LOGINSri datang sebagai pembantu untuk Andra. Namun kedatangannya bukan hanya untuk pelayan biasa, ia datang membawa luka. Kematian sang kakak adalah alasan utama, bagi wanita itu untuk membalas dendam. Menghancurkan rumah tangga Andra, dengan jebakan hasrat yang membuat lelaki itu lupa segalanya. Namun bisakan Sri membalaskan dendamnya dengan sempurna? Ketika ia harus berperang dengan hati dan rasa bersalah?
View More"Tuan... kita mau kemana?"
Malam itu, jam dinding baru saja berdentang dua kali, menandakan dini hari telah tiba. Di luar, kemegahan rumah besar keluarga Andra tertelan keheningan yang menyesakkan, seolah seluruh penghuninya sedang bersembunyi di balik selimut dosa masing-masing. Kecuali di satu sudut. "Kau ikut saja, aku tidak akan menggigitmu." Baru dua minggu Sri Larasati bekerja di sana, namun kehadirannya bagai api yang menjalar perlahan dalam kegelapan. Ia adalah gadis desa dengan pesona yang luar biasa. Wajahnya cantik natural, tanpa riasan berlebihan, dan rambut panjangnya yang selalu terbagi dua dalam kepangan rapih seolah menekankan sisi polos. Namun, di balik seragam pelayan yang sederhana itu, lekuk tubuh Sri yang indah terasa terlalu seksi, terlalu menggoda, dan hal itu sudah cukup merusak akal sehat Andra Pratama, sang tuan rumah. Andra telah lama menahan diri. Setiap senyuman tak sengaja Sri saat menyajikan kopi, setiap sentuhan singkat di lorong, bahkan setiap gerakan pinggul Sri saat membersihkan lantai, telah memicu delusi liar dalam otaknya. Malam ini, setelah pertengkaran dingin dengan sang istri yang posesif dan selalu menuntut, Andra tidak bisa menahannya lagi. Dengan tarikan kasar, ia menarik Sri dari lorong dapur yang remang-remang, membawanya lari ke gudang tua itu. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang terdengar mematikan, menyegel mereka dalam kepekatan, hanya ditemani bau apek barang bekas. Sri membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang rupawan kini bersandar pada dinding kusam. Di matanya, ada sedikit kilat ketakutan yang sengaja ia tampilkan, sebuah strategi lama yang selalu berhasil memancing mangsanya. "Tuan jangan," bisik Sri, suaranya tercekat, tetapi nada itu justru terdengar seperti nada memohon yang memabukkan. "Kalau Nyonya Sarah tahu, saya bisa dipecat. Tuan tidak akan mau membuat skandal, kan?" Andra sudah tak peduli pada Sarah, pada reputasi, bahkan pada logikanya. Ia sudah terlalu lama haus. Ia melangkah maju, menjebak tubuh mungil Sri di antara tubuhnya yang besar dan dinding yang dingin. "Ssstttt..." Andra membungkam bibir Sri dengan telunjuknya, mematikan sisa protes yang ada. Ia memajukan seluruh tubuhnya, menekan pinggul Sri yang padat ke dinding berdebu, memastikan gadis itu merasakan betapa tegang tubuhnya. "Tidak ada yang tahu, hanya kita berdua." Di bawah tekanan, alih-alih gentar, di mata Sri tersulut nyala api yang penuh tantangan. Inilah yang ia tunggu. Inilah awal kehancuran Andra. "Tapi... Tuan janji ya," Sri menjulurkan lehernya, membiarkan napas panas Andra menyambar kulitnya. Suaranya berubah menjadi desisan manja yang menusuk langsung ke telinga Andra. "Jangan buang saya begitu saja, loh. Setelah Tuan mendapatkan apa yang Tuan mau." Permintaan itu, janji itu, justru memancing gairah Andra makin tak terkendali. Ia tersenyum, senyum seorang laki-laki yang benar-benar telah menyerah pada bisikan iblis. Ia memegang dagu Sri, memiringkan kepalanya, matanya menatap tajam, penuh janji dan hasrat. "Tidak akan pernah," jawab Andra, serak. "Aku tidak akan pernah membuangmu, tenang saja." Tanpa menunggu lebih lama, Andra meraup bibir Sri. Ciuman itu keras, mendesak, penuh tuntutan dan gairah yang lama tertahan. Itu bukan ciuman yang lembut, melainkan ciuman yang memabukkan, yang menuntut penebusan atas gairah terlarang yang selama ini mereka sembunyikan. Sri awalnya sedikit kaku, namun ia segera membalasnya dengan intensitas yang sama