Nadha adalah seorang gadis manis yang sejak kecil harus menelan pahitnya kehidupan. Sejak ibunya meninggal, rumah yang dulu penuh kasih sayang berubah menjadi neraka. Ibu tirinya, Ibu Yeni, dan saudara tirinya tak henti-hentinya menyiksa dan merendahkannya. Setiap hari Nadha diperlakukan bukan sebagai anak, melainkan sebagai pembantu. Ia menahan semua sakit hati itu hanya karena masih berharap mendapat sedikit kasih sayang dari ayahnya, Pak Gunawan. Namun, ayahnya terlalu lemah, lebih memilih tunduk pada istrinya daripada membela darah dagingnya sendiri. Hingga pada suatu malam yang dingin, penderitaan Nadha mencapai puncaknya. “Buang saja anak itu! Dia hanya bikin repot!” bentak Ibu Yeni. Dan benar saja, malam itu Nadha ditinggalkan sendirian di pinggir kota, tanpa uang, tanpa tujuan. Air mata bercucuran, tubuhnya gemetar, namun hatinya masih berusaha kuat. Di tengah keputusasaan itu, takdir mempertemukannya dengan Frans, seorang pria tampan yang dikenal sebagai orang terkaya nomor dua di kota tersebut. Meski hidup bergelimang harta, Frans juga menyimpan luka. Ia kerap berselisih dengan kakeknya dan tidak pernah merasakan kasih sayang dari ibu tirinya. Melihat Nadha yang terlunta-lunta, Frans tergerak hatinya. “Mulai sekarang, kamu tidak sendiri lagi. Aku ada di sini,” ucapnya tegas. Sejak malam itu, hidup Nadha perlahan berubah. Ia tinggal bersama Frans, menghadapi banyak ujian dan rintangan. Tidak mudah bagi mereka, karena bayang-bayang masa lalu selalu menghantui. Namun, Frans selalu menjadi sandaran yang menguatkan langkah Nadha. Perjalanan mereka membawa Nadha menemukan kebenaran besar—ternyata ia berasal dari keluarga Aditama, keluarga terpandang dan terkaya nomor satu di negeri itu. Pertemuan kembali dengan keluarga ibunya membuka jalan baru bagi Nadha untuk bangkit.
View MoreMalam itu, wajah Pak Gunawan bukan lagi wajah seorang ayah yang Nadha kenal. Tatapannya dingin, penuh kebencian, seolah Nadha bukan darah dagingnya sendiri. Suasana rumah terasa mencekam, apalagi ketika Bu Yeni dan kedua saudara tirinya berdiri di belakangnya dengan senyum tipis yang menusuk hati.
“Sudah berkali-kali Ayah katakan padamu! Jangan pernah bertengkar dengan Viola! Kenapa kamu tidak mau dengar kata Ayah, hah?!” suara Pak Gunawan meledak seperti petir, membuat tubuh Nadha gemetar. Nadha mencoba menjelaskan, suaranya bergetar, “Ayah, itu bukan salah Nadha… Viola yang…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Viola maju dengan wajah berpura-pura polos. “Ayah, jangan marahi Nadha. Aku tidak apa-apa… biarkan saja gaun itu jadi miliknya.” Nada suaranya lembut, namun matanya berkilat licik. Pak Gunawan menatap Nadha dengan penuh kekecewaan. “Kamu lihat? Viola masih bisa membelamu, tapi kamu… kamu bahkan tidak pernah menganggap dia sebagai saudara. Mulai malam ini, kamu bukan bagian dari keluarga Gunawan lagi. Silakan pergi! Kita bukan keluarga!” Kata-kata itu menghantam hati Nadha seperti belati. Dunia seakan runtuh. Air matanya jatuh deras, namun Pak Gunawan hanya berpaling, dingin tanpa rasa. Dua bodyguard segera menyeret Nadha keluar. Hujan deras mengguyur ketika mobil berhenti di pinggiran kota. Tubuhnya didorong kasar hingga terjatuh ke tanah berlumpur. Mobil itu melaju pergi, meninggalkan Nadha sendirian dalam kegelapan malam. Dengan tubuh menggigil, ia berlari ke bawah pohon besar yang menjulang tinggi. Air hujan menetes dari rambutnya yang basah, sementara ia memeluk lututnya erat-erat. “Ibu… Ayah tega… demi keluarga barunya, Ayah tega membuang Nadha…,” suaranya pecah, tangisnya tersedu-sedu hingga suaranya hilang ditelan hujan dan malam. Sementara itu, di rumah keluarga Gunawan, suasana jauh berbeda. “Viola, jangan sedih lagi,” ujar Pak Gunawan sambil menepuk pundak putrinya. “Mulai hari ini, kamu adalah anak Ayah satu-satunya. Kamu juga akan menjadi penerus perusahaan Gunawan.” Viola menunduk seolah masih gelisah. “Tapi… Ayah, bagaimana dengan Nadha?” tanyanya pelan. Pak Gunawan mengibaskan tangan dengan wajah dingin. “Lupakan dia. Dia bukan siapa-siapa lagi. Sekarang, fokuslah pada dirimu.” Saat ayahnya beranjak pergi, perlahan senyum terukir di bibir Viola. Senyum yang penuh kepuasan. “Akhirnya… aku menjadi Nona Gunawan tanpa ada penghalang. Nadha… semoga kau menikmati penderitaanmu. Karena aku… tidak akan pernah membiarkanmu hidup bahagia.” Di luar sana, hujan semakin deras. Dan di antara isak tangisnya, Nadha berbisik pada dirinya sendiri.satu janji kecil yang lahir dari luka terdalam: suatu hari, ia akan kembali. ——— Langkah kaki Nadha terdengar pelan di antara batu-batu nisan. Ia berjalan tanpa alas kaki, kulitnya yang pucat tersentuh dinginnya tanah malam. Udara berbau tanah basah dan bunga layu membuat bulu kuduknya meremang. Namun, langkahnya tak terhenti. Di kejauhan, samar-samar terlihat seorang laki-laki duduk bersandar pada nisan tua. Di tangannya tergenggam botol kaca, dan di sekitarnya berserakan beberapa botol kosong. Aroma alkohol menusuk hidung Nadha. Laki-laki itu—Frans Abimanyu Prasetyo. Nadha melangkah mendekat, lalu duduk di dekat Frans. Ia mengambil botol yang masih tersisa, meneguk sedikit, sebelum Frans merebutnya kembali dengan tatapan dingin. “Kalau nggak bisa minum, jangan dipaksa,” suaranya serak, dingin, namun tegas. “Aku… aku…” suara Nadha bergetar, seolah kata-kata tertelan di tenggorokannya. Frans menatapnya sekilas. “Ini sudah malam. Kamu ngapain sendirian di tempat begini? Nggak takut kalau ada orang jahat?” Nadha tersenyum tipis, getir. “Aku sudah terbiasa dengan kejahatan. Kalau mereka mau membunuhku pun… aku sudah siap.” Ia menyandarkan tubuhnya di batu nisan, seolah kematian adalah kawan lamanya. “Kalau begitu, kamu sendiri ngapain di sini? Ini kan pemakaman. Apa kamu nggak takut?” tanya Nadha balik. Frans menatap nisan di belakangnya. “Ini makam ibuku. Untuk apa aku takut?” Hening sejenak. Kata ibu menusuk hati Nadha. Ingatan tentang ibunya yang sudah tiada membuat matanya berkaca-kaca. “Kalau ibumu masih ada, dia pasti nggak suka lihat kamu begini,” ucap Nadha pelan, lalu merebut botol dari tangan Frans dan menumpahkan isinya ke tanah. “Minuman ini cuma bikin sakit. Bahaya buat tubuhmu.” Frans mendengus, tersenyum hambar. “Justru cuma dengan ini aku bisa merasa sedikit lebih baik.” Ia menatap Nadha lama, lalu berkata pelan, “Sebaiknya kamu pulang. Gadis sepertimu nggak seharusnya berkeliaran di tempat seperti ini.” Nadha memeluk lututnya, matanya kosong. “Aku sudah nggak punya rumah. Rumahku yang dulu indah, sekarang jadi neraka. Aku nggak punya siapa-siapa lagi.” Frans menoleh, keningnya berkerut. “Apa maksudmu?” “Ayahku mengusirku… Dia lebih memilih saudara tiriku daripada aku. Mereka sering memukulku. Aku… aku nggak kuat lagi…” tangisnya pecah. Frans menepuk pundaknya pelan. “Sabar. Dunia memang kejam.” Lalu, ia menatap Nadha dengan tatapan yang sulit dibaca. “Bagaimana kalau kamu ikut denganku?” Nadha menoleh cepat, penuh kewaspadaan. “Denganmu? Tidak. Aku nggak percaya.” “Aku janji akan melindungimu,” suara Frans dalam, penuh keyakinan. “Dan aku juga bisa bantu kamu membalas dendam pada orang-orang yang sudah menghancurkanmu.” Nadha menatapnya tajam. “Bahkan keluargaku sendiri nggak bisa dipercaya. Apalagi orang asing sepertimu.” Frans berdiri, menepuk debu dari pakaiannya. “Kalau begitu, terserah. Aku nggak bisa memaksa.” Ia berbalik pergi. Nadha terdiam, tubuhnya bergetar, matanya memerah. Namun, ketika langkah Frans semakin menjauh, ia buru-buru berdiri dan berlari mengejarnya. “Om… tunggu…!” suaranya melengking di tengah gelapnya pemakaman. Frans menoleh, bibirnya menekuk senyum samar. “Ada apa? Bukannya kamu tadi nggak percaya padaku?” Nadha menggenggam ujung bajunya erat. “Mmmm… aku mau ikut sama Om.” Frans menatapnya lama, lalu membuka pintu mobil hitam yang menunggu di dekat gerbang pemakaman. “Kalau begitu, naiklah.” Di dalam mobil, tubuh Nadha menggigil hebat, keringat dingin bercampur panas di kulitnya. Frans melirik, lalu memberi perintah singkat. “Rendi, ambil jas di bagasi.” “Baik, Tuan,” jawab bodyguard itu cepat. Jas hitam diberikan pada Frans, lalu diselimuti ke tubuh Nadha. Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah. Frans turun, lalu menggendong Nadha dengan gaya bridal style. Tubuh gadis itu terasa ringan, rapuh, seolah bisa pecah kapan saja. “Bi Ina!” panggil Frans lantang begitu memasuki apartemen. “Iya, Tuan!” sahut seorang perempuan paruh baya, berlari tergopoh-gopoh. “Siapkan kompres. Cepat.” “Baik, Tuan.” Frans membawa Nadha ke kamarnya, lalu membaringkan tubuh lemah itu di ranjang dengan hati-hati. Lampu kamar temaram, hanya bayangan tubuh mereka yang bergerak di dinding. “Rendi, aku mau kamu kumpulkan semua data tentang Nadha. Ada sesuatu yang menarik dari gadis ini,” ucap Frans dingin sambil menatap tubuh lemah Nadha yang terbaring. Tatapannya tajam, seolah ingin menembus rahasia yang tersembunyi dalam diri gadis itu. Bi Ina duduk di sisi ranjang, mengompres dahi Nadha yang panas membara. Wajahnya tampak cemas. “Tuan, saya menemukan bekas luka di lengan dan punggungnya… sepertinya dia pernah disiksa,” ucapnya lirih, hampir berbisik. Frans menghela napas, lalu menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah menduganya. Bagaimana kondisinya sekarang?” “Dia baik-baik saja, Tuan, hanya demam biasa,” jawab Bi Ina hati-hati. “Apa perlu kupanggilkan dokter?” tanya Frans, suaranya terdengar seperti perintah yang samar. “Tidak usah, Tuan. Saya yakin besok dia akan pulih,” jawab Bi Ina cepat, lalu bangkit dan menunduk sopan. “Kalau begitu, keluar sekarang.” “Baik, Tuan.” Bi Ina segera berlalu, meninggalkan kamar yang terasa semakin sunyi. Erfan, yang sejak tadi diam, akhirnya berbaring di samping Nadha. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas berat gadis itu. Tiba-tiba, tangan Nadha bergerak dan memeluk Erfan erat-erat. Erfan terkejut, jantungnya berdentum kencang. Ini pertama kalinya seorang wanita,selain ibunya,menyentuhnya dengan cara seperti itu. “Tolong… jangan sakiti aku lagi… aku capek…” gumam Nadha dalam igauannya. Suaranya bergetar, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Erfan membeku, matanya menatap wajah pucat Nadha. Di balik kelemahan itu, jelas ada trauma yang dalam. “Sepertinya mentalnya sudah hancur…” gumam Frans dari sudut kamar. Tatapannya tak lagi sekadar dingin,ada ketertarikan aneh, seolah ia melihat sesuatu yang berharga di balik penderitaan gadis itu. Erfan menggenggam tangan Nadha, menahan rasa yang bercampur antara iba dan ketakutan. “Tenanglah… kamu aman bersamaku,” bisiknya pelan, sebelum akhirnya membalas pelukan itu.Di dalam mobil yang melaju pelan, Nadha tertidur dengan damai. Wajahnya tampak tenang, seakan seluruh beban dunia lenyap dalam lelapnya. Frans melirik sekilas, lalu tersenyum hangat. Setibanya di rumah, ia turun dan dengan hati-hati menggendong sang istri ke kamar.“Semenjak ada Nona Nadha, Tuan Frans tampak jauh lebih bahagia,” ucap Bi Ina dengan mata berbinar.“Iya, Mbak. Aku pun merasakan hal yang sama. Nona Nadha baik, dan Tuan Frans sekarang jauh lebih ramah,” timpal salah seorang pembantu.“Semoga kebahagiaan ini tidak cepat berlalu… dan semoga Nona Nadha selalu diberi kesehatan,” tambah Bi Ina pelan, seolah sedang berdoa.Frans hanya tersenyum samar, lalu menutup pintu kamar. Dengan penuh kasih ia membaringkan Nadha di ranjang. Tangannya bergerak lembut, menata selimut, lalu membantunya berganti pakaian. Ia menunduk, menempelkan ciuman hangat di kening sang istri sambil berbisik,“Good night, honey…”Namun di tempat lain, suasana berbanding terbalik.Viola mengamuk hebat di kam
Frans mengajak Nadha berkunjung ke kediaman keluarga Aditama. Mobil itu melaju menembus malam, menyisakan deru angin dan detak jantung Nadha yang berdegup kencang. Ada sesuatu yang berat di dadanya.campuran antara takut, cemas, dan harapan. Malam ini akan menjadi pertama kalinya ia bertemu keluarga dari ibunya. “Apa kamu takut?” suara Frans memecah sunyi. Nadha menoleh pelan, matanya redup. “Hemmm… apa mereka akan menyakitiku juga? Aku takut semuanya akan terulang lagi…” suaranya nyaris tenggelam, seolah ada luka lama yang kembali menganga. Frans menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalanan. “Tidak. Selama aku ada di sini, tidak akan ada satu orang pun yang bisa menyakitimu.” Nadha hanya mengangguk kecil. Namun rasa waswas itu tidak hilang. Semakin dekat dengan gerbang besar yang dijaga puluhan pria berjas hitam, bulu kuduknya semakin berdiri. Lampu-lampu sorot menyoraki mobil mereka seakan menelanjangi siapa pun yang datang
Nadha duduk di samping Frans, wajahnya pucat dan matanya masih bergetar. Frans menatap dingin ke arah para guru yang hanya bisa menunduk. Suaranya keluar pelan tapi tajam, seperti pisau yang siap mengiris.“Aku beri kalian satu kesempatan terakhir,” ucap Frans dengan tekanan di setiap kata. “Kalau sekali lagi kalian berani menyentuh keponakanku, aku pastikan nama kalian hilang dari dunia pendidikan. Kalian akan diblacklist dari semua sekolah di kota ini.”Tak ada yang berani menatap balik. Beberapa guru bahkan terlihat menelan ludah, wajah mereka pucat pasi.“Baik, Tuan Frans… kami mengerti,” jawab mereka serempak, suaranya lirih penuh ketakutan.Frans tidak menunggu reaksi lain. Ia langsung menggenggam tangan Nadha, menariknya keluar dari ruangan dengan langkah tegas yang bergema di koridor.Di parkiran, Nadha masih berusaha menenangkan napasnya. Frans berhenti, lalu menatapnya lembut.“Sayang, kamu aman sekarang. Mereka tak aka
Pagi itu, suasana kediaman keluarga besar Aditama terasa hening. Pertemuan khusus sedang berlangsung. Tidak ada satupun orang luar yang diizinkan masuk,bahkan bodyguard pribadi pun diperintahkan untuk menunggu di luar gerbang.Frans melangkah masuk dengan wajah serius. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan, sesuatu yang bisa mengguncang seluruh keluarga Aditama.“Selamat pagi, Tuan Aditama,” sapa Frans sambil sedikit menunduk.“Pagi, Frans. Tumben sekali kamu datang berkunjung. Ada apa sebenarnya?” tanya Pak Aditama dengan dahi berkerut.“Kebetulan keluarga besar Bapak sedang berkumpul. Saya datang membawa sebuah informasi penting,” jawab Frans tenang namun tegas.“Informasi apa?” sahut Pak Bugi penasaran.“Ini… tentang Bu Nina.”Sekejap, ruangan itu sunyi. Semua anggota keluarga saling pandang dengan wajah terkejut.Nina adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Aditama. Dulu, ketika keluarga ini berada di puncak kejayaan, Gunawan begitu menghargainya. Namun, setelah kabar bangkru
Keesokan harinya, Nadha sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Frans memperhatikannya dengan tatapan penuh cemas. Tapi kali ini, ia menyiapkan sesuatu yang berbeda.Di depan rumah, seorang perempuan berambut pendek dengan sorot mata tajam sudah berdiri tegak. Dia mengenakan setelan hitam rapi, aura dinginnya membuat suasana terasa mencekam.“Sayang, ini Gina. Mulai hari ini dia yang akan menjagamu,” ujar Frans serius.“Menjaga? Aku bisa jaga diri sendiri kok,” jawab Nadha ragu.Frans mendekat, memegang bahu Nadha erat. “Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Tolong jangan menolak. Kamu terlalu berharga buatku.”Nadha terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah… makasih, sayang.”Frans terpaku. Kata sayang itu seperti obat bagi hatinya yang gelisah. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun di balik senyum itu, ada kekhawatiran yang tak pernah reda.Sementara itu, di kediaman keluarga Gunawan, suasana panas. Viola membanting tasnya ke sofa, matanya melotot ke arah ayah
Malam itu, suasana di meja makan kediaman Frans berbeda dari biasanya. Meja panjang yang biasanya hanya diisi Frans dan beberapa orang terdekat, malam ini penuh sesak oleh para ART dan bodyguard. Semuanya berkumpul untuk merayakan pernikahan tuan mereka. Tawa kecil, bisik-bisik kagum, dan rasa penasaran menyelimuti ruangan.Frans meletakkan sendoknya, lalu menatap semua orang dengan sorot mata yang tegas.“Kalian semua dengarkan baik-baik. Mulai hari ini, Nadha adalah istriku. Tugas kalian bukan hanya menjagaku, tapi juga mengawasinya. Jangan biarkan ada satu pun hal buruk menimpa dirinya. Dan satu hal lagi…” suaranya menurun, namun tegas. “Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke rumah ini tanpa izin dariku.”Semua serempak menjawab, “Mengerti, Tuan!!!”Frans kembali menyandarkan tubuhnya di kursi, namun beberapa detik kemudian ia menambahkan, “Oh, hampir lupa. Pernikahan ini harus dirahasiakan. Aku tidak ingin sekolah Nadha terganggu gara-gara kabar ini. Jadi, mulut kalian harus te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments