Gadis Cantik Dan Om Ganteng Kaya Raya

Gadis Cantik Dan Om Ganteng Kaya Raya

last updateLast Updated : 2025-09-05
By:  Imnadha09Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
6views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Nadha adalah seorang gadis manis yang sejak kecil harus menelan pahitnya kehidupan. Sejak ibunya meninggal, rumah yang dulu penuh kasih sayang berubah menjadi neraka. Ibu tirinya, Ibu Yeni, dan saudara tirinya tak henti-hentinya menyiksa dan merendahkannya. Setiap hari Nadha diperlakukan bukan sebagai anak, melainkan sebagai pembantu. Ia menahan semua sakit hati itu hanya karena masih berharap mendapat sedikit kasih sayang dari ayahnya, Pak Gunawan. Namun, ayahnya terlalu lemah, lebih memilih tunduk pada istrinya daripada membela darah dagingnya sendiri. Hingga pada suatu malam yang dingin, penderitaan Nadha mencapai puncaknya. “Buang saja anak itu! Dia hanya bikin repot!” bentak Ibu Yeni. Dan benar saja, malam itu Nadha ditinggalkan sendirian di pinggir kota, tanpa uang, tanpa tujuan. Air mata bercucuran, tubuhnya gemetar, namun hatinya masih berusaha kuat. Di tengah keputusasaan itu, takdir mempertemukannya dengan Frans, seorang pria tampan yang dikenal sebagai orang terkaya nomor dua di kota tersebut. Meski hidup bergelimang harta, Frans juga menyimpan luka. Ia kerap berselisih dengan kakeknya dan tidak pernah merasakan kasih sayang dari ibu tirinya. Melihat Nadha yang terlunta-lunta, Frans tergerak hatinya. “Mulai sekarang, kamu tidak sendiri lagi. Aku ada di sini,” ucapnya tegas. Sejak malam itu, hidup Nadha perlahan berubah. Ia tinggal bersama Frans, menghadapi banyak ujian dan rintangan. Tidak mudah bagi mereka, karena bayang-bayang masa lalu selalu menghantui. Namun, Frans selalu menjadi sandaran yang menguatkan langkah Nadha. Perjalanan mereka membawa Nadha menemukan kebenaran besar—ternyata ia berasal dari keluarga Aditama, keluarga terpandang dan terkaya nomor satu di negeri itu. Pertemuan kembali dengan keluarga ibunya membuka jalan baru bagi Nadha untuk bangkit.

View More

Chapter 1

DI USIR DARI KELUARGA GUNAWAN

Malam itu, wajah Pak Gunawan bukan lagi wajah seorang ayah yang Nadha kenal. Tatapannya dingin, penuh kebencian, seolah Nadha bukan darah dagingnya sendiri. Suasana rumah terasa mencekam, apalagi ketika Bu Yeni dan kedua saudara tirinya berdiri di belakangnya dengan senyum tipis yang menusuk hati.

“Sudah berkali-kali Ayah katakan padamu! Jangan pernah bertengkar dengan Viola! Kenapa kamu tidak mau dengar kata Ayah, hah?!” suara Pak Gunawan meledak seperti petir, membuat tubuh Nadha gemetar.

Nadha mencoba menjelaskan, suaranya bergetar, “Ayah, itu bukan salah Nadha… Viola yang…”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Viola maju dengan wajah berpura-pura polos. “Ayah, jangan marahi Nadha. Aku tidak apa-apa… biarkan saja gaun itu jadi miliknya.” Nada suaranya lembut, namun matanya berkilat licik.

Pak Gunawan menatap Nadha dengan penuh kekecewaan. “Kamu lihat? Viola masih bisa membelamu, tapi kamu… kamu bahkan tidak pernah menganggap dia sebagai saudara. Mulai malam ini, kamu bukan bagian dari keluarga Gunawan lagi. Silakan pergi! Kita bukan keluarga!”

Kata-kata itu menghantam hati Nadha seperti belati. Dunia seakan runtuh. Air matanya jatuh deras, namun Pak Gunawan hanya berpaling, dingin tanpa rasa.

Dua bodyguard segera menyeret Nadha keluar. Hujan deras mengguyur ketika mobil berhenti di pinggiran kota. Tubuhnya didorong kasar hingga terjatuh ke tanah berlumpur. Mobil itu melaju pergi, meninggalkan Nadha sendirian dalam kegelapan malam.

Dengan tubuh menggigil, ia berlari ke bawah pohon besar yang menjulang tinggi. Air hujan menetes dari rambutnya yang basah, sementara ia memeluk lututnya erat-erat.

“Ibu… Ayah tega… demi keluarga barunya, Ayah tega membuang Nadha…,” suaranya pecah, tangisnya tersedu-sedu hingga suaranya hilang ditelan hujan dan malam.

Sementara itu, di rumah keluarga Gunawan, suasana jauh berbeda.

“Viola, jangan sedih lagi,” ujar Pak Gunawan sambil menepuk pundak putrinya. “Mulai hari ini, kamu adalah anak Ayah satu-satunya. Kamu juga akan menjadi penerus perusahaan Gunawan.”

Viola menunduk seolah masih gelisah. “Tapi… Ayah, bagaimana dengan Nadha?” tanyanya pelan.

Pak Gunawan mengibaskan tangan dengan wajah dingin. “Lupakan dia. Dia bukan siapa-siapa lagi. Sekarang, fokuslah pada dirimu.”

Saat ayahnya beranjak pergi, perlahan senyum terukir di bibir Viola. Senyum yang penuh kepuasan.

“Akhirnya… aku menjadi Nona Gunawan tanpa ada penghalang. Nadha… semoga kau menikmati penderitaanmu. Karena aku… tidak akan pernah membiarkanmu hidup bahagia.”

Di luar sana, hujan semakin deras. Dan di antara isak tangisnya, Nadha berbisik pada dirinya sendiri.satu janji kecil yang lahir dari luka terdalam: suatu hari, ia akan kembali.

———

Langkah kaki Nadha terdengar pelan di antara batu-batu nisan. Ia berjalan tanpa alas kaki, kulitnya yang pucat tersentuh dinginnya tanah malam. Udara berbau tanah basah dan bunga layu membuat bulu kuduknya meremang. Namun, langkahnya tak terhenti.

Di kejauhan, samar-samar terlihat seorang laki-laki duduk bersandar pada nisan tua. Di tangannya tergenggam botol kaca, dan di sekitarnya berserakan beberapa botol kosong. Aroma alkohol menusuk hidung Nadha. Laki-laki itu—Frans Abimanyu Prasetyo.

Nadha melangkah mendekat, lalu duduk di dekat Frans. Ia mengambil botol yang masih tersisa, meneguk sedikit, sebelum Frans merebutnya kembali dengan tatapan dingin.

“Kalau nggak bisa minum, jangan dipaksa,” suaranya serak, dingin, namun tegas.

“Aku… aku…” suara Nadha bergetar, seolah kata-kata tertelan di tenggorokannya.

Frans menatapnya sekilas. “Ini sudah malam. Kamu ngapain sendirian di tempat begini? Nggak takut kalau ada orang jahat?”

Nadha tersenyum tipis, getir. “Aku sudah terbiasa dengan kejahatan. Kalau mereka mau membunuhku pun… aku sudah siap.” Ia menyandarkan tubuhnya di batu nisan, seolah kematian adalah kawan lamanya.

“Kalau begitu, kamu sendiri ngapain di sini? Ini kan pemakaman. Apa kamu nggak takut?” tanya Nadha balik.

Frans menatap nisan di belakangnya. “Ini makam ibuku. Untuk apa aku takut?”

Hening sejenak. Kata ibu menusuk hati Nadha. Ingatan tentang ibunya yang sudah tiada membuat matanya berkaca-kaca.

“Kalau ibumu masih ada, dia pasti nggak suka lihat kamu begini,” ucap Nadha pelan, lalu merebut botol dari tangan Frans dan menumpahkan isinya ke tanah. “Minuman ini cuma bikin sakit. Bahaya buat tubuhmu.”

Frans mendengus, tersenyum hambar. “Justru cuma dengan ini aku bisa merasa sedikit lebih baik.”

Ia menatap Nadha lama, lalu berkata pelan, “Sebaiknya kamu pulang. Gadis sepertimu nggak seharusnya berkeliaran di tempat seperti ini.”

Nadha memeluk lututnya, matanya kosong. “Aku sudah nggak punya rumah. Rumahku yang dulu indah, sekarang jadi neraka. Aku nggak punya siapa-siapa lagi.”

Frans menoleh, keningnya berkerut. “Apa maksudmu?”

“Ayahku mengusirku… Dia lebih memilih saudara tiriku daripada aku. Mereka sering memukulku. Aku… aku nggak kuat lagi…” tangisnya pecah.

Frans menepuk pundaknya pelan. “Sabar. Dunia memang kejam.”

Lalu, ia menatap Nadha dengan tatapan yang sulit dibaca. “Bagaimana kalau kamu ikut denganku?”

Nadha menoleh cepat, penuh kewaspadaan. “Denganmu? Tidak. Aku nggak percaya.”

“Aku janji akan melindungimu,” suara Frans dalam, penuh keyakinan. “Dan aku juga bisa bantu kamu membalas dendam pada orang-orang yang sudah menghancurkanmu.”

Nadha menatapnya tajam. “Bahkan keluargaku sendiri nggak bisa dipercaya. Apalagi orang asing sepertimu.”

Frans berdiri, menepuk debu dari pakaiannya. “Kalau begitu, terserah. Aku nggak bisa memaksa.”

Ia berbalik pergi. Nadha terdiam, tubuhnya bergetar, matanya memerah. Namun, ketika langkah Frans semakin menjauh, ia buru-buru berdiri dan berlari mengejarnya.

“Om… tunggu…!” suaranya melengking di tengah gelapnya pemakaman.

Frans menoleh, bibirnya menekuk senyum samar. “Ada apa? Bukannya kamu tadi nggak percaya padaku?”

Nadha menggenggam ujung bajunya erat. “Mmmm… aku mau ikut sama Om.”

Frans menatapnya lama, lalu membuka pintu mobil hitam yang menunggu di dekat gerbang pemakaman. “Kalau begitu, naiklah.”

Di dalam mobil, tubuh Nadha menggigil hebat, keringat dingin bercampur panas di kulitnya. Frans melirik, lalu memberi perintah singkat. “Rendi, ambil jas di bagasi.”

“Baik, Tuan,” jawab bodyguard itu cepat. Jas hitam diberikan pada Frans, lalu diselimuti ke tubuh Nadha.

Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah. Frans turun, lalu menggendong Nadha dengan gaya bridal style. Tubuh gadis itu terasa ringan, rapuh, seolah bisa pecah kapan saja.

“Bi Ina!” panggil Frans lantang begitu memasuki apartemen.

“Iya, Tuan!” sahut seorang perempuan paruh baya, berlari tergopoh-gopoh.

“Siapkan kompres. Cepat.”

“Baik, Tuan.”

Frans membawa Nadha ke kamarnya, lalu membaringkan tubuh lemah itu di ranjang dengan hati-hati. Lampu kamar temaram, hanya bayangan tubuh mereka yang bergerak di dinding.

“Rendi, aku mau kamu kumpulkan semua data tentang Nadha. Ada sesuatu yang menarik dari gadis ini,” ucap Frans dingin sambil menatap tubuh lemah Nadha yang terbaring. Tatapannya tajam, seolah ingin menembus rahasia yang tersembunyi dalam diri gadis itu.

Bi Ina duduk di sisi ranjang, mengompres dahi Nadha yang panas membara. Wajahnya tampak cemas.

“Tuan, saya menemukan bekas luka di lengan dan punggungnya… sepertinya dia pernah disiksa,” ucapnya lirih, hampir berbisik.

Frans menghela napas, lalu menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah menduganya. Bagaimana kondisinya sekarang?”

“Dia baik-baik saja, Tuan, hanya demam biasa,” jawab Bi Ina hati-hati.

“Apa perlu kupanggilkan dokter?” tanya Frans, suaranya terdengar seperti perintah yang samar.

“Tidak usah, Tuan. Saya yakin besok dia akan pulih,” jawab Bi Ina cepat, lalu bangkit dan menunduk sopan.

“Kalau begitu, keluar sekarang.”

“Baik, Tuan.” Bi Ina segera berlalu, meninggalkan kamar yang terasa semakin sunyi.

Erfan, yang sejak tadi diam, akhirnya berbaring di samping Nadha. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas berat gadis itu. Tiba-tiba, tangan Nadha bergerak dan memeluk Erfan erat-erat. Erfan terkejut, jantungnya berdentum kencang. Ini pertama kalinya seorang wanita,selain ibunya,menyentuhnya dengan cara seperti itu.

“Tolong… jangan sakiti aku lagi… aku capek…” gumam Nadha dalam igauannya. Suaranya bergetar, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Erfan membeku, matanya menatap wajah pucat Nadha. Di balik kelemahan itu, jelas ada trauma yang dalam.

“Sepertinya mentalnya sudah hancur…” gumam Frans dari sudut kamar. Tatapannya tak lagi sekadar dingin,ada ketertarikan aneh, seolah ia melihat sesuatu yang berharga di balik penderitaan gadis itu.

Erfan menggenggam tangan Nadha, menahan rasa yang bercampur antara iba dan ketakutan. “Tenanglah… kamu aman bersamaku,” bisiknya pelan, sebelum akhirnya membalas pelukan itu.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status