panasnya. Kedua tubuh itu beradu, bergetar, dan saling menghimpit. Gudang tua itu kini dipenuhi dengan desahan tertahan dan suara ciuman panas, menjadi saksi bisu awal mula dosa. "Mmhh..." Di dalam pelukan gelap itu, Andra menemukan kepuasan yang ia damba, terlena pada gadis yang ia pikir hanya seorang pelayan biasa. Sementara Sri, si pembawa dendam, merasakan sentuhan yang seharusnya ia benci, tetapi harus menyesuaikan diri dengan sensasi gairah terlarang yang berbahaya. Mereka berdua tahu, malam ini adalah awal dari kehancuran yang tak bisa ditarik kembali. Dan mereka berdua sama-sama menginginkannya. Napas keduanya menderu kencang, memecah keheningan di dalam gudang tua itu. Debu-debu yang melayang seolah menyaksikan janji dosa yang baru saja terukir. "Tuan... tunggu dulu. Saya kesulitan bernafas." Ciuman itu mereda saat wanita itu mengeluh. Najun bukannya berhenti, malah perlahan turun ke leher dan bahu Sri. Tangan Andra yang besar bergerak cepat, melepas kepangan rambut Sri yang tadinya rapi, membiarkan helaian panjang itu terurai di dinding yang kusam, kontras dengan kulit lehernya yang mulus. Dengan paksa, Andra mengangkat Sri, mendudukkannya di atas meja panjang penuh barang bekas yang berdebu. Sentuhan Andra berubah dari hasrat yang memabukkan menjadi sebuah tuntutan yang tak terhindarkan. Di atas meja berdebu itulah, dengan sisa-sisa gaun pelayan yang tersingkap. Malam ini Sri harus merelakan mahkotanya, sesuatu yang ia korbankan bukan demi cinta, melainkan demi sebuah tujuan yang lebih besar dan gelap. "Akh! Tuan pelan-pelan..." Rasa sakit yang tajam dan tak terduga menghantam tubuh Sri. Ia menahan erangan di tenggorokannya, mengepalkan jemarinya di bahu kokoh Andra, dan memaksa bibirnya untuk tetap tersenyum di tengah ringisan. Air mata yang seharusnya menetes karena sakit, ditahannya menjadi keringat di pelipis. Ia harus terlihat menikmatinya. Andra sebaliknya, merasakan kejutan dan kepuasan yang luar biasa. Ia merasakan perlawanan kecil yang tiba-tiba meluruh menjadi kepasrahan dan kesakitan. "Tahanlah sebentar, nanti kau akan terbiasa." Bukannya memberi jeda, Andra malah mendesaknya semakin brutal dan tak terkendali. Sri meringis kesakitan, namun lelaki malah semakin menikmatinya. Setelah segalanya usai, dan napas kembali mereda. Andra tersenyum penuh kemenangan, sebuah senyum yang menunjukkan betapa bangganya ia. Ia menunduk, mengusap lembut bibir Sri yang sedikit bengkak dan meringis menahan sakit sisa dari penyatuan yang mendadak. "Sungguh luar biasa," bisik Andra, suaranya dipenuhi kemenangan. Ia menyentuh lembut paha Sri, merasakan getaran kecil di sana. "Jadi, aku yang pertama untukmu, Sri?" Wanita itu mengatur napasnya yang tercekat. Ia memaksa dirinya tersenyum di tengah rasa perih di sekujur tubuh. Senyum yang diciptakan Sri sangat tulus, seolah-olah ia baru saja memberikan harta paling berharganya kepada laki-laki yang ia cintai. "Iya, Tuan," balas Sri, suaranya parau, namun tetap terdengar manja. Ia menatap mata Andra lurus-lurus, memperkuat kebohongannya. "Saya tidak pernah bersentuhan dengan lelaki lain selain anda." Ucapan itu bagaikan mahkota baru bagi kebanggaan Andra. Ia merasakan kemenangan ganda, ia mendapatkan pelayan cantik dan seksi itu, dan ia adalah yang pertama. Andra tertawa kecil, suara tawa yang mengandung keangkuhan. Ia memeluk tubuh polos Sri yang masih di atas meja, membenamkan wajahnya di leher gadis itu. "Kau milikku, Sri. Hanya milikku." Sri balas memeluknya, tetapi di dalam hati, ia merasakan lapisan es dendamnya semakin tebal, membekukan rasa sakit dan rasa bersalahnya. Bagus, batinnya keji. Kau sudah percaya, Andra. Dan kini, kehancuranmu baru saja dimulai. Dengan sisa rasa sakit, Sri membelai kepala lelaki itu. "Jangan pernah tinggalkan aku ya, Tuan. Janji?"Tepat pukul tujuh malam, suasana pinggir jalan di pusat kota dipenuhi hiruk pikuk penjual makanan dan lampu-lampu neon yang berwarna-warni. Sri dan Bambang sedang asyik menikmati bakso di sebuah warung sederhana. Sri sengaja tampil berbeda malam ini. Rambutnya tidak lagi dikepang dua, melainkan terurai indah dengan sedikit gelombang. Wajahnya dipoles make-up tipis yang menonjolkan kecantikan alaminya, dan ia mengenakan pakaian yang lebih modis dari biasanya. Di sampingnya, Bambang terlihat bahagia. Ia menikmati tawa renyah Sri dan keakraban yang sederhana. Tiba-tiba, ponsel Bambang bergetar hebat. Nama Tuan Andra Pratama terpampang di layar. "Iya, Tuan?" jawab Bambang sigap. Suara Andra dari seberang terdengar panik dan marah. "Bambang, di mana kau?! Mobil yang aku bawa mati! Jemput aku sekarang juga di pertigaan dekat Monumen Kuda!" Sri yang duduk di seberang Bambang, sudah mendengarkan setiap kata. Ia tersenyum kecil, senyum penuh kemenangan. Sebab ia tahu, panggilan mendadak i
Rumah megah itu terasa dingin dan sunyi bagi Sarah. Pagi telah berganti sore, dan Sarah menghabiskan waktunya dalam kamar, gelisah. Pikirannya dipenuhi adegan slow motion suaminya tersenyum pada Sri saat menerima bekal, dan rasa perih dari bekas cakaran yang ia lihat di punggung Andra. Ia mencoba menepis semua pikiran itu. Tidak mungkin. Ia adalah Sarah, wanita sempurna dengan latar belakang terpandang, yang dinikahi Andra untuk menjaga citra bisnis keluarga. "Tidak mungkin Andra berselingkuh dengan wanita rendahan itu. Sri hanyalah pembantu, dengan bau minyak kayu putih dan bumbu dapur," batin Sarah, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Mungkin Andra tidur dengan karyawan kantor? Atau mungkin teman masa lalunya yang dulu kulaporkan pada Ibu mertua?! Sarah mondar-mandir di ruang makan. Ia mengacak-acak makan siangnya di atas piring. Nafsu makannya hilang digantikan oleh api kecurigaan. Bi Minah, yang sedang merapikan meja, memperhatikan kegelisahan majikannya. Wanita paruh baya itu
Setelah meninggalkan kamar kecil Sri dengan napas memburu dan hasrat yang sedikit terpuaskan, Andra kembali ke kamar utamanya. Ia menyelinap di bawah selimut, berbaring di samping Sarah yang sudah terlelap. Namun, tidurnya jauh dari ketenangan. Kalimat Sri masih terngiang-ngiang di telinganya: "Tuan... saya tidak mau hanya dijadikan pelampiasan hasrat saja, loh." Andra memiringkan tubuhnya, menatap Sarah. Wajah istrinya terlihat tenang dalam tidur, tetapi bagi Andra, wajah itu terasa dingin, mewakili sebuah kewajiban dan penjara yang tak bisa ia tinggalkan. Sri menuntut kepastian. Wanita itu, yang baru dua kali ia sentuh, telah berhasil merenggut seluruh fokus dan kendalinya. Andra memang menginginkan Sri seutuhnya. Kecantikannya yang seksi alami, kelembutannya, dan gairah tak terduga yang ia berikan. Andra ingin memiliki gadis itu sebagai selirnya, atau bahkan sebagai istrinya jika ia bisa. Tetapi, itu tidak mungkin. Ia terikat oleh nama keluarga, bisnis, dan janji pada ibuny
"Aa bade kalebeut moal?" tanyanya. "Nanti ngobrolna di dalem we. Hayu!" Sri menatap dengan ekspresi yang membuat lelaki muda itu menehan ludah. Namun, Bambang tersenyum canggung dan menggeleng. Ia memegang pinggiran topinya. "Tidak usah, Sri. Sudah malam. Aku cuma mau bilang," ujar Bambang, suaranya pelan dan jujur. "Aku mau ngajak Sri keluar besok. Jajan jalan ka pusat kota. Nanti Aa yang traktir deh." Jantung Sri berdetak kencang, bukan karena tawaran Bambang, melainkan karena ia tahu Andra yang terperangkap di dalam lemari kecil itu, sedang mendengarkan setiap kata. Sri tahu persis apa yang harus ia lakukan. "Jalan-jalan?" Sri memiringkan kepala, memasang ekspresi malu-malu. "Iya deh, nanti Sri pikir-pikir lagi. Takutnya banyak kerjaan besok." "Oh... Jadi malu nih, Aa asa ditolak mentah-mentah," balas Bambang, tersenyum kecut. Sri tertawa pelan, tawa yang renyah dan tulus, suara yang sangat ingin didengar Andra. Ia lantas maju selangkah, menepuk pundak Bambang denga


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.