LOGINRumah tangga yang sudah pernah ternoda oleh sebuah pengkhianatan membuatku tidak pernah tenang menjalani hari. Kepercayaanku pada suamiku luntur perlahan bahkan nyaris tak tersisa. Cinta dan kasih sayang sudah berubah maknanya bagi kami. Salah paham, salah bersikap yang berulang kali terjadi membuat rumah terasa dingin. Satu demi satu peristiwa membuatku yakin ada sesuatu terjadi. Beberapa kali dugaanku memang meleset tapi semakin membuatku bersemangat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya ini? Mungkinkah suamiku kembali berkhianat? Dengan orang yang sama atau dengan siapa? Kalau benar suamiku berkhianat lagi apa aku harus terus bertahan atau bersiap melakukan serangan balik?
View More“Kemarin Mas Tris sendiri yang bilang kalau bulan ini sepi, uang yang ada tinggal buat modal sama ongkos jalan, terus kenapa tiba-tiba ada amplop itu. Itu uang dari mana Mas?”
“Uang dari mana katamu? Pertanyaan macam apa itu? Aku tiap pagi berangkat dari rumah itu menurut kamu aku ke mana? Nongkrong? Touring?” Nada bicara suamiku sedikit meninggi walaupun dia sedang asyik megepulkan asap rokoknya dan tangannya sibuk dengan handphone. “Mas, lima juta itu bukan uang yang sedikit Mas.” “Terus kenapa? Masih kurang?” “Mas, sudah dua tahun ini Mas mengerjakan semuanya sendirian tanpa pembantu, etalase dan rak banyak yang kosong karena utang kita pada supplier menumpuk. Belum lagi utang kita di luar sana, sudah berapa banyak utang kita yang sudah lunas Mas? Satu lagi, coba tolong ingat baik-baik berapa banyak yang selama ini Mas bisa berikan untuk kebutuhan keluarga kita? Sekarang Mas bawa amplop dengan uang sebanyak ini, bukankah sudah sewajarnya aku bertanya uang ini dari mana?” “Sudahlah Tari, aku capek kalau kamu mulai curiga nggak jelas seperti ini.” “Mas tahu kan kenapa aku bersikap seperti ini?” Aku menatap tajam suamiku yang duduk di depanku, lalu aku melirik ke arah amplop berisi uang yang tergeletak di meja. Mas Tris bergeser dari duduknya dan maju mendekati meja, dia lalu menekan puntung rokok terakhirnya ke asbak. “Kamu itu mau apa sebenarnya?” “Selama ini yang aku pegang kata-katamu Mas, aku pegang janjimu dan aku harap Mas tidak akan lupa itu selamanya.” “Kemarin kamu nangis minta duit, sekarang aku sudah bawa duit. Ini sudah di depan kamu loh tapi kamu malah banyak omong. Kenapa jadi nyambungnya ke janji? Kamu mau ungkit-ungkit lagi kejadian yang sudah bertahun-tahun lalu itu? Salah sambung kamu.” “Semua berawal dari uang kan Mas tapi jangan sampai karena saking terdesaknya lalu mencari dengan cara haram.” “Kamu jangan asal menuduh Tari, jangan ngomong sembarangan!” “Aku tidak bermaksud menuduh hanya mencoba mengingatkan, hampir tujuh belas tahun aku menjadi istrimu dan tentu aku sangat paham semua tentang kamu Mas. Pekerjaan sampingan apa yang Mas kerjakan sampai menghasilkan uang begitu banyak dalam waktu singkat padahal setiap pulang dari toko Mas selalu mengeluh kecapaian?” “Apa setiap detik, setiap menit aku harus laporan sama kamu? Yang penting sekarang aku bawa duit, kamu atur itu, selesai, titik. Kenapa malah membuat pertanyaan konyol seperti itu?” Mas Tris membentakku. “Bukan sekali dua kali kamu bohong Mas, tapi Mas nggak pernah ambil pelajaran, hasil kerja keras sendiri walaupun sedikit itu lebih baik daripada minta-minta sama orang lain.” “Siapa yang minta? Siapa yang minta hah? Aku tanya sekali lagi sama kamu, siapa yang minta? Mana buktinya aku minta? Mana? Dikasih duit bukannya terima kasih, malah ngomong ngawur, nuduh suami, fitnah suami. Jangan mentang-mentang karena kamu bisa kerja lalu kamu bisa merasa bebas menginjak harga diriku sebagai suami kamu. Aku masih pemimpin di rumah ini, jangan macam-macam kamu!” “Bukti? Harus selalu ada bukti ya menurutmu Mas? Dulu, apakah ada yang aku bawa untuk membuktikan kalau uang yang kamu berikan untuk istri dan anak kamu itu bukan dari kerja keras kamu tapi dari pemberian istri siri kamu yang kaya?” “Oh… jadi kamu sekarang malah menuduh aku minta-minta duit sama dia? Begitu maksud kamu? Pergi sana, tanya sana, tanya sama orang itu aku minta duit sama dia atau nggak, tanya sana!” Mas Tris langsung bangun dari duduknya saat aku mulai mengungkit masa lalu, wajahnya memerah saat bicara. “Terserah bagaimana Mas memahami kata-kataku, kalau memang itu bukan pemberian lalu Mas pinjam uang siapa lagi? Apa masih kurang utang-utang kamu Mas sampai istrimu ini malu ketemu orang-orang. Kenapa Mas susah sekali untuk bicara jujur? Mas tinggal jawab itu uang pinjaman atau pemberian orang lain, sudah selesai urusan.” Mataku mulai terasa panas, sudah mulai berkaca-kaca tapi aku masih menahan diri agar tidak sampai menangis. “Jawaban apa pun yang keluar dari mulutku tidak akan pernah kamu percaya. Kamu tahu karena apa? Karena hati kamu kotor, busuk!” Suara Mas Tris begitu keras, aku melihat dia mengepalkan tangannya, mungkin saking marah dan jengkelnya dia padaku. Mas Tris lalu bergegas menuju pintu keluar, meninggalkanku yang hanya bisa diam dan menangis mendengar kata-katanya. Aku tahu persis seperti apa suamiku, uang yang ada di dalam amplop itu tidak mungkin berasal dari keringatnya. Sejak muda Mas Tris memang pemalas, dia tidak mau bekerja terlalu berat, dia juga tidak mau berpikir terlalu keras. Toko yang dari awal menjadi sandaran hidup kami adalah satu-satunya warisan dari orang tua Mas Tris yang masih tersisa. Mereka membangun sebuah toko untuk Mas Tris supaya dia bisa mulai belajar bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan keluarganya tapi ternyata tidak seperti yang diharapkan. Saat kedua mertuaku meninggal bersamaan karena kecelakaan, keadaan menjadi kacau dan berakibat pada rumah tanggaku. Ketergantungan Mas Tris pada orang tuanya membuatnya tidak bisa mengambil langkah yang benar karena dia seperti tidak mengerti apa pun. Mas Tris sering mengambil jalan pintas untuk mengatasi berbagai masalah dalam rumah tangga kami selama ini. Puncaknya saat keadaan ekonomi kami terpuruk karena toko hampir bangkrut, Mas Tris malah pergi dengan alasan mencari pekerjaan tapi kenyataan yang aku dapat adalah dia menikah siri dengan seorang wanita kaya. Kenyataan pahit yang sampai saat ini selalu menghantuiku, membuatku selalu punya pertanyaan atas apa pun yang dilakukan suamiku. Suara pintu berderit membangunkanku yang tertidur dalam posisi duduk di kursi tamu karena menunggu Mas Tris. Aku langsung berdiri sesaat setelah melihat Mas Tris mengunci pintu. “Mas, Mas… apa mau dibuatkan ...” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Mas Tris langsung masuk ke dalam menuju kamar tanpa peduli padaku. Aku tidak berani menyusulnya yang masih dalam keadaan marah karena takut kami malah jadi bertengkar lagi. Sudah cukup banyak yang didengar anak-anak dari perdebatan kami dan aku tidak mau menambah kekhawatiran mereka. Aku kembali menyandarkan tubuhku di kursi, melihat ke arah jam dinding, jam empat pagi, sudah hampir subuh. Aku mengusap wajahku beberapa kali lalu berdiri tapi kemudian terdiam sebentar saat menyadari sesuatu, hidungku mencium aroma wangi yang segar saat Mas Tris lewat tadi. Aku kenal betul, ini wangi sabun dan sampo kesukaan Mas Tris tapi kapan dia mandi, dia kan baru saja pulang. Dia pulang dari mana dengan tubuh wangi seperti itu?“Berani-beraninya mulut kamu yang kotor itu berulang kali menyebut namaku! Berani-beraninya kamu bicara denganku, perempuan tua tidak tahu diri! Penipu!!!”“Tari….”“Aku bilang diam! Tidak ada gunanya kamu bicara sekarang karena tidak akan ada satu kata pun yang akan aku percaya!!”“Tari tolong dengar dulu sebentar saja Tari, apa pun yang mau kamu katakan aku terima, tapi tolong beri aku waktu untuk menjelaskan dulu.”“Apa kamu bilang? Menjelaskan? Semua sudah sejelas ini masih ada yang mau dijelaskan? Apa lagi yang mau dijelaskan hah? Tentang kisah cinta kalian di belakangku? Begitu? Najis! Haram!!”“Tari, aku dan Trisno sudah sama-sama berusaha agar tidak sampai terjadi hal seperti ini tapi ….”“Omong kosong macam apa yang kamu katakan hah?!”“Tari, kami berdua memang salah tapi semua yang terjadi ini tidak pernah ada kesengajaan. Semua yang terjadi ini tidak pernah direncanakan, perasaan itu muncul begitu saja Tari. Iya memang betul, dari awal akulah yang memulai semua ini,
“Tari….” Mas Tris menyebut namaku perlahan, matanya melihatku seperti melihat hantu. Dia buru-buru mengambil kemeja dan celana panjangnya yang tergeletak di lantai diikuti perempuan itu yang langsung melepaskan pelukannya dari Mas Tris.“Tari….aku,” Mas Tris tidak meneruskan kata-katanya, dia berusaha mengalihkan pandangannya saat aku berjalan mendekat ke arahnya.“Ya, kenapa berhenti Mas? Lanjutkan saja Mas! Jangan khawatir! Aku siap mendengarkan semuanya. Apa yang mau kamu katakan? Membela diri? Mencari pembenaran? Atau… menerangkan sebab akibat? Tapi sebelumnya tutup dulu ritsleting celana kamu! Nggak enak banget dilihatnya.”Aku masih menjaga nada dan intonasi suaraku saat bicara dengan Mas Tris yang dengan gugupnya langsung melakukan apa yang aku minta. Dia menoleh ke arah perempuan itu lalu melihat ke arahku lagi tapi kemudian menunduk lagi.“Kenapa masih diam? Bukankah banyak sekali cerita yang belum aku dengar dari kamu tentang bagaimana selama ini kamu menggunakan toko s
“Kenapa jadi secepat itu?”“Memangnya kenapa? Apa lagi yang kita tunggu? Semua rencana kita sebagian besar sudah terlaksana, kalau masalah lain kita selesaikan sambil jalan saja Tris. Kita punya Dana dan masih ada beberapa orang yang bisa kita percaya untuk membantu kita, jadi kamu jangan khawatir!”“Apa kamu benar-benar yakin bisa mengatasi Seno?”“Kenapa jadi balik lagi ke dia?”“Ya tentu harus dipikiranlah kalau kamu mau kita nikah siri besok. Rencana yang kamu katakan tadi juga belum kelihatan hasilnya. Bagaimana kalau Seno tetap pada pendiriannya dan tidak mau ke luar negeri?”“Aku yakin dia pasti mau, kalau dia masih saja bandel dan malah membantah, aku tinggal tarik saja semua fasilitas yang dia nikmati sekarang. Dia pasti lebih memilih menuruti kata-kataku daripada kehilangan semuanya. Aku bisa melakukan itu kapan saja, sekarang, besok atau lusa sama saja buatku tapi tentu saja tetap menunggu kamu membereskan semuanya lebih dulu”“Tunggu sebentar saja, tidak akan lama la
Jantungku berdebar kencang mendengar kalimat yang diucapkan Bude Kanti pada suamiku, aku seperti sedang melihat dua sejoli kasmaran. Gaya bicara Bude Kanti yang manja dan disambut dengan senyum hangat Mas Tris jelas menunjukkan kalau hubungan mereka tidak seperti yang aku bayangkan selama ini. Mas Tris selingkuh dengan Bude Kanti? Mas Tris selingkuh dengan wanita tua, lagi?“Jangan berlebihan gitu ah,” kata Mas Tris sambil tersenyum dan mulai menikmati makanan yang sudah disipakan.“Memangnya kenapa? Biasanya juga kamu duluan yang minta, sekarang giliran aku yang nawarin malah dibilang berlebihan. Serba salah terus,” kata Bude Kanti mulai merajuk.“Kamu ini mau nyiapin makanan buat prasmanan apa buat dua orang sih sampai sebanyak ini?”“Kan biar kamu bisa pilih yang mana yang kamu suka. Jangan samakan dengan menu sarapan di rumah kamu yang paket super hemat itu dong. Tiap pagi ketemunya telur lagi telur lagi, cuma beda di cara masaknya aja. Hari ini ceplok mata sapi, besok dadar,






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.