Pagi ini Kara dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang sudah di sewa oleh Bagas untuk perjalanan mereka ke Giethoorn.
Ia girang bukan kepalang, karena perjalanan dengan kereta akan memakan jarak tempuh yang lebih lama. Di tambah harus transit dengan menggunakan bus untuk menuju Desa Giethoorn.
"Bawa apa sih banyak amat?"
tanya Bagas saat melihat Kara membawa satu kantong penuh berisi camilan dan minuman."Cemilan, buat di jalan. Saya kalau di mobil mesti makan."
jawab Kara santai sambil memasukan camilan dan bantal kecil ke mobil bagian Belakang.Bagas hanya melengos tak peduli, ia sudah siap di balik kemudinya. Sesekali ia merapatkan mantel tebalnya, karena udara di luar mencapai minus 5 derajat celcius.
"Okay, beres!" seru Kara seraya menutup pintu mobil. Tanpa menyahut Bagas mulai menjalankan mobil secara perlahan.
"Boleh nyalain musik?"
Tanya Kara sambil melirik music player canggih yang ada di dalam mobil. Bagas menggerakan kedua alisnya satu kali dengan cepat, tanda setuju.Kara memilih-milih playlist di ponselnya, mencari-cari lagu yang tepat untuk di mainkan di musim dingin seperti sekarang. Lalu pilihannya jatuh pada lagu-lagu classic era 70an.
I go out walkin' after midnightOut in the moonlight, just like we used to doI'm always walkin' after midnightSearchin' for you!Suara Patsy Cline menggema memenuhi ruang mobil, Kara ikut bernyanyi dengan manjadikan ponsel sebagai microphone nya, sementara Bagas di sebelahnya hanya melirik tak acuh. Tak habis pikir dengan kelakuan orang yang baru dikenalnya dua hari belakangan, yang lucunya akan jadi istrinya untuk dua tahun ke depan.
"Suka lagu classic?"
Tanya Bagas tanpa menoleh.Kara mengangguk riang,
"Banget! Apalagi tahun 70-80an!"Bagas manggut-manggut,
"Baguslah, paling gak ada satu kesamaan kita."Kara tertawa, membayangkan dirinya dengan bagas yang bagai Kutub Utara dan Kutub Selatan harus bersatu dalam ikatan pernikahan.
"Kamu gak punya pacar?" Tanya Kara iseng.Bagas mendengus,
"Kalau saya punya pacar ngapain repot-repot ngajak kamu nikah kontrak.""Iya sih, kalau nanti kamu jadi suka sama saya beneran gimana?""Itu sama gak mungkin nya kayak kehidupan di planet mars. Kamu bukan tipe saya.""Dih kamu juga bukan tipe saya!"Dengan kesal Kara membuka snack keripik kentang yang tadi bawanya dan byarrr ia menumpahkan setengah isinya ke atas kursi yang ia duduki.
Bagas mendengus keras,
"Serampangan dan ceroboh."Kara memunguti keripik nya satu-satu lalu langsung dimasukannya ke dalam mulut sambil sesekali melirik sebal pada Bagas yang menatapnya dengan jijik.
"Kapan kita nikahnya?"
Tanya Kara setelah ia menghabiskan sebungkus keripik kentang rasa berbeque."Lebih cepat lebih baik."
"Dimana?""I don't know, Indonesia mungkin.""Ohhhh." Sahut Kara agak kecewa.Bagas mengangkat satu alisnya,
"Kenapa?"Kara mengeluarkan kertas lecek dari dompetnya, lalu menunjukkannya pada Bagas. "Salah satu wish list saya dari dulu adalah nikah intimate di Positano Italia. Yaaa walaupun kita cuma nikah kontrak tapi kan tetap aja nikah. Bisa gak kalau dibuat di Positano aja?"Kara menatap Bagas sambil memainkan bulu matanya yang lentik alami.Bagas mengangkat bahunya,
"Yah we'll see. I'll think about it."Membuat Kara bersorak kegirangan, ia bisa membayangkan dirinya dengan baju pengantin dari Vera Wang dan sepatu dari Alexander Mcqueen berpose dihotel mewah yang berada di Positano Italia. Ahhhh. Ia akan jadi pengantin terkeren tahun ini!Perjalanan satu jam sepuluh menit ke Giethoorn Kara habiskan dengan mencatat apa saja yang akan dibelinya nanti jika ia mendapat uang bulanan dua ratus juta rupiah dari Bagas. Ia akan membeli barang-barang yang sebelumnya hanya mampu ia lihat di etalase kaca.
What To Buy After Marriage :
1. Chanel Bag new edition2. Louis Vuitton Travel Luggage Set3. Hermes Birkin4. Evening gowns Dior 5. Shoes - Alexander McqueenDan masih panjang lagi, membuat Bagas geleng-geleng kepala.
"Kamu suka banget sama duit yah?"
Tanya Bagas datar. Kara tertawa, "Who doesn't?! Kamu sama Mama kamu ngejar posisi CEO juga alasan utamanya duit kan?"Skakmat!
Bagas terdiam mati kutu, sementara Kara sibuk membuka-buka Trip Advisor mencari-cari tempat yang cocok untuk melakukan pernikahan di Positano Italia.
Setelah mengemudi kurang lebih satu jam lewat empat puluh menit akhirnya mereka sampai di desa wisata Giethoorn.
Desa wisata Giethoorn terlihat sangat berbeda pada musim dingin seperti sekarang ini. Kanal-kanal yang menghubungkan antar blok di desa tersebut tampak beku sepenuhnya. Jika biasanya orang harus mengendarai sampan atau boat untuk keliling desa, pada musim dingin seperti sekarang mereka cukup menggunakan sepatu Skate.
"Ya ampun dingin banget!"
Pekik Kara sambil menarik rapat kupluk di kepalanya. Ia sudah mengenakan sepatu skate siap untuk melakukan Ice Skating keliling Desa Giethoorn yang meskipun tertutup salju tetap terlihat indah."Ya udah jalan!"
Bagas mendorong Kara hingga Kara nyaris terpleset membuat Kara langsung mengomel panjang lebar yang hanya di sahuti dengan dengusan oleh Bagas.Desa Giethoorn tampak sepi, rumah-rumah tampak tertutup rapat karena para warga desa lebih memilih untuk tinggal di dalam rumah sambil menyalakan pemanas dan menyeruput cokelat panas atau wine enak.
Saat sedang Ice Skating keliling dan menikmati pemandangan desa Giethoorn, tiba-tiba di depan Kara ada satu lubang yang tidak tertutup es dengan sempurna. Entah karena apa.
Lalu, "Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!!!"Kara berteriak kencang saat kaki kanannya sampai ke paha, terperosok ke dalam lubang es yang airnya sangat dingin sekali. Bahkan jika Kara terlalu lama di dalam air kakinya bisa mati rasa.Bagas yang melihat Kara terperosok langsung berhenti dan menghampiri Kara dengan wajah khawatir.
"Astaga Kara! Sini pegang tangan saya!"Bagas menggenggam tangan Kara dan menariknya kuat-kuat, namun sepatu skate Kara tersangkut dengan es dan sulit untuk keluar.Bibir Kara sudah membiru kedinginan, celana bagian kanannya basah sampai paha. Bagas melihat berkeliling dan tak mendapati satu orang pun di sekitar mereka.
Ia mencoba sekali lagi menarik Kara, tapi masih belum berhasil juga. Akhirnya Bagas berjongkok, menggulung bajunya sampai siku, lalu tangannya masuk ke dalam air es yang dingin menarik kaki Kara pelan-pelan hingga sepatu skate Kara bisa melewati lubang tersebut.
Bagas meringis menahan rasa dingin di tangannya, membuat tangannya terasa kebas seketika. Dengan sigap ia menarik Kara yang sudah benar-benar kedinginan dan nyaris kehilangan kesadaran.
Di saat yang tepat, seorang bapak tua muncul dari balik pintu rumahnya. Ia berjalan tergopoh sambil membawakan sepatu untuk Bagas. Ia mengatakan dengan bahasa isyarat pada Bagas untuk mengenakan sepatu kering itu dan menggendong Kara ke dalam rumah.
Kara yang saat itu sudah kedinginan berat hanya melihat semua adegan itu dengan samar-samar.
Bagas dengan cepat berganti sepatu dan menggendong Kara ke rumah si Bapak tua yang terletak hanya beberapa meter dari kanal beku tempat Kara terperosok.
Di dalam rumah classic khas pedesaan Belanda tersebut juga hidup seorang nenek tua, yang tampaknya adalah istri dari Bapak tua tadi. Ia segera mengambilkan baju kering dan memberikannya pada Bagas, dan dengan bahasa isyarat ia mengatakan pada Bagas untuk segera mengganti celana dan baju Kara yang Basah.
Bagas menelan ludah.
Bagaimana caranya? Tapi melihat Kara yang sudah menggigil dan setengah terpejam, tanpa pikir panjang Bagas menutup pintu kamar tamu yang disediakan untuk mereka, lalu dengan mata setengah terpejam Bagas melucuti pakaian basah Kara satu persatu.Ia menghembuskan nafas keras-keras setelah berhasil mengganti seluruh pakaian Kara dan menyelimutinya dengan selimut tebal.
Astaga, saat Kara tersadar nanti ia pasti akan membunuhnya!*****
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk