Home / Rumah Tangga / ISTRI vs MANTAN / 1. Mantan Istri Minta Balikan

Share

1. Mantan Istri Minta Balikan

Author: Kafom Rona
last update Last Updated: 2023-11-09 08:47:21

Jika engkau mampu mengetahui isi hati seseorang melalui tatap mata dan ekspresi wajahnya, lalu kemana saja dirimu selama dua tahun ini bersamaku?

*****

"Aku pengin memperbaiki hubungan kembali, Mas? Kita sebaiknya rujuk saja."

Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan Mas Reza dengan Mbak Rita --mantan istrinya-- ketika Caca, putri mereka meminta diantar ke kantor ayahnya.

Belum sempat mendengar jawaban Mas Reza, Caca menarik lenganku. Gadis cilik berusia enam tahun itu, begitu semangat ingin menunjukkan hasil kerja sekolah pada sang ayah.

"Eh, ada Mamah, rupanya," ucap Caca setelah memberi salam. Mencium punggung tangan Mbak Rita, dibalas pelukan dan ciuman dari wanita berpakain formal nan modis itu.

Caca berpindah ke Mas Reza, menyalami dan bergelayut manja lalu mengeluarkan sebuah buku gambar dari tas sekolah. Mas Reza memberi apresiasi, Mbak Rita ikut menambahkan pujian. Sesekali tertawa bersama.

Aku duduk di sofa terpisah, memperhatikan serta ikut terseyum. Ada desiran aneh di hati menjalar, mengingat perkataan Mbak Rita sebelum masuk.

Apalagi melihat mereka seperti ini, hati terasa ngilu. Nampak seperti keluarga utuh di mataku.

Ah, siapa, sih, aku? Pengharapan ini tak boleh banyak apalagi sampai lebih. Mas Reza menikahiku bukan keinginan dirinya. Melainkan Oma dan Caca yang meminta.

*

"Zahra, Caca demam, ia terus mencarimu. Datanglah di rumah sekarang." telepon Oma di seberang.

Sebagai karyawan paruh waktu, segera meminta izin kepada pemilik laundry tempatku bekerja. Cemas, kulajukan motor matic yang mulai pudar warnanya menuju rumah Caca di atas rata-rata.

Salsabila Putri, dipanggil Caca, berumur empat tahun. Oma --ibu Mas Reza--ingin cucunya lebih dini mengetahui baca tulis Al-Qur'an, sebelum pelajaran-pelajaran lainnya antri untuk diketahui. Pendapat yang bagus menurutku pada era modern sekarang ini.

Berbekal alumni sekolah agama, tiga kali sepekan sepulang kerja, aku privat ke rumahnya setelah waktu Asar. Tiga hari pula, mengajar TPA di masjid dekat kontrakanku.

Caca anak pintar, cepat memahami materi Iqra' yang kuajarkan. Hampir sebulan berinteraksi, membuat kami dekat, mungkin sejak bayi ia tak pernah merasakan kasih sayang dari ibu kandung. Dan aku terbiasa menjaga adik-adik waktu kecil, membuat kami cepat akrab.

Menurut cerita Oma, ibunya pergi dua bulan setelah ia lahir. Mengejar karir, menikah dengan seorang pengusaha kaya.

Waktu Caca berumur satu tahun. Ayahnnya --Mas Reza-- menikahi seorang gadis. Alasan belum pengalaman mengurus anak, istri meminta cerai pada usia tujuh bulan kebersamaan mereka.

Mas Reza kembali menikahi seorang janda beranak satu, di usia Caca dua tahun. Sayang, itupun hanya bertahan sepuluh bulan. Alasannya pun hampir sama, anak-anak tak sepaham.

Getir Oma bercerita pada saat itu ketika aku selesai mengajar Caca.

Caca langsung bangun memeluk saat aku masuk ke kamar, seorang pria maskulin duduk di sisi tempat tidur yang kuperkirakan ayahnya. Ini pertama kali melihat langsung sosok di bingkai foto ruang tamu rumah megah itu. Selama ini selalu keluar kota tugas kantor

"Bunda, suapin buburnya, ya, sayang?' Caca mengangguk bersamaan mulut terbuka.

Merasa sudah cukup makanan masuk ke perut Caca, kuminumkan paracetamol sirup di atas nakas samping tempat tidurnya. Selang beberapa menit, Ia terlelap dalam gendonganku.

*

"Bunda ... Bunda ..." Suara Caca menyadarkanku dari lintasan waktu dua tahun lalu, mereka semua menatap kearahku.

"Kenapa, sayang? Tadi bunda nggak dengar," ucapku mencubit gemes pipinya.

"Mamah ngajakin kita makan di restoran. Bunda, ikut, ya?" ajak Caca bergelayut manja. Aku menariknya naik ke pangkuan

"Iyya, Zahrah. Aku menang tender hari ini sekalian juga rayain keberhasilan Caca dapet nilai bagus. Kita makan-makan, yuk!"

Mbak Rita mengulas senyum manis, tangannya membelai rambut Caca, sedang Mas Reza berdiri meletakkan map ke meja kerjanya.

"Maaf, Mbak. Bukannya enggak mau, terlanjur janji sama Raina --adikku-- ada pemeliharaan mesin hari ini di rumah loundry," ucapku memasang wajah menyesal.

Sebenarnya Raina bisa mengurus semua itu, tapi aku menjadikannya alasan. Serasa tak sanggup melihat kebersamaan Mas Reza dengan mantannya. Seperti ada yang teremas di balik dada. Perih.

Caca memonyongkan mulut tanda tak setuju. Kulirik Mas Reza menatapku lama di balik meja kerjanya.

"Insya Allah. Lain kali, bunda ikut." Aku menaikkan jari telunjuk dan jari tengah sebagai tanda.kesungguhan pada Caca.

Setelah lama membujuk Caca. Akhirnya bersedia ikut juga tanpaku. Maafkan bunda Nak, aku ingin melindungi rasa tulus ini dengan cara tak melihat moment-moment ayahmu dengan mantannya.

Kami berpisah di persimpangan, arah tujuan berbeda. Aku mengendarai mobi sendiri, hadiah Mas Reza di ulang tahun pernikahan pertama. Pun Mas Reza membelikan sebuah rumah di tengah kota yang akhirnya kujadikan rumah laundry.

Tidak cukup satu tahun, rumah laundy ini berkembang pesat. Sebahagian hasilnnya merenovasi rumah orang tua di kampung dan sekolah saudara-saudariku. Kedua adikku yang sementara kuliah sebagai pengelola, aku tinggal memantau saja.

Mas Reza suami baik, pekerja keras, dewasa, lembut, rupawan, dan ... hanya satu kekurangannya. Kami bukan keluarga intim seperti keluarga lain. Dua tahun bersama ia tak pernah menyentuhku. Kami tidur di kamar masing-masing.

Awalnya aku maklumi. Pernikahan ini memang terjadi murni karena Caca. Tapi, setelah kepindahan Mbak Rita di kantor Mas Reza lima bulan lalu, kekhawatiran menguasaiku. Apalagi dengar-dengar suaminya sudah meninggal.

Aku berusaha berbaik sangka. Meyakinkan diri, pekerjaanlah mereka intens bertemu. Namun, kalimat tadi siang dari mulut Mbak Rita langsung. Seketika, keyakinan itu terbantahkan. Serasa ada yang menusuk-nusuk benda lunak di dalam dada. Sakit tapi tak berdarah.

"Bunda, lusa kan libur? Kita pergi jalan-jalan, yuk" ajak Caca di meja makan malam sambil memainkan sendok melihat kearahku.

"Maafkan, bunda, Sayang. Bunda, mau kerumah nenek besok" Jawabku pelan. Mas Reza mengernyit menatap heran. Tidak biasanya tak berdiskusi dengannya terlebih dahulu.

"Horee, Caca, ikut!"

"Bunda, berangkat sendiri, Sayang, Caca sama ayah saja, Ya? lagian, Caca, kan, tadi siang udah jalan- jalan sama mamah." Aku mengelus rambutnya. Mas Reza menatapku lamat, pelan ia mengunyah makanannya.

"Bunda, sekarang nggak sayang lagi sama Caca." Gadis kecil itu berlari meninggalkan makanannya yang belum habis. Aku mengikuti menuju kamar.

Lama membujuk, akhirnya ia tertidur setelah aku berjanji untuk membatalkan keberangkatan.

Pelan keluar dan menutup kamar Caca. Bermaksud membenahi bekas makan.

Kaget. nampak Mas Reza di dapur, duduk di meja makan memegang HP-nya. Kulihat meja sudah rapi, piring dan bekas memasakku tadi sudah bersih semua. Tidak biasanya.

Duduk di kursi, aku mengambil minum. Terasa air pahit lewat tenggorokan. Bayangan percakapan mereka tadi siang tak henti berputar di kepalaku, seperti kaset yang direview terus. Lemah rasanya membayangkan kemungkinan akan terjadi.

"Sepertinya akhir-akhir ini kamu ada masalah?" tanya Mas Reza lembut dengan tatapan sama.

Sedikit kaget pertanyaannya. Selama ini kami hanya membahas masalah Caca, londry, Oma, dan bapak-ibu. Hampir tak pernah bicara masalah hati.

"Aku hanya rindu aja, Mas sama ibu." Kuberanikan diri membalas tatapnya, jantungku terasa berpacu, mengingat kami tak pernah saling menatap lama.

Ia menelisik setiap inci wajahku dengan netra, kupastikan mencari kebenaran dari ucapan yang melewati gendang telinganya.

"Bukankah dua pekan lalu, bapak-ibu baru pulang, mereka nginap lima hari. Kok tiba-tiba rindu lagi, ya?" Dia mengingatkanku dengan bahasa candaan, intonasi tetap lembut.

"Mas ...! Selain karena rindu ma bapak-ibu, aku juga rindu suasana kampung halaman." Mudahan-mudahan jawabanku membuatnya percaya dari alasan sebenarnya.

"Bukan karena menghindari sesuatu?" Netranya menyelidik.

"Bukan," jawabku singkat.

"Tapi aku tak menemukan koneksi antara ucapan dengan matamu." Lekat, bola matanya memindai wajahku.

Dahiku terlipat, menantang matanya. Aku tersulut, kalimat terakhir sukses membuat hatiku merontah. Bukan karena dugaannya sudah benar. Tapi.... sekuat tenaga kutahan air mata tak tumpah.

Kalau memang, Mas, tahu hati seseorang melalui mata? Kenapa nggak tahu, kalau aku nenyimpan rasa untukmu? Kenapa engkau tak tahu, kalau aku mencemburuimu? Kenapa engkau tak tahu ,kalau aku mau dibutuhkan bukan sebagai ibu Caca saja? Tapi sebagai istrimu juga? Kenapa... Ah sudahlah! Semua kalimat itu hanya kusimpan di hati saja, tak sanggup merangkainya lewat bibir

"Maaf, Mas, aku mengantuk"' Kuputuskan mengakhiri obrolan. Takut pertahanan ini lemah di hadapannya.

Aku berlalu tanpa menunggu persetujuan, samar suaranya memanggil. Dia pasti heran dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba.

Air mata yang sedari tertahan kini bebas mengalir di kamar. Kubekap mulut dengan bantal berharap Caca dan Mas Reza tak mendengar.

-----

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI vs MANTAN   46. Extra Part (Tamat)

    POV CacaIni libur kedua setelah setahun berlalu. Selain kangen dengan adik Rizal, juga acara pernikahan Om Reno -adik kedua bunda Zahrah- memaksaku pulang. Ada gelenyar entah saat menjejaki kota penuh kenangan. Rindu ini telah lama membebat, tapi ragu dan takut begitu menguasai.Maafkanlah wanita lemah ini, jika masih butuh waktu lama mengistirahatkan kelelahan."Mbak Caca ..." Teriakan Rizal menyambut saat aku turun dari kendaraan terakhir."Diantar sama bunda, kan?" ujarku menggenggam tangannya. Sengaja bertanya demikian, khawatir saja kalau Om Danar yang muncul seperti dulu. Huft ... entah kenapa dia dan kota ini tak bisa terpisahkan di pikiranku."Tu ...!" Tangan mungil Rizal menunjuk tante Raina yang melambai ke arah kami. Ada Om Angga melakukan hal sama di belakangnya. Ck! Ngapain pria tengil itu ikut?"Aku di rumah Oma nginapnya ya?!" Om Angga langsung menaikkan jari tanda setuju. Sementara adik Rizal tak henti berceloteh sambil mengunyah. Makanan anak ini sefavoritku, doyan

  • ISTRI vs MANTAN   45. POV Caca, Teramat Lelah

    POV Caca"Oma harus tahu soal ini, Ca." Suara Om Angga membuatku berpaling dari suara roda empat Om Danar yang semakin mengecil.Sejak kapan lelaki ini di situ? Apa dia melihat derasnya air mataku yang seketika tumpah melihat Om Danar berlalu? Huf .... Di balik kata ikhlas itu, selalu saja ada genangan yang menyelingnya."Belum saatnya, Om. Kalau waktu dan tempat memungkinkan, aku akan cerita, kok," ujarku memohon pengertian. Dari ekspresi Om Angga yang serius, aku yakin dia mengetahui jelas persoalanku. Berarti sejak tadi dia mengawasi di situ. Tak salah lagi."Bagaimana jika Oma tahu dari orang lain yang pasti cerita akan mengalami penambahan dan kekurangan?" desaknya mengikutiku."Aku belum siap bercerita sekarang, Om," kataku menunjuk bagasi mobil. Oma selalu membawa aneka macam oleh-oleh bila datang. Yang bisa dimakan satu kamar.Lalu dengan cekatan aku menurunkan lima kantong plastik berukuran besar, Isinya sudah bisa ditebak, makanan dan minuman ringan. "Sebelum terlambat me

  • ISTRI vs MANTAN   44. POV Caca, Aku Mundur

    POV CacaGegas aku menarik lengan Oma ke kamar, khawatir sekali rasanya jika persoalan ini sampai di telinga beliau.Andai pernikahan dadakan itu tak berperkara, kupastikan akan menceritakan ke Oma penuh rasa bangga, lalu meminta restu, kemudian memproklamirkan dengan mengadakan pesta meriah, mengundang sanak saudara, teman, tetangga, anak yatim, de el el. Ini? Sepertinya hayalanku melewati langit ke tujuh. Untung saat kembali, masih ingat jalan pulang. Bagai memukul air, tapi terpercik di muka sendiri. Itulah penggambaran diri sekarang. Jadi, dengan menghayal aku membereskan masalah. Huft .... Semoga otakku masih stay di posisinya. "Kapan datang, Hauroh?" sapa Tasnim yang sedang memegang sapu. Itu resiko sebagai anak pengelola pondok."Baru saja, Nim. Oh, ya, Oma datang. Kamu temani dulu ya, Say," ujarku mengedipkan mata. Tasnim yang sudah biasa melihat ekspresi begitu, mengangguk dan mempersilakan Oma. Mereka sudah akrab, karena seringnya bertemu saat Oma menjenguk."Caca mau min

  • ISTRI vs MANTAN   43. POV Caca, Diamnya Om Danar

    POV CacaMeski telah menguatkan hati, tetap saja denyut jantung berdetak lebih, sesampai di rumah Om Danar. Perkiraanku orang-orang semalam masih stand by menunggu tuk memberi hukuman, tapi .... sepertinya aman, tak ada alas kaki yang berjejer. Aku celingak-celinguk kanan-kiri memastikan, pun memasang telinga untuk mendengar suara dari dalam. Alhamdulillah, benar-benar sepi seperti biasa. "Terima kasih Ya, Allah." Tak sadar tangan mengusap dada, merasa aman dari perkiraan sebelumnya.Aku meletakkan bokong di kursi teras saat Om Danar melewati pintu. Ini pilihan paling tepat menurutku, karena lelaki yang masih bergelar suamiku itu telah berubah 180 derajat. Jangankan meminta masuk dengan wajah penuh harap seperti biasa, mengajak bicara saja dia seperti enggan. Huft, walau tahu hubungan kini sangat rentan, yang bak telur di ujung tombak, tak memungkiri dalam hati yang terdalam aku menginginkan keajaiban. Salahkah aku masih mengharap setitik hujan di tengah kemarau? Salahkah diri me

  • ISTRI vs MANTAN   43. POV caca, Tersibaknya Dosa Masa Kelamku

    POV CacaAku bolak-balik bak setrikaan mendengar suara ribut di luar. Berbagai reaksi dan tanggapan menjurus ke aku, dan tentu saja celaan lebih banyak. Itu baru satu kalimat Mimi Bianca, belum dua, tiga, empat ... Huft, beginilah jika melakukan dosa. Selain mendapat azab, hati juga tak tenang.Maka sangat benar yang disampaikan para alim ulama. "Hindari maksiat, karena itu perbuatan yang merugikan diri sendiri. Sesungguhnya Allah tak pernah menghukum hambanya, selain dari perbuatan dosa hamba itu sendiri."Ah, manusia memang terkadang dzolim pada diri sendiri. Namun, ajaibnya selalu merasa lurus dan memaksa benar dengan memakai logika tak berdasar. Aku rasa pernah di posisi itu saat belum belajar agama. Aku memutuskan keluar dan bergabung. Entah mau melakukan klarifikasi, pembelaan, atau berdebat dengan Mimi Bianca, aku juga tak tahu mau ngapain. Yang pasti tak harus sembunyi seperti kucing dibawa kolam meja setelah mencuri ikan kan? Apa, sih, yang kupikir, sepertinya keruwetan mas

  • ISTRI vs MANTAN   42. POV Caca, Sidang

    POV CacaAku berlari ke sana-ke mari mencari jilbab yang dilepas Om Danar. Perasaan diletakkan tak jauh darinya. Kenapa nggak ada? Inilah efek panik yang mengakibatkan otak tidak fokus."Om simpan di mana jilbabku?" kataku menarik lengan Om Danar untuk membantu. "Tu!" tunjuknya tanpa merasa bersalah. Dia kemudian melangkah ke pintu seusai aku memakai kerudung dan cadar."Bapak menunggu di luar. Apa yang kau lakukan Danna, tidak bisakah kau menunggu sampai selesai semua prosesi .... Arght! Aku tak tahu apa yang kau pikirkan sekarang." Selepas berucap, Bu Maya membalik badan ke arah ruang tamu. Sementara aku yang bisanya berlindung di balik punggung Om Danar, merasakan ujung dan kaki seakan kompak dingin.Dalam keadaan nyata-nyata benar saja, semua orang pasti akan merasakan panik sepertiku jika di posisi seperti digerebek. Apalagi kami yang hanya menikah tanpa persaksian orang banyak. Tunggu! Sepertinya Om Danar tak ngaruh. Dia malah menyugar rambut lalu memperbaiki gulungan bajunya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status