"Di rumah Mbak Diana kenapa? Di sana makanannya enak-enak. Benar, kan?" Nasrul mengulangi pertanyaannya karena Utami malah bengong dan wajahnya memucat. "Rul, tadi sebelum kamu datang, Ibu sedang memanaskan sayur bayam dan lupa mematikan kompor," ucap Utami panik. "Apa? Maksudnya Ibu meninggalkan dapur dalam keadaan kompor masih menyala?"Utami mengangguk. "Semoga Mbak Diana ke dapur dan melihat kompor itu sehingga apa yang kita khawatirkan tidak terjadi," sahut Arum. "Iya, Aamiin. Meski Diana jahat, tetapi Ibu idak mau terjadi apa-apa dengannya." Utami mengambil air putih lalu menenggaknya sampai habis untuk menenangkan pikirannya. "Jahat? Mbak Diana jahat kenapa, Bu?" tanya Nasrul. Utami memandang Nasrul dan Arum secara bergantian lalu meluncurlah ceritanya selama tinggal sehari semalam di rumah Diana yang megah itu. "Astagfirullah, jadi saat tinggal di rumah Mas Erwin, Ibu disuruh makan di tempat yang berbeda dan menu yang berbeda pula? Bahkan tadi pagi Mbak Diana menyuruh i
"Ayo berangkat ke rumah Nasrul untuk minta tanggung jawab Ibu." Diana mendorong tubuh Erwin. "Sekarang?"Diana mengerucutkan bibir. "Tahun depan. Ya sekarang, Mas. Ayo buruan nanti keburu gelap!""Diana? Aku ini capek, baru pulang kerja. Masa udah disuruh pergi aja. Belum istirahat apalagi minum." Erwin kesal. "Mau minum apa, hah? Semua perabotan dapur kita sudah ludes. Mau masak juga nggak bisa," ucap Diana ketus. Para tetangga yang tadi menemani Diana saling pandang. Melihat pasangan suami istri yang sedang bertengkar membuat mereka merasa tidak enak hati sehingga satu per satu dari mereka pamit pulang. "Saya pulang dulu, Mbak Diana. Yang sabar, ya," kata salah seorang tetangga yang rumahnya paling dekat dengan rumah Diana. Dia juga yang pertama kali mendengar teriakan Diana dan meminta bantuan pada orang-orang. "Iya, Bu. Terima kasih." Erwin mewakili menjawab karena Diana diam saja. "Saya juga pamit, Mbak," sahut yang lain. "Saya juga." "Saya juga." Rumah yang tadinya rama
Erwin mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu rumah Nasrul saat mendengar percakapan antara Nasrul, Arum, dan ibunya di dalam sana. Ia sengaja menempelkan telinga di daun pintu agar lebih jelas. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka, adiknya saat ini sedang punya rezeki. Tangannya mengepal seiring rasa iri yang membakar hatinya kala ingat ia sendiri sedang mengalami kesialan yang bertubi-tubi. Dapurnya terbakar dan ia tidak punya pekerjaan. Erwin masih menyimak percakapan Nasrul di dalam sana hingga akhirnya Diana mengirim pesan dan meminta agar ia cepat pulang setelah urusannya selesai. Akhirnya dengan segera ia mengetuk pintu. "Mas Erwin?" seru Nasrul begitu pintu terbuka. Erwin masuk meski belum dipersilakan. Ia menatap tajam sang ibu yang sedang duduk bersama Arum di meja makan. "Apa maksud Ibu membakar rumahku? Ibu marah karena tidak kuizinkan tinggal di sana, hah?" Erwin langsung menuduh. "Apa maksudmu, Win?" Utami bengong. "Dapur rumahku terbakar dan itu karena Ibu. S
Dilema melanda hati Utami. Jika bilang pada Nella tentu rumah tangga sang anak yang sudah dijalaninya selama lebih dari sepuluh tahun dan telah dikaruniai dua orang anak itu akan menjadi taruhannya, tetapi jika diam saja ia merasa kasihan juga dengan Nella yang telah dibohongi suaminya. Seburuk apa pun sikap Nella pada dirinya, Utami tetap menyayanginya. "Ya Allah ... Apa yang harus kulakukan?" ucap Utami lirih. Ia memainkan tangannya sendiri. Bayangan Nella yang selalu ceria dan Wirya yang sedang bermesraan dengan wanita lain datang silih berganti. Utami memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya di dinding kamar. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk memberitahukan perbuatan Wirya pada Nella dan berharap Nella bisa menasihati suaminya itu agar mau berubah. Utami bangkit dari duduknya lalu keluar kamar menuju kamar Nasrul yang letaknya hanya bersebelahan dengan kamarnya itu. "Ada apa, Bu?" tanya Nasrul setelah ia membuka pintu akibat diketuk oleh sang ibu.
"Hei, kenapa cemberut gitu? cantiknya ilang, lho?" Wirya menjawil dagu Nella yang sedang duduk dengan tangan bersedekap dan kaki terjulur berada atas meja. "Kasihan calon anak kita kalau ibunya tidak ceria. Dia pasti ikut merasakannya juga." Wirya mengusap perut sang istri yang masih rata lalu membungkuk dan menci umnya. Setelahnya lelaki itu mengangkat kepalanya dan beralih mencium pipi dan bibir Nella yang seperti buah ceri.Ucapan ibunya terngiang di kepala Nella saat bibirnya bertemu dengan bibir Wirya yang terasa hangat dan selalu membuatnya candu. Bagaimana mungkin suami yang selalu memperlakukan dia dengan penuh kasih sayang dan selalu mesra di setiap saat dan kesempatan bisa main gila dengan wanita lain di belakangnya? Nella memejamkan mata menikmati serangan suaminya yang panas dan melupakan sejenak ucapan ibunya. Ya, meski tidak percaya, tetapi tetap terselip rasa khawatir di hatinya. Setelah adegan ci um an panas yang menghanyutkan, Nella menggelayut manja di lengan sua
Meski sederhana, Erwin dapat merasakan kalau hidup Nasrul lebih bahagia daripada dirinya yang bergelimang harta. Selama ini dia selalu menganggap harta adalah segalanya, tetapi dia lupa jika harta hanyalah titipan dari yang Maha Kuasa. Harta yang dibanggakan bisa lenyap kapan saja. Buktinya, dapur yang dibangun menghabiskan dana yang tidak sedikit itu rusak tanpa dapat ia cegah. Terdengar suara salam yang membuat Erwin menoleh. Seorang gadis kecil sudah berdiri di depan pintu. Dialah Salsa yang baru saja pulang sekolah. Salsa menghampiri Nasrul, mengulurkan tangan untuk meraih tangan ayahnya dan men ci um dengan takzim. Hal serupa juga ia lakukan pada Utami. Erwin merasa damai melihat pemandangan yang tidak pernah ia jumpai saat di rumah. Anak-anaknya berangkat mau pun pulang sekolah tidak pernah bersalaman apalagi ci um tangan. "Salsa, itu Om Erwin. Sana salim." Utami membungkuk sehingga posisinya sejajar dengan cucunya itu. Salsa menatap Erwin. Dia punya hubungan darah dengan
Wirya ketakutan melihat Nella tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati lelaki itu menuruni tangga untuk melihat sang istri lebih dekat. Ia dapat melihat dengan jelas pelipis Nella yang mengeluarkan darah. "Apa yang harus aku lakukan?" Wirya mengacak rambut frustrasi. Rumah sepi. Anak-anak masih di rumah nenek. "Jenny, Jenny, iya aku harus minta bantuan Jenny," kata Wirya. Tetapi, saat itu ia melihat ponselnya ikut terlempar saat Nella jatuh tadi. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel yang berada di posisi lumayan jauh dengan Nella. Mata Wirya melebar sempurna saat mendapati ponsel miliknya pecah dan tidak bisa dinyalakan. "Aduh, bagaimana ini?" Lelaki itu lalu kembali ke kamar untuk menelepon Jenny dengan mengggunakan ponsel Nella. "Apa?" seru Jenny setelah Wirya bercerita di telepon mengenai keadaan Nella dan apa tujuannya menelepon.Wanita itu menggeleng. "Tidak, Mas. Aku tidak mau datang ke rumah dan bantu kamu. Apa kata tetanggamu nanti kalau lihat aku ke rumah sekarang? L
Terpaksa Wirya keluar setelah Nella berteriak mengusirnya. Lelaki itu tidak mau istrinya terus berteriak yang dapat mengganggu pasien lain. Wirya mengambil ponsel milik Nella di saku celana lalu mencari nama Arum. Namun rupanya Nella tidak menyimpan nomor adik iparnya itu. Lalu ia berinisiatif menghubungi Erwin untuk meminta nomornya. Wirya segera menghubungi nomor Arum agar dapat berbicara dengan ibu mertuanya itu. "Bu, Nella jatuh dan ini semua karena Ibu!" kata Wirya langsung. Dahi Utami berkerut. "Apa? Nella jatuh? Di mana? Dan apa hubungannya dengan Ibu?"Wirya menghela napas mendapat rentetan pertanyaan dari sang mertua. "Tentu saja ada hubungannya, lah, Bu. Jika Ibu tidak lapor ke Nella apa yang kalian lihat waktu itu di mall, pasti Nella tidak akan curiga dan dia tidak akan kepo dengan ponselku sehingga semua ini tidak akan terjadi!" kata Wirya dengan nada tinggi. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. Utami menggelengkan kepala. "Kamu yang salah, tetapi menyalahkan o