Setelah menebus segala obat Nadira kami akhirnya pulang pagi ini.Aku membawa barang-barang Nadira di bantu ayah. Ia baru datang karena urusan bisnisnya baru selesai dan sempat mengalami keritis hingga ia tak dapat menunggu Nadira kemarin."Jalan pelan-pelan saja, Nduk."Ibu menggandeng tangan Nadira bersama Zelia."Iya, Bu."Nadira melangkah dengan sangat hati-hati.Aku dan Nadira naik mobil bersama ibu dan ayah, Zelia menyetir mobil Bang Zain sendiri.Zelia hendak mampir ke toko buku mencari buku untuk keperluan kuliahnya. Ia mengambil kuliah kedokteran tak mau mengikuti aku dan Bang Zain yang memilih mengambil ilmu keagamaan. Dia bilang jika ia terlalu pintar agama ia takut menyinggung suaminya esok. Alasan yang tidak logis, tapi mampu membuat abi luluh. Padahal abi dulu bersikeras ingin mengirimnya ke Kairo.Meskipun begitu, abi mewanti-wanti Zelia dengan begitu keras bahkan aku dan Bang Zain harus ikut andil dalam mengawasinya atas perintah abi. Abi bilang anak perempuan jika sat
Selama kehamilan Nadira yang keempat ini aku selalu menemaninya. Aku tak pernah meninggalkannya. Terkadang aku membawanya ke pesantren Bang Zain untuk membuat konten YouTubeku bersama Bang Zain jika ia tak sibuk di restorannya. Ia hanya mengecek di restoran karena memang sudah ada yang menghandlenya.Umi dan ibu juga bergantian datang ke rumah melihat keadaan Nadira. Kami tak ingin anakku yang akan lahir ini mengalami nasib serupa seperti kakak-kakaknya.Malam ini terasa dingin, Nadira sudah terlelap dengan perut buncitnya yang sudah membesar. Kuusap perutnya dan membacakan doa, meminta kepada sang pemberi hidup agar bayi kami baik-baik saja. Tiba-tiba Nadira terbangun dan memegang perutnya sambil medesis seperti menahan sakit."Bang, perutku sakit sekali," lirihnya. "Ayo ke rumah sakit, Dik." Aku menuntunnya menuruni tangga. Tak tega melihat ia menahan sakit. Aku segera mengeluarkan mobil dan kembali menuntun Nadira masuk ke mobil.Kulajukan dengan bismillah menuju rumah sakit terde
Bang Zain mengajakku duduk lebih dulu di depan ruang rawat Nadira."Tenangkan dulu dirimu. Ada apa, Zafran? Katakan, apa sesuatu terjadi pada anakmu?"Aku menundukkan kepala, mengusap kasar wajahku. Air mata jatuh di pipi."Dokter bilang anakku mengalami Albinisme, dan kemungkinan besar karena perkawinan sedarah," ucapku lirih."Apa!Bang Zain menggelengkan kepalanya."Apa Nadira anak kandung Ayah dan Ibu?"tanya Bang Zain penuh penekanan. Ia tak sabar menunggu jawabanku. Aku menatapnya penuh tanda tanya besar. Tentu saja Nadira anak kandung ibu dan ayah."Tentu saja, Bang. Bagaimana bisa tidak. Ayah tak pernah membahas itu, tapi tunggu—."Aku mengingat kembali saat kami melakukan ijab kabul, ayah hanya menggunakan nama belakangnya 'Abdilah' ia tak ingin aku menyebut nama lengkapnya."Kenapa? Apa kamu ingat sesuatu?"tanya Bang Zain penasaran."Abang ingat saat aku mengucapkan ijab, Ayah menantangku dengan keras menyebut nama lengkapnya dan hanya menggunakan bin Abdillah.""Astaga, Ba
Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Bagai dibidik ribuan timah panas di dadaku. Sakit dan sangat sakit.Bagaimana aku bisa menjalin bahtera rumah tangga yang kuharapkan mendapatkan surga sebagai balasannya. Namun, justru dosa yang kutimbun di balik rumah tanggaku."Argh!" aku berteriak mengeluarkan semua yang tertahan dalam hatiku. Kusandarkan kepala di setir mobil dan menangis dengan keras. Biarlah orang akan memandangku heran.Berat aku meninggalkan Nadira. Wanita yang sangat aku cintai. Jika ada pilihan selain berpisah dengan Nadira aku lebih memilihnya.Kutatap foto di dasbor, fotoku bersama Nadira dan juga Farhan mereka tersenyum manis."Haruskah aku meninggalkanmu?" ucapku lirih. Air mata terus membasahi pipi. Aku ingin berjuang tetapi bagaimana bisa aku memperjuangkan orang yang haram untuk kumiliki?Dengan cara apa aku harus menghapus rasa cintaku kepada Nadira?Aku kembali melajukan mobil menuju istanaku bersama Nadira, tempat kami selalu memadu kasih bersama.Menapa
LIMA TAHUN KEMUDIANKupandangi potret Hanum dan Najwa yang terbingkai besar di ruang keluarga.Senyum keduanya membuat hatiku terasa tentram. Memang benar jika kita sudah mempunyai cucu, mereka akan mengambil hati kita dari kedua orang tuanya.Zelia menggandeng gadis berusia lima tahun itu menghampiriku. Gadis kecil dengan balutan gamis pink dan hijab senada membuatnya begitu terlihat cantik. Mata biru dan hidung mancung ia terlihat begitu sempurna. Hanya saja ia tak seperti yang lainnya. Kulit putih pucat yang harus ia sembunyikan sejak kecil dari matahari memberikan kecacatan dari sebuah kesempurnaan.Setiap tiga bulan kami harus mengontrol perkembangan Hanum. Beruntung tak ada penyakit lain dalam tubuhnya, hanya penyakit kulit sesekali menyerangnya."Oma?"Ia memelukku dengan erat membawa setangkai bunga untuku."Makasih, Sayang."Ia mencium pipiku berkali-kali. "Umi di belikan banyak bunga oleh Abi Erzhan, Hanum dapat satu dan itu buat Oma saja. Malas sekali, masa Hanum cuma di k
Hari ini kami akan berangkat ke pulau Sumatera. Segalanya sudah dipersiapkan. Kami tertawa bahagia. Semua anggota keluarga ikut bersama kami termasuk Erzhan.Aku sudah tidak sabar untuk bertemu anakku Zafran. Setelah penerbangan dari Jakarta ke Sumatra yang memakan waktu hampir dua jam kami kini telah menginjakkan kaki di Padang.Tanpa menunggu lama kami menuju alamat yang telah dikirimkan oleh Zafran. Hamparan pantai terbentang luas. Kuhirup napas dalam-dalam. Menatap takjub lautan ciptaan yang maha kuasa. Anak-anak tak henti-hentinya memuji keindahan alam yang ada di depan kita.Air mata menetes, sebentar lagi aku akan berkumpul dengan anakku dan lengkaplah keluarga kami."Nanti kita main ke pantai dulu, ya? Kan, lumayan bisa sekalian liburan."ucap Zelia dengan senyum lebar mengembang.Ah, tentramnya melihat kebahagiaan anak cucuku.Bang Fatur memberikan alamat yang dikirim Zafran kepada supir.Gapura desa pariangan menjadi penyambut kami yang paling utama. Sejauh mata memandang h
ZAFRAN POVLima tahun silam aku bertahan dalam asa dan rasa. Memandangi gunung yang di kelilingi pohon begitu rimbun, embun pagi membelai pipi. Menahan setiap gejolak rindu yang bersarang di hati sebesar gunung merapi yang berdiri kokoh.Entah di mana kini aku berada. Kemarin kubaca tanda penunjuk arah masih di Bangka Belitung mentap matahari terbit di pantai dengan banyak bebatuan dan entah bagaimana aku bisa berada di desa yang begitu indah ini.Aku hanya terus menjalankan mobil ke mana jalan membawa. Semalaman aku hanya menatap gunung yang berdiri dengan gagah. Memandangi sekeliling, jauh mata memandang hamparan padi terbentang luas. Rumah-rumah warga dengan bentuk panggung, aku mulai menyadari telah sampai di Padang, ranah Minang dengan berbagai pesonanya. Susunan rumah warga yang bertingkat dengan jejeran yang sangat rapi. Ah, indah sekali.Aku turun dari mobil membentang kedua tangan dan berteriak dengan kencang. Aku tak peduli jika ada pasang mata yang menatap heran.Aku menang
Alarm pada ponsel berbunyi. Aku segera meraihnya dan mematikannya. Suara murotal Qur'an sudah ramai. Beranjak mengambil air wudhu hendak melakukan kewajiban dua rakaat.Setelah selesai melakukan ibadah aku kembali duduk di pinggir dipan. Mengambil ponsel yang tergeletak sekedar melihat wajah Nadira yang ada pada layar telepon.Dalam hati ingin sekali mendengar suaranya membangunkanku dengan kecupan lembut dan panggilan tersayangnya yang sedikit manja. Ah, manis sekali jika mengingat masa-masa indah itu.Aku kembali meletakan ponsel dan bersiap hendak keluar. Bagaimanapun aku harus melanjutkan hidup. Tak mungkin terus terdiam sementara aku dengan sadar meminta hunian kepada orang asing.Cahaya matahari sudah mulai menampakkan wajahnya di dataran yang begitu indah ini. Bunga-bunga bermekaran di pinggir jalan, kicauan burung menjandi penyambut pagi hari.Kuketuk pintu kayu milik Pak Somad dan mengucap salam, jawaban salam langsung terdengar dari dalam.Pak Somad keluar sudah memakai capi