Tangan Adisti refleks memegang dada. Degupan makin kuat melanda. "Cia, kamu bicara apa?" Adisti mendekati Felicia dan duduk di sebelah putrinya. Felicia menoleh cepat. "Ibu ... Aku minta ayah datang." Wajah polos itu memandang Adisti. "Cia, ayah kamu ga mungkin datang. Jangan bicara aneh-aneh. Ibu ga suka Cia bicara soal ayah terus." Adisti memasang wajah kesal. Felicia membalas juga memandang Adisti sambil cemberut. "Ibu, kenapa aku ga boleh pengin punya ayah? Kenapa ayah ga pernah telpon aku? Apa dia ga suka aku? Jadi betul, aku yang buat ayah pergi?" Rupanya Felicia menyimpan banyak pertanyaan tentang ayahnya. Dia pendam selama ini dan akhirnya tumpah hari itu. Adisti menarik napas dalam. Apa yang akan dia katakan? Tidak mungkin dia bilang pada bocah semanis Felicia bahwa dia memang tidak diinginkan ayahnya. Bahkan, Felicia pun jauh dari pikiran Adisti, bahwa akan ada seorang anak bagi dirinya. Hati Felicia pasti akan hancur. "Ibu, kenapa aku ga boleh tahu ayah? Kasih tahu ak
Adisti tersenyum tipis dengan tatapan sedikit bingung. "Hai, Tante!" Felicia dengan ceria menyapa Hanny. Dia memandangi Hanny dengan pandangan sedikit heran. "Om? Hai, Om?" Felicia tidak yakin akan menyapa apa pada Hanny. "Cia!" Adisti menarik Felicia agar sedikit mundur. Lalu dia melihat lagi pada Hanny. "Maaf, Kak. Aduh, anak ini." "Adisti, ini anak kamu?" ulang Hanny sambil memandang Felicia. "Iya, Felicia. Putriku." Adisti menetapkan hati dia tidak mungkin terus lari dari kenyataan. Felicia putrinya, tidak mungkin dia bersembunyi terus. "Serius? Dia menggemaskan sekali!" Hanny memiringkan badan, agar lebih dekat melihat Felicia. "Kenalkan, aku Hanny. Panggil Kak Hanny. Teman kerja ibu kamu di kantor." Senyum Hanny lebar pada gadis kecil itu. Reaksi Hanny yang tetap ramah membuat Adisti mulai sedikit melunak, tidak setegang sebelumnya. "Hai, aku Cia. Kakak lucu." Felicia masih memandangi Hanny dengan rasa heran. Outfit Hanny yang nyentrik membuat Felicia terpukau. Hanny meng
Adisti menerima panggilan dari Vernon. Ada rasa senang yang dengan cepat menyapa hati Adisti. "Siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Adisti memulai percakapan. "Haa ... haa ...." Jawaban yang Adisti dengar adalah tawa lepas Vernon. Adisti mengerutkan kening. Kelakuan aneh si Bos muncul lagi. "Kamu lucu sekali, Adisti Cahaya Matahari!" Panggilan itu. Adisti mulai terbiasa dan suka mendengarnya. "Ini bukan jam kerja. Kamu menjawab telpon kayak lagi ngantor." "Hee ... maaf, kebiasaan, Pak," ujar Adisti. "Maaf. Kamu selalu minta maaf, padahal ga salah apa-apa." Vernon menyahut. "Kamu di rumah?" "Saya di mall. Ajak Cia jalan-jalan. Tapi sudah mau pulang." Adisti menjelaskan. "Wah, seru dong!" Suara Vernon terdengar gembira. Ada rasa lega di hati Adisti karena galau Vernon sudah lenyap. Namun, ada sisi tidak nyaman karena dia tahu Vernon gembira kembali bersama Rima. "Iya, Pak." Adisti menjawab dengan suara datar. Matanya melihat Felicia yang berjalan bergandengan dengan Ernita sam
"Apa kamu akan ikut rapat besok siang?" Ryan memandang Adisti. Adisti menggeleng. "Tidak, Pak. Tidak ada info apa-apa dari Pak Angga." "Oh, kukira kamu akan diminta hadir lagi. Sebab akan ada evaluasi dari hasil event yang berlangsung tiga hari ini." Ryan berdiri begitu dekat di depan Adisti. Kepala Adisti sedikit mendongak memandang Ryan. Ryan tidak kalah gagah dan keren dari Pak Vernon. Dia juga baik dan punya masa depan gemilang. Cukup menarik bukan, jika menjadi salah satu pilihan?"Saya lebih baik tidak hadir. Kurang pede, Pak." Adisti tersenyum tipis. "Really? Aku tidak melihat kamu tidak percaya diri. Kamu sudah membuktikan kapasitas kamu. Tidak banyak yang bisa melakukan pekerjaan sebaik kamu di awal-awal bekerja di sini." Ryan memuji Adisti. "Terima kasih pujiannya. Mudah-mudahan tidak mengecewakan di kemudian hari," ujar Adisti. "Kamu terlalu merendah. Tapi justru aku suka." Ryan tersenyum lebar. Dia tidak menahan diri mengungkapkan yang dia rasa. Cukup mengejutkan, tap
Rima berdiri berkacak pinggang di depan Vernon dan Adisti. Seketika jantung Adisti seperti mau melompat! Dia ketahuan berduaan dengan Vernon, makan siang di kantor tunangan Rima. Astaga! "Hai, ga kasih kabar mau ke sini?!" Tenang, Vernon menjawab. Dia masih melanjutkan mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Tangannya sibuk memotong ayam di kotak yang dia pegang. "Nikmat sekali tampaknya." Rima tersenyum, tapi nada suaranya agak sinis. Dia melangkah mendekat pada Vernon dan duduk di sebelahnya. "Boleh aku coba?" Rima mendekatkan wajah, minta disuapi. "Oh, kamu mau? Ini, makan saja." Vernon memindahkan kotak ke tangan Rima. "Abisin. Lumayan, masih separuh." "Ih, gitu amat. Maunya disuapin, Ver. Mesra dikit napa?" Rima bergaya manja, sok cemberut pada Vernon. "Ada karyawati aku, Rima. Kami juga masih ada pembicaraan penting." Vernon memandang serius pada Rima. Dia sedikit kesal dengan tingkah Rima yang dibuat-buat. "Sejak kapan kamu sok jaim depan karyawati, hm?" Rima mengusap pip
Tampak Rima berpikir sambil matanya masih menatap layar note book. "Ah, sudah kurasa. Semua beres. Tinggal kita jalankan sesuai schedule." Rima tersenyum senang. "Kalau begitu, ayo, Rima. Kita lanjut. Hari ini kita cari butik yang paling bagus untuk menyiapkan gaun pengantin kamu." Savitri menutup note book. Lalu dia menyimpan dalam tas dan mengajak Rima pergi. "Kita akan jadi mempelai paling memukau tahun ini, Sayang. Aku pergi dulu. Nanti aku telpon, ya?" Rima mendaratkan kecupan di pipi Vernon, segera kemudian menyusul Savitri. Vernon termenung. Dia menyandarkan punggung di sofa. Hatinya marah. Bukan karena pernikahan yang boleh dikata terpaksa dia jalani, lebih kepada karena Adisti direndahkan Rima. Muncul wajah Adisti yang tersipu, merah karena merasa berada di situasi dan ruangan yang salah. Vernon mengambil ponsel bermaksud menelpon Adisti. Degupan halus bergerak di dadanya. Vernon menghentikan jarinya, batal memencet nomor Adisti. "Apa cinta itu memang begitu? Debaran di
Detak jantung Adisti kali ini bukan berdetak cepat. Sebaliknya, seakan berhenti. Tangan Vernon memeluknya, seolah-olah ingin melindungi. Adisti tak bergerak, bak patung yang hanya bisa bergaya satu pose sebagaimana sang pemahat membuatnya. Kenapa pria tampan penyelamat Felicia itu begitu mempesona? Rambutnya, keningnya, hidungnya, matanya, bibirnya ... Semua membuat Adisti merasa tak berdaya berhadapan sedekat itu dengan Vernon. "Kamu kenapa buru-buru?" Suara Vernon membuyarkan Adisti dari posisi terperangah. "Ohh ... itu ...."Vernon tersenyum. Dia belum melepaskan kedua tangan dari Adisti. "Selalu. Kalau kamu bingung atau gugup, itu yang kamu katakan. Ohh ... itu ... Apa? Kamu kenapa?" ujar Vernon. "Nggak, Pak. Tidak apa-apa. Cuma kaget. Maaf." Adisti mundur, menarik tubuhnya agar berjarak dengan Vernon. "Jangan mudah panik. Tenang saja." Vernon kembali tersenyum. Aahh, senyum itu. Senyum yang membuat Adisti makin tak boleh mengelak, rasa hati buat Vernon makin melebar. "Perl
Detik itu juga pandangan Rima tertuju pada Vernon. Dia kaget dengan reaksi Vernon. Dia marah karena perkataan pegawai pria itu? "Maaf, Pak! Ga nyangka saja, saya digandengkan dengan Adisti. Bisa saingan sama Pak Ryan. Hee ...." Pegawai itu menggaruk kepalanya. Dia masih saja bercanda. "Haa!! Uhuuu!!" Sahutan terdengar dari pegawai lainnya menyoraki candaan itu. "Ryan apa? Sembarangan kamu ngomong. Kamu kalau komentar dipikir!" Kalimat Vernon makin tajam. Mata Rima juga makin dalam menatap padanya. Vernon membela Adisti atau bagaimana? Di depan para karyawan itu? "Iya, kamu ... gurau aja. Lihat sikon, dong!" Kembali terdengar ada yang berkomentar. Adisti senyum-senyum tidak jelas. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa di tengah situasi itu. Dia melirik pada Vernon dan Rima. Rima terlihat tenang, sedangkan Vernon, wajahnya berubah ketus dan sedikit memerah. "Oke, kita balik ke topik saja. Bisa, ya?" Rima harus bisa menahan diri dan tidak terpancing. Di depan para pegawai itu dia t