Sesampaiku di dalam kamar, aku kembali menumpahkan air mataku. Kubenamkan kepalaku di balik bantal agar suara isakanku tak terdengar ke kamar ibu yang hanya dihalangi oleh sekat dinding yang terbuat dari kayu. Tubuhku masih saja gemetaran meski aku telah memakai sweater tebal dan meminum teh hangat yang tadi dibuatkan oleh ibuku. Terlebih lagi saat aku memakai pakaianku tadi, meski aku terus memejamkan mataku, namun aku tetap saja merasa asing dengan tubuhku sendiri. Bagian inti tubuhku pun masih berdenyut nyeri. Aku tadi bahkan merasa khawatir jika Ibu memperhatikan langkahku, aku merasa tak bisa berjalan normal seperti biasanya. Aku benar-benar sudah tak mengenali tubuhku sendiri saat ini.Apa yang harus kulakukan ya Allah? Bagaimana aku harus menghadapi hari-hariku setelah ini? Bagaimana aku bisa tetap bekerja di sana setelah kejadian tadi? Haruskah aku meninggalkan perusahaan itu? Tapi saku sangat membutuhkan pekerjaanku di sana. Gajiku selama ini lumayan besar, dan dari penghasil
Kepalaku masih terasa pening ketika aku berusaha membuka mataku. Dengan perlahan kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, hingga akhirnya aku menemukan senyum itu. Tian, lelaki yang setahun belakangan ini berstatus kekasihku. Aku hendak buru-buru bangun dari posisiku yang sedang berbaring. Aku teringat Ibu, bukankah hari ini aku harus mengantarnya untuk cek kesehatan rutin ke dokter?“Jangan bangun dulu kalau masih pusing, Sher.” Suara Tian lembut di telingaku.“Kenapa aku bisa berada di sini, Ti? Ini di mana? Di mana Ibu?”“Aku juga nggak tau apa yang terjadi, Sher. Tadi saat aku datang kamu sudah pingsan di depan pintu rumahmu, dan Ibu langsung panik dan menyuruhku membawamu ke sini.”“Ini di mana, Ti? Bagaimana bisa kamu membawaku kemari?”“Ini di puskesmas dekat kelurahan, Sher. Beruntung tadi ada yang bisa menolong membawamu ke sini. Kata Ibu beliau adalah atasan di kantormu.”Aku kembali teringat apa yang membuatku tiba-tiba gemetaran tadi, kemunculan Pak Randy secara tiba-t
“Ada apa beliau kemari, Nak? Tidak biasanya atasanmu sampai datang ke rumah kita. Apa ada masalah di kantor?”“Sherin juga enggak tau, Bu. Mungkin ada yang hendak ditanyakannya mengenai pekerjaan Sherin namun belum sempat bicara Sherin sudah pingsan tadi. Nanti Sherin akan menghubungi beliau dan menanyakannya, Bu. Tapi bukan hari ini, karena Sherin memang sudah meminta izin hari ini untuk mengantar Ibu.” Semoga Ibu menerima penjelasanku.Ibu menghela nafas berat namun senyumnya tetap tak beranjak dari bibirnya ketika menatapku.“Tapi kenapa tadi istrinya menyusul, Nak? Bahkan mereka berdebat sebentar di depan rumah kita dan sempat menjadi tontonan para tetangga sebelum akhirnya beliau mengantarmu ke puskesmas bersama Tian.”‘Oh, jadi suara wanita yang kudengar sebelum tak sadarkan diri tadi adalah suara Bu Dewi?’ batinku.“Sherin enggak tau, Bu. Ibu enggak usah pikirkan mereka, ya. Mungkin hanya kebetulan saja mereka berdua lewat di sekitar sini.”Ibu mengangguk, namun kurasa wanita y
Pov Randy.Aku segera meninggalkan puskesmas setelah mengantar Sherin dan lelaki yang menggendongnya tadi. Dari gelagatnya, kurasa lelaki itu adalah kekasih Sherin, karena saat di mobilku tadi ia berkali-kali menepuk-nepuk pipi Sherin untuk menyadarkan Sherin dan sesekali memanggilnya dengan kata “sayang”.Kulirik mereka berdua yang berada di kursi belakang lewat kaca spion di atas kepalaku. Aku merasa seperti seorang supir yang sedang mengantar sepasang kekasih. Seharusnya aku kesal, namun rasa bersalahku pada Sherin membuatku tak protes apapun lagi.“Terima kasih, Pak. Oiya, perkenalkan nama saya Tian, pacar Sherin. Boleh tau nama Anda? Saya dengar dari Ibu tadi katanya Anda adalah atasan Sherin.” Lelaki itu memperkenalkan dirinya.“Sama-sama. Iya saya atasan Sherin, dan nama saya Randy.”“Sekali lagi terima kasih, Pak Randy,” ucapnya lagi kemudian membopong tubuh Sherin.Aku memandang punggungnya yang menjauh sambil membopong Sherin. Lelaki itu adalah kekasih Sherin, apa yang akan
Aku kembali menghela napas. Sebenarnya ucapan Dewi ada benarnya. Aku menolaknya bukan hanya semata karena ia tengah hamil. Tapi aku baru saja merasakan kepuasan batin sebelumnya saat menembus Sherin, maka aku belum membutuhkan pelampiasan saat ini. Aku bahkan masih terbayang-bayang nikmatnya sensasi semalam.“Mas, ingat ya. Kamu berada di posisi ini sekarang karena aku dan Almarhum Ayah memberi kepercayaan padamu. Aku tak akan segan-segan mencabut itu semua jika Mas Randy macam-macam.”“Kenapa selalu mencurigaiku, Wi?”Sebenarnya aku tersinggung, tapi aku membiarkannya. Dewi selalu mengancamku seperti itu padahal ia tak pernah tau apa saja yang telah kulakukan untuk perusahaan Pak Nugi. Aku sudah memenangkan beberapa tender penting dan mambawa perusahaannya semakin maju. Maka aku juga sudah mengamankan beberapa aset yang berhasil kuperoleh selama aku berjuang di sana. Aku memang harus melakukannya karena tak ada jaminan untukku untuk terus berada di bawah bayang-banyang Pak Nugi. Aku
PoV Hannan.Sejujurnya aku merasa risih ketika bertemu dengan Randy dan istrinya di bandara. Bagiamana tidak, Zayn melihatnya tepat di saat Randy berciuman di depan pintu masuk. Sungguh aku tak mengerti kenapa pria itu sekarang menjadi seperti itu, padahal saat bersamaku dulu, kami selalu menyembunyikan kemesraan kami di depan umum, bahkan di depan anak-anak. Kami hanya menikmatinya ketika sedang berdua. Tapi lihatlah sekarang, Randy tanpa risih mempertontonkan ciumannya di tempat umum, dan sialnya lagi Zayn melihat semuanya. Aku belum sempat memalingkan wajah Zayn ketika bocah balitaku itu sudah berteriak memanggil ayahnya.Randy pun terlihat sedikit grogi ketika tau kami ada di sana. Seperti biasa pria itu menyambut Zayn dengan pelukan hangat seorang ayah ketika Zayn berlari menghampirinya. Namun tiba-tiba saja ia mendekatiku dan mengajakku bicara. Aku melirik Ray untuk meminta izin pada pria yang sudah menjadi imamku itu, dan ternyata Ray mengangguk mengiyakan.“Kamu apa-apaan, Bun
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Ray saat kami berdua sudah berada di dalam pesawat yang akan membawa kami ke Bali.“Oh, nggak. Zayn itu loh bisa-bisanya ia ngomong pada Ayahnya kalau Bunda dan Papinya mau bulan madu. Pasti Papa yang ngajarin.” Aku terkekeh.’“Hah? Zayn bilang pada Ayahnya kita akan bulan madu?.” Ray pun ikut terkekeh. “Pantas saja muka Pak Randy sampai ketekuk gitu tadi. Rupanya Zayn yang manas-manasin ayahnya,” lanjutnya masih dengan tawanya.“Maksudnya?”“Kamu nggak liat wajah Pak Randy tadi? Dia kelihatan nggak suka liat kita, apalagi aku. Kurasa ia cemburu.”“Ngaco ah! Ngapain juga dia cemburu, kamu nggak liat di sampingnya ada istrinya. Bahkan tadi mereka ciuman panas gitu di tempat umum.” Aku bergidik.“Aku laki-laki, Bun. Aku tau tatapan cemburunya tadi. Oiya, apa kamu mau kita ciuman di tempat umum juga kayak mereka tadi? Sepertinya seru.” Ray menaikkan sebelah alisnya.“Ih, kayak nggak ada tempat lain aja. Risih tau liatnya. Sayangnya Zayn juga sempat mel
“Tapi, Pak Randy. Ini sudah melanggar peraturan kepegawaian di kantor kita. Beberapa karyawan lain bahkan sudah mulai berspekulasi mengenai Mbak Sherin karena merasa perusahaan memperlakukannya istimewa. Apalagi rekomendasinya dari Pak Randy langsung.”“Sudahlah. Jangan membahas Sherin dulu. Sekarang tolong tempatkan salah satu karyawan yang berkompeten yang bisa menggantikan Sherin untuk sementara waktu. Banyak jadwalku yang terbengkalai beberapa hari ini karena tak ada yang mengaturnya.”“Baik, Pak Randy.”“Untuk urusan Sherin, nanti setelah meeting dengan klien perusahaan aku akan mengurusnya,” lanjutku, kepalaku rasanya semakin pening.Aku merasa heran ketika Bu Cici masih belum beranjak dari hadapanku. Ia justru sedang menatap heran padaku.“Kenapa harus Pak Randy yang turun tangan langsung untuk urusan Sherin? Padahal Bapak bisa menginstruksikannya pada kami,” tanya Bu Cici heran.Hufftt! Aku menggaruk tengkukku.“Kembalilah bekerja dan pastikan menempatkan salah satu karyawan s