PoV Hannan.Sesampaiku dan Ray di rumahku seusai pembicaraan yang aneh dengan Rayyan dan Pak David tadi, kulihat mobil Randy pun sudah parkir di pinggir jalan tepat di depan rumahku. Rupanya ia menepati janjinya mengantarkan Zayn, bahkan mereka datang lebih awal dari dugaanku. Dari jauh kulihat Zayn sedang tertidur pulas di pangkuan Randy. Ada rasa bersalah dalam hatiku melihat putraku itu harus tertidur di teras karena aku sedang tak di rumah.“Maaf, ya. Zayn sampai tertidur gitu. Udah lama?” sapaku.“Lumayan, Bun eh ... Han. Sepertinya Zayn tertidur karena kecapean, tadi aku membawanya bermain di arena bermain,” jawabnya.Sedangkan Ray ikut duduk di salah satu kursi teras lainnya yang ada di depan rumahku. Tak ada percakapan antara kedua pria itu.“Biar kubawa Zayn ke kamar, ya, Han,” ucap Randy lagi.“Ng—nggak usah. Sini biar aku aja yang membawanya masuk,” jawabku sambil meraih tubuh Zayn dari ayahnya. Sekilas kurasakan punggung tanganku bersentuhan dengan lengan Randy, lalu aku b
“Nggak, Han. Aku bukan bermaksud seperti itu, kamu jangan salah sangka. Aku tak membencinya, aku tak punya urusan untuk membencinya, toh dia hanya masa lalu kamu. Aku tadi benar-benar hanya ingin menghargainya sebagai ayah Zayn. Aku menyampaikan rencana pernikahan kita padanya karena aku tak berniat untuk mengundangnya di acara kita demi menjaga suasana hatimu dan Zayn. Mengenai urusanmu dengannya di masa depan, aku tak akan pernah melarangnya jika itu menyangkut Zayn. Hanya saja aku minta nantinya jangan pernah menyembunyikan apapapun dariku meski itu adalah urusan Zayn yang harus melibatkannya. Maafkan aku jika sikapku tadi membuatmu ragu, Han. Aku tak akan menunda pernikahan kita yang sudah kita putuskan bersama tadi. Kamu akan segera menjadi Ny. Rayyan Al Fatih. Jangan pernah berpikir untuk menundanya.”***PoV Randy.Sesak kembali memenuhi dadaku setelah mendengar pengakuan dr. Rayyan tadi. Ia akan menikahi Hannan! Seminggu lagi! Gila! Ini benar-benar gila! Dulu aku bahkan memerl
PoV Hannan.Hari-hariku berlalu begitu cepat, aku dan Ray seolah berkejaran dengan waktu mempersiapkan semua yang perlu dipersiapkan untuk acara pernikahan kami. Kali ini aku benar-benar menyesal mengapa waktu itu melamun saat Pak David mengajak kami berunding, hingga akhirnya beliau menetapkan waktu yang sangat mepet bagiku dan Ray dalam mempersiapkan semuanya.Ada kabut yang memenuhi kelopak mataku saat membaca undangan pernikahan di mana terukir nama Rayyan Al Fatih dan Maysa Hannan. Ini benar-benar seperti mimpi bagiku. Bagaimana mungkin seorang janda sederhana sepertiku namanya bisa tertulis di lembaran undangan mewah yang wangi ini? Aku sendiri tak tau siapa yang mengonsep undangan itu. Namun aku sama sekali tak menyangka jika hasilnya akan seindah itu.“Ray,” gumamku lirih.“Hey, kamu kenapa, Sayang? Kok nangis?” tanya Ray panik saat melihat mataku berkabut.“Aku tidak sedang bermimpi, kan? Mengapa undangannya seindah ini, Ray?”“Ya nggak dong, Sayang. Lagian undangan ini biasa
Akhirnya hari yang benar-benar mendebarkan itu pun tiba. Aku menunduk dengan wajah tegang sesaat sebelum Rayyan mengucapkan ikrar ijab kabul padaku. Hingga akhirnya kalimat sakral itu benar-benar terucap lantang dengan sekali tarikan napas dari Rayyan. Aku menangis tergugu. Zayn yang sedari tadi terus duduk di sampingku pun ikut menangis saat melihatku meneteskan air mata, sampai-sampai Bu Wulan harus menggendongnya keluar ruangan untuk membujuknya.Semua terasa seperti mimpi bagiku. Mimpi yang sangat indah. Ya Allah, jika ini hanya mimpi, jangan bangunkan aku, aku ingin merasakan mimpi indah ini lebih lama lagi. Tapi sentuhan lembut Rayyan di tanganku membuatku tersadar bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata, dan aku sekarang sudah resmi menjadi istri dari pria yang sedang menggenggam lembut tanganku itu, Rayyan Al Fatih.Kuberanikan diri mendongakkan kepalaku, menatap pria yang mulai sekarang akan menjadi imamku itu. Ray pun sedang menatapku, tatapan yang penuh cinta, setetes bening juga
Sekali lagi aku dibuat terpukau dengan dekorasi mewah di ballroom sebuah hotel bintang lima di mana resepsi diadakan. Semua terlihat begitu sempurna oleh sentuhan tangan pihak Wedding Organizer yang didapuk oleh Pak David untuk menangani pesta ini. Aku benar-benar merasa bak seorang ratu sehari, meski sebenarnya hatiku merasa tak nyaman karena tak sepantasnya aku mendapatkan pesta semeriah ini untuk penikahan keduaku.Namun aku juga sadar posisi Rayyan, ia putra tunggal dari Pak David, dokter senior yang bukan hanya sekedar dokter tapi juga memiliki saham di Health Hospital serta memiliki beberapa apotek besar yang dikelola oleh karyawan-karyawan kepercayaannya. Jangan lupakan pula posisi penting Ray di Health Hospital sebagai Direktur Utama. Maka pesta semewah ini kurasa bukanlah hal yang besar bagi mereka. Bahkan justru keharusan karena tamu yang datang pastilah bukan dari kalangan orang biasa. Berbeda sekali denganku yang hanya seorang wanita biasa yang sebatang kara dan berstatus
Pria paruh baya itu terkekeh, kemudian melangkah menjauh tanpa menoleh padaku sama sekali.“Siapa dia, Ray?”“Om Bram. Papinya Nadine. Papa yang mengundangnya.”“Kamu nggak boleh bersikap seperti tadi, Ray. Bagaimana pun ia adalah tamu kita.”“Dia merendahkanmu, bagaimana bisa aku bersikap ramah padanya.”“Tapi dia rela datang jauh-jauh ke resepsi kita, Ray. Kurasa itu sangat patut diapresiasi.”“Karena ia akan jadi perbincangan di kalangannya jika ia tak hadir, Han. Jadi ia pasti akan hadir demi menjaga namanya dan agar ia tak kehilangan muka setelah kekalahannya olehku dalam pemilihan direktur kemarin.”“Apa duniamu seribet itu, Ray? Aku belum memahami duniamu.”“Tak perlu memaksakan diri, Han. Kamu hanya perlu memahami semua yang ada di tubuhku.” Ray mulai menggerakkan alisnya naik turun.“Mau ditimpuk?”“Jangan dong, nggak lucu kan kalau kita timpuk-timpukan di pelaminan.”Kami tertawa bersama, kemudian Ray kembali meraih tanganku ke dalam genggamannya.“Mulai sekarang aku bisa me
PoV Rayyan.“Bunda kenapa kunciin Zayn?” Suara Zayn ketika Hannan membuka pintu. Kulihat Hannan menunduk dan meraih tubuh mungil Zayn.“Maaf, ya, Nak. Bukan Bunda yang ngunci pintu tadi, Bunda enggak mungkin ngunciin Zayn.” Hannan membelai kepala Zayn.Zayn yang masih sesegukan seketika menoleh padaku.“Om Doktel kenapa kunciin Zayn?” Tatapan bocah itu penuh amarah padaku. Astaga! Hannan. Teganya ia membuatku jadi tertuduh, padahal memang akulah yamg mengunci pintunya tadi.“Nak, nggak boleh gitu, Om Dokter pasti enggak sengaja tadi.” Hannan masih membujuk, aku hanya menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal.“Zayn mau pulang! Zayn enggak mau di sini! Kita pulang ke rumah kita, Bun,” pinta Zayn.Aku bejalan menghampirinya.“Maafkan Om Dokter ya, Zayn. Tadi enggak sengaja ngunci pintunya. Sini Om Dokter gendong.” Aku mengulurkan tanganku padanya. Zayn justru mundur dan semakin memeluk bundanya.“Enggak mau! Om Doktel jahat! Om Doktel mau ambil Bunda! Zayn nggak mau tinggal di sini
PoV Hannan.“Zayn udah tidur?” Ray kembali muncul di depan pintu. Aku mengangguk pelan. Aku sendiri sedang duduk di tepi tempat tidur di mana Zayn telah tertidur lelap di sana.Ray ikut duduk di sampingku, kemudian melingkarkan lengannya di sepanjang bahuku. Sentuhan ringan, namun sanggup membuatku merinding. Entah mengapa sejak tadi sentuhan ringan Ray selalu membuatku meremang tanpa ampun.“Riasannya udah dirapiin? Kamu udah mandi?” bisiknya, embusan napas hangatnya menerpa kulit leherku. Tangannya meraih handuk kecil yang kupakai untuk menutupi rambutku setelah keramas tadi.“Diurai aja rambutnya, Sayang. Aku ingin melihatnya.” Ray kembali berbisik. Ini memang kali pertama ia melihat rambut panjangku.“Cantik sekali istriku. Aku suka dengan rambut panjangmu ini.” Ray meraih beberapa helai rambutku dan menghirupnya dalam-dalam. Aku semakin bergidik.“Zayn benaran udah tidur?” Ray melongokkan kepalanya ke belakang untuk melihat Zayn. Itu membuat ujung hidung mancungnya menyentuh lehe