Kira terbangun pagi itu dengan suasana hati yang jauh lebih baik. Sejak awal kehamilannya, ia tidak mengalami morning sickness, tidak seperti saat ia hamil Aksa. Jadi Kira bangkit dari tempat tidur dengan tubuh yang lebih segar.Entah mengapa, di kamarnya yang ada di rumah Kaisar, terasa lebih hangat dibanding ruangan manapun. Mungkin karena kamar ini telah menjadi saksi bisu perjuangan Kira selama ini.Selesai mandi beberapa saat kemudian dan mengganti pakaiannya dengan dress bunga-bunga selutut dan tanpa lengan, Kira turun ke dapur untuk memasak sarapan. Ia sudah rindu dengan dapur di rumah ini. Padahal ia cuma pergi beberapa hari saja.Saat melewati ruangan keluarga, Kira terkejut karena mendapati Kai tengah terlelap di atas sofa dengan televisi yang masih menyala.Kira menghela napas panjang, lalu meraih remote dari atas meja dan mematikan televisi. Ia menatap Kaisar dengan tatapan campur aduk. Pria itu terlihat nyenyak sekali, meski tanpa selimut dan hanya tidur di sofa. Satu tan
Suasana di dalam mobil itu terasa hening. Kira lebih memilih sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara Kai berkali-kali mencuri pandang ke arah Kira sambil mengulas senyum penuh kebahagiaan.Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba saja perut Kai berbunyi, cukup jelas terdengar di telinga Kira.Kira mengerjap, ia ingin bertanya apakah Kai belum makan? Namun, egonya masih menggunung hingga pertanyaannya hanya berakhir di pikiran saja.“Sebenarnya aku belum makan beberapa hari ini,” ujar Kai tiba-tiba sambil meringis dan satu tangannya mengusap perutnya.Sontak, Kira menoleh pada Kai. Kira sempat melirik tangan kanan Kai yang diperban, sesaat. “Kamu… belum makan sama sekali?”“Mm.” Kai bergumam sembari mengangguk. “Kita makan malam dulu, ya. Aku lapar.”Kira terdiam, ia juga merasakan perutnya lapar karena sejak siang belum makan. Akhirnya Kira mengangguk tanpa berkata-kata.“Mau makan di mana, hm?” tanya Kai, menoleh ke arah Kira.Kira mengusap perutnya sejenak, mendadak nasi goreng di peda
“Kamu boleh mengabaikan aku, boleh mendiamkan aku, tapi aku mohon tarik gugatan cerai kamu dan kita tinggal satu rumah lagi.”Kira tertegun mendengarnya. Tak bisa dipungkiri bahwa hatinya tersentuh oleh kata-kata Kai yang terdengar tulus itu. Kira berusaha mencari-cari kebohongan dalam sorot mata Kaisar, akan tetapi hanya kesungguhan yang Kira dapati dari sana.Kira menunduk, menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Matanya semakin terasa memanas.“Kira…,” panggil Kai seraya mencapit dagu Kira dan mengangkatnya agar mereka bersitatap. Namun, dengan cepat Kira menepis tangan Kai dari dagunya. Kai tertegun sesaat. “Kumohon, beri aku kesempatan satu kali lagi saja,” pinta Kai dengan wajah memelas sembari mengacungkan jari telunjuknya. “Kali ini aku janji akan menggunakan kesempatan yang kamu berikan padaku dengan baik. Aku nggak akan menyia-nyiakannya, Kira.”Kira merasa bimbang. Ia mengalami pergolakan batin antara menerima permintaan Kai atau menola
Kai duduk bersandar pada pintu apartemen Julian. Ia menunggu Kira dengan sukarela mau membukakan pintu untuknya. Namun, hingga malam menjelang, Kira tak kunjung membuka pintu itu barang satu kali pun. Kai kedinginan di luar, tubuhnya yang hanya mengenakan kemeja putih dan celana bahan panjang, yang sudah kusut, terasa menggigil. Dan perutnya terasa lapar, entah sudah berapa hari tidak ada makanan yang masuk ke perutnya. Namun, Kai tidak memedulikan semua itu. Yang ia pedulikan hanya Kira. Ia tidak bisa makan dan tidur dengan tenang sebelum Kira kembali ke rumahnya dan menarik gugatan cerai itu. Sementara itu di dalam sana, Kira mengabaikan perutnya yang terasa perih. Sejak siang ia tetap duduk bersandar di pintu sambil memeluk lutut dan sesekali meneteskan air mata. Kira tidak mendengar Kai bersuara lagi sejak tadi siang. Mungkin pria itu sudah pergi dan menyerah, pikirnya. Dada Kira terasa sesak, ia butuh udara segar. Akhirnya Kira bangkit dengan perlahan-lahan, lalu membuka pint
Kira melihat kepergian Kaisar dengan dada yang terasa sesak. Pria itu terlihat kacau sekali. Bahkan jauh lebih kacau daripada yang terakhir kali Kira lihat saat ia makan bubur kemarin pagi.Dan Kira sempat tercenung saat melihat tangan kanan Kai yang diperban. Ada apa dengan tangan pria itu? Apa dia terluka?Namun, sedetik kemudian Kira menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menepis rasa khawatir yang tiba-tiba memenuhi relung hatinya.“Kira, kamu baik-baik saja?” Julian akhirnya bersuara melihat Kira yang tampak sendu.Kira buru-buru menyunggingkan senyum samarnya. “Aku… mau masuk dulu. Terima kasih sudah datang, Julian.”Julian mengangguk, ia mengerti bahwa saat ini Kira butuh waktu untuk sendiri. “Baiklah, hati-hati. Kalau kamu butuh bantuan, jangan segan hubungi aku.”“Mm-hm.” Kini Kira yang mengangguk. Sebelum akhirnya Kira melangkah pergi meninggalkan Julian yang terdiam memandangi kepergiannya.Masuk ke dalam apartemen Julian, Kira duduk di sofa dengan tatapan menerawang ke ar
Kira sedang duduk di bangku taman apartemen sambil memperhatikan air mancur di hadapannya. Ia termenung sendiri, mengingat betapa rumitnya hubungannya dengan Kai saat ini.Setiap kali mengingat Kaisar, dada Kira selalu berdenyut nyeri dan sesak. Bahkan tak jarang matanya berkaca-kaca, seperti saat ini.Kira menunduk, satu tetes air matanya terjatuh.Tiba-tiba, tangan seseorang terulur memberikan sapu tangan sambil berkata, “Aku rasa kamu butuh ini.”Kira tidak perlu mendongak untuk tahu siapa yang datang. Dari suaranya yang familiar ia sudah mengenalinya. Kira mengambil sapu tangan tersebut dan menyeka air matanya.“Terima kasih,” gumam Kira sambil berusaha menyunggingkan senyuman kecil. “Kamu nggak ke kantor?”Julian duduk di samping Kira. “Sebentar lagi,” jawabnya, lalu ia menoleh, menatap Kira dengan tatapan dalam. “Kira, kamu menangisi suamimu?”Kira terdiam, ia kembali menunduk meremas sapu tangan dalam genggamannya. “Aku… nggak tahu,” gumamnya lagi, “kadang aku nggak tahu, apaka
“Aaarghhh…!!!” Kai berteriak marah sambil membanting barang-barang yang ada di atas meja kerjanya ke lantai. Ia benar-benar marah. Sangat marah hingga rasanya ia ingin menghabisi apapun dan siapapun yang ada di hadapannya. Sialan, Violet! Wanita itu telah berhasil membohongi dan membodohi dirinya. Kai tidak akan pernah bisa memaafkan wanita itu. Selama ini Kai rela memberikan apapun yang Violet inginkan demi memenuhi tanggung jawabnya sebagai ayah kandung Luna. Namun, sialan! Bahkan dalam hal sepenting itu pun Violet membohonginya. Harga diri Kai terlukai. Dan itulah yang membuat dirinya sangat murka. Kini Kai membanting vas bunga dengan kasar hingga serpihannya berceceran di lantai. Ia menyapu habis berkas-berkas di atas meja. Sekali lagi Kai berteriak marah seraya menonjok dinding. Darah menetes dari buku-buku jari tangannya. Dadanya naik turun, napasnya memburu penuh emosi. Sorot matanya menyala-nyala. Kai ingat, ia bahkan rela mengabaikan Kira yang sedang melahirkan hanya d
Kata-kata Kai membuat Violet seketika menangis. Isak tangisnya terdengar kencang, memenuhi lorong yang sunyi itu. Tangisan yang memilukan, tapi hal itu tidak membuat keputusan Kai berubah.“Nggak!” Violet menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Kalau kamu mengingkari janjimu, lebih baik aku mati saja! Kamu lihat nanti, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan waktu itu!” tegas Violet, mengancam Kai bahwa dirinya akan melompat dari atap gedung seperti yang akan dilakukannya tempo hari.Kai mendengus kecil. “Vi, apa kamu mencintaiku?”“Tentu saja,” bisik Violet di sela-sela isak tangisnya. Ia memukuli dadanya dengan keras. “Kamu nggak tahu seberapa besar rasa cintaku untukmu, Kai. Aku bahkan rela mati demi kamu!”“Bukan, Vi.” Kai menggelengkan kepalanya pelan. “Yang kamu rasakan padaku itu bukan cinta, melainkan obsesi. Kamu terobsesi padaku hingga membuatmu kehilangan logika dan menyakiti dirimu sendiri.” Suara Kai terdengar rendah tapi tegas. “Itu bukan cinta, Vi. Cint
“Kira….” Suara Kai kembali terdengar lirih. “Aku tahu aku banyak salah. Tapi percayalah, aku menyesal. Aku nggak pernah benar-benar ingin kehilanganmu.”Kira tercenung sesaat, tapi kemudian ia mengembuskan napas kasar sambil menaruh sendok ke atas mangkuk hingga menimbulkan suara yang cukup kencang.“Aku sudah kenyang,” ucap Kira sambil berdiri, ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompetnya, dan menaruhnya tepat di hadapan Kaisar. “Untuk buburku. Aku nggak minta kamu yang bayar.”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Kira pun bergegas pergi meninggalkan Kaisar yang termenung.Seketika itu juga Kai bangkit dan berseru, “Kira, tunggu!” Lalu menyusul Kira tanpa sempat menyantap buburnya dan ia mengabaikan rasa lapar di perut.Kira tidak menghiraukan Kai dengan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang barang sedikit pun. Namun tiba-tiba Kai menarik tangan Kira, hingga tubuh Kira berbalik menghadap pria itu.“Apa