Salju mulai berjatuhan dengan deras saat Kara dan Bagas selesai berkeliling di Rijksmuseum. Mereka berdiri di depan bangunan Rijksmuseum yang bergaya Neo Renaisans menunggu Uber Car datang menjemput.
"Habis dari sini rencananya kamu mau kemana?"
Tanya Bagas memecah keheningan di antara mereka."Maksudnya setelah dari Amsterdam? Hmmm rencananya mau lanjut ke Brussel! Kamu?"
Kara balik bertanya.Bagas mengalihkan pandangannya ke arah seorang anak perempuan kecil yang sedang menari-nari dibawah salju yang berjatuhan dengan anggun.
"Gak ada tujuan." Jawab Bagas singkat.Saat ia memutuskan untuk traveling ke Eropa, ia memang tidak punya itinerary khusus. Bagas pergi karena muak dengan perjodohan yang tak henti-henti dilakukan oleh Mamanya yang terlalu ketakutan jika jabatan CEO akan diserahkan Ayahnya kepada Gavin, anak dari simpanan Ayahnya dulu.
Jadi ia yang memang sudah punya Visa Schengen memutuskan untuk kabur sejenak ke Eropa. Menenangkan pikirannya.
"Oh.
Mau ikut itinerary saya?"Tawar Kara dengan senyuman manis, yang bisa dipastikan memiliki maksud tersembunyi.Bagas menaikkan satu alisnya curiga,
"Oke? Pasti ada syaratnya nih!" Tukas Bagas seperti bisa membaca pikiran Kara.Kara tersenyum manis,
"Gak ada syarat khusus sih sebenernya. Cuma kamu harus bayarin semua akomodasi dan transport saya. Itu aja." Jawab Kara kalem, ia pura-pura tidak terlalu berharap Bagas akan ikut dengannya.Bagas mendengus,
"Dasar matre!Ya udah saya ikut! Lagian kamu kan calon istri saya, wajarlah saya bayarin kamu." Sahut Bagas dengan nada sombong seperti biasa.Rasanya Kara ingin menari saat itu juga! Ia bisa menyimpan semua tabungannya dan jalan-jalan dengan gratis! Sempurna!
"Tapi ada Syaratnya!
Kamu harus mau saya suruh-suruh." Tambah Bagas datar.Kara mendengus, lalu melirik Bagas sebal.
Uber Car datang,
Kara dan Bagas bergegas masuk ke dalamnya. Kara langsung merasa nyaman karena di mobil tersedia penghangat, sejak tadi telinga dan hidungnya sudah terasa kebas.Mata Kara mulai terasa berat dan perlahan mulai terpejam. Sekejap kemudian ia sudah terkulai jatuh ke bahu Bagas yang duduk di sebelahnya. Bagas mendengus sebal, tapi membiarkan Kara tidur di bahunya.
Ia melirik menatap wajah Kara yang tertidur pulas. Dalam hati ia berharap Mamanya akan menerima Kara dengan tangan terbuka. Bagas sudah muak karena Mamanya betul-betul menjodohkannya dengan beberapa putri konglomerat. Yang artinya Bagas harus benar-benar menikah dengan mereka. Terikat.
Sementara dengan Kara, Bagas bisa dengan mudah membuat kontrak. Mereka akan menikah baik-baik dan bercerai baik-baik nantinya. Tidak akan ada yang terluka. Win Win Solutions!
Tapi masalahnya adalah, Kara adalah gadis kalangan biasa. Bukan hanya kalangan biasa, Kara juga gadis yang di bahunya tertanggung hutang ayahnya sebesar seratus milyar rupiah. Bagas harus mencari cara untuk membuat Mamanya menyukai Kara. Yang artinya harus mengubah Kara menjadi orang lain.
"Pura-pura jadi orang kaya gitu?!"
Tanya Kara, setelah Bagas menyampaikan apa yang ada dipikirannya. Saat itu mereka sedang duduk di dapur penginapan, menikmati nasi dan rendang yang dibawa Kara.Bagas mengangguk,
"Iya. Kamu bisa pura-pura jadi designer terkenal di Eropa atau apalah yang kira-kira bisa kamu kuasai materinya. Jadi kalau mama saya tanya-tanya kamu gak kelabakan."Kara tampak berpikir,
"Menurut kamu saya cocok nya jadi apa?"Tanya Kara sambil memajukan wajahnya dengan kedua tangan dipipi.Bagas menilai wajah Kara,
"Sebelum saya jawab saya mau tanya. Emang profesi kamu apa?"Kara berdehem,
"Saya penulis, cukup terkenal dikalangan terbatas." Jawab Kara dengan anggun, seolah ia memang benar-benar terkenal.Bahas mengerutkan dahinya,
"Penulis apa? Kalangan terbatas? Kamu nulis buku ekonomi politik atau apa?"Kara berdecak,
"Saya penulis novel platform online! Huh, saya lumayan terkenal loh!"Bagas tiba-tiba seperti mendapatkan sebuah ilham.
"Nah kamu bisa pura-pura jadi Ghost Writer terkenal di Amerika! Jadi kan Mama saya gak bisa search nama kamu. Ghost writer kan emang gak akan ninggalin jejak."Kara tersenyum, dia suka ide itu. Wah hidupnya akan jadi penuh tantangan dan misteri. Kara Adriana Hadinata the most wanted ghost writer in America! Mantap! Kara suka!
Setelah selesai makan Kara dan Bagas kembali ke kamar. Bagas asik menonton n*****x di laptopnya, sementara Kara sibuk membuat daftar persyaratan nikah kontrak yang akan dia ajukan kepada Bagas.
"Kar, kopi enak nih."
Tukas Bagas tanpa berpaling dari laptopnya. "Bikin sendiri!" Sahut Kara malas. "Oh, gak jadi dibayarin nih jalan-jalannya?"Ujar Bagas masih dengan menatap laptopnya.Kara meletakkan pulpen yang dipegangnya di atas meja dengan kasar,
"Iya iyaaaa saya bikinin! Huh!"Dengan kesal Kara membuka pintu kamar dan turun ke dapur, meninggalkan Bagas yang tersenyum penuh kemenangan.
Kara menyodorkan kopi panas yang baru saja dibuatnya pada Bagas yang sedang duduk di atas kursi sambil masih menonton film di n*****x.
"Kamu siapin mental ya buat baca persyaratan yang saya buat."
Ujar Kara sambil kembali menulis di atas kertas yang sudah setengah di tulisnya. Persyaratan Menikahi Kara Adriana H.1. Melunasi hutang Papa sebesar Rp. 100.000.000.000,-.
2. Tidak di perkenankan untuk melakukan sentuhan fisik, kecuali untuk menunjukkan kemesraan kepada orang lain, terbatas pada pelukan, rangkulan, gandengan tangan, kecup pipi dan kening. 3. Tidak di perkenankan untuk menjalin hubungan dengan pihak ketiga manapun selama kontrak berlangsung. Kecuali jika tidak ketahuan. 4. Wajib memberikan nafkah lahir yang berupa uang belanja setiap bulannya sebesar Rp. 200.000.000,-.5. Wajib membelikan mobil untuk transportasi dan merk mobil harus sama atau lebih bagus dari milik pihak pertama dalam hal ini Bagaskara Mahendra. 6. Tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai perjanjian kontrak nikah yang telah disepakati bersama. 7. Perjanjian nikah akan selesai tepat pada dua tahun, terhitung setelah tanggal pernikahan di sahkan. 8. Perceraian harus dilakukan dengan baik-baik, dan semua pihak wajib menjaga kerahasiaan kontrak nikah yang telah dilakukan. 9. Jika poin 1 sampai 6 dilanggar, maka pihak kedua berhak untuk membatalkan kontrak perjanjian nikah yang telah dibuat.Bagas membaca syarat yang di ajukan oleh Kara, kadang tersenyum kadang manggut-manggut.
"Nafkah sebulan cuma dua ratus juta? Gak kekecilan?"Ledek Bagas. Bahkan ia bisa menghabiskan dua ratus juta dalam satu hari.Kara buru-buru menarik kertas yang di pegang Bagas dan berniat merevisi angka nafkah yang ia inginkan. Tapi urung.
"Biarin deh. Saya kan gak matre-matre amat! Lagian saya punya penghasilan."Tukas Kara sebal."Oke, besok saya akan hubungi attorney saya di London untuk bikin kontrak resminya supaya nanti saat kunjungan ke London kita bisa langsung tanda tangan."
Ujar Bagas lalu memfoto tulisan yang Kara buat dan mengirimkannya via email kepada pengacaranya di London.Kara hanya tercengang menatap Bagas.
Bagaimana Bagas bisa punya pengacara di London? Apa dia punya bisnis disana juga?
"Besok saya mau ke Giethoorn! Main Ski! Pasti kanal-kanalnya pada beku!"
Seru Kara dengan semangat."Saya? Kita! Inget sekarang kita bukan solo traveler lagi. Tapi Duo."
Sahut Bagas sewot.Kara tersenyum kecil mendengarnya. Siapa sangka kehidupan seseorang bisa berubah banyak hanya dalam tempo dua hari saja.
*****
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per