Kata-kata itu terdengar tajam bagai belati yang menusuk dalam sampai ke ulu hati.
Ya Rabb, benarkah kesucian ini yang ku jaga selama ini harus terenggut dalam situasi dan kondisi mencekam seperti ini? Keadaan yang bahkan jauh dari kata romantis?
Sungguh, bukan dengan jalan seperti ini yang kuinginkan menjadi akhir dari penjagaan kesucian seorang Putri Melani.
Dengan napas menderu, mataku yang masih dipenuhi bias kaca, menatap nyalang wajah lelaki yang ternyata tak berperasaan ini.
Aku benar-benar tak habis pikir. bagaimana bisa orang tua yang pembawaan lemah lembut dan bijaksana, memiliki penerus seperti laki-laki yang tengah berdiri kaku dihadapan ku.
Aku merasakan tulang ku membeku saat matanya menatapku dengan tatapan buas yang mengancam. Persis seperti pemburu yang mengincar sasarannya.
“Jangan pernah berharap menyentuhku, apalagi memaksaku! Aku tidak sudi!” aku berteriak lantang saat Mas Daniel terlihat semakin tertarik untu
“Omong kosong katamu? Aku serius! Kalau kamu masih cinta dengan dia kenapa harus menikahi ku?” Aku menatapnya tajam ketika mengolok dirinya yang masih mempertahankan raut wajah yang garang setelah mengintimidasi diriku.Tak menjawab pertanyaan ku, Mas Daniel terdiam untuk berapa saat hingga mencetuskan ide untuk makan siang. Karena memang, kami belum sempat makan sebelum pamit pergi tadi.“Aku lapar. Gimana kalau kita makan sekarang?” ujar Mas Daniel sembari mengusap perutnya.Tak mau berdebat, aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju.Pulang dari gerai ponsel di salah satu mall elit di ibukota ini. Kami pun singgah di sebuah restoran khas jepang. Tempat yang rasanya juga menjadi salah satu lokasi favorit suamiku untuk mengisi perut, selain mie ayam langganan hari itu.“Kamu nggak makan?” Mas Daniel bertanya ketika berbagai hidangan tersaji dihadapan kami dan aku sama sekali tak tertarik untuk mengambil salah sa
“Jadi kalian?” Mas Andre dan Mbak Misca kompak menggantung pertanyaan yang sudah aku ketahui kemana arahnya.“Ya, belum terjadi apa-apa diantara kami, dan mungkin… nggak akan terjadi.” Aku membalas datar pertanyaan mereka meski hati bergejolak ingin memuntahkan amarah, dan mengungkapkan betapa hina nya aku dimata Mas Daniel. Namun, aku tahan.Rasanya terlalu kekanak-kanakan jika aku mengungkap secara gamblang perlakuan apa yang aku dapatkan selama menjadi istri seorang Daniel Hadiwijaya.Menanggapi ucapan ku, Mas Daniel terlihat menunjukan raut wajah tegang. Namun, tanpa terduga respon lain ditampilkan oleh Mas Andre dan Mbak Misca.“Relax, dek.” Mbak Misca berjalan mendekatiku. Dengan penuh kelembutan, ibu satu anak ini mengusap punggungku.Diperlakukan seperti ini, justru membuatku terjebak dalam perasaan melankolis.Jujur, aku tersentuh. Setelah kepergian Ibu dan Bapak, usapan lembut dipunggung s
Aku menggeleng cepat. Mencoba mengingkari saat pikiranku terus berkompromi menuduh jika papa mertuaku adalah pria dewasa yang menyebabkan aku menjadi yatim piatu, serta kehilangan saudara di hari yang sama hampir Sembilan tahun.Bukankah papa mertua terlalu baik jika di tuduh sebagai pembunuh? Pikiranku terasa buntu jika harus terus menduga-duga. Namun,bukankah alasan beliau menikahkan aku dengan putranya adalah suatu alasan tak masuk akal?Argh…..!Setelahnya, berulang kali ku ubah posisi tidur, berharap kantuk segera datang dan bayang mengerikan mengerikan itu hilang. Namun, ternyata hasilnya nihil.Ya, seperti biasanya, aku bakal kesulitan untuk dapat memejamkan mata kembali stelah mimpi buruk itu datang. Mimpi yang entah sekian kalinya datang dalam hidupku selalu sukses membuat jantungku berdebar berpacu tiga kali lebih cepat saat bayang silam nan memilukan itu berputar lagi di kepala.“Putri, Dek?” Mbak Misca yang mungkin me
“Aku akan melupakannya jika kau berani bertaruh kalau kau tak menikmati apa yang kita lakukan malam tadi, Putri.” Dengan gigi bergemeretak, Mas Daniel menatapku sengit sebelum beranjak kekamar mandi.Menanggapi ucapan serupa olok-olokan yang dia lontarkan, membuatku mendesah singkat. Sungguh, aku lelah dengan segala perangainya, juga dengan ketololan ku sendiri.Tak mau berdebat panjang, aku memilih keluar dan pergi ke kamar Mbak Misca.“Kita pulang sekarang.” Mas Daniel berucap dingin saat menghampiri diriku yang baru saja memasuki kamar Mbak Misca.Aku mendengkus kecil, sedikit kurang setuju dengan ucapannya barusan.“Kenapa buru-buru banget sih? aku masih pengen disini, masak bareng Mbak Misca.” Ujar Ku mengeluarkan unek-unek.“Mama yang minta.”Aku pun terpaksa mengalah meski sebenarnya masih ingin berada lebih lama di sini. Bagaimana tidak, baru ditempat inilah bisa ku temukan
Dengan mata berkaca, papa mertua terdiam untuk beberapa lama saat menatapku. Membuat semakin curiga dan menguatkan prasangka ku, jika beliau memang adalah pria misterius yang terlibat insiden memilukan hari itu. Pria yang membuatku kehilangan tiga sosok paling berharga dalam hidupku.“Apa papa mengenal Bapak dan Ibu Putri?” suaraku mendadak serak ketika aku mengulang pertanyaan yang sama.Aku sangat yakin papa mendengar pertanyaan dariku. Namun, yang mengecewakan, papa terlihat memilih diam dengan mata yang menyiratkan sejuta misteri.Ada apa sebenarnya?Untuk berapa lama, dengan penuh kesabaran aku menunggu papa bersuara. Namun, hasilnya nihil. Papa bahkan memalingkan wajahnya setelah menatapku sekilas.Ada apa?Tak ingin memaksa mertuaku berbicara jujur, aku menarik langkah menuju ke kamar meski dengan hati masygul. Ya, jujur aku tak puas dengan sikap diam yang mertuaku tunjukan.Apa salahnya bicara jika memang tak salin
“Kamu ngomong apa sih, Mas?” Dengan hati berdebar aku menatap tajam suamiku yang hanya mengenakan handuk sebatas pinggang setelah keluar dari kamar mandi.“Aku serius lintang.” Wangi sabun dan shampoo menguar di udara ketika tangan kekar suamiku mencekal lenganku dengan begitu kuat.“Serius mau bikin banyak tanda merah lagi?Iya? Yang bener aja. Emang dikira aku nggak malu apa dibikin gini? Kayak digigit drakula!” Aku menaikkan intonasi saat mencecarnya. Jujur ini sangat memalukan dan membuatku sedikit hilang percaya diri ketika berhadapan dengan mertua dan adik iparku dalam kondisi seperti ini.Bukannya intropeksi diri, Mas Daniel justru terkekeh pelan. Dia selalu menjengkelkan bukan?“Ya… habisnya gimana dong, kamunya juga bikin gemes,sih.” Geligi putihnya yang tersusun rapi dia tampilkan setelah menuntaskan kalimat tak penting itu.Aku menggeleng pelan melihatnya yang seperti ta
“Sudah, nggak usah bawel dan sok-sokan minta pisah ranjang. Ayo tidur sekarang.”Peduli aku suka atau tidak Mas Daniel kembali membopongku. Melakukan hal sama seperti yang pernah dia lakukan hari itu.“Ada-ada saja ya, anak muda zaman sekarang.” Terdengar mama mertua terkikik geli saat melihat aksi sang anak yang sok romantic.“Ngapain lihat-lihat?” Aku menunjukan raut wajah garang, ketika menyadari Mas Daniel terus menatapku tanpa henti, begitu kami sampai di kamar dan masing-masing telah membaringkan tubuh diatas tempat tidur yang empuk ini.Menanggapi pertanyaanku, Mas Daniel menggeleng.“Ya udah, buruan tidur! Tadi bilang mau tidur, kan?”Mas Daniel tersenyum penuh intrik ketika aku mulai menarik selimut.“Kayaknya…. Malam ini kita harus bergadang s
“Aku belum siap, Mas.” Aku bahkan menarik selimut untuk bagian atas tubuhku. Membuat Mas Daniel menatapku kesal.Entah apa yang dipikirkan tentangku, aku tak mau peduli. Karena selain takut, aku memang setengah hati jika harus melakukan hal itu dengannya mala mini.“Mas… aku mohon…. Aku belum siap….” Pintaku merengek sekali lagi.“Hmmm…. “ Hanya desahan berat yang kudengar dari suara Mas Daniel.“Apa Mas nggak capek, atau ngantuk? Mas, kan telat pulang hampir jam 12 malam terus mau minta jatah?” tanyaku sambil memalingkan wajah, menyembunyikan rasa gugup yang datang mendera.“Enggak!” suamiku menjawab santai, tangannya terulur dan menyentuh pipiku lembut. Setengah memaksa ku menoleh padanya.“Bahkan, waktu dikantor tadi aku kepikiran kamu terus, loh,” ujarnya pelan sambil menatapku lembut.“Kepikiran aku?” Aku me