, Nona Melati. E ... Maaf, Nona, tetapi mobilnya tiba-tiba mogok.”“Mogok?” tanyaku memastikan.“Iya, Nona.”“Lalu ... bagaimana sekarang, Pak?”Pria empat puluhan tahun itu menjawab dengan nada sedikit cemas. “Saya sudah hubungi bengkel, tapi teknisinya belum juga datang. Katanya, masih di jalan.”Aku yang ikut merasakan kesusahan pun berucap lesu, “Oh ... begitu .... Ya sudah, Pak, ditunggu saja. Semoga tidak lama.”Pada akhirnya tidak ada yang bisa dilakukan selain pasrah. Keinginanku untuk bisa segera pulang dan istirahat terpaksa harus ditahan dulu.“Apa sebaiknya saya hubungi Na
Bab 47 Aku mencoba untuk tidak menghiraukan sikap Nona Amara pagi ini. Sayang momen manisku bersama Tuan Adrian jika sampai tersingkir oleh sindiran sinisnya. Labih baik aku mempersiapkan diri untuk ujian semester yang sudah di depan mata.Benar, ternyata waktu berjalan sangat cepat. Rasanya, baru kemarin aku pindah ke kediaman utama dan bertengkar dengan Nina, tetapi tiba-tiba saja satu semester sudah akan terlampaui.Mengingat soal Nina ... sampai saat ini aku masih belum tahu bagaimana kabar kelanjutannya. Entah keadaannya sudah membaik atau belum.“Baik, sampai sini saja untuk hari ini. Jangan lupa, tugas dikumpulkan minggu depan sekaligus presentasi kelompok pertama.” Dosenku menutup kelas siang ini, lalu melangkah keluar.Aku menarik napas panjang. Lagi-lagi tugas kelompok, siap-siap aku akan dikucilkan lagi. Namun tidak masalah, selama kerjaku bagus, orang-orang akan tetap menerimaku di kelompok mereka.Aku hanya perlu mengabaikan tatapan mereka.“Melati.” Seorang perempuan y
Pagi ini aku terbangun dengan tubuh yang terasa ringan. Tidurku semalam benar-benar nyenyak, seperti tidak ada beban apa pun yang menempel di kepala.Aku meregangkan tangan lalu duduk dan bersandar pada headboard. Cahaya matahari yang keemasan menembus tirai kamarku dan menciptakan suasana hangat dan tenang.Aku menoleh ke samping, boneka beruang putih besar masih tertidur. Aku ingat, semalam ia kupeluk erat. Senyum terukir seketika tanpa bisa kutahan, ketika kenangan semalam melintas begitu saja di kepala. Sepertinya, semalam menjadi pengalaman indah yang sangat berharga di hidupku. Aku mengusap telinga boneka beruang putihku. “Bagaimana aku harus memanggilmu?” “Bear? Putih? atau ....” Aku mencoba memikirkan nama lain yang cocok untuk boneka itu. “Nowy?”Sepertinya, nama itu cocok. Nowy, dari kata Snowy yang berarti salju. Sesuai dengan warna bulu halusnya yang seputih salju.Aku pun mengangkat boneka itu dan memosisikannya di hadapanku. “Halo Mr.Nowy!” Aku berbicara seolah itu ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments