"Bun, ini foto Ayah kan?" Pertanyaan polos putra sulung Hannan membuatnya penasaran dan segera membuka beberapa pesan yang masuk di ponselnya melalui applikasi WhatsApp. Hannan terkejut ketika membuka deretan foto dan video yang dikirim oleh nomor tak dikenalnya itu. Semua foto dan video itu menampakkan suaminya dari berbagai sisi memakai pakaian pengantin serba putih sedang melaksanakan prosesi pernikahan dengan seorang gadis yang mengenakan kebaya putih di sampingnya. Buru-buru Hannan menghubungi nomor Bang Randy, suaminya, yang memang sedang bertugas di Pulau ujung timur Indonesia. [Ini Abang, kan?] [Aku menunggu penjelasan Abang!] Bagaimana kisah perjalanan rumah tangga Maysa Hannan yang diwarnai dengan perselingkuhan suaminya, Randy Maulana? Akankah Hannan bertahan atau justru melepas? Siapa sosok dari masa lalu yang kemudian datang kembali dalam kehidupan Hannan setelah pengkhianatan suaminya? Simak lika-liku kehidupannya dalam novel IZINKAN AKU MENDUA.
Lihat lebih banyakGeorgia's POV
"You got a B again,"
I batted my lashes up at my mother, who had a look of disgust on her face. In her hands was my report sheet, and I could hear the anger in her voice. No daughter of Edwina got a B in maths. My sisters were all proof of that. Mom was a leading professor in Mathematics, it would be a shame if we got anything less.
"What is the problem, Georgia?"
I shuffled on my feet and wrung my hands together. Did I have a problem? Yes. Did I know what exactly this problem was? No. No matter how hard I tried, maths wasn't my thing.
Right, a voice in my head scoffed. It isn't because you've been binging on romance novels.
"I asked a question, child, and I demand answers!" Mom snapped, slapping the report sheet on her desk.
Jerking back in fear, I swallowed hard, squinting to fight the tears back. If I cried over everything, no one would take me seriously.
"Desperate times call for desperate measures. There's no way you'll graduate with a straight A at this rate," Mom hissed. Her voice grew lower as she spoke. "And I am way too busy to babysit you. Anderson? Anderson, it is."
I stared at her, confused, until she tossed me a withering look. "I'll get someone to tutor you. I expect nothing but perfection in the SATs. Do you understand me?! And no one should ever find out you got a tutor!"
I gave a sheepish smile. "Yes, mother. Thank you."
"Thank me when you get an A," She spat snidely and dismissed me.
I raced off to my room, eager to leave her presence,but also looking forward to finishing the copy of Silhouette's desire with me. Our house was huge but mostly empty since my two older sisters had moved to college, leaving me at the mercy of my uptight mother.
I shed off my uniform quickly and dived into my bed, yanking out the novel from where I hid it under the sheets. I was right where the hero, a tall, tanned, sexy, haired scientist, realized he couldn't hold back from touching the heroine and began his confessions when a knock on my door threw me into a frenzy.
As I tossed the book under my bed, our maid, Betty, came in.
"Your tutor is here,"
I pursed my lips. "So quickly?"
"Yes. Your mother needs you downstairs at once."
I groaned, sliding off the bed. Knowing Mom, the tutor was probably one of Mom's students who wore boring clothes and would drone on about the Pythagoras theorem or something. I shrugged on bum shorts and a faded t-shirt and trudged downstairs.
"Do not worry, Edwina, I'll handle this," A deep baritone voice had me stumbling on the last step, and my eyes widened as I took in who my mother was talking to.
A tall, dark-haired, handsome man with an athletic build and blue eyes, like the professor in my romance novel.
My throat constricted, and I swallowed hard. We had never had a man in our mansion before. Mom raised us all on her own after splitting up with Dad. I attended an all-girls school where the only man we got to see was Janitor Warren, and he looked nothing like the man standing in our living room.
His hair was long and curled in ringlets, draping around his neck like a mane. They were swept back to reveal hawkish eyebrows and piercing sea-blue eyes, and he looked younger than Mom, obviously, but way older than I was- Yet I couldn't stop the stirring between my legs when he looked at me.
"Georgia, come here!" Mom's voice sounded so far away. I could feel my legs obey her command until I stopped before them.
Before him, all I could hear was the sound of my beating heart, pounding loudly.
"Georgia," the man called. I shuddered, letting out a breath I didn't know I was holding. "It is a pleasure to meet you. I am Jake Anderson."
A pleasure? I licked my lips, watching his mouth move. How could a man have such beautiful lips? And why did I want to touch his lips so badly?
"I wouldn't call you if it wasn't serious -"
"It's fine, Edwina," Jake replied to Mother, but his eyes were still on me, burning a hot trail over my face. He reached for his black tie, drawing my attention to his large hand and then to his arms. His muscles flexed against the shirt he had on, threatening to rip it.
The stirring between my legs became a deep-seated throbbing, and I had to press my thighs together.
"I'm sure Georgia and I will get along quite well. As long as she's a good girl, we won't have any problems."
"Thank you. I have a meeting now, and I'll leave you two to it." Mom said and walked away briskly.
My tutor turned to me, a plain smile on his gorgeous face. "Where would you like us to study?"
"My bedroom?" I said breathlessly and flushed when he did a double take. His gaze darkened, and I imagine all the heroines in the books I've read felt exactly the way I did currently— as if my stomach was crammed with a handful of butterflies.
"And what exactly would we do there?" He asked, taking a step closer. The throbbing in my pussy grew intense as his scent teased my nose and got permanently etched in my brain. My nipples poked against the frail shirt I had on, pushing and begging for his attention.
"Study?" I replied, folding my hands beneath my boobs, pushing them up. "I've been into Pythagoras theorem lately. I want to learn all about Sin... and Cosins, Or you know, you could fuck me?"
His eyes darkened, dropping to my stiff nipples. I reached up to cup my tits through the shirt, kneading them invitingly. Jake swallowed, looked at the door my mother had disappeared through, and then turned to me.
I basked in his heated gaze for two seconds before he gave a tight smile. "It's Sine and Cosines. Edwina's right, you do need an iron fist."
I have no idea why that sounded so dirty, but it did.
"Go get your notebook. We'll start with calculus," Clenching his fists hard, he snapped and walked briskly to a sofa. A secretive smile curled on my face, and I knew that Jake would fuck me very, very soon.
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen