Bangun tidur di sebelah orang aneh, jelas enggak ada di dalam tour itinerary. Aku ke Bandung cuma buat traveling sama sahabatku. Tapi entah bagaimana ceritanya, aku malah jadi istri orang. Aku kira semua yang terjadi di Bandung bakal selesai di sana. Tapi ternyata, masalah itu justru ikut terbawa pulang ke kota kecilku, di Pecang. Dan tentu saja, suami baruku, si Toyi The Rock, petarung MMA terkenal, harus mengumumkan itu di depan keluargaku plus ke semua orang di Pecang. Aku sama dia itu benar-benar seperti langit dan bumi. Tapi dia malah menawarkan kontrak yang enggak bisa aku tolak, pura-pura menjadi suami-istri selama tiga bulan. Masalahnya, tiga bulan itu bisa banget bikin segalanya berubah. Terutama bikin aku jatuh hati ke cowok dengan gaya hidup yang sebenarnya paling aku benci. ────୨ৎ──── Pecang with Benefit Season III
View More୨ৎ D E R R I N જ⁀➴
"Ahh, siaaaaal!!" Kandung kemihku sudah enggak tahan lagi sama sisa alkohol semalam. Aku yakin kalau tadi malam aku sudah kebanyakan minum. Ada suara air mengalir dari kamar Mandi. Aku masih enggak percaya kalau itu Marlin. Dia enggak mungkin bangun lebih pagi dari aku. Soalnya setiap hari, aku yang harus tarik-tarik dia buat keluar dari kasur. Aku singkap selimut, turun dari kasur, terus jalan pelan-pelan. Karena sedikit gelap, aku hampir saja terpeleset gara-gara menginjak baju yang berserakan di lantai, untung masih sempat menahan diri biar enggak jatuh. "Arggg ... sumpah, semalam itu kita ngapain aja, sih?" gumamku. Aku masuk kamar mandi, bersyukur Marlin enggak menyalakan lampu, karena otakku pasti meledak kalau terkena cahaya. Lagi pula, aku juga enggak ingin lihat mukaku sekarang. Marlin sudah jadi sahabatku sejak kecil, jadi bukan hal aneh juga kalau aku kencing di depan dia. Jadi aku turunkan celana dalam, duduk di toilet, sambil mengeluh gara-gara kepalaku cenut-cenut. Idenya Marlin buat traveling dadakan ke Bandung memang gokil. Karena aku benar-benar butuh refreshing. Apalagi dua kakak tiriku baru saja menemukan cinta sejatinya. Eh, kalau Alzian, sih lebih tepatnya menemukan lagi. Tapi tetap saja, siapa sangka si Aldani yang batu itu bisa jatuh cinta? Dan sebentar lagi, semua orang pasti akan mencibirku. Soalnya aku anak perempuan paling tua di keluarga Sunya. Orang-orang pasti berpikir kalau aku juga harus cepat-cepat punya keluarga, anak, dan segala macamnya. Memang harus, ya? Liburan ini aslinya seru, sampai akhirnya Marlin mengajakku menonton pertarungan MMA semalam. Kita nonton dua cowok yang saling pukul satu sama lain cuma buat hiburan. Aku mencoba menikmatinya, sih, tapi sumpah itu barbar banget. Akhirnya kandung kemihku lega, dan rasanya nikmat banget. “Gila, kamu Marlin! Kok, kamu bisa bangun sepagi ini?” Enggak ada jawaban. Aku cuma dengar suara air berhenti. “Aduh, aku pusing banget, Marlin. Ayo dong, bilang kalau kamu pingin sarapan di bawah! Aku ikut!” “Terserah kamu aja,” jawabnya, suaranya berat. Itu bukan suara Marlin. Otakku belum sempat mencerna, tiba-tiba pintu shower terbuka dan muncullah cowok telanjang, badan penuh tato, ototnya kekar banget. Aku bisa lihat jelas karena ada cahaya redup dari meja kamar mandi. Wajahnya agak familiar, tapi aku enggak langsung mengenalinya. Apa dia bareng Marlin semalam? Sial. Aku enggak seharusnya lihat dia telanjang begini. “Sorry ya, semoga aku enggak ganggu kamu. Aku cuma harus bersihin sisa-sisa semalam, mandi bikin aku seger lagi,” katanya. “Maaf, Kamu siapa?” Dia tertawa. “Jelas suami kamu, lah!” Dia ambil handuk, melilitkannya di pinggang. Aku masih bengong di atas toilet, mulutku menganga. Refleks, aku pun menengok ke tangan kiri, ada cincin besar mengikat di jari. Sial. Berarti dia enggak bohong. Aku resmi jadi istrinya. Aku baru saja jadi cewek Bandung. Dan lebih parahnya lagi, aku lagi kencing di depan suami baru aku, yang sebenarnya orang aneh, dan aku enggak kenal. Dia seperti sadar sama ekspresiku yang antara syok dan takut. Soalnya dia tertawa, merapikan handuknya, air masih menetes turun dari perut berototnya yang seperti baja itu. Barulah aku sadar ada beberapa memar di rusuk sama rahang sampingnya. “Petinju?” bisikku lirih. Dia berkedip. Dia salah satu petarung semalam. Cowok yang memukuli lawannya habis-habisan di ring. Ada tendangan, pukulan, dan darah di mana-mana. Itu tontonan paling gila yang pernah aku lihat. Aku benar-benar menyaksikan pertarungan itu, dan aku benci kekerasan. Tapi Marlin ngefans berat sama MMA, dan entah bagaimana, dia bisa dapat tiket dadakan buat kita. Aku enggak mungkin mengecewakan dia. Yang aku enggak tahu, ternyata dia dapat kursi di barisan paling depan. Selama pertarungan dia heboh bersorak-sorak, sedangkan aku cuma bisa bengong, enggak nyangka ada orang yang benar-benar menikmati orang dihajar sampai babak belur kayak daging cincang. “Setelah aku lihat kamu muntah semalam, ini sih masih enggak ada apa-apanya,” katanya sambil menunjuk ke arahku yang masih duduk di toilet. Mukaku langsung panas. Aku muntah di depan dia, dan sekarang aku kencing depan dia? Ya ampun, apalagi yang sudah aku lakukan? Dia santai saja, mengobrol seolah enggak ada apa-apa. “Tadi aku dapat telepon dari manajer aku.” “Manajer?” Aku makin bingung, harusnya aku sudah berdiri, merapikan diri, tapi malah masih duduk di toilet sambil mendengarkan dia. “Ternyata kita enggak jaga privasi semalam.” Dia menyalakan lampu. Mataku langsung perih seperti ditusuk jarum gara-gara cahaya. Aku buru-buru bereskan diri, tarik celana dalam sama kaus yang baru aku sadar kalau ternyata milik dia. Gila. Berarti aku lagi ada di kamar hotelnya. Terus bagaimana caranya aku bisa kabur dari sini sebelum ini makin runyam? Dia bersandar santai di wastafel, tangan memegang sikat gigi, kasih odol di atasnya. “Aku udah minta bellboy bawain perlengkapan mandi, soalnya kamu pakai sikat gigi aku semalam.” “Aku … pakai sikat gigimu?” rintihku. Sumpah ini benar-benar memalukan. “Gak usah malu. Aku santai aja, kok.” “Kamu santai, aku yang enggak bakal bisa santai!” Dia tertawa. “Ya, aku juga kaget pas bangun pagi tadi, terus baru ingat. Tapi ya gitu, deh ...” dia angkat bahu. Aku bengong. “... kayaknya kita harus ngobrolin hal ini. Tapi, mungkin habis kamu pakai baju dulu.” Aku buru-buru cuci tangan, karena serius, aku enggak bisa bernapas normal di kamar mandi ini, sementara dia cuma pakai handuk. “Enggak apa-apa, kita bisa ngobrol gini aja,” balasku. Dia enak bisa bilang begitu. Kalau aku juga punya badan kotak-kotak, mungkin aku juga santai. “Ya, udah, tunggu bentar.” Aku keluar dari kamar mandi. Beberapa detik kemudian, dia muncul. Kali ini sambil pegang remote, yang otomatis membuka semua gorden di kamar. Pemandangan jalanan Bandung langsung terbuka, cahaya menyorot masuk, bikin mataku makin perih lagi sampai akhirnya terbiasa. Dan jelas-jelas ini bukan kamar hotel yang Marlin sama aku booking. Karena kita cuma pesan kamar standar dengan dua ranjang, sementara ini kamar suite mewah, ada ruang tamu lengkap, sofa, TV layar datar, sampai minibar. Terus Marlin ke mana? Kok, dia bisa biarkan aku sampai sejauh ini?୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Aku lagi duduk di sofa, memandangi cincin kawin yang Derrin tinggalkan. Harusnya aku sudah tahu dia bakal kabur. Dari tadi pagi saja sudah terlihat gerak-geriknya kalau dia sama sekali enggak tertarik sama aku. Malah lebih tampak takut sama aku dan sama apa yang sudah kita lakukan. Enggak bisa menyalahkan dia juga, sih. Aku enggak bisa berharap dia mau rela jadi istri orang yang belum dia kenal. Sementara aku? Aku bisa saja terima, mungkin karena aku dibesarkan sama Mama yang percaya banget sama mitos. Atau mungkin juga karena aku sudah enggak merasa dapat self reward lagi dari dunia tinju seperti dulu. Rasanya, aku sudah harus cari pencapaian lain dalam hidup ini. Mungkin … ya ini, pernikahan. HP aku bergetar, nama Mama muncul di layar. Aku keluarkan napas panjang. Ya sudah lah, harus diangkat. "Halo, Ma." "Itu benaran?" Nada suara Mama jelas banget, ingin aku klarifikasi terhadap gosip terbaru. Dia, kan mengikuti karierku dari awal. "Cuaca di sana gim
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ Aku masuk ke kamar hotel pakai kartu yang aku share sama Marlin, terus langsung tutup pintu dan menunduk buat mengatur napas. "Marlin!" Dia keluar dari kamar mandi pakai kaus sama celana pendek, rambutnya masih basah habis mandi. Aku buru-buru mengumpulkan baju-baju yang kemarin malam aku coba satu per satu, masih berantakan di lantai dan meja, jadi aku lempar lagi ke koper. "Ada apa, sih?" Dia duduk di kasur, menyilangkan kaki, sambil mengelap rambutnya pakai handuk. "Oh, aku pingin tahu soal cowok ganteng itu!" ”Cepetan kemas-kemas! Kita harus pulang hari ini. Aku jelasin nanti di jalan." "Hah? Kamu mau pulang sekarang? Serius, ada apa, sih?" keluhnya. Aku jatuhkan kepala ke belakang terus keluarkan napas panjang. Aku enggak bisa simpan ini sendirian. "Jadi gini … cowok ganteng itu sekarang resmi jadi suami aku." Marlin langsung bengong, mulutnya terbuka lebar, memandangku. "Yup, kayaknya sekarang aku udah jadi Nyonya The Rock!" Aku angkat tangan
୨ৎ T H E - R O C K જ⁀➴ Meninggalkan istri baruku di kamar hotel sendirian, sebenarnya enggak seharusnya, sih. Tapi Vallent kayaknya enggak terlalu paham kondisiku waktu aku bilang harus mandi dulu sebelum bertemu dia di cafe. Kepalaku lagi pusing banget setelah mabuk semalam, jadi butuh mandi dulu biar fresh. Dan enggak mungkin aku bikin dia menunggu lebih lama lagi cuma karena aku harus merayu Derrin buat ikut juga. Vallent lah yang dari dulu memanage karier aku, dan jujur, dia keren banget dalam hal itu. Dia salah satu alasan terbesar aku bisa berada di titik sekarang. Bisa menginap di suite mewah, bisa ajak cewek cantik buat party setelah pertandingan ... itu dulu, ya. Sekarang aku sudah enggak main kayak begitu lagi. Sudah enggak ada gregetnya lagi. Aku petarung MMA profesional, yang terbaik di kelas middleweight. Banyak cewek-cewek yang dulu aku bawa ke hotel, itu pun juga bukan buat mencari cinta. Tapi cuma untuk bercinta semalam saja. Kebanyakan cewek-cewek penghibur, dan
“Aku rasa kamu lagi panik, ya?” tanya si aneh itu dengan santainya. Mataku langsung menemukan bingkai foto di meja. Aku dan dia, bareng sama penghulu palsu di tengah. Sialan, Mama-Papaku pasti langsung mengamuk kalau tahu ini. Aku bahkan enggak bisa bayangkan Papa bakal bicara apa. Eh, tapi siapa juga yang peduli. Aku memang sudah benci sama dia dari dulu. Di foto itu, aku pakai gaun putih super mini, sementara dia pakai jas tuxedo biru. Kita berdua senyum lebar, jelas lagi mabuk berat. Aku ambil fotonya. “Kamu serius, ya, soal pernikahan ini?” “Ya, kita udah resmi menikah.” “Kalau gitu, bisa enggak kita batalin aja?” Aku tatap dia. Ekspresinya langsung jatuh, seperti orang yang baru saja memasang uang terakhirnya di mesin judi, terus kalah. “Lagian, ini juga cuma gara-gara iseng, kan. Kita bahkan enggak kenal!” “Ya ... aku juga enggak kebayang kamu bisa senang sama situasi ini,” katanya. Dia cuma angkat bahu. “Sebenarnya aku enggak percaya sama pernikahan,” jelasku. “
୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ "Ahh, siaaaaal!!" Kandung kemihku sudah enggak tahan lagi sama sisa alkohol semalam. Aku yakin kalau tadi malam aku sudah kebanyakan minum. Ada suara air mengalir dari kamar Mandi. Aku masih enggak percaya kalau itu Marlin. Dia enggak mungkin bangun lebih pagi dari aku. Soalnya setiap hari, aku yang harus tarik-tarik dia buat keluar dari kasur. Aku singkap selimut, turun dari kasur, terus jalan pelan-pelan. Karena sedikit gelap, aku hampir saja terpeleset gara-gara menginjak baju yang berserakan di lantai, untung masih sempat menahan diri biar enggak jatuh. "Arggg ... sumpah, semalam itu kita ngapain aja, sih?" gumamku. Aku masuk kamar mandi, bersyukur Marlin enggak menyalakan lampu, karena otakku pasti meledak kalau terkena cahaya. Lagi pula, aku juga enggak ingin lihat mukaku sekarang. Marlin sudah jadi sahabatku sejak kecil, jadi bukan hal aneh juga kalau aku kencing di depan dia. Jadi aku turunkan celana dalam, duduk di toilet, sambil mengeluh gara-ga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments