ISTRI KEDUA AYAHKU 19PoV HUDAAku menatap Mama, menghembuskan nafas dengan keras. Aku telah tahu sejak lama bahwa Mama berambisi menguasai rumah utama Ayah ini, berikut Wijaya Group. Tapi aku tak pernah menyangka jalan yang akan Mama ambil akan sekejam ini.Tiga hari yang lalu, aku menemui Riris di penjara. Gadis itu tertawa sinis melihatku. Hubungan kami memang tak pernah melibatkan hati. Nafsu binatang yang kupelihara dan akhirnya menjadi penghancur keluargaku. Sayang, aku terlambat menyadari. Adikku sendiri yang akhirnya menjadi korban."Kau benar-benar gila!"Riris tertawa. Matanya melirik ke kiri dan kanan, memindai petugas penjara yang tengah mengawasi kami. Dia dan lelaki yang disuruhnya menodai Amira dengan kejam terancam hukuman seumur hidup. Ayah dan Kak Elisa bahkan meminta hukuman mati bagi mereka berdua. Proses pengadilan baru akan berjalan. Riris terlalu berani mengambil resiko menentang keluarga Wijaya."Kau tahu? Orang yang sakit hati tak lagi memikirkan masa depan. D
ISTRI KEDUA AYAHKU 20PoV HUDAAku menatap lelaki yang kini tampak asing di mataku. Sejak dia mengucapkan kata cerai pada Mama, terasa sekali betapa luas jurang membentang. Sejak dulu, aku memang bukan anak kebanggaan. Ayah, tak seperti Eyang, tidak pernah membedakan perlakuannya padaku dan kedua saudaraku. Bahkan aku merasa Ayah mengandalkan Kak Elisa. Tentu saja, karena aku sebagai satu satunya anak lelaki kerap membuatnya kecewa."Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan Huda. Ya. Aku memang telah menceraikan Mamamu."Aku terdiam, tak ingin membantah. Apapun yang akan Ayah lakukan tak ada lagi hak-ku ikut campur. Ibarat anak yang lahir dari seorang selir, aku tak bisa menganggap diriku jauh lebih berharga dari pada anak seorang ratu. "Tapi kau tak perlu khawatir. Apapun yang terjadi antara aku dan Mamamu, kau tetap anakku. Ayah rasa kau sudah cukup dewasa untuk menilai mana yang salah dan benar."Aku mengangguk."Aku… aku kesini bukan untuk itu. Aku tidak akan protes atau bahkan berta
ISTRI KEDUA AYAHKU 21Pesawat Lion Air rute Jakarta - Bandar lampung menyentuh landasan Bandara Radin Inten II tepat pukul enam sore. Aku memandang keluar jendela, pada jejeran mobil mobil travel dan taksi online serta orang-orang yang menjemput di luar sana. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Suasana lebih gelap dari pada seharusnya karena mendung. Anomali cuaca membuat bulan juli yang seharusnya cerah ceria kerap membawa kabar tentang hujan.Aku melangkah ke ruang tunggu dan duduk di salah satu kursinya, memesan taksi online. Aku memang sengaja tak memberitahu siapapun tentang kepulanganku kesini. Kedatangan yang tiba-tiba kadang kala diperlukan untuk melihat suatu kebenaran.Setelah menunggu sepuluh menit, taksi online yang ku pesan akhirnya tiba. Sang driver memintaku keluar dan menunggu di depan, tempat mobil melintas. Setelah mencocokkan mobil dengan keterangan yang ada di aplikasi, aku naik dan duduk dengan tenang. Aku memang tak membawa apa apa kecuali shoulder bag kecil
ISTRI KEDUA AYAHKU 22Aku menatap siaran langsung konferensi pers yang dilakukan Ayah di depan kantor utama Wijaya Group. Di sana, Ayahku tampak tegar dan berwibawa. Beliau didampingi Om Ferdi, pengacara keluarga kami. Eyang, yang duduk di kursi goyang sambil menyimak berita itu diam saja. Sesekali beliau memejamkan mata. Tadi, sebelum Ayah pergi ke kantor, kami berkumpul dan bicara. Sebuah moment yang sungguh menguras emosi dan air mata. Di hadapan Ayah, Eyang mengakui bahwa dua puluh tahun yang lalu, dialah yang menyebabkan Eyang kakung meninggal dunia. Meski tak disengaja, tapi tingkah Eyang yang memaksa dan menekan Eyang kakung membuat beliau terserang gagal jantung hingga akhirnya meninggal dunia."Antar Eyang ke kantor polisi Bagus. Biarkan Eyang menebus dosa ini."Ayah duduk terpekur, menutup wajah dengan kedua tangannya. Dan ketika beliau mengangkat tangan, matanya yang memerah itu telah menjawab betapa terlukanya hati Ayah."Aku tidak akan membawa Ibu ke polisi. Aku tidak bis
ISTRI KEDUA AYAHKU 23PoV HUDAGemetar. Takut. Sedih dan sesal. Semua perasaan itu berbaur, membuat dadaku terasa sesak. Masih kuingat mata bening yang biasanya bersinar sinar itu, sesaat tadi meredup menahan sakit. Dan yang semakin membuatku sedih adalah, rasa kecewa yang teramat besar terpancar dari sana.Kak Elisa tentu tak percaya bahwa aku dapat menyakitinya seperti itu.Aku menghentikan mobil di pinggir jalan Kampung yang lengang. Malam telah turun, gelap dan sepi. Tak mampu mengendalikan air mata yang mengalir dan membuat pemandangan menjadi buram. Kupukul kepalaku berkali-kali. Menyesali semua yang telah terjadi. Ya. Sumber masalah ini adalah aku. Aku yang menyebabkan Saskia mati. Aku juga penyebab Amira celaka. Karena Mama ingin aku menjadi satu satunya ahli waris, maka dia mencelakai keluarga Bunda. Ya Tuhan. Aku benar-benar pendosa dan pecundang!Ponselku berdering. Aku menyambarnya dengan jantung berdebar. Sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Dadaku berdebar kencang. Ap
ISTRI KEDUA AYAHKU 24PoV ELISA"Maafkan aku Kak. Maafkan aku…""Huda… kenapa kau tega melakukan ini?""Aku tak bisa membiarkan Mama ditangkap polisi. Dia memang jahat, tapi dia Mamaku Kak.""Huda, kejahatan, siapapun yang melakukannya tetap harus mendapat balasan yang setimpal. Selama ini kita telah hidup bergelimang dosa, kenapa masih kau tambah juga?"…"Huda…""Tinggalkan aku Kak. Suatu saat aku akan mempertanggung jawabkannya. Tapi saat ini tolong biarkan aku pergi.""Pulang Huda. Pulang! Kau adikku, selamanya kau adikku. Aku akan membantumu.""Maaf Kak El, aku harus pergi…""HUDA!"…Byarr!Mataku tiba-tiba saja terbuka lebar. Sosok Huda seketika lenyap. Matanya yang merah dan sendu. Tubuh yang kurus tak terurus itu menimbulkan perih yang merajam hatiku. Kenapa harus seperti ini Huda? Kenapa?Kutatap ruangan tempatku berbaring. Rumah sakit, tentu saja. Aku ingat dengan jelas bagaimana Huda berdiri gemetar di hadapanku sambil memegang tongkat baseball yang kemudian dia lempar jau
ISTRI KEDUA AYAHKU 25Seminggu telah berlalu sejak aku pulang dari rumah sakit. Selama itu juga tak ada tanda tanda kemunculan Mama maupun Huda. Mereka punya banyak uang dan bisa kabur kemana saja. Sesungguhnya, aku tak peduli pada Mama. Tapi Huda, bagaimanapun dia anak Ayah. Aku sering menyaksikan Ayah duduk termenung sambil menatap foto keluarga kami. Foto Ayah dengan dua istrinya dan ketiga anak Ayah. Foto yang pernah dimuat oleh majalah lokal di kolom profil pengusaha. Foto yang menuai pro kontra karena kehidupan poligami yang Ayah jalani.Aku tersenyum getir, teringat masa kecil kami. Dulu saat masih duduk di sekolah dasar, teman-teman kerap mencela karena aku punya dua Ibu. Apalagi Ayah menyekolahkan Huda dan Amira sama denganku. Huda bahkan satu kelas dengah Amira. Dan dia dengan senang hati menjadi perisai pelindung bagi kami."Kalian nggak tahu aja enaknya disayangi oleh dua orang Ibu." Ujar Huda.Kala itu aku cuma tersenyum. Huda tak pernah tahu, di belakang semua orang, Mam
ISTRI KEDUA AYAHKU 26POV HUDAAku duduk meringkuk menatap layar kecil televisi 24 inci yang digantung di salah satu sisi tembok. Semua acara berita tak satupun masuk ke dalam benakku. Iklan yang berseliweran, lalu berganti acara gosip, yang juga gak kutahu apa isinya. Televisi hidup hanya agar semata telingaku tak terus mendengar suaranya yang menggema. Suara penuh rasa kecewa."Setelah semua yang kulakukan untukmu, kau tega melakuan ini padaku, Huda?"Suara Kak Elisa, dan sorot matanya yang terluka itu menyiksaku.Kalau dia mau, dia tentu bisa saja bangun dan balik menghajar ku. Atau, apakah pukulan ku terlalu keras? Aku menggigil, membiarkan air mata menetes netes. Aku memang lelaki cengeng, pengecut dan pecundang. Mama mengajariku bahwa sebagai satu satunya putra keluarga Wijaya, aku berhak melakuan apa saja yang kusuka tanpa perlu memikirkan akibatnya. Tapi kini, semua yang kulakukan ternyata hanya nista.Sudah lebih dari seminggu aku menyembunyikan diri di penginapan kecil dan k