Aku mengelak dan semakin menjauhkan diriku dari Bang Randy ketika lelaki itu menggeser duduknya lebih mendekat padaku. Ia menetapku tajam.“Percayalah padaku, Bun. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku akan mengajukan pengunduran diri dari TNI, dan mengurus usaha ayah Dewi. Dengan begitu aku bisa pulang dan bertemu Bunda dan anak-anak kapanpun aku rindu.”Hatiku semakin terhimpit oleh sesaknya luapan perasaanku.“Abang pikir aku boneka yang tak punya perasaaan? Abang pikir aku masih akan merindukanmu setelah kamu menduakanku? Hebat sekali perempuan itu bisa mengubahmu secepat ini, Bang? Kamu sudah lupa bagaimana perjuanganmu dulu demi lulus menjadi anggota TNI dan mewujudkan cita-citamu? Kamu berubah, Bang! Aku tak mengenalimu lagi.”“Bun, keadaan berubah setelah aku merasakan beratnya tugas di pedalaman. Aku harus loyal pada kesatuanku sedangkan hatiku kadang memberontak terisi kerinduan pada keluargaku. Kurasa ini adalaha jalan keluar bagi kita, Bun. Aku akan membantu Dewi men
Pov Randy.Fajar belum lagi menyingsing ketika aku terpaksa harus kembali meninggalkan istriku Hannan dan kedua putraku di rumah sederhana peninggalan mendiang orangtua Hannan yang sudah kami tinggali bersama selama 8 tahun. Kedua putraku, Zaid dan Zayn bahkan masih terlelap dalam tidurnya ketika aku sudah harus berangkat lagi. Meski masih merasa berat meninggalkan mereka bertiga, namun statusku yang masih sebagai aparat TNI aktif mengharuskanku untuk tetap menjunjung tinggi kedisiplinan.Sebenarnya kepulanganku kali ini benar-benar menyisakan masalah baru dalam hubunganku dengan Hannan. Bagaimana tidak, wanita yang sudah kunikahi selama 8 tahun ini meminta bercerai dariku. Aku paham, keputusanku untuk menduakannya dengan menikahi Dewi pastilah melukai hatinya. Tapi justru itulah aku rela datang walau cuma beberapa jam untuk bertemu langsung dengannya dan menjelaskan semuanya, sekaligus meminta izinnya untuk hubunganku dengan Dewi. Namun ternyata Hannan tetap tak bisa menerima semua a
Pov Dewi.Kepergian mendadak ayahku yang menjadi korban kontak senjata dengan kelompok separatis di pedalaman membuatku sangat terpukul. Meski sedari kecil ayah sudah mendidikku untuk selalu siap kehilangannya sewaktu-waktu karena tugas beliau sebagai seorang aparat TNI. Namun, tetap saja kepergiannya membuatku kehilangan. Ayahku adalah sosok yang sangat luar biasa bagiku, aku tumbeh besar bersamanya, tanpa kasih sayang ibuku. Ayah dan Ibuku telah berpisah sejak aku kecil. Ibuku meninggalkanku dalam asuhan ayah setelah mereka bercerai. Bukan tanpa sebab, Ibuku tak mau mengasuhku sebab kabarnya beliau malu punya anak buta. Ya, aku memang buta sejak dilahirkan. Aku tak pernah melihat indahnya dunia ini.Satu hal yang patut kusyukuri adalah Ayahku yang meski disibukkan dengan pekerjaannya sebagai aparat Negara, beliau tetap memberi perhatian penuh padaku. Bahkan semua orang-orang yang ada di sekelilingku adalah orang-orang yang dipilh ayah secara langsung. Ayah seolah mempunyai insting t
Pemakaman ayahku berlangsung khidmat dengan prosesi militer. Meski tak dapat melihat, tapi aku tau begitu banyak yang melepas kepergian ayahku di taman makam pahlawan. Banyak sekali yang datang mendekat dan menggenggam tanganku memberi kekuatan, meski aku hanya mengenal beberapa orang di antaranya lewat suara mereka, namun dukungan yang terus mengalir padaku membuatku sedikit terhibur.Ibuku pun hadir di antara para pelayat, beliau langsung terbang dari Jakarta bersama suaminya beberapa saat setelah mendengar kabar meninggalnya ayahku. Om Ardi, pamanku, adik kandung satu-satunya dari ayahku juga datang bersama dengan istrinya dari Jakarta. Itu semua membuatku merasa tak sendirian di tengah kegelapan dan kesedihan karena kepergian ayah.Lalu ketika kami semua sudah kembali ke rumah, tak kusangka ibuku justru mnegatakan hal-hal yang membuat emosiku naik. Tega sekali wanita yang telah melahirkanku itu langsung membahas semua perusahaan milik ayah di Jakarta pada saat kami masih dalam sua
Pov Randy.Setelah pemakaman Pak Nugi di Taman Makam Pahlawan, aku dan beberapa rekanku masih kembali ke rumah beliau bermaksud untuk berpamitan sebelum kami kembali ke tempat tugas. Aku sendiri punya niat tersendiri ke sana, aku harus bertemu Dewi. Tadi pagi ia mengatakan ada hal yang harus dibicarakannya denganku seusai pemakaman ayahnya.Beberapa kerabat Pak Nugi memang masih terlihat berada di rumahnya, namun aku tak melihat sosok gadis tuna netra itu. Dengan memberanikan diriku, aku mencoba masuk kedalam rumah besar dan mewah milik Pak Nugi. Aku sudah pernah ke rumah ini bersama Tyson beberapa bulan yang lalu, jadi aku sudah tak asing lagi dengan letak ruangan di rumah Pak Nugi.Aku menghentikan langkahku ketika mendengar percakapan serius di ruang keluarga. Entah mengapa firasatku mengatakan aku harus menguping pembicaraan ini, aku memilih diam-diam menyimaknya dari balik tembok. Ternyata ibu dan ayah tiri Dewi sedang berusaha membujuk putrinya untuk ikut bersama mereka ke Jakar
PoV Hannan.Hari-hariku tetap kulalui seperti biasa dengan kedua putraku. Sejak keberangkatan terakhir Bang Randy subuh itu, hanya sekali ia menghubungiku melalui pesan singkat yang mengabarkan jika ia sudah tiba kembali di Papua namun aku memilih tak membalas pesannya. Pada salah satu sahabatku di perkumpulan Ibu-Ibu Persit – sebutan bagi istri para aparat TNI – kuceritakan tentang keadaanku sekarang serta niatku untuk menggugat cerai Bang Randy.Semua foto-foto dan video yang sampai sekarang belum kuketahui siapa yang mengirimkannya di ponselku waktu itu kusimpan rapi untuk kijadikan bukti. Tekadku sudah bulat, hampir setiap malam setelah Bang Randy kembali ke Papua aku bangun dan mendirikan salat di sepertiga malam untuk meminta petunjuk pada Yang Kuasa tentang kondisi rumah tanggaku. Tak terhitung sudah berapa tetes air mataku yang tumpah ruah di atas sajadah di dalam kesunyian malam demi mendapatkan petunjuk dari Sang Penciptaku. Lalu semakin hari, hati terasa makin dimantapkan u
“Maaf jika saya datang tiba-tiba datang kemari Mbak Hannan. Perkenalkan saya Dewi,” ucapnya setelah duduk di ruang tamu sederhana kami.“Ya, saya cukup terkejut dengan kedatangan Anda,” jawabku tak ingin menyembunyikan keterkejutanku.“Apa Mbak Hannan tau siapa saya?” Ia langsung menoleh dan menatap tepat ke arahku setelah aku bersuara tadi. Tatapannya membuatku sedikit merinding. Bukankah ia buta? Tapi mengapa ia seilah sedang menatap tajam padaku?“Saya tau. Ada keperluan apa Anda datang ke kediaman saya?” Aku mengulangi pertanyaanku. Tak ada niatku sama sekali untuk menyuguhkan minuman pada kedua tamuku ini. Aku justru ingin mereka segera pergi dari rumahku sebelum anak-anakku menanyakan siapa mereka.“Mbak Hannan, bisakah Mbak tak terlalu bica formal? Agar kita bisa bicara dengan santai.”“Saya rasa tak ada yang perlu dibicarakan.”Wanita itu menarik napas panjang.“Baiklah, pertama-tama saya mau minta maaf pada Mbak Hannan karena sayalah yang menyebabkan Mas Randy mengajukan peng
Pagi ini, seperti biasa aku berangkat ke toko roti untuk bekerja dengan mengajak serta Zayn, bungsuku. Meski kadang aku kasihan melihatnya yang sehari-harinya hanya bermain sendirian di sudut toko roti ketika aku sedang bekerja, namun aku terpaksa melakukannya karena aku belum tega meninggalkannya di rumah seharian bersama abangnya.Zaid, putra sulungku terpaksa kulepas untuk tinggal di rumah ketika aku sedang bekerja karena aku tak mungkin membawa keduanya ke toko roti. Apalagi Zaid memang sudah duduk di kelas 1 SD dana sehari-harinya harus mengikuti pembelajaran jarak jauh. Zaid pun sudah memiliki ponsel sendiri untuk dipakainya mengikuti pelajaran. Beberapa hari lalu Bang Randy mengiriminya sebuah ponsel pintar dan sebuah mobil remote untuk Zayn. Aku tak kuasa menolaknya sebab saat itu kedua putraku terlihat sangat gembira membuka kiriman paket dari ayahnya. Maka aku memilih membiarkan mereka berdua menikmati kegembiraannya, tak apa bagiku, toh Zaid dan Zayn adalah putra Bang Randy